dua puluh

Hanya wanita yang berkarakter tangguh, yang mau dan sanggup, menjadi pendamping seorang pilot. Memang, tugas istri penerbang tidak kalah besarnya. Ia harus mampu membuat rumah tempat paling aman dan nyaman, serta kokoh menjaga pondasi keluarga. Membesarkan anak selagi suami mengarungi angkasa. Pagi buta Ebie membukakan pintu untuk Ali yang baru saja pulang dinas.

"Makasih ya Mbak Bie," ucap Ali dengan wajah lesu karena lelah.

"Iya Pak, mau saya buatkan teh dulu?" tanya Ebie sebelum menghilang dari hadapan Ali.

"Nggak usah Mbak Bie, aku langsung istirahat saja," jawab Ali lalu dibalas anggukan oleh Ebie.

"Ya udah, saya permisi dulu Pak," kata Ebie lalu melenggang kembali ke kamarnya.

Ali segera menaiki tangga seraya mengangkat kopernya. Hatinya sudah tak sabar ingin bertemu dengan dua wanita yang sudah memenuhi rongga hatinya. Hal yang pertama, yang selalu Ali lakukan jika pulang dinas adalah membuka kamar Kiran lebih dulu daripada membuka pintu kamarnya. Perlahan Ali membuka pintu yang bersebelahan dengan kamarnya. Dahi Ali berkerut saat tak menemukan penghuni di kamar anaknya, namun tak berapa lama Ali menutup kembali pintu itu, ia sudah dapat menebak di mana putri kecilnya berada. Ali membuka pintu kamarnya sangat pelan agar tak membangunkan istri dan anaknya yang sudah tertidur lelap. Dibawah lampu tidur yang remang, dua wanita berbeda generasi saling memeluk dan meringkuk di bawah bad cover. Ali melepas sepatunya di ambang pintu, karena ia tak ingin mengusik tidur dua malaikat tak bersayapnya itu. Ali mengendap-endap mendekati ranjang, melihat wajah cantik istrinya yang polos saat tertidur.

"Aku merindukan kalian," bisik Ali pelan.

Ali menatap wajah Prilly cukup lama dan sangat lekat. Hari Ali tiba-tiba dirasuki rasa bersalah dan rasa berdosa. Ali sedikit menunduk, mencium kening dan mengelus pipinya sangat lembut.

"Maafkan aku Sayang, sudah membuatmu sedih karena merindukanku, terkadang kamu juga harus mendengarkan omelanku dan kebawelanku," bisik Ali pelan di telinga Prilly.

Ali kembali menatap wajah Prilly, dari wajah cantiknya saat tertidur terlihat jelas kelelahan darinya. Ali semakin merasa bersalah karena sudah memberikan lelah dan sedih untuknya. Sudah puas memandang Prilly, Ali pun masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Saat terdengar air yang gemericik dari shower, Prilly terbangun dan perlahan membuka matanya. Saat tubuhnya bergerak sedikit Kiran langsung mengeratkan pelukannya. Prilly hanya menghela napas dalam, lalu tersenyum dan mencium kening Kiran yang terasa hangat. Ali keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah, sudah lengkap mengenakan celana pendek dan kaus putih polos.

"Kok bangun? Aku berisik ya?" tanya Ali sedikit berbisik karena ia tak ingin mengusik tidur Kiran.

Prilly hanya menggeleng dengan senyum penuh kerinduan. Ali menghampiri Prilly lalu duduk di tepi ranjang, di samping tubuh Kiran. Ali mencium kening Kiran, bibirnya terasa hangat setelah menempel di kening putrinya. Jantung Ali berdegub kencang karena baru menyadari jika Kiran demam. Ali menatap Prilly menuntut penjelasan.

"Nggak papa, udah biasa. Tadi sudah Bunda kasih obat, tapi ya begini kalau sakit, nggak mau dilepas." Prilly menunjukan tangan Kiran yang melingkar di pinggangnya erat kepada Ali dengan tatapan matanya. Ali mengerti maksud Prilly, ia hanya tersenyum.

"Mungkin dia sudah terlalu kangen sama aku, Bun," ujar Ali mengelus kepala Kiran penuh kasih sayang.

Prilly menggeser tubuhnya dan Kiran, agar Ali dapat berbaring di sebelah Kiran. "Istirahatlah Yah, Bunda akan buatkan teh biar menghangatkan tubuh kamu," kata Prilly dengan senyum sangat manis yang mampu melegakan hati Ali.

