3. One Night Stand

Chrystell menatap bayangan dirinya di cermin kamar mandi dengan kecewa. Alex benar, lingerie baby doll yang dikenakannya melar. Namun benar-benar terlihat aneh pada dirinya. Karena tubuhnya pendek, rok mini yang harusnya hanya sebatas pangkal paha jadi mencapai atas lutut. Sedangkan bagian pinggangnya mencetak bentuk perutnya yang sedikit berlipat -- meskipun tidak buncit, sih. Lengan atasnya terlihat jauh lebih putih daripada lengan bawahnya akibat terlalu sering tertutup pakaian. Lututnya terlihat hitam. Bagian dadanya -- jangan ditanya. Chrystell bahkan malu sendiri melihat penampilannya. Ia mengambil handuk dan melingkarkannya ke sekitar pundaknya.

"Es Teler! Cepet keluar! Gue kebelet, nih!" teriak Alex, melupakan formalitasnya menggunakan 'saya' dan 'kamu'. Ia menggedor-gedor pintu kamar mandi.

"Berisik!" balas Chrystell, membuka pintu kamar mandi dengan kasar.

Alex melongo melihat penampilan Chrystell. Tiba-tiba...

"BWAHAHAHAHA!" Tawanya menggelegar ke seluruh ruangan.

Kemarahan Chrystell memuncak sampai ke ubun-ubun. Ia meraih bantal dari atas tempat tidur Alex dan mulai menggebukinya.

"Apa-apaan ini, Es Teler!" protes Alex.

"Curang! Curang! Curang!" seru Chrystell sambil terus menggebuki Alex. "Kenapa dunia begitu nggak adil? Kenapa ada orang seperti Pak Tri yang kaya, berkedudukan tinggi, ganteng, dan badannya bagus? Lalu di sisi lain ada orang seperti saya yang miskin, kerjanya cuma jadi office girl, nggak cantik, nggak seksi pula?"

Alex berguling-guling di atas karpet sambil tertawa sementara Chrystell masih memukulinya dengan bantal.

"Hidup ini emang nggak adil, sayang," ujarnya. "Terima saja nasib lu itu."

Chrystell berhenti memukuli Alex dan membuka lemari pakaian pria itu.

"Heh, mau ngapain lu?"

"Cari baju lain," ujar Chrystell acuh tak acuh. Ia menemukan sebuah kaos berwarna abu-abu dan menariknya dari tumpukan. Kemudian ia kembali ke kamar mandi.

"Es Teler! Gue mau pakai kamar mandinya!"

"Bodo amat! Suruh siapa dari tadi bukannya ke kamar mandi malah ngetawain gue! Gue nggak akan keluar sampai satu jam!" Ternyata Chrystell jadi ikut-ikutan menyebut dirinya 'gue'.

Ia beranjak ke depan wastafel dan mulai mengeringkan rambutnya dengan handuk. BUAK! Begitu dilepas, rambutnya jadi keriting awut-awutan bagaikan rambut Tarzan. Namun ia tak peduli, toh, nanti juga disisir. Ia mengambil sisir yang tergeletak di atas wastafel dan mulai menyisir rambutnya. Matanya jelalatan memandangi wadah kosmetik yang tersusun rapi di atas wastafel.

Untung Pak Tri cowok kemayu, pikirnya. Jadi dia punya banyak kosmetik. Mungkin ada yang bisa kupakai. Krim wajah, mah, buat cewek cowok sama aja kali. Wong pipinya aja mulus kaya pantat bayi.

Ia melihat wadah kosmetik bergambar wajah pria yang mulus dengan tulisan shaving cream. Ia tak mengerti artinya. Yang penting ada tulisan cream-nya. Kemudian ia membuka tutup wadah tersebut dan melihat krim putih di dalamnya. Ia mencoleknya dengan jari telunjuknya dan mulai mengoleskannya ke pipinya.

Alex membuka pintu kamar mandi dengan santai. "Lu lupa, ya? Kamar mandi ini, kan, nggak ada kuncinya."

