13. Naik, Naik ke Puncak Gunung
"Pura-pura cinta... pura-pura cinta," dendang Chrystell sambil berjoget di tempat duduknya. "Halah, bilang aja Mas udah suka sama aku. Pake pura-pura segala. Modusnya kemarin nggak nahan banget, Mas." Rupanya setelah beberapa hari, otak Chrystell loading juga bahwa Alex menyukainya.
Alex masih gengsi, namun ditahannya. Ia memasang mode "bad boy"-nya.
"Chrystell," ujarnya dengan suara rendah, seksi, dan husky-nya yang bagaikan susu coklat hangat, "kamu ingat janji kita, bukan? Kita akan berpura-pura menjadi suami istri betulan di hadapan Mama dan Mbah Tari. Supaya lebih meyakinkan, kita harus belajar akting dari sekarang, dong."
Chrystell mengangguk. "Aku ingat, kok, Mas. Tapi ada bayarannya."
Alex menepuk dahinya. "Mata duitan amat, ini anak. Lagi-lagi minta dibayar. Bukannya aku udah kasih kamu seratus juta?"
"Itu kan buat akting pura-pura jadi pacar Mas Lex. Sekarang minta lagi, dong, buat pura-pura jadi istri Mas Lex," cengir Chrystell yang tak mau rugi.
"Boleh, minta berapa?"
Chrystell berpikir sejenak. "Minta apa, ya... minta rumah, deh! Sama biaya sekolah buat adik-adikku."
Itu kan yang diinginkan Ibu? Sekalian aja kuminta dari sekarang, nggak ada salahnya kan, pikirnya.
"Ah, itu, mah, kecil," ujar Alex.
"Asyik, makasih, Mas!" seru Chrystell girang.
Mereka beranjak dari tempat sarapan untuk kembali ke kamar. Siang itu mereka akan berkemas untuk melanjutkan bulan madu ronde kedua mereka di Pegunungan Alpen, Swiss. Sambil menunggu di depan lift, Alex masih terus memandangi Chrystell.
"Mas, kenapa lihatin aku terus? Ada yang salah di mukaku?" tanya Chrystell menyadari tatapan Alex yang tak lepas dari dirinya.
"Iya, aku lagi mikir gimana caranya biar bisa kelihatan suka sama kamu," bohong Alex.
TING! Pintu lift terbuka menunjukkan lift kosong. Mereka masuk ke dalamnya. Alex menekan tombol lantai kamar mereka yang cukup tinggi dari lantai dasar. Sambil menunggu, terbersit pikiran iseng di otaknya. Ia mendorong Chrystell ke dinding lift secara perlahan dan mengurungnya dengan kedua tangannya. Lalu membungkuk untuk merayu sang istri.
"Sayangku..." ujarnya dengan suara seksinya, "kita lanjutkan permainan kita yang tadi, yuk?"
Akan tetapi, saking pendeknya Chrystell dibandingkan dirinya, gadis itu dengan mudah merunduk keluar dari kedua lengan Alex yang bertumpu pada dinding lift. Lalu lift sedikit berguncang, dan tanpa sengaja kepala Alex terbentur dinding.
"Aduh!" seru sang CEO kesakitan.
"Mas, Mas nggak apa-apa?" tanya Chrystell cemas.
"Sakit, lah!" gerutu Alex.
"Lagian, Mas ngapain ngurung aku begitu?"
Alex mendengus. Istrinya benar-benar kepala batu. Bukan keras kepala namun sulit berpikir. Katanya banyak baca novel romantis, kok, di kehidupan nyata nggak bisa dirayu sama sekali?
"Sudah, lupakan," sahut Alex.
Chrystell berjinjit dan menarik pundak Alex supaya sejajar dengan dirinya.
"Ini kenapa lagi?" protes sang suami.
Chrystell meniup kening Alex dan menciumnya. "Biar nggak sakit lagi."
Jantung Alex berdebar tak karuan. Dia benar-benar sudah error sekarang!
"Kenapa... kenapa dicium?" tanyanya.
"Katanya mau pura-pura mesra. Gimana, sih? Ih, Mas sendiri yang nggak becus!" gerutu Chrystell.
Jadi, sebenarnya Chrystell ini pintar atau tidak? pikir Alex.
