dua belas
Prilly sedang merias diri di depan cermin. Mengenakan hijabnya, karena dia hari ini akan menghadiri acara arisan para istri pilot dan istri pegawai kantor. Prilly mengikuti hanya sekedar ingin bersosial agar terkesan membaur dengan teman seperjuangan sepertinya.
Tin!
Suara klakson mobil sudah terdengar di pelataran rumahnya. Prilly hanya tersenyum. Ia segera memasukkan barang keperluannya di dalam tas jinjingnya.
"Mbak Bie, aku mau arisan dulu. Nanti buat buka puasa, Mbak Bie masak sendiri aja. Mungkin aku buka puasa di luar, ya?" kata Prilly lembut dan sopan saat melihat Ebie sedang bersantai menonton televisi.
"Okey Non, Ebie antar sampai depan." Ebie beranjak dari duduknya lalu mengantar Prilly sampai di pelataran.
Nissa sudah menunggu di dalam mobil, dia hanya tersenyum ramah menyapa Ebie. Lalu Prilly segera masuk ke dalam mobil, Nissa pun segera melajukan mobilnya keluar dari pelataran rumah. Prilly melihat kondisi Nissa yang memang sedang mengandung selisih dua bulan dengannya.
"Dek, kenapa nggak suruh antar supir aja sih?" tanya Prilly merasa cemas karena Nissa ke mana - mana selalu menyetir sendiri.
"Memangnya kenapa Kak? Udah biasa ke mana - mana sendiri," jawab Nissa tak acuh, tetap fokus memperhatikan jalanan.
"Tapi, usia kandungan kamu semakin besar. Nggak takut terjadi sesuatu?" tegur Prilly yang berniat mengingatkan sahabat baiknya.
"Kak, kalau dimanja anak kita nanti ikutan manja. Kita ini istri pilot yang tidak setiap saat ditungguin suami seperti istri - istri yang lainnya. Harus tahan banting dan kebal dengan serangan mulut - mulut berbisa yang bisa saja mengancam ketenangan rumah tangga kita," sahut Nissa yang memang pada dasarnya sifatnya cuek.
"Kamu tuh Dek, jagoan! Tius nggak melarang kamu buat ini itu?" tanya Prilly yang melihat Nissa selalu nyaman melakukan semua keinginan sesuai yang dia mau.
"Ada kalanya melarang sih Kak, tapi kalau hal itu membuatku nyaman dan tidak merugikan orang lain, kenapa harus dia larang. Aku melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang aku inginkan tanpa merugikan orang lain. Kalau orang lain nggak suka ama yang aku lakukan, itu urusan mereka. Emang aku hidup numpang sama mereka?" ujar Nissa membuat Prilly tertawa renyah.
Beginilah persahabatan mereka, Prilly yang kalem dan lemah lembut dipertemukan dengan seorang sahabat yang jauh berbanding terbalik dengan sifatnya. Namun justru perbedaan itu yang membuat mereka merasa saling melengkapi. Nissa yang bersifat acuh tak acuh dan melakukan sesuatu sesuka hatinya, Prilly lah orang pertama yang selalu mengingatkan dan mengendalikan kebiasaannya yang kurang baik. Kala Prilly terhina, Nissa lah orang yang pertama membela dan melindungi Prilly.
"Terserah kamu Dek, yang penting jangan melampaui batas norma agama dan ingat ya, jaga nama baik suami," wanti - wanti Prilly yang tak pernah bosan mengingatkan Nissa.
"Siap Kakak, aku selalu ingat itu. Martabat dan nama baik suami selalu terjaga," sahut Nissa meyakinkan.
Prilly percaya bahwa Nissa tak akan melakukan tindakan yang akan merugikannya dan membuat suaminya malu. Karena Prilly tahu Nissa adalah wanita yang memiliki pendidikan tinggi dan mengutamakan harga diri dan martabat keluarganya. Jadi dia tak akan was - was jika sahabatnya itu akan melakukan hal yang tidak - tidak.
"Kak, kadang aku risih deh kalau ada istri pilot lain yang kemenyek, manja, dan sok - sokan pamer harta. Mereka itu bodoh apa emang nggak ngerti kalau suaminya bisa sewaktu - waktu jadi pengangguran," kata Nissa membayangkan teman arisannya yang sering melakukan hal itu.
