15. Drama
Lelaki tampan bernama Valdo itu melangkahkan kaki jenjangnya ke dalam kantor Alex dan menyalami tangan sang pemilik kantor yang memaksakan dirinya untuk bersikap profesional dan tersenyum.
"Kok lu udah datang, sih? Kata bokap gue baru jam setengah sebelas datang," ujar Alex.
"Kebetulan gue lagi di daerah Jakbar. Tadi juga nggak macet, jadinya bisa nyampe cepet," sahut Valdo sambil menyambut tangan Alex.
Chrystell masih memandangi kedua lelaki tinggi tersebut, merasa diri bagaikan kurcaci di antara raksasa. Meskipun Valdo tak setinggi Alex, ia juga mencapai 180 cm. Valdo menyadari perhatian Chrystell dan membalikkan tubuhnya.
"Oya, salam kenal, Bu ..."
"Chrystell," sahut Chrystell.
"Wah, namanya indah sekali," puji Valdo. "Nama saya Valdo, teman lama Alex, dan juga anak partner bisnis ayahnya. Senang bertemu Bu Chrystell."
"Saya juga," ringis Chrystell, masih merasa salah tingkah disapa pria berkelas ini.
"Bu Chrystell ini ... ?" Mata Valdo melirik ke Alex dengan penuh pertanyaan.
"Bini gue," sahut Alex ketus.
Chrystell menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Matanya terbelalak. Tanpa suara ia melotot ke arah Alex, protes mengapa harus langsung membuka hubungan mereka di hadapan orang baru dikenal ini. Namun Alex tak membalas tatapan Chrystell. Bahkan ia tersenyum puas seakan-akan menang -- dari apa, entahlah.
"Oh, jadi ini istri lu, Lex? Oya, bener, lu kan baru married. Selamat, ya!" komentar Valdo sambil menyalami Alex dan Chrystell bergantian.
"Makasih, Pak Valdo," ujar Chrystell tersipu.
"Ah, nggak usah formal-formal amat, Bu Chrystell. Panggil aja Valdo. Kan istri Alex, berarti temen saya juga," pinta Valdo.
"Kalau begitu panggil aku ..."
"Es Teler!" potong Alex.
Valdo menatap Alex heran. "Lu mau pesen es teler, Lex?"
Chrystell terbatuk-batuk. "Panggil aku Chrystell aja. Maaf, ya, Mas Alex emang rada sinting. Suka nyeletuk sendiri."
Valdo tertawa. Alex cemberut.
"Kalau gitu nanti siang kita pesen es teler, yuk. Udah lama gue nggak minum, di Jepang nggak ada soalnya," ujar Valdo.
"Boleh, boleh. Aku juga mau minum es teler lagi. Enak emang," sahut Chrystell, mengabaikan sang suami yang memelototinya.
"Ehem," Alex berdehem, "Sayang, tadi kamu mau keluar, kan? Biar Mas ngobrol sama Valdo dulu, ya."
Chrystell mengerutkan hidungnya geli mendengar nada Alex yang sok halus. Namun sang suami memelototinya sekali lagi, memaksanya keluar. Akhirnya Chrystell terpaksa menurut.
"Saya pamit dulu, ya, Mas Valdo. Ada urusan di luar," ucap Chrystell sambil cengengesan.
"Sampai ketemu nanti, Chrystell," balas Valdo sambil melambaikan tangannya lucu.
Chrysell keluar dari kantor Alex. Valdo masih memandangi punggung gadis itu sambil tersenyum sendiri.
"Istri lu lucu banget, Lex. Nemu di mana?"
"Heh, awas lu ngomong macam-macam. Dia bini gue," gerutu Alex.
"Selow, kali. Siapa yang pengen ngerebut dari elu? Gue lihatnya seneng aja, kelihatannya anaknya polos dan tulus, tuh. Jangan disakiti," pesan Valdo sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Udah, udah, sekarang kita bahas urusan bisnis aja. Jangan ngomongin bini gue."
Valdo masih tertawa kecil sebelum mengambil dokumen yang diserahkan Alex dan mulai membacanya.