***
Dari Venesia, Italia, mereka terbang naik pesawat ke Zurich, Swiss. Mereka menuju St. Moritz, resort di Pegunungan Alpen yang sangat indah. Dari Zurich ke St. Moritz mereka naik kereta selama hampir empat jam.
Chrystell sangat menikmati pemandangan Swiss yang sangat indah dari jendela kereta. Hamparan rumput hijau dan pepohonan menyegarkan matanya. Kadang mereka melewati jembatan, terowongan, dan lembah dengan danau di dasarnya. Ia merasakan dirinya berada dalam lukisan. Sepanjang jalan tak henti-hentinya ia menatap ke luar jendela dan mengabaikan sang suami yang duduk di sebelahnya.
"Suka, Tel?" tanya Alex.
"Suka banget, Mas Lex!" seru Chrystell girang. "Serasa lagi di film James Bond."
"Pantes matamu sampe udah kaya mau copot itu."
Chrystell cemberut. "Mulut Bapak itu minta dilakban banget, sih."
"Abis aku dicuekin."
"Ah, kan aku udah sering lihat Mas. Udah bosen. Kalau lihat pemandangan seperti ini belum pernah, cuma di foto dan lukisan doang. Swiss emang negara paling indah, ya!"
"Huh, berkat aku, kamu jadi bisa ke tempat seindah ini. Terus akunya dicuekin," gerutu Alex.
Chrystell terkikik. "Ih, Mas ngambek, ya?"
Alex melipat tangannya dan merengut. Lalu memejamkan matanya.
"Malah tidur. Sayang tau, Mas, pemandangan seindah ini dilewatin," ujar Chrystell geli.
"Swiss mah semuanya juga kaya gini. Gunung lembah ijo-ijo," ujar Alex.
Chrystell mencolek pipi Alex dengan telunjuknya. "Mas lucu kalau ngambek, kaya anak kecil." Kemudian ia tertawa terbahak-bahak.
"Siapa yang ngambek?" bantah Alex.
Tiba-tiba Chrystell mencium pipi Alex. "Makasih, Mas, udah bawa ke tempat sebagus ini. Kalau nggak, aku nggak akan pernah ke Swiss, Italia, dan negara-negara Eropa lainnya."
Alex terkejut. Jantungnya berdebar sangat cepat. Bodoh, gumamnya. Kenapa aku jadi deg-degan kaya gini dicium dia? Padahal kan kamu yang minta dia bersikap seperti istri beneran?
"Chrystell," ujarnya, "jangan lakukan itu lagi."
"Kenapa?"
"Bibirmu kering, jadi kasar di pipiku," kata Alex.
Chrystell menyentuh bibirnya sendiri dengan jarinya. "Enggak, kok. Kan aku udah pake pelembab bibir."
Alex hanya memejamkan matanya tanpa menjawab. Chrystell mengerutkan hidungnya dan mencibir dalam hati sebelum kembali asyik menonton pemandangan di luar jendela kereta.
***
Dari stasiun kereta di St. Moritz, mereka menumpangi taksi online ke hotel mereka. Kali ini mereka tidak jetlag karena Italia dan Swiss berada dalam zona waktu yang sama. Mereka menyimpan koper mereka di kamar dan beristirahat sebentar sebelum berkeliling kota.
St. Moritz adalah sebuah desa yang terletak di Lembah Engadine, terkenal sebagai resort di Pegunungan Alpen. Keindahannya jelas sulit dilukiskan dengan kata-kata. Seperti kota-kota lain di Eropa, St. Moritz memiliki perpaduan antara bangunan tradisional dengan gedung-gedung modern. Namun lokasinya yang berada di lembah Pegunungan Alpen mempercantik penampilannya. Alex dan Chrystell berkunjung ke Danau St. Moritz. Air berwarna biru jernih itu memantulkan gunung, bagaikan gadis molek yang bersolek di hadapan cermin.
Chrystell memekik girang. "Bagus banget! Ah, aku pengen nyemplung ke danaunya!"
"Dipikirnya empang, apa?" tawa Alex.
"Mas Lex emang perusak suasana. Udah, ah, aku pengen motret aja. Sini kameranya, Mas," pinta Chrystell.
