Episode 4
***
[AKU sangat menyukai penampilanku dengan riasan serta gaun pernikahan yang pas. Namun ... dalam hati ini sangat menentang jalinan cinta dengan pria yang sama sekali tak kukenal. Aku tak sanggup menjalani kehidupan rumah tangga dengannya.]
Amelia merasa tenaganya dikuras sampai habis. Bayangkan saja, menikah dengan tentara, apalagi seorang Perwira, Amelia harus menjalani serangkaian pengurusan dokumen-dokumen dan tes-tes menyatakan kesiapannya sebagai calon istri prajurit. Lebih berat baginya.
Beginilah jika kehendak orang tua tidak bisa dipaksa. Ia harus dituntut melakukan apa yang seharusnya, alih-alih melawan.
Dia bisa saja berakting di depan Farhan, pura-pura mencintainya dan bersikap baik pada dia agar bisa memperlihatkan kebahagiaannya saat menjalani rangkaian proses pernikahan. Setidaknya satu pekan.
Mulai dari foto prewed memakai baju persit berwarna hijau muda, foto gandeng sebagai persyaratan pengajuan, dan harus menemani Farhan mengajukan semua persyaratan itu pada Danyon di Bataliyon tempat Farhan dinas. Bahkan dia perlu diuji kepintarannya menjalani tes pengetahuan umum dan militer. Beruntung saja tes seperti ini dilewatinya dengan mulus. Karena dirinya memang dikenal pintar saat sekolah.
Namun, yang paling tidak enaknya adalah, ia harus mengikuti tes keperawanan sebagai bagian dari tes kesehatan. Tujuannya adalah apakah benar Amelia tidak melakukan hubungan semacam itu sebelumnya bersama pasangan yang akan ia nikahinya. Itu pengalaman paling tidak mengenakkan baginya.
Syukur, Amelia telah selesai melakukan serangkaian proses pencalonannya sebagai istri seorang tentara. Kini dihadapannya adalah bayangan dirinya yang cantik dengan balutan riasan foundation, blush on merah muda, lipgloss matte di bibirnya, eyeshadow merah muda pucat, eyeliner, eyebrow di alisnya, serta bedak sebagai sentuhan akhir di seluruh wajahnya sehingga nampak mulus. Ia terlihat cantik merona di depan cermin. Dengan balutan kebaya yang terpakai di tubuhnya.
Farhan pun sedemikian gagahnya. Seragam PDU-nya yang selaras, menempel lekat di tubuhnya. Lengkap dengan beberapa pangkat yang tertaut di hem hijau tuanya itu, serta celana hijau lumut yang memperlihatkan rentang panjang kakinya.
Suasana pernikahan antara mereka begitu khidmat. Terlebih saat prosesi pedang pora dimulai. Semua rekan prajurit letting Farhan menghunuskan pedang dan membentuk seperti payung untuk 'memayungi' kedua mempelai.
Wanita itu tetap konsisten dengan aktingnya, terus memasang senyumnya kepada banyak orang. Begitu pun di hadapan Farhan yang siap memasang cincin pernikahan di jari manis Amelia.
Suasana langsung pecah saat Farhan mencium kening Amelia dengan romantis. Setelah pemasangan cincin pernikahan dan memberikan ciuman kening, mereka berdua pun menjalani prosesi pernikahan selanjutnya hingga selesai.
***
Tiba di malam pertama. Mereka berdua menempati hotel yang dijadikan sebagai tempat resepsi. Setelah mereka berdua melayani tamu undangan hingga malam hari, mereka sedang beberes untuk merapikan kembali seragam pernikahan yang mereka pakai.
Kini Amelia sedang menjalani pembersihan make up di wajahnya secara perlahan. Kemudian ada seseorang membuka pintu tanpa mengetuk. Farhan yang sedang memakai kaos oblong putih biasa dan celana tidur bermotif biru garis menghampiri Amelia yang sedang duduk di meja rias.
"Mel. Sedang apa?" tanya Farhan menurunkan suara sebagai pembuka obrolan.
"Tidak lihat? Aku lagi bersihin make up," jawab Amelia enteng sambil melepaskan bulu mata palsunya pelan-pelan.
"Aku ... ingin bicara sesuatu sama kamu." Farhan berucap dengan posisi yang gugup, berdiri di belakang Amelia yang masih membersihkan make up.
"Tunggu, setelah wajah ini bersih dari make up."
Amelia telah membersihkan setengah bekas make up dari wajahnya. Ia harus memakai lagi make up remover untuk membersihkan sisa foundation serta blush on dari wajahnya. Farhan dengan setia menunggu istrinya membersihkan make up sehabis acara resepsi pernikahan tadi.
Setelah merasa wajahnya telah bersih, dia menoleh kemudian berhadapan dengan suaminya yang belum membuka mulut.
"Bicara apa?"
"Sebelumnya, tolong kamu jangan tersinggung." Farhan memperingatkan, seraya memainkan kedua ibu jarinya. "Aku tak mau mengatakan hal ini, tapi daripada harus merahasiakannya. Alangkah baiknya jika kuberitahu sekarang."