Ali berbaring di sebelah Kiran, lalu mencium pipi gadis kecilnya itu. "Ayah pulang, Nak," bisik Ali pelan di telinga Kiran.

Tanpa membuka matanya Kiran melepas pelukannya dari Prilly, lalu memutar tubuhnya dan bergantian memeluk Ali. Prilly hanya tersenyum, disaat Kiran tertidur saja, hatinya dapat merasakan kehadiran sang ayah, karena ikatan batin darah daging itu sangat kuat. Maka dari itu ada peribahasa yang mengatakan darah lebih kental daripada air.

"Dia sangat merindukanmu Yah," ucap Prilly mengelus kepala Kiran.

"Aku juga sangat merindukan kalian," balas Ali memeluk tubuh mungil Kiran.

Prilly melihat jam di dinding menunjukan pukul 04.25 WIB. "Aku mau bangun." Prilly beranjak dari tempat tidur lalu mengambil handuk yang tergantung di gantungan baju depan lemari.

Prilly segera membersihkan tubuhnya lalu setelah melengkapi pakaiannya, ia segera melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim. Usai melakukan salat subuh, Prilly menoleh, melihat aset terbesarnya dalam hidup ini yang sudah tertidur lelap saling melepas rindu. Bibirnya terukir senyum bahagia.

"Terima kasih ya Allah, Engkau selalu memberikan nikmat yang tak pernah terkira dan hamba hanya dapat mengucap syukur kepadaMu. Jaga selalu suami dan putri hamba, lindungilah mereka disetiap langkah yang ditempuh dan naungi mereka saat orang lain ingin menyakiti." Prilly berdoa dengan sungguh-sungguh dari hati yang tulus untuk perlindungan suami dan anak tercintanya. Setelah selesai salat dan berdoa, Prilly melipat mukena dan sajadahnya. Ia segera keluar dari kamar dan menghampiri Ebie yang sudah siap di dapur.

"Pagi Mbak Bie," sapa Prilly sambil mengikat rambutnya menghampiri Ebie.

"Pagi Non, gimana udah turun panasnya Dedek Kiran?" tanya Ebie saat dia sedang mencuci beras.

"Sebentar lagi juga demamnya sembuh, obat mujarabnya sudah pulang," seru Prilly membuat Ebie terkekeh kecil.

"Ya ... dimaklumi, anak seusia Kiran kan wajar Non."

"Iya Mbak Bie. Oh iya, mau masak apa kita hari ini?" tanya Prilly bersiap di depan kulkas.

"Apa ya Non? Aku juga bingung," jawab Ebie menatap Prilly yang juga sedang berpikir.

"Masak ayam kecap aja, sama buat sayur bayam. Nanti bikin sambal tomat ya Mbak Bie," kata Prilly lalu mengeluarkan semua bahan yang ia perlukan untuk memasak.

"Siap Non, mari kita berperang," ujar Ebie siap memegang pisau.

Prilly tersenyum karena Ebie selalu dapat menghibur dirinya. Sekian tahun Ebie bekerja dengan Prilly, dia tak merasa bosan apalagi kehadiran Kiran justru membuat Ebie semakin betah berada di rumah tersebut.

Kicauan burung prenjak bersahutan, menjadi melodi indah di setiap pagi. Udara yang masih sejuk menerobos masuk melalui cela-cela kamar. Ali dan Kiran masih sama-sama terlelap. Prilly yang sudah selesai memasak lalu menghampiri Kiran dan mengguncangkan tubuhnya.

"Sayang, bangun Nak. Sudah pagi, waktunya bersiap untuk sekolah." Tak ada pergerakan dari Kiran, namun Prilly tahu jika putri kecilnya ini sudah terbangun karena bola matanya terlihat bergerak ke kanan dan ke kiri.

Prilly berjalan ke arah jendela lalu menyibak gorden tersebut. Cahaya terang masuk ke dalam kamar. Tak cukup hanya itu saja, Prilly membuka pintu balkon, agar sirkulasi udara lebih lancar. Hembusan angin pagi yang masih terasa sejuk masuk ke dalam kamar.

"Ayo Kiran, bangun Nak, katanya mau pamitan sama Jessi? Kan Jessi hari ini terakhir masuk sekolah," rajuk Prilly yang ampuh membuat Kiran langsung membuka matanya.