***
Di luar kantor, Chrystell mulai melamun. Pemandangan kontras antara Alex dan Valdo mengganggu pikirannya. Kenapa Alex tak bisa bersikap baik padanya seperti Valdo? Minimal memperlakukannya dengan sopan santun. Alex, kalau bukan modus, pasti mengatainya. Perbuatannya pada Chrystell tak ada yang tulus.
Seharusnya lelaki sejati, kan, bersikap baik ke siapa saja. Bukan meremehkan orang seperti itu, pikir Chrystell.
"DOR!" tegur seseorang.
"Eh, copot, copot!" seru Chrystell latah.
Perempuan itu tertawa. Mina, rekan office girl-nya dulu.
"Eh, Mina!" sapa Chrystell sambil memeluknya erat. "Maaf, gue nggak ngasih kabar lama. Sibuk banget. Maaf, ya, Min. Gue nggak ngundang ke pernikahan gue juga. Gue nggak diijinin undang tamu, semuanya diatur Pak Acton dan Bu Acton."
Mina memiringkan bibirnya. "Gue ngerti. Padahal gue pengen lihat, sih, Tel. Tapi, ya, udah, mau gimana. Nasib nikah sama CEO." Lalu ia menepuk pundak Chrystell. "Gimana aksinya di ranjang? Hebat, pastinya!"
"Hush!" ujar Chrystell dengan wajah tersipu. Lalu celingukan ke sekitarnya. "Nggak enak kalau kedengeran."
"Ke ruangan kita aja, yuk. Maksudnya ruanganmu yang dulu."
Chrystell mengangguk dan mengikuti Mina ke ruang office girl di lantai bawah. Segera teman-teman lamanya menyerbunya dengan berbagai pertanyaan. Namun Chrystell tak keberatan menjawabnya. Tak seperti pegawai di lantai atas yang me-nyinyir-inya tadi pagi, teman-temannya tampak tulus berbahagia, meskipun tanpa malu mereka minta rezeki dari Chrystell.
"Iya, iya, gue pasti bantu kalian," cengir Chrystell. "Nih, ada sedikit oleh-oleh buat kalian semua."
Gadis itu membagikan suvenir dari perjalanannya di Eropa, berupa gantungan kunci, magnet kulkas, dan kaos-kaos. Semua berebut mengambil buah tangan tersebut sampai Chrystell harus melerai mereka dan menjamin bahwa hadiahnya cukup untuk semuanya.
Kecuali Randu. Office boy yang sempat adu panco dengannya dan membuat lengannya terkilir. Lelaki itu acuh tak acuh mendengarkan cerita Chrystell sambil mengelap jendela ruangan. Wajahnya tampak tak senang.
"Randu, lu kenapa? Lagi nggak enak badan?" sapa Chrystell.
Randu hanya menggelengkan kepalanya. Tangannya terus mengelap kaca.
"Ini ada sedikit oleh-oleh buat lu, Ndu," ujar Chrystell sambil menyodorkan kaos, gantungan kunci, dan kartu pos.
Randu melirik sejenak, lalu menolaknya pelan. "Nggak usah, Chrys, makasih."
Chrystell masih menatap Randu heran. Arum, mantan teman kosan Chrystell, buru-buru menariknya ke pojok ruangan.
"Udah, Chrys, biarin aja Randu. Dia jadi aneh sejak lu nikah," bisik Arum.
"Emang kenapa?" tanya Chrystell heran.
Arum menepuk dahinya. "Lu nggak tahu? Dia, kan, naksir elu."
Chrystell menutup mulutnya dengan tangan. "Gue ... gue ..."
"Udah, udah. Makasih, ya, oleh-olehnya. Sebaiknya lu balik ke atas, deh. Pasti laki lu nyariin," ujar Arum sambil mendorong Chrystell keluar dari ruangan.
***
Chrystell menyusuri lorong di lantai atas dengan langkah gontai. Ia tak menyangka Randu menyukainya. Selama ini ia menganggap Randu teman yang menyenangkan, namun tak lebih dari itu. Ia merasa kasihan pada Randu. Ia kembali bertanya pada hatinya. Apakah ia menyukai Alex? Apakah seharusnya ia memberikan kesempatan pada lelaki lain?
