Pembantu Sementara
Netra indah Valeria terbelalak mendengar saran kakak sepupunya. Mantap-mantap? Apa itu maksudnya ia harus menyatukan kembali raga mereka? Dalam situasi seperti ini, wanita bertubuh sexy itu tentu saja gengsi jika harus memulai duluan. Walaupun bongkahan es dalam hatinya mulai mencair, tetapi itu tidak semudah yang sang kakak ipar katakan.
"Usia kandunganku masih sangat rawan untuk melakukan itu. Lagi pula aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi," bisik Valeria kepada istri Machiko itu.
Nayna terkekeh mendengar alibi adik sepupunya yang sudah dia anggap layaknya seorang adik sendiri. Istri dari Machiko itu malah makin bersemangat untuk menggoda Valeria.
"Takut atau malu mau meminta?" goda Nayna menaikkan satu alisnya.
"Hmm, kuakui Kak Nay selalu bisa membaca pikiranku," jawab Valeria dengan pipi bersemu merah.
Kakak sepupu Valeria itu hanya tersenyum simpul dan mengedipkan satu mata. "Banyak yang bilang kalau itu lebih mengesankan ketika dilakukan saat hamil."
Istri dari Machiko itu turut merasa bahagia melihat rona wajah Valeria yang tampak cerah. Tidak seperti beberapa hari yang lalu, wajah ayu itu tampak sangat muram. Seakan tak ada lagi secercah harapan.
"Sayang, aku merasa cacing dalam perutku berdemo sekarang," keluh Chiko sembari mengusap perut, lelaki itu menghampiri istrinya.
Nayna menjentikan jarinya. "Bagaimana jika kita meminta calon ayah ini untuk menjamu kita?"
"Maksud Kakak?" tanya Erick dengan mengangkat satu alisnya.
"Tentu saja menyiapkan makanan untuk kami juga." Pasangan suami istri itu menjawab serempak.
Astaga, ada-ada saja kelakuan kakak sepupu Valeria itu. Erick yang saat itu berada di posisi sulit hanya bisa mengangguk patuh. Manik matanya beradu dengan istrinya. Ia dapat melihat sedikit lengkungan manis, terbingkai di wajah Valeria yang tampak semakin cantik itu.
"Apapun akan kulakukan asal kamu bisa kembali tersenyum, Rose." Erick bergumam lirih, nyaris tak terdengar siapapun.
"Baiklah, kami akan menunggumu di ruang makan, Chef," kelakar Nayna.
"Ya, kalian pasti akan ketagihan dengan masakanku."
Lelaki itu kembali berkutat dengan peralatan tempurnya, ia mulai memindahkan isi dalam penggorengan ke atas piring saji. Entah masakan seperti apa yang akan disajikan Erick, nyatanya lelaki terhormat itu cukup lihai mengeksekusi bahan makanan dan bumbunya tadi.
Selang beberapa menit, Erick menghampiri istri dan kakak-kakak iparnya yang sedang bercengkrama di ruang makan. Tangan cekatan itu dengan estetiknya meletakkan beberapa jenis makanan yang telah ia buat di atas meja kaca berbentuk persegi panjang itu.
"Makanan apa ini?" tanya Chicko sembari mengernyitkan alis.
"Schnitzel with salad and potato," jawab Erick dengan meniru gaya para koki handal yang pernah dilihatnya pada siaran televisi.
Nayna mengerutkan keningnya, tersirat ketidakpercayaan akan rasa dari hidangan yang disuguhkan Erick. "Ini bisa dimakan?"
"Coba saja! Pasti ketagihan," ucap Erick sembari menarik salah satu kursi di antara delapan buah yang berjajar rapi, mempersilahkan Valeria duduk di sana.
Baru saja Erick mau mendaratkan bokongnya di sana.
"Eh, siapa suruh kamu duduk? Ambilkan piring untuk kami, Erick!" perintah Nayna lagi, kali ini dengan terkekeh.
"Hah? Sebentar lagi akan disiapkan. Kita tunggu saja," cicit Erick dengan nada ragu.
Valeria menatap lurus suaminya yang tampak gelisah. "Tidak, aku ingin kamu yang mengambilnya untuk kita semua."
Wajah Erick terkesiap. "Baiklah," jawab Erick patuh.
Erick melangkahkan kakinya dengan malas kemudian ia mengambil beberapa piring lengkap dengan peralatan makan lainnya. Biasanya, asisten rumah tangga yang akan menyiapkan semua ini. Ternyata berat juga bekerja menjadi seorang asisten.
"Ini piringnya, silakan dinikmati!" Erick sengaja menekankan kata sebagai ekspresi dari rasa dongkolnya.