Amelia mengernyitkan dahinya. "Beri tahu apa sih?"
"Alasan ... kenapa kita dijodohkan. Jujur. Aku juga ingin menolak perjodohan itu, namun ... semua sudah terjadi. Aku cuma sebatas alat bagi ayah dan ibuku agar perusahaan mereka tetap berjaya."
"Ma--maksud kamu? Perusahaan milik ayahku mengakuisisi perusahaan ayahmu, begitu?" Amelia menangkap maksud suaminya.
"Kita bersatu sebagai syarat agar ayah kita bisa bekerja sama. Bahkan aku harus merelakan wanita yang kupilih demi menyetujui persyaratan."
Lanjut Farhan, "Aku tahu mungkin kamu tak mau pernikahan ini. Tapi kamu harus ingat. Di hadapan orang tua kita. Kita sudah saling kenal, meski canggung. Kini kita berdua resmi menjadi sepasang suami istri. Kita tak bisa apa-apa lagi."
Amelia mulai risih saat tangannya dipegang oleh Farhan.
"Jadi, tolong jangan anggap aku sebagai orang bodoh. Beri aku waktu setidaknya sekarang. Kita bisa belajar bagaimana untuk saling mencintai. Mungkin kamu benci dengan hal tersebut, tapi terimalah semuanya, Mel. Aku mohon," ucap Farhan dengan ekspresi tulus yang terpampang di wajahnya.
"Jujur saja. Kamu tak mencintaiku, aku pun demikian. Kenapa sih, kita harus jadi korban orang tua kita sendiri? Bahkan kamu tak bicara baik-baik soal perasaanmu kayak gimana. Malah main terima aja. Kalau konsekuensinya salah satu perusahaan akan tumbang dan mencari bantuan, seharusnya cari yang lain dong. Bukannya menyusahkan diri sendiri. Toh, masih banyak yang mau kerja sama akuisisi. Apa pentingnya coba?"
Farhan hanya bergeming tanpa kata. Amarah istrinya tak dapat terbendung lagi.
"Kalau perusahaan mereka tidak akuisisi, enggak ada ruginya kan? Kenapa harus orang tua kita, hah?"
Tak ragu, Amelia melangkah lurus dan memukuli dada suaminya.
"Dasar bodoh. Demi bisnis dan saham, kamu rela diperalat oleh ayah kamu sendiri demi bisa selamat dari kesengsaraan karena menolak perjodohan. Ini adalah hal bodoh yang pernah kamu lakukan. Dan ... bukan cuma kamu yang rugi, aku juga rugi, tahu enggak!"
Amelia memposisikan dirinya seolah-olah lelah dengan situasi yang dihadapi. Harusnya salah satu di antara mereka bisa berani menolak, namun apalah daya.
Farhan mungkin tidak seperti Amelia yang suka menggerutu. Pria jangkung itu malah diam tanpa kata dan tanpa ekspresi. Dia pun pasrah semua ini telah terjadi. Semua orang terdekatnya mendukung dirinya menikah. Umurnya yang hampir matang ini terasa cocok jika pernikahan tidak ditunda.
Farhan tahu perasaan Amelia yang tidak menginginkan pernikahan terjadi. Perannya sebagai suami harus dilaksanakannya tanpa tunda.
"Mel. Aku ... ingin tidur di sini. Meski berat, kita jalani ini bersama, ya."
Farhan memohon dengan suara khasnya yang lembut. Namun Amelia menolak keras.
"Ngapain aku harus seranjang dengan orang yang tak kucintai? Mending aku tidur di kamar lain saja, daripada harus sama kamu."
Bagi Amelia, berpisah jarak sebentar lebih baik daripada harus bercekcak cekcok pada pria yang hampir membuat amarahnya meledak.
***
"Sudah tahu alasannya kan? Kenapa aku membencimu?" tanya Amelia setelah bercerita panjang.
Amelia menambahkan. "Satu hal yang perlu kukasih tahu. Jangan berlagak seperti suami baik padaku. Bagiku, kamu belum bisa. Belum lagi kamu selalu kaku jika bicara denganku. Kamu tak ada gunanya sebagai suami."
Pria itu ikhlas harus menerima penindasan dari istrinya.
"Aku tahu, Mel. Berat bagimu menjalani rumah tangga ini. Tapi harus kamu tahu, kalau aku meninggalkanmu pergi bertugas,, jauh dari kamu. Akankah kamu rindu? Sebagai istri tentara, kamu harus punya banyak kesabaran. Kamu akan menyesal nanti, Mel." Farhan berucap parau.
Senyum simpul Amelia mulai terlihat, menandakan bahwa semua omongan suaminya adalah omong kosong.
Amelia kembali menepis tangan berurat itu. "Aku minta sama kamu. Tolong. Sekali lagi, tolong. Jika kita saling bertemu, pura-puralah tidak kenal aku. Juga, jangan keseringan telepon aku. Lebih baik kita tak perlu saling komunikasi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top