6. Janji

Melihat ciuman tersebut, wanita yang mengaku sebagai ibu dari anak Alex pun pura-pura pingsan. Dengan perlahan ia merebahkan tubuhnya di atas karpet bulu di depan sofa yang diduduki Chrystell.

Chrystell spontan mendorong Alex dari hadapannya. Biarpun Alex adalah mas-mas hot CEO, tetap saja ia tak senang ciuman pertamanya dicuri begitu saja. Apalagi sama lelaki tukang atur dan seenaknya seperti ini. Hih!

"Pak Lex! Tuh, cewek Bapak pingsan," katanya sambil menunjuk wanita yang tergeletak lemah gemulai di bawah sana.

"Gue panggil sekuriti buat gotong dia keluar," sahut Alex tak berperasaan.

"Ih, nggak boleh gitu, dong, Pak! Misalnya dia nggak hamil anak Bapak pun, nggak boleh jahat gitu sama dia! Ayo bantuin angkat dia ke sofa," kata Chrystell sambil berusaha menopang punggung wanita itu.

"Lu aja sendiri. Lu kan kuat, toh?" kata Alex sambil kembali ke tempat duduknya di belakang meja kerjanya.

Chrystell menyandarkan punggung wanita itu ke lengannya yang kekar. Lalu berusaha menggendongnya ke atas sofa. Wanita itu sebenarnya merasa tidak nyaman, namun ia tetap memejamkan mata agar pingsan palsunya tidak ketahuan.

Chrystell meraba sesuatu di punggung wanita itu. Seperti velcro yang lepas. Ketika ia berhasil membaringkan wanita itu di atas sofa, tiba-tiba bantal berbentuk perut hamil jatuh ke atas karpet.

Ternyata wanita itu berbohong. Ia tidak hamil. Ia menyumpal busa ke bagian perutnya agar terlihat seperti wanita hamil.

"A-apa ini?" ujar Chrystell dengan mata terbelalak.

Spontan wanita itu bangkit berdiri dan mendorong Chrystell dengan kasar. "Dasar wanita murahan! Berani-beraninya kamu menyentuhku!"

"Sa-saya kan cuma mau nolong Mbak," sahut Chrystell lirih. "Pak Lex! Lihat ini!"

PLAK! Tamparan sang wanita mendarat di pipi sang office girl. Alex baru mengangkat kepala dari layar laptopnya.

"Heh! Juli! Apa yang kamu lakukan?" ujar Alex dengan suara seraknya. Kemudian matanya ikut-ikutan melotot seperti bola pingpong ketika ia melihat perut busa yang berada di atas karpetnya. "Kamu berbohong padaku? KELUAR KAMU DARI SINI! WANITA KURANG AJAR!"

Wanita itu -- yang bernama Juli -- buru-buru mengambil perut busanya dan berlari keluar dari kantor Alex.

"Lu nggak apa-apa, Es Teler?" tanya Alex kepada Chrystell yang masih duduk di atas karpet sambil memegangi pipinya. Perlahan CEO itu menurunkan tangan Chrystell. Pipinya terlihat seperti tomat karena bulat dan berwarna merah. "Astaga. Dasar bitch. Kompres pipimu biar nggak makin parah."

Alex membuka kulkas kecil di dekat meja kerjanya dan mengambil es, lalu membungkusnya dengan saputangannya. Ia menyerahkan bungkusan tersebut kepada Chrystell. Namun si office girl hanya menepis tangannya dengan kasar.

"Lu kenapa, sih, Es Teler? Kaya nggak pernah ditampar aja," kata Alex.

"Gue syok, Pak! Gue nggak mau terlibat di kehidupan penuh drama seperti ini! Gue udah simpati sama cewek itu... nggak tahunya dia penipu. Pokoknya gue nggak mau berurusan sama Bapak lagi! Kasih seratus juta gue, dan gue akan pergi," kata Chrystell.

"Tetap aja itu harus diobatin!" kata Alex, mengambil tangan Chrystell dan memaksa bungkusan es itu di tangannya.

Chrystell mengambilnya dan menempelkannya ke pipi tomatnya. "Udah, ya, Pak. Gue mau keluar dulu. Jangan lupa kirim seratus juta ke rekening gue. Oh, ya, semua barang-barang yang Bapak beliin bakal gue balikin."

Dengan kata-kata tersebut ia keluar dari ruangan Alex dan menutup pintunya.

***

Ternyata Alex menepati janjinya.Beberapa hari kemudian, rekening Chrystell banjir nol. Ia langsung berjoget-joget kecil melihat delapan digit di rekeningnya. Ia memutuskan untuk pulang kampung sejenak dan beristirahat, sambil mempertimbangkan apakah ia perlu keluar dari perusahaan yang dipimpin CEO gila seperti Alex.

Ia tiba di halaman sebuah rumah kecil yang catnya pudar dan sedikit terkelupas. Rumah yang sangat dikenalnya karena ia lahir dan tumbuh besar di sana. Karena tak memiliki halaman belakang, jemuran pakaian terpaksa diletakkan di depan. Meskipun sedikit memalukan karena harus memajang pakaian dalam, namun ibunya lebih memilih malu daripada cucian tidak kering.