Kemudian ia memperhatikan penampilan Chrystell yang semakin lucu. Potongan kaos Alex yang harusnya jatuh di pundak malah jatuh di sikunya. Kaos itu pun terlalu panjang hingga melebihi lutut Chrystell.

"BWAHAHAHAHA!" Tawa menggelegar itu sekali lagi menggema ke seluruh kamar mandi. "Lu mau cukuran, Es Teler? Gue nggak tahu mana yang lebih lucu, lu memakai kaos gue atau memakai shaving cream gue."

"Hah? Cukuran? Ini kan krim muka," protes Chrystell.

"Iya, buat cukuran."

Chrystell buru-buru membilas wajahnya dengan air.

"Krim muke gue yang ini," ujar Alex, menunjukkan wadah kosmetik bertulisan night cream. "Pakai aja, siapa tahu ntar lu tumbuh jenggot."

Chrystell mendengus bagaikan kuda. Sambil mendelik kesal, ia menggelengkan kepalanya.

"Katanya kebelet. Dari tadi, kok, masih ngurusin gue?"

"Ya, lu keluar, gih. Keringin rambut dulu. Dryer gue ada di luar kamar, di sebelah mesin cuci," ujar Alex.

Chrystell heran, kenapa pengering rambut diletakkan di sebelah mesin cuci. Namun ia beranjak keluar dari kamar mandi dan mulai mencari alat tersebut.

Setelah mencari beberapa lama dan tidak menemukannya, ia pun berteriak, "Pak Tri! Kok nggak ada pengering rambutnya?"

Alex keluar dari kamarnya dan tertawa terbahak-bahak sekali lagi. "Dryer itu, tuh, maksudnya pengering pakaian. Hahaha... sekalian aja, tuh, masuk ke dalamnya biar kering."

"Garing," celetuk Chrystell.

"Apa?"

"Candaan Bapak garing. Nggak lucu sama sekali."

"APA?"

"Pak Tri garing... Pak Tri garing... Yeyeyeye..." nyanyi Chrystell sambil berjoget-joget di depan Alex. "Pak Tri kalah lucu sama gue... Yeyeyeye... Gue bisa bikin dia ketawa, tapi dia nggak bisa bikin gue ketawa... Yeyeyeye..."

"Stop! Jangan joget-joget di depanku! Kan gue sakit mata ngelihat lu joget."

"Emang gue pikirin... emang gue pikirin... Yeyeyeye..."

"STOP!"

Chrystell akhirnya berhenti joget. "Pak, gue laper. Beliin makanan, dong."

"Enak aja. Mana ada CEO beliin office girl makanan. Kebalik kali. Hahahaha."

"Ya udah, gue beli sendiri... tapi jangan ngarep gue balik, ya."

Langkah Alex terhenti. Benar juga. Kalau dia dibiarkan pergi, gagal, dong, gue menghukum dia?

"Baiklah, gue beliin. Tapi gue yang milih!"

"Oke, Pak. Gue mah suka makanan apa aja."

***

Alex menatap Chrystell dengan tak percaya. Ia membelikan gadis itu tumis daun pepaya yang sangat pahit dengan sambal terasi ekstra pedas. Ia sangat tak menyukai makanan tersebut. Yang terjadi, Chrystell menyantap makanan pembeliannya dengan lahap.

"Enak banget, makasih, ya, Pak!" ujarnya di sela-sela makan. "Sambalnya apa lagi... mantap banget! Selera CEO emang nggak usah diragukan, ya, Pak Tri!"

"Sama-sama," jawab Alex kaku. "Oya, jangan panggil gue 'Pak Tri', dong! Nggak ngerasa itu gue."

"Huuu... tapi gue manggil 'Pak Tri' berkali-kali nyahut, tuh! Eh, gue bilang gue 'gue' gapapa, kan?"

"Gue gue apaan?"

"Maksudnya, saya menyebut diri saya sendiri dengan sebutan 'gue', itu gapapa, kan, buat Bapak?"

