10. Bulan Madu
Chrystell membelalakkan matanya ketika jemari Alex tak berhenti melepas kancing piyamanya, mengekspos dada bidang dan perut batu batanya. Lelaki itu menjatuhkan piyamanya ke lantai dan mendekati Chrystell hanya dengan bertelanjang dada. Kemudian ia membalikkan tubuhnya sehingga Chrystell dapat melihat punggung seksinya dengan sangat jelas.
"Pak, Pak, berhenti! Gue belum siap!" seru Chrystell sambil memejamkan matanya.
"Punggung gue gatel. Garukin, dong," ujar Alex enteng.
Chrystell mendengus. Ia merasa lega bercampur sedikit kecewa.
Loh, kok, aku kecewa? pikirnya.
"Sebelah sini," lanjut Alex sambil menunjuk tulang belikatnya yang tak mudah terjangkau oleh tangannya.
Chrystell mengeluarkan cakarnya dan mulai menggaruk punggung sang CEO dengan sekuat tenaga.
"Aw! Jangan kasar, dong! Itu kuku apa cakar serigala? Sakit, tahu!" gerutu Alex.
"Puas, Pak? Puas?" geram Chrystell.
"Kok, marah-marah, sih? Kecewa gue nggak beneran mau nidurin lu?" ledek Alex.
"Bukan! Gue kesel karena Pak Lex selalu bersikap seenaknya terhadap gue. Sekarang gue istri Bapak, yang artinya gue bukan lagi bawahan Bapak! Gue udah setara dengan Pak Lex sekarang. Huahahahaha!"
"Eh, lupa, ya? Pernikahan kita ini, kan, cuma pura-pura. Jangan ngelunjak, ya! Di kantor, lu tetap bawahan, dan gue tetap hot CEO!" sahut Alex sambil mengetukkan telunjuknya di dahi Chrystell.
Chrystell memberengut. Namun tiba-tiba ia teringat akan sesuatu.
"Pak, gue mau mandi busa dulu, ya! Mumpung di hotel!"
"Mau mandi bareng?" goda Alex sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Ogah!" seru Chrystell.
"Jangan lama-lama, ya, cin! Kita masih harus nentuin tempat bulan madu!" ujar Alex ketika Chrystell menutup pintu kamar mandinya.
***
Mereka duduk berhadapan di meja makan kafetaria hotel untuk sarapan. Pelayan menghidangkan menu spesial untuk pengantin baru. Chrystell menyantap makanannya dengan girang. Meskipun tak seenak nasi goreng pete favoritnya, ia tetap menyenangi hidangan apa saja.
"Mau bulan madu ke mana, Tel?" tanya Alex sambil memandangi istrinya yang sibuk menyendokkan sup ke mulutnya.
"Eh, tumben Pak Lex baik, nawarin gue. Gue mau ke Venice, Italia, naik gondola. Pasti seru banget!" ujar Chrystell.
"Kalau begitu, kita nggak akan ke Venice sama sekali. Kita ke pegunungan Alpen di Swiss aja," kata Alex, dengan sengaja memutarbalikkan keinginan Chrystell.
"Boleh, gue juga pengen ke Swiss. Tempatnya indah banget, ya, katanya!"
"Kalau begitu kita ke gurun Sahara aja, Tel."
"Bapak, nih, sengaja banget, ya!"
"Emang."
"Kalau gitu gue terserah dibawa ke mana aja. Pokoknya jalan-jalan."
"Ya udah, kita bulan madu di hotel aja. Sekalian saling mengenal satu sama lain," balas Alex sambil memandangi tubuh Chrystell dari atas ke bawah.
"Gue laporin ke Mbah Tari, biar Pak Lex tahu rasa," ujar Chrystell.
"Wah, sekarang berani-berani lapor nenek gue, ya!"
Chrystell hanya tersenyum penuh kemenangan tanpa mengatakan apa-apa.
PLAK! Alex menempelkan tiket di dahi Chrystell.
"Eh, Pak Lex! Apa-apaan, sih?"
"Nih, emang nyokap gue udah beliin tiket buat ke Eropa. Kalau nyokap dan Mbah tahu kita nggak pergi, bisa gawat. Jadi kita pasti akan pergi."
