My Hope


Cek mulmed✔

Masalah hati hanya aku dan Tuhan yang tahu. Masalah hidup hanya aku dan Tuhan yang tahu. Tetapi, masalah kamu dan aku hanya aku, kamu dan Tuhan yang tahu. Ini ceritaku, wanita yang mencintai seorang pria yang juga mencintaiku. Hanya saja takdir berkata lain, seseorang yang aku cinta tidak bisa aku miliki memang sejatinya tidak ada yang aku miliki bahkan jasad dan ruh sekalipun. Bukankah semua hanya titipan?

==========

Entah apa yang membuat diri ini begitu resah sejak tadi sore, apa mungkin pesan yang tidak kunjung hadir di ponsel ku atau mungkin kabar darinya yang belum aku dengar? Fauzi, namanya. Seorang lelaki yang berhasil masuk kedalam hati ini. Kata orang cinta pertama tidak akan pernah mati, tapi bagiku cinta pertama selalu menyiksa diri. Sebab orang yang aku cinta berjumpa dengan takdir nya yang lain.

Berperang dengan hati adalah keseharianku. Aku tahu hidup tidak semestinya tentang cinta, cinta dan cinta. Tetapi hidup juga pasti ada kasih dan sayang. Bila cinta pergi masih ada kasih dan sayang. Untuk apa merasa terpuruk jika masih ada yang mencintai, menyayangi dan mengasihi. Hanya saja bukan dia tetapi Dia. Allah. Tuhanku Yang Maha Pemurah. Maha Penyayang. Maha Pengasih. Begitu banyak nikmat dan karunia yang Dia berikan dalam hidupku.

Seakan aku lalai pada nikmat yang diberikan-Nya. Mengeluh tiada henti. Meminta tanpa mau taat kepada-Nya. Allah cinta-Mu begitu besar pada hamba yang tidak tahu diri ini.

==========

Keresahan itu berganti menjadi sebuah kebahagian saat satu pesan yang muncul darinya. Aku tahu, cara ini salah. Mencintai dan mengutarakan perasaan dengan cara yang salah. Hanya saja aku lupa diri, lupa bagaimana menjaga perasaan.

Aku dan dia tahu, kami berdua saling menyukai satu sama lain. Tapi tidak pernah ada kata yang keluar dari lisan kami. Bahkan untuk berjumpa pun kami tidak pernah jika bukan Allah yang mempertemukan kami.

Hubungan kami berjalan lancar tanpa status. Mungkin bisa aku bilang kami ini guru dan murid. Karena dia yang sering mengajarkan padaku banyak ilmu. Dan aku yang setia menjadi murid baginya. Aku sering sekali memanggilnya "Pak Guru" bukan untuk mengejeknya hanya suka saja memanggilnya. Usia kami yang terpaut jauh itulah menjadi salah satu alasanku memanggilnya dengan sebutan itu.

Setahun berjalan hubungan kami masih tanpa status, tetapi masing-masing kami tahu kalau kami ada perasaan yang sama, hingga di ujung pergantian tahun yang membuat hati ini terguncang. Mendengar kabar darinya tidak lagi membuat hati ini dalam kebahagian tetapi dalam kedukaan.

Setengah tahun berjalan dengan hati yang masih sama. Hancur. Memang itu yang aku rasakan. Tidak ada yang tahu antara aku dengan dia kecuali Tuhan ku, Allah. Seseorang yang aku cinta suatu saat bisa menjadi seseorang yang aku benci. Bukan benci karena dirinya tapi benci karena diri ini memilih jalan yang salah. Jalan yang seharusnya tidak aku tempuh.

==========

"Nara, sampai kapan kamu terus merenung? Uang tidak bisa berjalan sendiri ke arah mu. Cepatlah rapih kan dirimu dan cari lowongan kerja! Rasanya kakak sudah lelah melihatmu di rumah." Ya, Namaku Nara, wanita yang setengah tahun ini masih mencari pekerjaan setelah resign dari pekerjaanku yang pertama. Karena tidak adanya jadwal libur yang normal dalam sebulan. Hanya dua kali. Itupun tidak boleh sabtu dan minggu.

"Iya Kak, ini aku sudah mau jalan. Ibu dimana, Kak?" Aku merapikan khimar hitamku. Sesaat sebelum jalan. Abangku, Aryas, datang. "Dek, ikut abang aja. Teman abang punya bos, lagi cari karyawan untuk usaha dagangnya," sahutnya padaku.

