20. Berjuang!
Eh, ikutan si Valdo promosi dong. Follow Instagram-ku @_valloria ya. Haha. XD
Bab terakhir (ngapain sih diingetin terus) :P Banyak dialog. Dari dulu cerita ini kan juga isinya dialog doang. 2900++ kata. Wow. Such words. #dogememe
.
.
.
Chrystell menatap Alex tak percaya. Dua tahun tak bertemu, Alex terlihat makin tampan meskipun penampilannya awut-awutan layaknya Tarzan -- untunglah Alex mengenakan pakaian lengkap. Secara fisik, ia benar-benar berbeda. Entahlah secara mental dan emosi, apakah masih sama?
Mata Chrystell melirik ke jam dinding. Limabelas menit menjelang tutup. Namun ia tak tega mengusir Alex. Maka ia bangkit berdiri dan mengambil buku menu.
"Silakan duduk, Pak," ujarnya sambil membawa Alex ke salah satu meja makan persegi dengan dua buah kursi yang saling berhadapan.
Mantan CEO itu mengikuti Chrystell tanpa berkata apa-apa. Ia masih bergeming ketika Chrystell meletakkan buku menu di hadapannya dan berdiri di sebelahnya, menunggu pesanan.
Alex tak membuka buku menu sama sekali. "Nasi goreng pete dan es teler."
Chrystell hanya mesem-mesem sedikit mengingat julukan lamanya yang tak pernah didengarnya lagi selama dua tahun. "Baik, tunggu sebentar, ya, Pak."
"Chrystell," panggil Alex sebelum gadis itu beranjak dari hadapannya, "abis ngasih tahu pesananku ke dapur, bisa, kan, temenin aku sebentar? Lagian, kan, udah sepi."
"Oke." Chrystell mengangguk. Hm, udah nggak manggil aku Es Teler. Apa ini pertanda dia sudah berubah?
Seusai perkataannya, Chrystell kembali ke meja setelah menyampaikan pesanan Alex ke juru masak yang setengah mengomel karena harus mengolah makanan kembali, padahal ia sudah mau pulang. Chrystell duduk di hadapan Alex dan melipat tangannya di atas meja, menunggu mantan suaminya itu berbicara.
"Apa kabar, Tel?" ucap Alex.
"Baik. Bapak sendiri gimana?"
"Merasa seperti Bruce Wayne di film Batman Begins sehabis bertapa di Bhutan," ujar Alex, setengah sarkas. "Anyway, let's say aku masih hidup."
Chrystell tersenyum, sedikit canggung. "Berarti Bapak sekarang jago berkelahi, dong," ledeknya.
Alex menggulung lengan bajunya dan menunjukkan lengannya yang berurat. Lalu mengangkat bahunya. "Mungkin. Siapa tahu. Anyway, selamat, ya, Tel. Kamu berhasil mencapai impianmu."
Chrystell mengalihkan pandangannya. "Ah, makasih, Pak. Berkat bantuan banyak orang, bukan aku sendiri."
Sunyi kembali. Chrystell dan Alex masih merasa canggung. Mereka tetap diam hingga koki mengantarkan nasi goreng pete dan es teler ke meja Alex. Alex mengucapkan terima kasih kepada koki dan mengambil sendok, mulai menyantap hidangannya.
"Kenapa Bapak tiba-tiba kemari?" tanya Chrystell, memecahkan keheningan.
"Laper," ujar Alex singkat.
"Yang bener? Jauh-jauh amat nyari restoran sampe ke Tegal? Pasti nyari aku, kan?"
Alex masih terus mengunyah. Tigapuluh detik sampai ia menelan makanannya. "Aku nggak ke Jakarta dulu. Dari Balikpapan ke Semarang, terus kemari."
"Oya? Kenapa?"
"Abis Papa bilang aku nggak boleh pulang ke Jakarta sampai hukumanku selesai. Ya udah, sekalian aja aku nggak pulang," ujar Alex.
Chrystell tertawa. "Kasihan amat, Pak. Emang berapa lama hukumannya?"
Alex mengangkat bahu. "Nggak tahu, sampai Papa izinin aku pulang, kali."
"Pak Alex ..." "Chrystell ..." Mereka berucap bersamaan.
"Kamu dulu," kata Alex. "Oya, jangan panggil aku 'Pak'. Panggil 'Alex' atau 'Mas' aja. Aku kan udah bukan atasanmu."
Chrystell mengangkat satu alisnya dan menyengir. "Lex aja, deh," ujarnya. "Jadi bener, kamu dikirim ke tambang dan nggak diperlakukan istimewa?"