Mereka semua bergiliran mengambil Schnitzel with salad and potato buatan Erick. Lelaki itu benar-benar mengolah makanan berbahan dasar daging sapi itu dengan baik.
Tidak tanggung-tanggung, Erick menggoreng daging dengan minyak zaitun agar mendapatkan cita rasa yang persis seperti di negara asalnya, Austria.
Bahkan ia memilih tepung roti berprotein tinggi untuk membalut dagingnya. Ditambah dengan salad dan kentang yang lumer, menambah kenikmatan hidangan mewah itu. Tampak mereka berempat sangat menikmatinya.
"Ini tidak buruk, kamu melakukannya dengan baik, Erick," puji Nayna sembari mengiris potongan daging crunchynya.
"Terimakasih, Kak." Erick tersenyum bangga.
Tentu saja ia merasa sangat bangga. Sebagai seorang lelaki yang hidup dengan bergelimangan harta sangat jarang ditemui yang bisa memasak. Erick adalah satu di antara seribu, mungkin begitu perbandingan yang cocok.
"Oh iya, ceritakan saat kamu berada di Bali, Vale. Aku ingin mendengarnya," ucap Nayna bersemangat.
"Apa yang ingin kalian dengar?" tanya Valeria dengan mulut penuh.
Machicko ikut menimpali percakapan para wanita itu. "Mulai saja dengan apa saja yang terjadi di sana, kami ingin mendengar versi lengkapnya."
Valeria mengangguk dan mulai menceritakan keseruannya di Bali. Beberapa kali mereka bertiga terkekeh dan sesaat kemudian enjadi serius. Erick hanya bergeming melihat keasikan mereka bertiga, yang seakan tidak melihat keberadaannya.
"Erick, kenapa kamu diam saja? Cepat cuci piringnya!" titah Nayna dengan tatapan tajam.
Manik mata Erick membulat sempurna. "Ta-tapi, Kak yang biasa mencuci piring kan-"
Nayna memotong kalimat Erick. "Tidak ada tapi-tapian! Oh iya, sekalian tolong ambilkan jus jeruk ya! Rasanya ada yang kurang jika tidak meminum, minuman dingin."
"Aku juga mau," timpal Chicko tiba-tiba.
"Baik." Erick mendengkus kesal, ia kembali menuju dapur untuk mencuci piring dan mengambilkan jus.
Lelaki itu membawa tumpukkan piring dan peralatan makan lainnya dengan kesal. Ekor netranya terus memperhatikan keseruan Valeria dan kedua kakak iparnya yang mendengarkan ocehan receh istrinya. Mereka tampak sangat asik, sedangkan dirinya harus membersihkan meja sendirian. Mengapa ini jadi seperti cerita "Upik Abu".
Sesampainya di dapur, lelaki itu mengerucutkan bibirnya. Lagi-lagi ia mengembuskan napas kasar. Tanpa dikomando lagi, suami Valeria itu mulai membasuh satu persatu piring makan mereka berempat.
"Bisa-bisanya mereka melakukan ini padaku! Coba lihat kakak ipar bisanya hanya memerintah saja! Apa dia pikir aku pembantu? Bahkan sepertinya Valeria juga berada di tim mereka," oceh Erick sembari mengusap-usap piring dengan spon cucian.
Sesekali Erick melongokkan kepalanya ke arah ruang makan. Memastikan bahwa tidak ada seorang pun di antara mereka yang mendekat ke arahnya. Jika gerutuan itu sampai terdengar Nayna, maka tamatlah riwayatnya sebagai seorang adik ipar yang penurut.
"Selesai, sekarang jus jeruk! Aku benar-benar merasa bukan lagi bagian dari keluarga ini. Mereka tega sekali tertawa di atas penderitaanku, bahkan tidak ada yang berniat membantu."
Suami Valeria itu membuka lemari es, mengambil jar berisi jus jeruk. Beruntungnya asisten rumah tangganya selalu menyiapkan minuman segar itu di kulkas. Jika tidak, ia harus rela memeras sari jeruk untuk kakak iparnya.
"Ya Tuhan, ternyata seperti ini pekerjaan seorang asisten. Tidak ada habisnya, padahal aku baru melakukan beberapa pekerjaan ringan. Bagaimna dengan mereka yang bekerja sepanjang waktu? Pasti sangat melelahkan." Lagi-lagi Erick menggerutu dengan suara lirih sembari menata jar dan gelas di nampan.
Erick kembali melirik ruang makan, masih dengan kondisi yang sama. Kedua kakak ipar dan istrinya bercanda gurau. Semakin membjat hati Erick kesal.
"Mereka benar-benar menjengkelkan!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top