"Kerja apa, Kak?" Abangku hanya menarik tanganku cepat menuju motor yang di kendarainya tadi pagi. "Bantu jualan usaha dia, Dek. Soalnya, anak buahnya yang lama minggat. Nggak tahu kemana. Jadi kekurangan karyawan. Usahanya lagi sedang maju-majunya." Setelah ku fikir boleh juga, daripada aku terus diam di rumah.

Selama bekerja kurang lebih setahun ini aku tidak merasakan perasaan yang sama seperti setahun setengah belakangan. Aku lebih bisa mengontrol emosi. Terus berusaha mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Pekerjaan aku yang sekarang begitu aku nikmati karena libur yang sesuai, tempat yang nyaman, bos yang baik dan gaji yang cukup. Membuat diri ini tiada henti untuk bersyukur. Setiap dua kali dalam sebulan aku sempatkan untuk mengikuti pengajian. Sering aku dengar cara mengikhlaskan dan cara bermuhasabah diri.

Dari situ aku belajar cara mengikhlaskan perasaanku pada seseorang yang pernah menetap di hati. Syukur nya, aku pun berhasil. Aku yakin pada janji-Nya. Sesuatu yang pergi bukanlah akhir dari segalanya tetapi bisa jadi awal dari segalanya. Seperti yang kurasakan saat ini. Pekerjaan yang nyaman, kehidupan yang selalu cukup, dan orang sekitar yang selalu mendukung diri ini adalah salah satu nikmat dari segala nikmat yang aku rasakan.

"Alhamdulillah ya, Bang. Adek, sekarang bisa bantu Ayah, Ibu dan Abang. Semenjak kakak nikah, kan, Abang selalu jadi tulang punggung keluarga. Maafkan Adek ya, Bang. Karena dulu sempat berputus asa," tutur ku. Abang Arsya yang mendengar hanya mengangguk dan tersenyum manis padaku.

"Abang, tidak merasa terbebani, Dek. Sudah kewajiban Abang menjaga dan menafkahkan keluarga ini. Ayah dan ibu sudah sangat tua. Tidak mungkin kita terus mengandalkan mereka. Yang sekarang kita lakukan adalah terus membahagiakan mereka. Walau kita tahu apa yang kita berikan untuk ayah dan ibu tidaklah sebanding pengorbanan mereka merawat dan membesarkan kita." Penjelasan abang membuat air mata ini turun bagai hujan deras yang tidak kunjung henti. Benar kata abang, yang saat ini harus jadi prioritas adalah kebahagian ayah dan ibu.

==========

Hari-hari yang aku jalani begitu tenang tanpa ada perasaan yang mengguncang lagi. Hingga saat dia hadir kembali rasanya ketenangan itu direnggut dari diri ini. Allah, apakah harus dengan mengirimkannya kembali hadir di hadapan ku adalah salah satu ujian yang Engkau berikan bahkan saat hati ku tengah tenang dalam kedamaian-Mu.

Berjumpa dengannya kembali adalah harapan yang tidak aku semogakan. Kaca retak yang telah disusun dengan cantik harus tergores kembali saat melihatnya. Hamparan hati yang pernah aku berikan adalah salah satu kebodohanku dalam menggenggam perasaan.

Saat kami berjumpa pada satu tempat yang memang mempunyai banyak kenangan, yang terdengar hanyalah suara hati yang dengungannya terdengar ke rungu pendengaran. Hanya mata sajalah yang menjadi sarana komunikasi kami. Mata kami tidak mampu berbohong. Sejauh kami mengenal, tidak pernah satupun dari kami berbicara langsung, hanya benda mati saja yang menjadi sarana komunikasi kami.

"Asalamualaikum, Ustadz Fauzi. Ya Allah, baru ketemu lagi. Kemana aja Ustadz? Murid-murid antum pada nanyain." Aku hanya bisa menunduk saat abangku, Arsya, memanggilnya. Saat ini kami tengah mengadakan acara syukuran di sebuah musholla. Karena akan dibuka pengajian anak kembali. Ya memang, dia kawan dari abangku.

"Waalaikumussalam. Alhamdulillah masih ada di kota ini. Iya, ini baru mampir lagi ke musholla, kemarin-kemarin sibuk ngurus istri ana lahiran." Perkataan yang keluar dari mulutnya seperti sebuah sembilu pisau yang berhasil menusuk kedalam jantung. Oh Allah, apa ini yang dinamakan ketidakikhlaskan dari melepaskan salah satu hamba-Mu yang pernah hadir di hidup ku?