"Yah, kamu pikir, aku jadi kaya begini gara-gara apa?" Alex tertawa pahit sambil menunjuk rambut dan jenggotnya.
"Cukur dulu, kan, bisa, sebelum kemari," cibir Chrystell.
"Nggak mau. Aku mau pamer penampilanku yang baru."
Chrystell terbahak. "Iya, iya, kegantengan Bapak, eh, Lex, tetap haqiqi. Puas?"
Alex mengangkat kepalanya dan menatap Chrystell sesaat. "Jadi menurutmu aku ganteng, Tel?"
"Aku nggak buta, Lex. Semua orang juga pasti ngaku kalau kamu ganteng. Tapi ..." Chrystell berhenti sejenak. Tapi nggak berarti aku suka sama kamu, kan?
"Tapi apa?"
"Nggak jadi," ujar Chrystell.
"Gini, sih, Tel. Aku kemari salah satunya mau menebus kesalahanku. Aku tahu, biarpun aku nggak sejahat CEO-CEO di Wattpad yang sering dibaca Mbah Tari, aku dulu bersikap kasar ke kamu. Aku benar-benar seenaknya. Aku mau minta maaf dan lakuin apa aja yang kamu suruh."
"Eh, Mbah Tari baca Wattpad? Seriusan?" Chrystell malah salah fokus.
"Ya, Mbah bilang ke aku kalau cerita-cerita itu sangat menyesatkan. Aku nggak boleh jadi cowok brengsek seperti itu."
Chrystell tertawa lagi. "Mbah, Mbah. Ada-ada aja nenekmu itu."
"Mereka masih menemuimu?"
Chrystell mengangguk. "Beberapa kali, ibumu dan Mbah Tari dateng kemari, kok."
Alex mengangguk. Hening kembali. Ia melanjutkan makannya hingga habis. Lalu mendorong piringnya dan mengambil gelas es telernya.
"Biar aku bawa ke dapur," kata Chrystell, menjulurkan tangannya untuk meraih piring kosong Alex.
"Nggak usah. Nanti aja. Ada lagi yang masih mau kubicarakan," ujar Alex.
"Hm?" Chrystell menunggu.
"Aku mau jujur ke kamu. Sebenarnya waktu itu ..." Alex berhenti sejenak dan mengaduk-aduk esnya agar larut dengan air. "Aku suka sama kamu, Tel."
Mulut Chrystell menganga. Namun hanya dua detik. Sesaat kemudian ia mengatupkan bibirnya dan memandang ke meja.
"Aku ... aku bodoh sekali, Tel. Aku malah menyangkalnya dan menipumu. Waktu aku marah di kantor saat itu, aku memang cemburu. Tapi aku seharusnya nggak bersikap seperti itu, Tel. Aku ngerti sekarang. Aku salah."
Chrystell mengangguk-angguk. Namun ia membiarkan Alex menyelesaikan kata-katanya.
"Jadi ... aku kemari ... mau minta kesempatan kedua sama kamu. Mungkin aku nggak layak mendapatkannya, tapi aku mau berusaha. Daripada menyesal karena nggak pernah coba sama sekali." Alex mengakhiri monolognya.
Chrystell menopang dagunya dengan kedua tangannya. Lalu memandang Alex dengan iba. Memasang ekspresi prihatin bercampur sok imut. "Aduh, aku baper banget, Mas. Unch unch kya kya!" ujarnya. "Mas bikin aku klepek-klepek, deh."
"Beneran?" Mata Alex sedikit berbinar.
Chrystell tertawa. "Nah! Kamu kalah taruhan! Ayo joget dangdut!"
"Demi apa, Es ... Chrystell?"
Chrystell mengibaskan rambutnya. "Kan, kalau kamu suka sama aku, kamu harus joget dangdut. Belum kucabut, loh, taruhannya."
Alex mendengus. Sudah menahan malu karena harus mengakui kesalahannya dan perasaan sukanya, malah ditertawai dan disuruh joget dangdut.
"Oke! Oke! Asal jogetnya cuma kamu yang tonton."
"Nggak mau. Jogetnya di depan sini, jam makan siang besok," kata Chrystell sambil menunjuk sebelah kasir di mana semua mata pengunjung dapat tertuju padanya.
"Chrystell ... ayolah ... kamu nggak kasihan sama aku?"