"Gapapa, kok."

"Terus kalau Bapak nggak mau dipanggil Pak Tri, maunya dipanggil apa? Tjintakuwh sayang?"

"Jijik!" ujar Alex bergidik. "Panggil Alex aja."

Chrystell berpikir sambil sibuk mengunyah. "Hm, gue jadi keingat Young Lex."

Alex menyerah. "Ampun dah! Masa gue disama-samain sama orang sinting macam itu?"

Chrystell hanya tersenyum kecil sambil mengangkat satu alisnya. "Emangnya Bapak kurang sinting?"

"Udah, ah! Diem lu. Gue nggak mau ngobrol sama lu lagi. Mau ngomong sama cewek gue."

"Yang keberapa, Pak? Yang paling cuantik en sekseh, ya?"

"Nggak usah ikut campur lu!" gerutu Alex. Ia beranjak dari tempat duduknya di meja makan dan masuk ke kamar tidurnya.

"Oya, Pak Lex tidurnya jam berapa?"

"Emang kenapa?"

"Biar gue bisa tidur dulu sebelum berdiri semalaman!"

"Gue pokoknya tidur kalau gue mau tidur!"

Bodo, lah, pikir Chrystell. Pokoknya gue tidur dulu aja, ntar juga dia bakal bangunin gue kalau dia beneran nyuruh gue berdiri. Kemudian ia menghubungi teman kosannya bahwa ia sedang menginap di rumah teman, jadi tidak pulang malam itu.

***

"Bangun! Siapa yang ngijinin lu tidur?"

Chrystell membuka matanya dan mengelap pipinya yang sedikit basah. Samar-samar ia melihat wajah tampan Alex. Ini pasti cuma mimpi, pikirnya. Sepertinya gue kebanyakan baca Wattpad sampe ngimpi ketemu cogan.

"Hah, ini bukan mimpi?"

"Bukan! Sekarang udah waktunya hukuman lu. Masuk ke kamar!"

Dengan mata setengah terpejam Chrystell berjalan ke kamar Alex. Di meja yang terletak di sudut kamar, terdapat sebuah kamera CCTV yang berbentuk kubah. Biasanya kamera tersebut dipasang di langit-langit ruangan, namun karena Alex ingin menggunakannya hanya pada malam itu di kamarnya, ia meletakkannya di meja.

"Gambarnya nggak jadi terbalik, nih, Pak Lex?" ujar Chrystell.

"Yang penting masih bisa ngerekam," jawab Alex. "Berdiri di sana!" Ia menunjuk titik di atas karpet bulu di depan tempat tidurnya.

Karena masih mengantuk, Chrystell tak banyak protes. Ia berdiri di atas karpet bulu itu dengan mata terpejam.

"Merem boleh, kan, Pak?"

"Boleh, yang penting berdiri."

Kemudian Alex merangkak naik ke tempat tidurnya dan mematikan lampu kamar. Ia menarik selimutnya ke atas dadanya dan memejamkan mata.

"Selamat tidur, Pak Lex!"

Alex tak menjawab.

"Sambala sambala bala sambalado..." Tiba-tiba Chrystell menyanyikan lagu dangdut sambil berjoget di tempat. "Terasa pedas... terasa panas..."

"ES TELER!"

Chrystell diam.

Tiga menit kemudian. "Sambala sambala bala sambalado... mulut bergetar... lidah bergoyang..."

"ES TELER! Bisa diam nggak!"

"Pak Lex, kan, cuma bilang aku suruh berdiri semalaman. Nggak bilang aku nggak boleh nyanyi."

"Nggak boleh nyanyi, OKE???"

"Oke oce... oke oce... salah aku apa... kamu tuh nyakitin..." Chrystell menyanyikan lagu dangdut lainnya.

Alex menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sepertinya one night stand kali ini berubah menjadi one night I can't stand you, pikirnya.

.

.

.

Bersambung.

Please vote and comment too! :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top