"Sudahlah, jangan urusi hidup mereka. Kalau nggak suka diam saja dan hindari. Yang penting niat kita ikut arisan mereka itu, hanya untuk bersosial, bukan ajang pamer harta. Harta itu titipan Allah, yang harus kita pergunakan sebaik - baiknya. Bukan untuk dipamerkan," jelas Prilly tak ingin jika Nissa mengotori hatinya dengan rasa dengki.
"Aku sih nggak iri mau pun dengki Kak. Cuma apa mereka nggak mikirin pekerjaan dan keselamatan suaminya? Kerja menjadi pilot itu nggak mudah Kak. Profesi mereka itu menentang kodrat," jelas Nissa membuat pikiran Prilly menjadi tak tenang.
Nissa menatap wajah Prilly yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
"Aku salah bicara ya Kak?" tanya Nissa takut jika menyinggung perasaan Prilly.
"Nggak kok Dek. Kakak cuma kepikiran Kak Ali. Hari ini Kak Ali belum telepon Kakak. Dari ucapanmu tadi Kakak jadi kepikiran dia," seru Prilly sambil menerawang mencemaskan keadaan suaminya yang entah kini posisinya berada di mana.
"Kak, tenang aja. Berdoa itu jurus ampuh buat kita, biar suami kita yang sedang melayang di atas awan bisa selamat mendaratkan burung besinya. Udah ah, jangan dibahas lagi. Aku jadi ikut pikiran," ujar Nissa mencebikkan bibirnya membuat Prilly terkekeh.
"Siapa suruh menyinggung hal yang buat pikiran nggak tenang," ujar Prilly melirik Nissa sekilas.
"Yaelah, emang kerjaan suami kita begitu. Makanya kita sebagai istri kudu bersyukur, karena sudah dimakmurkan suami kita yang bertaruh nyawa di angkasa. Jadi kangen oncomku sayang." Prilly tak dapat menahan tawanya jika Nissa sudah mengeluarkan jurus rindunya pada Tius.
Kadang kala jika rindu menghinggapi hati mereka, Nissa dan Prilly pun menghibur diri pergi ke bandara melihat berbagai maskapai penerbangan yang sedang take off dan landing. Melihat burung besi mendarat dengan selamat menjadi kebahagian tersendiri di hati keduanya. Meski di bandara tak akan menemui suami mereka, namun melihat burung besi dan situasi bandara tenang dan aman saja sudah membuat hati mereka ikut merasa tenang.
"Kita seperti orang gila ya Kak?" kata Nissa menghentikan tawa mereka yang menggelegar di dalam mobil.
"Emang kenapa?" tanya Prilly menatap Nissa heran.
"Menghibur diri sendiri padahal di dalam hati selalu mencemaskan keadaan Captain yang sedang entah di mana mereka sekarang. Tius nggak telepon aku dua hari ini. Cuma sms doang, kasih tahu kalau dia baik - baik aja dan posisinya di mana,"cerita Nissa yang kini mengeluarkan keluhannya.
"Udah ah, jangan dibahas lagi. Bikin makin kepikiran, jadi nggak tenang. Udah mau sampai nih kita," ujar Prilly agar mereka tak larut dalam situasi mencemaskan suami.
Nissa fokus menyetir hingga mereka sampai disebuah cafe ternama tempat arisan diadakan. Prilly dan Nissa pun turun lalu menghampiri teman satu nasib dengan mereka yang tak selalu ditunggui para suami.
"Nah, ini Nyonya Tius dan Nyonya Ali sudah datang," seru tuan rumah yang sebenarnya mendapat jatah tempat arisan namun ia mengadakannya di suatu cafe.
Nissa memasang senyum terpaksanya untuk menghargai yang lain. Dalam hatinya, dia sebenarnya tak suka dengan perkumpulan begitu. Prilly menyapa yang lain ramah. Banyak bisikan dan gunjingan yang selalu Nissa dan Prilly dengar. Dari pembicaraan suami teman yang berselingkuh dengan pramugari hingga memamerkan barang dan benda yang suami mereka belikan dari luar negeri.
"Kak, aku nggak betah di sini. Pulang yuk?" ajak Nissa berbisik pelan.