Udahlah, Tel. Lu udah nikah sama Alex, emang mau apa? Dicerain? pikir Chrystell. Kalau Alex cerain gue ... Ibu pasti marah. Terus duit buat keluargaku dihentikan.
Chrystell mengacak-acak rambutnya. Lalu menggoyang-goyangkan kakinya gelisah. Namun karena tak terbiasa mengenakan sepatu hak, kakinya terkilir.
"Aduh! Padahal cuma lima senti!" gerutu Chrystell sambil melepas sepatunya dan mencari tempat duduk terdekat dengan terpincang-pincang.
Sambil menghembuskan napas dengan mulutnya, ia mengurut pergelangan kakinya yang terkilir. Tiba-tiba seseorang menyodorkan kantong es ke dekat bahunya.
"Randu?"
"Nih, pakailah untuk mengompres kakimu," ujar sang office boy.
Lelaki itu menempatkan dirinya di sebelah Chrystell. Chrystell mengambil kantong es tersebut dan mengucapkan terima kasih, lalu menempelkan kantong es ke pergelangan kakinya.
"Mau aku urutin? Kita bisa ke ruang janitor," tawar Randu.
Chrystell ragu. Ruang janitor biasanya menjadi tempat berciuman versi drama Korea atau film Hollywood remaja. "Gue, em ..."
"Ayolah, gapapa," desak Randu.
Chrystell akhirnya mengikuti Randu ke ruang janitor. Lelaki itu memeganginya agar tak terjatuh. Setelah masuk ke dalam ruangan, Randu mengambil kursi dan mengangkat kaki Chrystell ke pangkuannya, lalu mulai mengurutinya.
"Maaf, Chrys. Aku harusnya nggak bersikap kekanak-kanakkan seperti itu. Lagian kamu udah menikah, nggak ada yang bisa berubah. Aku cuma menyesal kenapa aku nggak ngomong lebih cepat. Mungkin, kamu akan memilihku," desah Randu. "Ah, aku ngomong apa. Mana mungkin aku sanggup bersaing dengan CEO. Di mana-mana, pasti CEO yang menang melawan office boy."
"Randu ..."
"Sebenarnya aku udah nabung, Chrys. Nabung buat masa depanku. Aku mikirnya kalau udah bisa ngontrak rumah, baru aku beranikan diri ngomong sama kamu. Tapi ternyata aku salah. Kamu nggak menyukaiku seperti itu."
"Randu ... gue cuma anggap lu teman ..."
"Chrystell, katakanlah. Yang penting kamu bahagia. Kamu bahagia, kan, sama Pak Alex?"
Chrystell terdiam. Berpikir. Secara material, ia sangat berkecukupan. Namun secara emosional -- ia tak tahu harus berkata apa. Alex tak menyiksanya secara fisik, namun perilakunya yang aneh itu selalu mengherankan Chrystell. Kadang baik, kadang dingin. Kadang merayukan bagaikan ia menyukainya, namun berikutnya meledeknya dan mengata-ngatainya. Sebenarnya apa mau Alex, Chrystell tak mampu menebak. Berkali-kali Chrystell menggodanya, menanyakan apakah Alex menyukainya, namun sang CEO selalu membantah.
Ya, mau gimana? Masa dia bilang nggak suka, aku geer sendiri bilang dia suka? pikirnya.
Apakah mungkin ia lebih cocok bersama Randu? Yang level ekonomi dan sosialnya setara?
"Aku ..."
"Kalau kamu nggak bahagia, beritahu aku. Aku akan menolongmu, Chrystell."
Tiba-tiba terdengar suara Alex. "Chrystell! Di mana kamu?"
Chrystell dan Randu saling berpandangan. Mata mereka terbelalak. Langkah Alex mendekat ke ruangan janitor. Sepertinya ada yang memberitahu Alex bahwa mereka berdua masuk ke tempat itu.
Pintu terbuka. Kepala sang CEO melongok ke dalam. Tak ada kata-kata yang mampu melukiskan ekspresi wajahnya.
Chrystell gemetar. Bagaimana ini? batinnya.
.
.
.
Bersambung.
(1 Februari 2018)
.
.
Catatan penulis: Nih ngebut. Drama oh drama. Jadi kalian #TimAlex, #TimValdo, atau #TimRandu? XD
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top