Kiran membalikkan badannya menoleh kepada Prilly lalu dia menoleh kepada Ali yang sedari tadi memeluknya. Kiran pikir yang memeluknya adalah Prilly.

"Ayah," lirih Kiran menatap wajah polos Ali yang masih tertidur.

"Jangan membangunkan Ayah dulu ya Sayang. Ayah masih capek karena baru saja pulang dinas tadi pagi," jelas Prilly memberi pengertian kepada Kiran.

Tak masalah bagi Kiran, itu hal biasa yang sering Prilly sampaikan kepadanya. Dia akan memiliki banyak waktu bersama Ali nanti setelah pulang sekolah, saat Ali sudah cukup beristirahat.

"Baik Bunda," sahut Kiran patuh.

Sebelum melepaskan pelukan Ali, Kiran lebih dulu mencium kening, kedua pipi Ali dan hidung mancungnya. Tak ada pergerakan dari Ali, karena mungkin dia sangat kelelahan, sehingga dia tak merasakan bibir mungil yang menempel di bagian wajahnya.

"Ayo, Bunda bantu kamu mandi," ajak Prilly bersiap membopong Kiran yang berdiri di samping ranjang.

Kiran beranjak dari dekapan Ali sangat pelan agar tak mengganggu tidur ayahnya. Dia merangkak menghampiri Prilly lalu berdiri berhamburan kepelukan Prilly. Dengan sigap Prilly mengangkat tumbuh Kiran yang begitu ajaib demamnya hilang dengan cepat. Prilly tahu dan sudah hafal betul bagaimana anaknya ini jika sudah terlalu merindukan Ali.

"Bunda, Jessi kan mau pindah sekolah, Kiran boleh ikut?" tanya Kiran karena sesungguhnya dia juga tak ingin jauh dari Jessi, putri Nissa dan Tius.

"Tidak untuk saat ini Sayang. Jessi kan nanti akan pindah jauh, kalau Kiran ikut pindah Jessi, apa Kiran nggak kasihan Ayah di rumah sendiri?" tanya Prilly sengaja menumbuhkan rasa bijaksana dalam diri Kiran untuk memilih suatu hal.

Kiran tampak berpikir sambil dia melucuti pakaiannya sendiri. Sedangkan Prilly biarkan Kiran berpikir seraya dia menyiapkan seragam sekolah Kiran.

"Kiran mau di sini aja, nemenin Ayah. Tapi kalau Kiran kangen Jessi bagaimana Bun?" tanya Kiran yang masih belum dapat merelakan kepergian Jessi.

Setiap hari Kiran selalu menemani Jessi bermain. Entah di sekolahan atau pada saat pulang sekolah, Prilly maupun Nissa bergantian mengunjungi rumah mereka. Hal itu yang mengikat kedekatan Kiran dan Jessi secara otomatis.

"Jangan khawatir, kita bisa mengunjungi Jessi dan Tante Nissa nanti saat kamu libur sekolah. Kita naik pesawat sama Ayah dan kita bisa lihat awan putih dari atas sana," ujar Prilly menghibur Kiran agar tak bersedih.

"Bener ya Bunda?" sahut Kiran penuh harapan.

"Insya Allah, iya Sayang," jawab Prilly mengelus pipi Kiran dan menciumnya penuh kasih sayang. "Sekarang Kiran mandi, Bunda tunggu di sini."

"Okey Bunda." Kiran pun masuk ke kamar mandi lalu membersihkan diri tanpa bantuan Prilly karena Kiran sudah terlatih dari kecil, sehingga seusia dia seperti ini sudah dapat mandi sendiri.

Setelah rapi dengan seragam sekolahnya, Kiran dan Prilly keluar dari kamar. Prilly mengajak Kiran terlebih dulu masuk ke kamarnya untuk mengambil tasnya. Saat Prilly membuka kamar, ternyata Ali sudah duduk di tepi ranjang, sepertinya dia baru saja bangun.

"Ayaaaaaaaaaah," pekik Kiran girang berlari ke arah Ali.

Berapa hati sangat bahagia, penantiannya beberapa hari ini terwujud sudah. Melihat putri kecilnya nyata di hadapannya. Ali berdiri lalu menggapai tubuh Kiran dan menggendongnya.