Belum sempat Prilly menjawab, seorang teman menarik tangan Nissa untuk ikut berkumpul di meja makan. Bukan makanan yang terdapat di atas meja, melainkan perhiasan dan berbagai benda berharga lainnya. Nissa memutar kedua bola matanya jengah, dia melirik Prilly yang mengulum bibirnya menahan tawa sambil membuang wajah ke arah lain.
"Nyonya Tius kemarin dibelikan apa sama suami? Nih, suami aku kemarin dari Korea, beliin cincin dan jam tangan limited edition," tanya seorang teman arisan membuat Prilly terkekeh melihat wajah jenuh dan tak nyaman milik Nissa.
"Wah, kalau saya tidak begitu suka dengan barang begitu. Daripada beli begituan, lebih baik mentahannya saja. Langsung deh masuk ke dalam rekening," sahut Nissa menanggapi dengan gurauan bersikap sok ramah dan mengimbangi kesombongan teman - teman sosialitanya.
Prilly menggelengkan kepalanya mendengar jawaban asal dari Nissa. Dia tetap diam dan memperhatikan kegiatan yang menurutnya tak begitu terlalu penting.
"Eh iya, kemarin suami saya pulang membawakan bunga loh. Duh, romantisnya. Malam - malam pulang kerja udah bawa bunga mawar merah," seru salah satu teman lainnya.
"Oh iya? Seneng dong? Kalau saya sih nggak butuh bunga mawar dan bunga yang mudah layu. Saya lebih suka bunga Bank," sahut Nissa asal membuat yang lain tertawa.
"Ih, Nyonya Tius bisa aja," tegur seorang teman menepuk bahu Nissa pelan.
"Lah! Emang bener kan? Kalau bunga mawar bisa layu dan cepet kering. Kalau bunga Bank malah bisa beranak dan makin banyak," ujar Nissa membuat Prilly terkekeh geli mendengar setiap jawaban asal yang terlontar begitu saja dari sahabatnya.
Candaan demi candaan terbangun diantara mereka. Hingga hari semakin senja. Prilly dan Nissa tak langsung pulang seperti teman - teman yang lainnya. Mereka ingin menikmati berbuka puasa berdua.
"Kapan ya Kak, kita bisa makan malam romantis sama suami kita?" tanya Nissa saat mereka sedang menunggu waktu berbuka puasa.
Prilly hanya tersenyum menanggapi ucapan Nissa tadi.
"Kenapa kamu berpikir sampai di situ? Kita sama - sama tahu dan memahami bagaimana tugas dan tanggung jawab suami kita. Mereka nggak akan bisa mengurusi hal yang remeh temeh seperti itu," ujar Prilly bijak memberi pengertian kepada Nissa.
Nissa hanya tersenyum kecil, benar apa yang dikatakan Prilly. Hanya di sebuah cerita dan film jika seorang pilot dapat memiliki waktu banyak untuk sekedar memanjakan keluarga. Namun kenyataannya, inilah yang terjadi. Mereka tidak seperti profesi kebanyakan, yang dengan seenaknya kita bisa meminta kelegaan hati mereka untuk terjun langsung, membantu pekerjaan rumah tangga. Saat seorang pilot pulang ke rumah, sebagai istri hanya dapat memberikan mereka waktu untuk melepaskan ketengangan. Sehebat apa pun pilot, tekanan saat take off dan landing tetap ada. Sebab keselamatan penerbangan dan terutama keselamatan penumpang ada di pundak mereka. Nissa menghela napas dalam lalu tersenyum kepada Prilly.
"Maaf Kak, itu hanya keinginan bodohku saja. Yang ingin merasakan makan malam romantis seperti kebanyakan pasangan lainnya," ucap Nissa ditanggapi senyuman manis dari Prilly.
"Sabar, suatu saat pasti bisa. Tapi, kalau suami kita punya niatan melakukannya," seru Prilly terkekeh sambil menutupi mulutnya.
"Iya, kalau mereka kepikiran seperti itu. Sepertinya sih nggak," sahut Nissa sambil mencebikkan bibirnya.
"Hey, ini realita kehidupan, bukan di film atau sebuah dongeng. Nikmati saja kenyataan hidup kita seperti ini. Sudah bersyukur kita bisa duduk di tempat ini menunggu sajian buka puasa," hibur Prilly agar Nissa dapat melupakan sejenak keinginannya.