***
Chrystell dan Alex berangkat dengan pesawat di kursi first class. Sepanjang perjalanan, Alex berhasil membujuk Chrystell agar tak mengganggunya terus dengan cara mengajaknya bersekongkol menghadapi musuh utama mereka -- Mbah Tari. Mereka kembali membahas rencana mereka secara detil. Untuk bulan madu ini, mereka bebas melakukan apa saja seperti tidur tak seranjang, saling mengusili satu sama lain, dan memiliki acara sendiri-sendiri karena tak ada yang mengawasi mereka. Namun, jika mereka kembali ke Jakarta kelak, mereka harus kompak supaya akting mereka tak terbongkar.
"Demi posisiku sebagai CEO!" ujar Alex sambil mengangkat gelas sampanyenya.
"Demi menghormati mendiang mbahku!" ujar Chrystell, ikut mengangkat gelas sampanyenya.
Mereka bersulang dan meneguk minuman keras masing-masing. Chrystell sedikit tersedak ketika mencoba minuman alkohol pertamanya. Terasa membakar lidah dan tenggorokannya. Ia tak mau menghabiskannya dan meletakkannya di meja di sebelah kursinya.
"Oke, jadi gimana?" tanya Chrystell.
Alex mulai menjelaskan. Chrystell akan tinggal di apartemen Alex di kamar berbeda. Jika Mbah Tari, Bu Acton, atau Pak Acton (yang jarang berkunjung) datang ke sana untuk memeriksa mereka, Chrystell harus rela tidur sekamar dengan Alex dan berakting pura-pura mesra seperti pengantin baru.
"Nggak perlu dipaksakan. Mereka tahu kita dijodohkan, jadi kita nggak perlu pura-pura saling mencintai. Cukup nggak usah berantem saja," kata Alex.
Selanjutnya, menghadapi rekan-rekan kerja mereka di kantor. Mereka pasti sudah tahu mengenai pernikahan Alex dan Chrystell karena berita pernikahan mereka tersebar luas. Ya, saat CEO mereka menikah, siapa yang tak mendengarnya?
"Nggak mungkin gue tetap jadi office girl, kan, Pak? Bakalan pada bingung, masa suaminya CEO, istrinya cuma office girl. Terlalu jomplang gitu, Pak," bujuk Chrystell.
"Nah, nyadar, dong. Lu itu emang jomplang banget kalau dipasangin sama gue! Udah tingginya jomplang, keseksian jomplang, jabatan pun jomplang!" ejek Alex.
Chrystell memonyongkan bibirnya. "Ingat, Pak, kita sedang bersekongkol. Bukan saling mengejek."
"Oke, oke, jadi lu mau naik pangkat. Mau jadi apa?"
"Wakil CEO."
"Masalahnya lu bisa enggak? Orang cuma lulusan SMA gitu."
"Ya udah, sekretaris aja, deh, gapapa," kata Chrystell.
"Oke, deh, ntar kalau kita balik, lu coba jadi sekretaris gue. Eh, tapi lu tahu, kan, kalau sekretaris itu mirip posisi babu juga? Kerjanya bakal gue suruh-suruh."
Chrystell berpikir ulang. "Ya udah, kasih gue jabatan 'istri hot CEO'."
Ya, dong? Udah menikah sama orang kaya berkedudukan tinggi, sekalian aja dimanfaatin buat dongkrak status gue? pikirnya.
"Lah, itu emang udah status lu, kali, somplak."
"Apa aja, deh, pokoknya jangan terlalu rendah seperti office girl."
Alex berpikir sejenak. Sebenarnya Chrystell bisa diberikan tugas data entry atau bahkan dijadikan sekretarisnya asal dilatih terlebih dahulu. Namun ia cenderung meremehkan kemampuan gadis ini.
"Gue nggak tahu kemampuan lu, Tel. Tapi nanti kalau balik ke kantor, lu ikut tes IQ dan tes potensi dulu, ya. Baru nanti kita bicarakan lagi lu bisa dipindahkan ke mana," tuturnya.
Chrystell terpaksa setuju.
"Selanjutnya, hati-hati aja sama rekan-rekan di kantor. Soalnya mereka pada kepanasan sama gue. Kalau mereka tahu lu istri gue... bisa-bisa lu dicibir abis-abisan. Kuatin mental, ya."
"Apa nggak sebaiknya gue berhenti kerja aja? Gue juga udah dikasih duit 100 juta itu..." gumam Chrystell membayangkan teman-temannya yang tadinya baik terhadapnya berubah beringas hanya karena ia berhasil menggaet CEO. Padahal dijodohkan, bukan kemauannya sendiri.