"Kiran kangen," ucap Kiran manja langsung memeluk leher Ali.

Ali tersenyum membalas pelukan Kiran. "Ayah juga saaaaaangat kangen sama kamu," balas Ali membuat hati Kiran menghangat.

"Kangen-kangenannya dilanjutkan di meja makan saja ya? Kiran sudah dikejar waktu, Yah," tukas Prilly mengingatkan.

"Baiklah Bunda," sahut Ali. "Kiran tunggu Ayah di meja makan ya? Nanti Ayah nyusul ke sana. Ayah mau cuci muka dan gosok gigi dulu," pinta Ali menurunkan Kiran dari gendongannya.

"Baik Ayah." Kiran mencium pipi Ali sebelum dia melenggang keluar dari kamar orangtuanya.

"Bunda tunggu di meja makan ya Yah," seru Prilly dari ambang pintu.

"Iya Bun," jawab Ali, lalu pintu kamar pun tertutup seiring kepergian Prilly yang menjauhi kamar menuju ke ruang makan.

Bahagia itu saat berkumpul dengan keluarga yang lengkap. Kebahagian yang tak dapat ditukarkan oleh harta dan benda. Bagi Ali dan Prilly, kebersamaan mereka adalah waktu yang paling mahal dan tak dapat ditukar oleh apapun di dunia ini, apalagi hanya sekedar nominal, Ali dan Prilly akan lebih memilih waktu untuk bersama keluarga.

Kiran duduk di kursi yang biasa dia duduki, sedangkan Prilly menyiapkan roti tawar yang ia sudah olesi dengan selesai dan memberikannya kepada Kiran. Ali baru saja datang dan langsung mencium pipi Prilly, memeluknya dari belakang.

"Aaaaaaa Kiran juga mau." Kiran menggapai ke arah Ali, kedua tangannya ia rentangkan, meminta Ali untuk memeluknya juga.

"Nggak mau ah, Ayah kangennya cuma sama Bunda," gurau Ali mengeratkan pelukannya kepada Prilly.

Kiran mencebikkan bibirnya, membuat Ali dan Prilly menahan tawa. "Ya udah, Kiran sama Bibi Ebie aja," sahut Kiran berpura-pura ngambek.

"Cieeeeeeee, anak Ayah ngambek." Ali semakin menggoda Kiran dan mencolek pipinya.

Ali melepas pelukannya dari Prilly, lalu memeluk Kiran dan mencium pucuk kepalanya.

"Eeeehhhhhmmmmm, putri Ayah yang paling cantik, paling Ayah cinta, kalau suka ngambek nanti jadi jelek loh," rayu Ali.

Kiran terkikik bahagia karena merasakan dekapan Ali yang sudah sangat ia rindukan.

"Ayah antar Kiran sekolah kan? Sama Bunda juga?" kata Kiran menatap Ali memohon.

"Iya dong Sayang, pasti Ayah yang antar kamu," seru Ali lalu melepas pelukannya dan duduk di sebelah Kiran.

Prilly datang dari dapur membawakan teh panas untuk Ali dan segelas susu untuk Kiran.

"Ayah mau makan dulu, apa nanti sekalian?" ucap Prilly menawari Ali seraya menyiapkan bekal untuk Kiran.

"Nanti aja Bun, pulang dari antar Kiran," jawab Ali menyeruput tehnya pelan-pelan.

"Ya udah, ayo Sayang habiskan susunya," titah Prilly setelah menyiapkan dan memasukkan bekal Kiran ke tas sekolah putri kecilnya itu.

Usai menemani Kiran sarapan, Ali dan Prilly mengantar Kiran ke sekolah. Disepanjang jalan Kiran selalu menceritakan semua kejadian saat Ali tak ada di rumah. Mulai dia bangun tidur hingga dia kembali tertidur lagi. Gelak tawa Ali menguasai ruang mobil saat mendengar cerita dan aduan polos khas anak kecil seusia Kiran. Prilly yang duduk memangku Kiran sesekali ikut tertawa kecil dan mencium gemas pipi chubby putrinya itu.

##########

Aaaaaaah, Kiraaaaaan, bikin gemes deh. Aku nggak tahu, sejauh ini apakah cerita ini masih terasa feel-nya atau nggak? Bagaimana menurut kalian?

Terima kasih yang mau sabar menunggu ya? Makasih juga yang sudah kasih vote dan komennya.😊🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top