Nissa tertawa renyah mengingat betapa banyak keinginannya yang tak dapat terwujud bersama sang suami. Tapi, dia mampu menahan dan menghempaskan semua keinginan itu jauh - jauh dari pikirannya. Hal yang terpenting baginya saat ini adalah, suaminya dapat pulang dengan keadaan sehat dan selamat. Itu sudah suatu nikmat yang luar biasa. Rasa syukur yang tiada tara.
Setelah melakukan buka puasa bersama, Nissa pun mengantar Prilly pulang ke rumahnya.
"Nggak mau mampir dulu?" tanya Prilly menawari Nissa sambil dia membuka pintu mobil.
"Udah malam, mau solat tarawih juga nanti. Kapan - kapan aja ya Kak?" tolak Nissa halus agar tak menyinggung perasaan Prilly.
"Ya sudah, langsung pulang ya? Hati - hati di jalan. Kalau udah sampai rumah hubungi Kakak," pesan Prilly sebelum ia keluar dari mobil.
"Siap kakakku yang bawel," sahut Nissa memberi hormat kepada Prilly.
Prilly tersenyum sangat manis sambil mengelus pipi Nissa lalu turun dari mobil. Prilly menunggu mobil Nissa hingga keluar dari pelataran rumahnya, baru ia masuk ke dalam rumah.
"Assalamualaikum," ucap Prilly saat dia sudah di dalam rumah.
"Waalaikumsalam," jawab Ebie menghampiri Prilly yang baru saja datang.
"Alhamdulillah, Non Prilly baik - baik aja kan?" tanya Ebie dapat bernapas lega.
"Memangnya ada apa sih, Mbak Bie? Kok nanyanya begitu sih?" ujar Prilly heran kepada Ebie sambil menghempaskan tubuhnya di sofa ruang keluarga.
Ebie tak menjawab, ia langsung mengambilkan air minum untuk Prilly.
"Ini Non, di minum dulu." Prilly menerima segelas air mineral dari Ebie lalu meminumnya.
"Makasih ya Mbak Bie," ucap Prilly setelah meminum dan meletakkan gelasnya di atas meja.
Prilly meluruskan otot - ototnya yang terasa kaku setelah seharian ini beraktivitas. Ebie melihat wajah lelah majikan, lalu memijit pelan kakinya yang menjuntai di lantai.
"Non," panggil Ebie pelan.
"Iya, Mbak Bie. Ada apa?" tanya Prilly memperhatikan Ebie yang masih memijat kakinya.
"Mmm, tadi ada orang dari kantor Pak Ali telepon," kata Ebie pelan seketika membuat perasaan Prilly tak tenang.
Prilly langsung menegakkan duduknya dan mendengar baik - baik penjelasan Ebie. Dadanya seketika nyeri dan rasa takut menjalar di sekujur tubuhnya. Dadanya sudah kembang kempis, bayangan masa lalunya seketika hadir. Prilly trauma mendengarkan kabar yang tak ingin dia dengar seperti dua tahun yang lalu.
"Apa katanya?" Prilly mencengkeram bahu Ebie erat dengan tangannya yang sudah gemetar dan tubuhnya yang tegang.
Ebie menunduk antara takut di tatap Prilly, karena dia menegang dan Ebie merasa gugup, jika kabar yang akan disampaikannya nanti akan membuat Prilly shock.
"Katakan Mbak Bie? Orang kantor bilang apa?" tanya Prilly tak sabar mengguncangkan tubuh Ebie yang juga sudah gemetaran.
"Mmm, itu Non, katanya pesawatnya yang Pak Ali bawa menyalakan tanda peringatan asap menyala. Katanya ada trouble engine," jelas Ebie seketika membuat jantung Prilly seperkian detik berhenti.
Tubuhnya lunglai lalu terjatuh di sofa, air matanya luluh lantang membayangkan bagaimana keadaan suaminya saat ini. Prilly menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan menangis hingga sesenggukan. Dadanya terasa nyeri dan rasa cemas menyebar lewat aliran darahnya hingga keseluruh tubuh.
###########
Captain Ali, begitu tega kah?
Kok aku jadi takut mau lanjut. Nanti kalian marah nggak aku lanjut?
Makasih yang udah vote dan komen.
Love you all.
Muuuuaaaahhhhh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top