"Kalau itu, sih, terserah lu."
***
Beberapa belas jam kemudian, mereka pun tiba di Venesia, Italia. Dari bandara Marco Polo, mereka menumpangi taksi air untuk menuju hotel. Mereka beristirahat untuk melepas penat dan menghilangkan jet lag sebelum berkeliling kota perairan tersebut.
Chrystell tercengang melihat pemandangan kota bergaya klasik tersebut, yang sebelumnya hanya dapat ia saksikan di film-film. Hotel yang mereka tinggali pun serupa. Kerangka tempat tidurnya dihiasi kayu-kayu. Wallpaper-nya bergaya abad pertengahan. Bahkan kamar mandinya pun terlihat sangat antik. Seperti biasa, Chrystell melampiaskan dendamnya dengan berendam di bathtub berbentuk lingkaran yang terbuat dari marmer.
Mereka tiba di pagi hari dan menghabiskan hampir setengah hari hanya untuk beristirahat. Menjelang sore, Alex mengajak Chrystell naik gondola.
"Pemandangannya lebih indah jika dilihat saat senja," jelas Alex.
Chrystell sangat bersemangat untuk pergi. Ia mengenakan sundress barunya yang berwarna putih dengan motif bunga berwarna hijau toska. Rambut hitamnya yang panjang digerai. Kulitnya yang kecoklatan terlihat sangat seksi di bawah sinar matahari.
Alex menyewa sebuah gondola untuk satu jam dan membayar ongkosnya. Kemudian ia membantu Chrystell masuk ke dalam gondola. Chrystell menengadahkan kepalanya untuk memandang Alex, sambil menunggu sang suami masuk ke dalam gondola. Tiba-tiba jantung Alex berdetak cepat melihat wajah gadis yang berseri-seri itu.
Ada apa dengan gue? Pasti gue kekurangan asupan cewek sampai terpesona dengan Es Teler. Atau ini pengaruh sihir dari kota Venesia? pikirnya.
"Pak Lex, kenapa bengong? Ayo masuk!" panggil Chrystell.
Suara cempereng itu mematahkan pengaruh sihir. Alex mengerjapkan matanya sesaat dan mengambil tempat duduk di sebelah Chrystell. Sambil menyusuri perairan, Chrystell terus menyerukan kekagumannya sambil sesekali memotret dengan kamera tahan air Alex.
"Kamu bisa diam, enggak, Tel? Duduk dan nikmati senjanya. Nggak usah motret-motret segala."
"Yah, Pak Lex, kan, udah beberapa kali kemari. Gue baru sekali. Harus mengabadikan pemandangan indah ini, dong!" protes Chrystell.
"Ya udah, yang penting mulutnya diam. Ngerusak suasana, tahu," kata Alex.
Chrystell mendengus dan memutar bola matanya. Nggak seru amat, sih, ini orang, pikirnya. Ia terdiam namun tetap memotret pemandangan kota Venesia.
Lama kelamaan ia bosan memotret dan duduk diam sambil tersenyum bahagia. Ia merasa bagaikan berada dalam dongeng. Meskipun pangeran tampan di sebelahnya menyebalkan, setidaknya ia tak mengganggunya kali ini. Mungkin pesona Venesia mampu mencabut kemampuan bicara Alex untuk sejenak.
Chrystell tak tahu bahwa Alex sedang bergulat dengan perasaannya. Sedang berusaha keras tak memandangi dirinya dan menganggapnya cantik. Sedang menahan tangannya untuk tak menyentuh punggung mulus berwarna kecoklatan yang tak tertutup sundress tersebut.
"Chrystell..."
"Ya, Pak Lex?" tanya Chrystell. Untuk sesaat ia tak menyadari bahwa suaminya tak memanggilnya 'Es Teler' seperti biasanya. Ia menolehkan kepalanya ke arah Alex.
Wajahnya disambut oleh sebuah ciuman. Bukan ciuman palsu seperti di kantor atau asal tempel bibir seperti di pernikahan mereka. Ciuman sejati yang lembut dan penuh perasaan.
"Bisakah kita menjadi kekasih sungguhan hanya untuk sementara saja?" bisik Alex.
Chrystell membelalakkan matanya. Apa artinya ini?
.
.
.
Bersambung.
(5 Agustus 2017)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top