"Kenapa aku harus kasihan? Kamu aja, nggak pernah kasihan sama aku waktu ngata-ngatain aku dan ngejekin aku." Chrystell menjulurkan lidahnya.
"Jadi kamu masih dendam," gumam Alex.
Chrystell tertawa terpingkal-pingkal hingga air matanya nyaris keluar. "Nggak, lah, Lex. Aku akan tunjukin kalau aku lebih keren dari kamu karena aku nggak pendendam. Joget sekarang juga boleh. Cuma ada kita berdua, nih."
"Abis makan," janji Alex. "Lalu gimana dengan kesempatan itu? Apakah ... kamu mau ngasih?"
Chrystell melipat tangannya dan berpikir. "Gimana aku bisa yakin kalau kamu udah berubah? Bahwa ini semua jujur dan bukan cuma mulut manismu?"
Alex mengangkat bahu. "Aku jujur, Tel. Terserah kamu mau percaya atau enggak."
"Terus, selama dua tahun ini, aku juga banyak belajar dan merenung. Kamu bilang suka sama aku. Mungkin kamu jujur. Tapi kamu yakin kalau kita bakal jadi pasangan yang cocok? Ngomong suka, sih, gampang -- maksudnya, nggak gampang sih, tapi masih lebih gampang daripada menjalin hubungan. Karena hubungan yang baik itu nggak cuma dilandasi rasa cinta. Tapi saling hormat, saling menghargai, saling percaya, dan saling toleransi. Kalau kamu bahkan nggak tahan tinggal di kota kecil seperti Tegal, cuma mau di Jakarta, gimana kita bisa menjalin hubungan?"
Alex tercengang. "Udah pinter sekarang, lu, Tel."
"Berarti dulu kamu anggap aku bodoh, kan? Gitu namanya suka?"
"Iya, iya, ampun. Aku berubah. Cuma masih susah ngilangin kebiasaan lama."
"Nah, itu. Satu lagi. Kebiasaanmu yang dibangun selama duapuluh tujuh tahun, memangnya bisa hilang begitu saja dalam dua tahun? Aku harus lihat dulu kalau kamu beneran berubah."
"Tapi ... kamu mau ngasih kesempatan itu?" Mata Alex penuh harap.
Chrystell menarik napas. "Lex, prioritasku sekarang bukan hubungan percintaan. Aku masih mau nerusin kuliah dan kembangin usahaku. Aku udah bahagia, kok, sekarang. Belum lagi mau nyari cowok."
"Aku akan menunggumu, Tel. Kecuali kamu bilang sekarang, nggak ada kesempatan itu lagi untukku."
Chrystell berpikir sejenak. Jeda beberapa saat sebelum ia kembali angkat bicara. "Biar kupikirkan dulu masak-masak, Lex." Ia bangkit berdiri dan mengambil piring dan gelas Alex yang sudah kosong. "Udah mau tutup, maaf, ya, aku harus segera pulang."
"Besok aku datang lagi," janji Alex.
"Jangan lupa! Kamu masih utang joget dangdut di depanku!" seru Chrystell sebelum masuk ke dapur.
***
Alex menepati janjinya. Keesokan harinya, ia kembali datang ke restoran Chrystell pagi-pagi benar, sebelum buka. Ia bertemu dengan beberapa pegawai lainnya, termasuk adik Chrystell, Cindy, yang lagi-lagi membawa Indah. Ia juga berpapasan dengan Randu, yang mengunjungi restoran itu setiap hari meskipun Chrystell sedang tak butuh pasokan telur asin.
Randu melongo melihat Alex yang sudah berpakaian rapi. Ia masih ingat wajah mantan bosnya yang dulu melotot sambil berteriak-teriak ke arahnya. Ia melirik Chrystell cemas, kalau-kalau ada niat jahat yang ingin dilakukan lelaki ini.
"Chrystell, kenapa dia bisa ada di sini?" bisik Randu.
"Dia utang joget dangdut sama aku," jawab Chrystell.
"Apa?"
"Tenang aja, Ndu. Dia nggak bakal ngacau, kok. Kalau ngacau, tinggal kuusir," sahut Chrystell enteng.
Alex menarik napas dalam-dalam. Mengumpulkan niatnya. Lalu berjalan mendatangi Randu. "Mas, saya ingin bicara dengan Anda."
Randu terkejut. "Saya? Bukan Chrystell?"
"Iya," Alex meyakinkan.
Randu memimpin jalan menuju halaman belakang restoran. Mereka berdiri di atas tanah yang dilapisi batako, di antara pot-pot tanaman yang dijadikan bahan masakan seperti jeruk nipis, cabai, dan daun salam.