"Bang, Adek bantu yang lain siapkan sajian dulu ya. Nanti kalau Abang sudah selesai berbincang, panggil Adek aja," tutur ku. Abang Arsya hanya mengangguk dan tersenyum sedangkan dia melihatku dengan tatapan yang mesti aku tau tapi aku sangkal. Dalam hati, aku terus merapal istighfar. Semoga perasaan yang terkubur tidak hadir kembali.

Satu jam berlangsung acara syukuran. Aku bergegas merapikan peralatan yang telah dipakai tadi. Aku enggan berlama-lama, kalau bukan karena tanggung jawab sebagai asisten donatur dari bos, mungkin aku sudah pulang ke rumah sedari tadi.

"Assalamualaikum, Ra."
"Astagfirullah." Aku membuang mic yang baru saja ingin ku taruh di tempatnya. Sebegitu terkejutkah aku, hanya mendengar suaranya. "Wa-walaikumussalam." Ini pertama kalinya dalam hidupku disapa olehnya secara langsung.

"Eh, maaf tidak bermaksud mengagetkan." Kami berdua sama-sama canggung. Lagipula kenapa dia sapa aku. Harusnya kami masing-masing saja, seakan tidak pernah bertemu. "Kalau begitu, saya permisi," sahutku.

Sesampai di rumah, aku berwudhu takut terserang bisikan syaithan yang terkutuk. Kalau saja tadi aku tidak pulang, mungkin diri ini bernostalgia tentangnya. "Lho, Dek. Kamu sudah pulang, abang mana?" tanya ibu. "Abang masih ada urusan dengan para pengajar di musholla, Bu. Ibu sudah makan? Ini Adek bawa kue, karena tadi masih banyak dan dibagikan kepada panitia yang bertugas."

"Wah, alhamdulillah. Enak ini, Dek. Kesukaan ibu." Ibu memakan kue yang kubawa. Aku pergi ke kamar mengistirahatkan diri.

==========

Enam bulan berlalu, setelah kejadian itu aku tidak bertemu dengannya lagi. "Dek, kamu tahu nggak? Anaknya Ustadz yang suka ngajar di musholla itu sakit-sakitan. Katanya masuk rumah sakit tapi nggak terdeteksi penyakitnya. Terus berobat ke yang bisa ngobatin gitu, katanya lagi ada jin di tubuh anaknya." Aku yang baru pulang kerja menjadi terkejut mendengar penuturan ibu.

"Ibu kata siapa?" tanyaku sembari menaruh tas kerja. "Saudaranya cerita ke abang ipar kamu." Kakaku datang, duduk disamping ibu. "Mana mungkin Bu, bisa saja orangtuanya ada salah sama orang lain. Misal ada masalah yang belum diselesaikan dan orang yang punya masalah dengan Si Ustadz itu merasa terdzholimi dan berdoa, bukannya doa orang yang terdzholimi dikabulkan? Ya kan, Dek?" Aku hanya mengangguk saja. Walau aku dengan dia dulu ada masalah pribadi tentang perasaan aku tidak pernah berdoa yang buruk untuknya. Bahkan saat dia menikah, akupun berdoa untuk kebahagiannya.

Kata orang mendoakan kebahagiaan orang yang kita cintai adalah salah satu cara mencintai dengan benar. Sebagian orang lain bilang "Itu mah cuma omongan di mulut aja, padahal mah hati meringis."

Aku selalu berusaha untuk tetap mendoakan kebahagiaannya walau terkadang pikiran untuk mendoakan keburukannya itu ada. Karena bukan dia yang salah, tetapi aku sendiri yang salah dalam hal perasaan. Aku terlalu berharap kepada makhluk, sehingga aku melupakan pengharapan yang besar kepada Sang Pencipta.

Harapanku saat ini adalah agar aku tetap dalam ketaatan kepada-Nya dan membuang jauh pengharapan pada makhluk. Sungguh, berharap pada makhluk hanya menimbulkan kedukaan sedangkan berharap pada-Nya menimbulkan kebahagiaan dan ketenangan. Karena hati yang dititipkan kepada sang pencipta akan lebih mudah menerima takdir yang diberikan daripada hati yang selalu digenggam saja.

Tamat

==========
penuliskece2019

Alhamdulillah. Selesai sudah cerpen pertama yang saya buat. Semoga bermanfaat bagi yang membacanya. Saya mohon kritik dan sarannya. Jika suka dengan cerita saya, jangan lupa untuk tekan bintang di pojok kiri bawah. Terimakasih :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top