Ia mengambil foto berkali-kali dan memaksa Alex memotretnya dengan gaya-gayanya yang aneh, mulai dari duck face hingga ekspresi terkejut yang memamerkan mata melotot dan mulut terbuka.
"Tel! Kamu ngerusak pemandangannya!" ejek Alex.
Namun Chrystell tidak peduli dengan ejekan suaminya. Ia malah memaksa Alex selfie dengannya. Dengan Bahasa Inggris pas-pasannya, ia mengganggu sepasang suami istri yang sudah tua dan meminta mereka memotret dirinya dan Alex.
"Yang bagus, ah, posenya," kata Alex.
"Oke, oke, Pak Bos," sahut Chrystell sambil memutar bola matanya.
Kalau Alex dan Chrystell foto berdua, Alex harus membungkuk cukup jauh karena perbedaan tinggi tubuh mereka. Alex gemas -- ia menggendong Chrystell di punggungnya supaya tak harus membungkuk terus.
"Sehr gut (sangat bagus)!" puji sang lelaki tua yang memotret mereka berdua.
"Danke schon (terima kasih banyak)," jawab Alex sambil mengambil kameranya dari tangan lelaki tersebut.
Pasangan aneh itu kembali berjalan-jalan menyusuri danau. Setelah beberapa saat, mereka beristirahat sambil duduk di bangku menghadap permukaan air.
"Aku yakin, kalau aku tinggal di sini, jiwa puitisku bakal muncul," kata Chrystell.
"Emangnya kamu suka nulis puisi?" tanya Alex.
"Nggak, tapi aku pengen bisa," ujar Chrystell.
"Kamu mau tinggal di sini, Tel?"
Chrystell menatap Alex sejenak. Diam sesaat sebelum ia akhirnya menjawab.
"Nggak mau," ujarnya.
"Kenapa?"
"Ibu, Bapak, dan adik-adikku nggak ada di sini. Jadi aku nggak mau. Lagian aku nggak bisa bahasanya. Inggris aja pas-pasan, apalagi Bahasa Jerman," kata Chrystell tahu diri.
"Kan ada aku," kata Alex. "Lagian orangtuamu aja ngejual kamu dengan maksa kamu menikah denganku, kamu masih mau menemui mereka?"
"Tapi... mereka tetap aja orangtuaku. Trus aku nggak bisa kerja apa-apa di sini."
"Udah jadi istri CEO, buat apa kerja?"
"Manusia kalau nggak kerja, bakal mati, Mas Lex," kata Chrystell.
"Oh," Alex manggut-manggut.
"Mas Lex udah sering kemari, ya?"
Alex menggeleng. "Nggak sering-sering amat, sih. Ke Swiss beberapa kali, tapi bukan ke St. Moritz. Ke Geneva. Itu pun buat urusan bisnis."
"Rupanya Mas Lex kerja juga."
"Kamu pikir aku ngapain?"
Chrystell memutar bola matanya. "Yah, ala-ala CEO biasa. Mainan cewek, gangguin cewek, begitulah."
Alex mendengus. "Aku emang bukan cowok baik-baik. Aku sering tidur dengan cewek -- paling nggak sebelum menikah denganmu. Tapi aku nggak suka nyakitin hati cewek. Semua cewek yang kutiduri mau dan nggak ada ikatan batin."
Chrystell mengernyitkan hidungnya. "Ih, Mas, bikin aku jijik."
Alex mengangkat bahunya. "Kurasa aku terbiasa hidup bebas."
"Emang orangtua Mas Lex nggak marah?"
"Mereka nggak tahu -- atau nggak peduli -- dengan kehidupan pribadiku."
Chrystell menghela napas. "Apakah kehidupan orang kaya seperti itu? Kalau iya, aku lebih baik nggak usah jadi orang kaya."
"Jangan menceramahiku, Chrystell. Lagian pernikahan kita, kan, cuma persetujuan," Alex mengingatkan.
"Iya, iya, aku ingat, kok!" gerutu Chrystell. "Demi rumah baru dan uang sekolah adik-adikku."
"Udahlah. Kalau udah kemari, rasanya nggak lengkap kalau belum naik perahu. Ayo kita naik perahu di danau," ujar Alex mengalihkan pembicaraan.
"Mas Lex hobi banget naik perahu, ya. Mau jadi bajak laut? Eh, bajak danau," komentar Chrystell sambil tertawa.