Randu berdiri sambil melipat tangannya. Menunggu Alex mengatakan sesuatu.
Semoga dia nggak ngajak berantem. Badan gede gitu, aku bisa penyek, pikirnya.
"Mas, saya lupa namanya, tapi saya ingin minta maaf." Alex membuka suara.
"Randu, Pak."
Alex mengangguk. "Seharusnya saya nggak sewenang-wenang memecat Mas waktu itu. Saya terbawa emosi. Saya khilaf."
"Saya maafkan," sahut Randu datar. "Mungkin ... seharusnya saya juga nggak ngajak Chrystell ke ruang janitor waktu itu."
"Yang lalu biarlah berlalu," ujar Alex sambil mengulurkan tangannya kepada Randu. Randu menyambutnya dengan enggan. "Tapi saya ingin menebus kesalahan saya. Anda jadi kehilangan pekerjaan gara-gara saya."
Randu menyengir. "Sebenarnya, saya memang mau mengundurkan diri. Saya nggak bilang dipecat itu enak, tapi paling nggak, saya dapet pesangon." Ia tertawa kecil.
"Anda begitu baik, saya jadi nggak enak," tutur Alex. "Pasti ada yang bisa saya lakukan untuk membuktikan penyesalan saya."
Randu mengangkat bahu. "Beli aja telur asin saya, Pak."
"Baiklah," ujar Alex. Ia terdiam sejenak dan memandangi Randu. Lelaki ini cukup tampan meskipun tidak se-haqiqi ketampanannya. "Mas Randu ... Anda ... pernah suka pada Chrystell, kan?"
"Hei, itu urusan saya, Pak. Bapak nggak perlu ikut campur."
"Maaf," ujar Alex. "Saya cuma mau bilang, saya datang kemari untuk memenangkan Chrystell kembali. Tapi kalau di hatinya cuma ada Mas Randu, saya akan mengundurkan diri."
Randu menepuk bahu Alex. "Bilanglah langsung pada Chrystell. Nggak usah bilang ke saya."
Hati Alex melonjak girang. Ingin rasanya ia melompat kesenangan. Tunggu. Chrystell belum menyukainya balik. Masih ada perjuangan untuk memenangkan hati gadis itu. Namun setidaknya ia lega, Randu bukanlah saingannya.
"Makasih, Mas Randu."
Randu hanya mengangguk. "Saya permisi dulu, Pak."
***
Cindy menatap Alex yang duduk di meja di sudut restoran dengan curiga. Lelaki itu tak memesan apa-apa, namun juga tak pergi dari tempat itu. Ia mendatangi kakaknya yang duduk di meja kasir seperti biasanya.
"Mbak, kenapa mantan suami Mbak masih datang kemari? Dia mau apa?" tanya Cindy.
"Dia utang sama aku, Dek. Mungkin dia mau bayar utang," sahut Chrystell.
Cindy mengernyitkan dahinya. "Tapi dia, kan, makan tempat, padahal bisa buat pelanggan lain. Mending Mbak suruh pindah ke mana, gitu."
"Kamu aja, Dek," ujar Chrystell malas.
"Nggak berani, Mbak. Takut digigit."
"Loh!" seru Chrystell heran. "Ya udah."
Ia memutar bola matanya malas dan beranjak mendatangi Alex.
"Lex, mau pesen apa? Kalau nggak, jangan duduk di sini, dong."
"Aku cuma mau nunggu kamu selesai kerja."
"Aku selesai kerja jam delapan, Lex. Nanti aja balik lagi kemari."
"Tega amat, sih, lu." Alex mengerucutkan bibirnya.
"Biarin. Masa ke Tegal nggak jalan-jalan? Lihat-lihat, lah. Atau kamu mau jadi penghibur di sini. Joget, noh, sana."
Alex menggelengkan kepalanya. "Ogah."
"Terus kamu maunya apa?" tanya Chrystell mulai tak sabar.
Kamu, pikir Alex.
"Aku mau ngobrol sama kamu, Tel. Limabelas menit aja, bisa?"
"Jangan neror aku terus, ah. Ntar aku lapor polisi, loh."
"Plis ... Chrystell," pinta Alex memelas.
"Ya udah," kata Chrystell, mengisyaratkan kepada Cindy agar menjaga kasir sejenak sementara ia mengurusi mantan suaminya yang kekanak-kanakkan ini.