Chrystell menjejakkan kaki di atas teras dan mengetuk pintu kayu. Seorang perempuan separuh baya dengan daster dan rambut dikonde membukakan pintunya.

"Ibu! Kiki pulang!" ujar Chrystell sambil memeluk perempuan itu erat-erat.

Kiki memang nama panggilan Chrystell di rumahnya karena saat kecil ia tak dapat menyebut 'Chrystell.' Jadinya ia menyebut dirinya sendiri 'Kiki.'

"Kiki sayang!" balas ibunya. "Ayo masuk dulu! Udah makan, belum? Ibu masak daun singkong santan, nih."

"Asyik!" kata Chrystell. "Masakan Ibu paling enak sedunia."

Gadis itu pergi ke dapur dan membuka tudung saji. Sebakul nasi putih yang masih mengepul panas dan mangkok daun singkong berkuah santan.

"Eh, kok kamu pulang, sih? Sekarang kan belum libur? Bolos kerja, ya? Nanti gimana kalau dipecat?" tanya ibu Chrystell.

"Kiki dapat bonus, Bu. Kiki mau keluar aja dari perusahaan itu. Bosnya nggak becus, suka ngerjain Kiki. Kiki mau buka warung nasi goreng pete aja sama Ibu," adu Chrystell. "Kerja di kota aja kayanya keren, tapi Kiki diperlakukan kaya babu. Biaya hidupnya juga mahal."

"Kamu sendiri, toh, yang mau kerja di kota? Ibu, kan, maunya kamu kawin aja," ujar ibu Chrystell.

"Tapi Kiki belum siap kawin, Bu," kata Chrystell. "Lagian belum dapat jodoh juga."

"Jodoh, mah, gampang. Mbahmu punya teman. Katanya cucunya lelaki, belum nikah padahal usianya udah hampir 30. Trus beliau pengen jodohin cucunya dengan cucu Mbah, yaitu kamu."

"Siapa, Bu? Kiki kenal, nggak?"

Ibu Chrystell menggeleng. "Kemungkinan, sih, enggak. Dia udah lama tinggal di kota gitu. Siapa, ya, namanya. Ribet juga, Ibu sampe lupa."

"Mbok Inem! Mbok Inem! Ini budeku datang," panggil seorang tetangga dari luar rumah.

"Eh, Mbok Juminten! Ayo masuk dulu, kebetulan si Kiki lagi pulang, nih!" ujar ibu Chrystell.

Mbok Juminten adalah seorang wanita yang sebaya dengan ibu Chrystell. Ia datang ke rumah ditemani seorang wanita tua seusia nenek Chrystell. Meskipun rambutnya sudah putih dan tubuhnya sedikit bungkuk, ia masih sehat dan lincah. Wanita tua itu adalah bibi Mbok Juminten. Pakaiannya terlihat rapi dan berkelas meskipun tak terlalu mewah.

"Bude Tari! Kenalan dulu sama anakku, si Kiki," kata ibu Chrystell. "Ki! Jangan makan dulu. Ini ada yang mau ketemu sama kamu."

Chrystell memandang kedua perempuan tua itu dengan bingung. Ia kenal Mbok Juminten, teman ibunya, namun ia tak mengenal 'Bude Tari'.

"Ini, toh, anaknya? Cantik bener," kata nenek tersebut.

"Salam kenal, Mbah. Namaku Chrystell, panggil aja Kiki," ujar Chrystell sambil menyalim tangan Mbah Tari.

"Wah, aku suka gayamu, Cu. Kamu perempuan yang manis dan sopan," kata Mbah Tari. "Umur berapa Kiki?"

"Duapuluh satu tahun, Mbah."

"Mungkin ini terlalu mendadak, Ki. Tapi mendiang mbahmu dan Mbah Tari dulu bersahabat. Saking akrabnya, kami berencana menjodohkan anak-anak kami. Sayangnya anak mbahmu dan anak Mbah Tari perempuan semua. Jadinya kami mau menjodohkan cucu-cucu kami saja. Nah, kebetulan kamu cucu perempuan pertama mbahmu, mau dijodohkan dengan cucu lelaki pertama Mbah Tari. Kamu nggak apa-apa, kan, dijodohin?"

"Aku lihat orangnya dulu, Mbah Tari."

"Ah, sudahlah, kamu pasti suka padanya. Dia ganteng dan sukses. Soalnya anak Mbah Tari yang pertama menikah sama orang kaya di Jakarta. Blasteran lagi. Kalau nggak salah, besan Mbah Tari yang lelaki itu keturunan Inggris."

"Siapa namanya, Mbah Tari?"

"Ada huruf A-nya gitu. Siapa, ya? Ah, ya, Alex Acton!"

Chrystell pun pingsan mendengarnya.

.

.

.

Bersambung.

8 Juli 2017

#27 Humor


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top