"Daripada kamu, bajak sawah."
"Ih, kalau nggak bajak sawah, Mas nggak bisa makan nasi!"
"Masih ada mi sama roti. Udahlah, ayo!" ujar Alex sambil menarik tangan Chrystell.
Mereka naik perahu di Danau St. Moritz selama sejam. Setelah itu hari mulai gelap. Alex mengajak Chrystell makan di pusat kota. Lidah ndeso Chrystell sebenarnya lebih menyukai masakan Indonesia seperti rendang, sate, dan orek tempe. Ia lama-lama bosan menyantap hidangan Eropa yang kebanyakan keju. Namun apa boleh buat, jika lapar, apapun dimakan. Setelah malam, mereka kembali ke hotel sebelum naik gunung keesokan harinya.
Pagi berikutnya, setelah sarapan, Alex dan Chrystell pergi mendaki salah satu gunung di Pegunungan Alpen. Gunung ini cukup landai sehingga ramah bagi turis yang tak terbiasa mendaki. Chrystell sangat bersemangat sehingga ia menghabiskan banyak energinya di bagian awal pendakian, meskipun Alex sudah mengingatkannya untuk pelan-pelan saja.
"Capek, Mas. Gendongin," pinta Chrystell.
"Tuh, kan, udah kubilang apa," ujar Alex.
Chrystell mengangkat kedua tangannya. "Gendongin, Mas. Badan besar kaya Mas masa nggak dimanfaatkan, kan sayang?"
"Sialan banget ini istri," gerutu Alex. Namun ia tetap saja memindahkan ranselnya dari punggung ke depan dan menggendong Chrystell di punggungnya.
Chrystell tertawa girang. "Asyik, naik kuda," ujarnya tak tahu malu.
Mereka tiba di puncak bukit. Alex menurunkan Chrystell dan membuka ranselnya. Ia mengeluarkan tikar dan bekal makan siang mereka. Mereka memang akan berpiknik di atas bukit. Sementara itu Chrystell malah menari berputar-putar.
"Mirip film The Sound of Music," serunya, membayangkan diri menjadi Maria von Trapp yang diperankan Julie Andrews dalam film klasik tersebut.
"The Sound of Music itu di Austria, woy," ujar Alex.
"Biarin, mirip," ujar Chrystell.
Ia berlari-lari ke sisi bukit lainnya. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya dan melambai kepada Alex. Alex mendatanginya karena mengira Chrystell memanggilnya.
"Ada apa, Tel?"
"Aku nggak panggil Mas Lex. Aku cuma mau angin-anginin ketiakku."
"Ih!" gerutu Alex. "Dasar iseng banget ini orang." Ia memanggul Chrystell yang meronta-ronta.
"Ngapain, Mas? Turunin aku!" serunya.
"Kamu nyebelin, sih," ujar Alex enteng, lalu seakan-akan ia akan melemparkan Chrystell ke padang rumput.
"Jangan dilempar!" seru Chrystell sambil memejamkan matanya.
Alex membaringkan Chrystell di atas rumput. Ia merangkak di sebelahnya dan menatap wajahnya dalam-dalam. Chrystell membelalakkan matanya, lalu menutup matanya dan mengatupkan bibirnya. Alex mendekatkan wajahnya ke wajah Chrystell, lalu bibirnya hanya berjarak beberapa senti dari bibir Chrystell.
Chrystell berguling. Alex mencium rumput.
"Yah, Tel!" protes sang CEO. "Mau ke mana kamu?"
"Lagi nggak mau dicium aja, weee," ujar Chrystell sambil menjulurkan lidahnya. "Mas pikir karena aku kecil, jadi bisa semena-mena terhadapku?" Ia berbalik badan dan menggoyang-goyangkan pinggulnya untuk mengejek Alex.
"Sabar, Alex, sabar," ujar sang suami sambil mengelus dada. Chrystell memang tak mudah ditaklukkan.
.
.
.
Bersambung.
(15 Oktober 2017)
#291 Humor
.
.
.
Catatan penulis: Maaf karena lama nggak update. Tapi hidupku lagi kering komedi, makanya belum bisa nulis. Hahaha.
Enaknya siapa jadi cast Alex dan Chrystell? Minta sarannya dong. XD
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top