Chrystell dan Alex berjalan-jalan di sepanjang trotoar, menyusuri pertokoan. Hari menjelang siang terasa panas, namun Alex mengabaikan sengatan matahari. Yang penting ia dapat menghabiskan waktu berdua dengan Chrystell.
"Tel, soal kesempatan itu ..."
"Lex, kubilang, jangan menerorku."
"Tunggu, Tel. Aku cuma mau bilang kalau kamu benar. Gimana kamu bisa percaya kalau aku udah berubah? Jadi aku mau ganti. Aku mau tunjukin kalau aku udah berubah. Kalau kamu nilai aku udah berubah, baru aku minta kesempatan itu. Gimana?"
"Kamu kaya Mas Valdo yang lagi nego aja," ledek Chrystell.
"Kumohon, aku serius, Tel."
"Sebenarnya ..." senyum Chrystell, "... aku punya ide buat kamu buktiin bahwa kamu udah berubah."
***
Chrystell mempekerjakan Alex sebagai pegawainya. Ia memberikan setelan seragam batik kepada Alex, seperti pelayan restoran lainnya. Restoran semakin ramai pengunjung karena warga sekitar penasaran dengan lelaki blasteran ganteng yang bekerja di Warung Nasi Goreng Mbak Kiki. Setiap hari, pemasukan Chrystell makin bertambah. Perempuan itu tersenyum puas menghitung uang yang semakin hari semakin banyak di kasnya.
"Kalau kamu bisa bertahan jadi pelayan tanpa menggerutu," ujar Chrystell, "aku yakin bahwa kamu udah berubah."
"Berapa lama, Tel?" tanya Alex.
Chrystell mengangkat bahu. "Sampe aku bilang cukup, atau sampe kamu nggak tahan dan undurin diri."
Alex mengingatkan dirinya untuk sabar. "Oke, Tel, aku setuju."
"Tapi, Lex," sela Chrystell, "aku nggak mau bersikap nggak adil sama kamu. Kalau di tengah jalan kamu ternyata nggak suka aku lagi, atau merasa nggak cocok, kamu boleh, kok, pergi. Aku nggak mengikatmu dengan janji apa-apa. Sekalian pembuktian buat dirimu sendiri, bahwa kamu benar-benar suka sama aku. Dan kamu juga nggak boleh melarangku kalau aku ternyata jatuh cinta sama cowok lain. Salah satu ukuran kedewasaan, yaitu bisa melepaskan orang yang disayangi pergi berbahagia dengan orang lain."
Alex menatap Chrystell heran. Mungkin saat ini ia belum sanggup seandainya melihat Chrystell bersama lelaki lain. Namun ia tak punya pilihan lain. Ia harus menerima syarat dari Chrystell. Setidaknya, ia dapat melihat Chrystell setiap hari.
"Aku akan berjuang, Tel," janjinya.
Ia harus rela melihat Randu yang senyum-senyum menahan geli setiap kali bertemu dengannya. Digodai ibu-ibu yang memesan makanan dengannya. Bahkan banyak pengunjung siswi SMA yang tak mau memesan jika tak dilayani Alex. Chrystell hanya tertawa setiap kali ia berjaga di belakang kasir.
Apalagi hari ini. Valdo, Renita dan suaminya, Bu Acton dan Mbah Tari datang berkunjung di hari yang sama. Ternyata mereka janjian untuk menonton Alex menjadi pelayan di restoran Chrystell. Valdo tertawa paling keras melihat Alex mengenakan seragam batik dan blangkon di kepalanya.
"Cie, mas-mas abdi dalem keraton, nih, ye," ledek Valdo.
"Diem atau gue kasih bubuk cabe di nasi goreng lu," gerutu Alex.
"Eits, nggak boleh ngomel, Lex!" peringat Chrystell dari meja kasirnya.
"Oh, iya." Alex memaksakan dirinya untuk tersenyum. "Mau pesan apa, Pak?"
Valdo masih terbahak. Disusul Renita dan Mbah Tari. Bu Acton menatap Alex sedikit prihatin, namun ia ikut tersenyum.
"Pesan hatimu, dong, Mas," goda Valdo lagi.
Alex mengepalkan tinjunya. "Maaf, yang itu nggak ada di buku menu."
"Iya, iya, deh, Lex. Nasi goreng pete aja."
"Sama semur jengkol!" ujar Mbah Tari mengacungkan jarinya.
Setelah mencatat pesanan mereka semua, Alex menyampaikannya pada koki dan melayani tamu lainnya. Sementara itu, Bu Acton mengajak Chrystell bergabung dengan mereka untuk mengobrol bersama.
"Gimana kabarmu, Kiki? Kapan wisuda?" tanya Mbah Tari.
"Masih dua tahun lagi, Mbah. Aku baru semester empat," ujar Chrysell.
"Apa itu semeter empat?" Mbah Tari mengernyitkan keningnya.
"Semester, Mbah. Maksudnya aku baru ... pokoknya aku masih dua tahun lagi baru lulus." Chrystell kebingungan menjelaskan arti kata semester pada Mbah Tari.
"Nah, gitu, dong, cucu Mbah. Keren, sekolah lagi. Jadi super woman, ya," ujar Mbah Tari yang lupa ia pernah mengatakan bahwa perempuan hanya perlu di dapur saja.
"Businesswoman, Mbah," ralat Chrystell.
"Yah, mantap, lah, emang, Chrystell ini," sahut Valdo. "Gimana, Tel? Udah pertimbangin tawaran gue? Mau buka cabang di Jakarta, nggak? Biar gue modalin."
"Aku belum sanggup, Mas Valdo. Nantilah, jangan terlalu buru-buru. Kalau aku udah lulus, mungkin aku bisa buka cabang di Jakarta. Biar Dek Cindy yang pegang cabang Tegal," jawab Chrystell.
Valdo mengangguk. "Minimal, tawaran gue buat kerja sama kartu kredit Gold Bank dengan restoran lu, dipertimbangin, dong."
"Lu ini kerjanya promo mulu, dah!" cibir Renita sambil memukul bahu Valdo dengan buku menu.
"Yeh, sekalian. Kartu kredit Gold Bank penggunanya udah tiga juta nasabah, loh."
"Paling di Jakarta doang," ledek Renita lagi.
"Emang banyakan di Jakarta, sih. Makanya, buruan buka cabang di Jakarta," bujuk Valdo.
Alex menatap keluarganya dan teman-temannya dengan perasaan bercampur aduk. Ia ingin bergabung dengan mereka, namun ia masih harus bekerja. Dalam hati, ia merasa bangga pada Chrystell. Bersyukur karena gadis itu baik-baik saja. Bahkan lebih baik daripada yang ia duga. Chrystell bertambah bijak dan pandai, namun tetap baik hati, pemaaf, dan penyayang. Ia menghela napas. Memang, jika menyadari dirinya yang dulu, ia tak pantas bersanding dengan Chrystell. Meskipun gadis itu miskin, semangat juang, cita-cita, dan ketulusan hatinya menjadikan dirinya pribadi yang sangat berharga.
Dia memang pantas diperjuangkan, pikir Alex.
"Lex!" panggil Chrystell tiba-tiba, membuyarkan lamunannya. "WC pria mampet. Tolong, dong, benerin!"
"Apa?"
.
.
.
TAMAT
(6 Februari 2018)
#30 Humor
.
.
Catatan penulis: Nggak ada epilog. Tapi ada akhir kata yang akan menjelaskan tentang bonus chapter (kira-kira 2-3 bab tambahan, tapi masih lama update-nya, dan bakal aku privat) dan rencana ending yang dulu.
Jujur, aku lebih suka ending yang sekarang. Gampang, sih, aku bikin Chrystell dan Alex balikan lagi. Trus hamil dan punya anak. Itu, kan, yang kalian ngarep? Segampang menjentikkan ujung jari. Tapi aku nggak mau memberikan pesan yang salah. Biarpun humor, aku tetap ingin kalian dapet pesan yang aku sampaikan.
Buat kalian, mungkin Alex 'kurang jahat'. Toh, banyak 'CEO-CEO' lain yang jahatnya udah nggak kira-kira, trus tinggal minta maaf dengan mudahnya dan diterima ceweknya balik? Sementara ceweknya tertindas, tapi sabarnya minta ampun, dan gampang maafin? Nah, di sini Chrystell memang maafin Alex. Tapi dia gak segampang itu nerima balik.
Buatku yang bukan penggemar bad boy, aku meringis setiap kali ngeliat cerita gituan. Masa aku bikin cerita yang sama? Idih amit-amit.
Tetap, nggak akan ada sekuel. Tapi mungkin ada tambahan cerita2 di Sketsa Harian.
Well, bacotnya segini dulu. Lebih lanjut dijelasin di Akhir Kata. Mohon dibaca, ya!
Terima kasih bagi pembaca yang setia sampai sejauh ini. Sampai ketemu di proyek selanjutnya. <3 <3 <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top