Episode 30

ENAM bulan kemudian. Sumpah dokter telah diikrarkan Amelia di atas podium. Ya, setelah melalui beberapa perjuangan tanpa Farhan, dirinya dinyatakan sebagai dokter lulusan terbaik. Semua tamu bertepuk tangan ketika Amelia telah membacakan sumpah dokternya diikuti para calon dokter lainnya yang kini sudah resmi menjadi dokter. Yusran dan Hasbi tak henti-hentinya terharu menyaksikan putri kesayangannya berada di atas podium dan dipersilakan membacakan sumpah dokter. Itu membuatnya merasa bersyukur punya anak seperti Amelia.

Di balik raut kebahagiaan yang terpasang untuk menyenangkan para tamu, sebenarnya dari hatinya masih ada duka yang mendalam. Tentang Farhan. Selama ini Amelia terlalu memfokuskan dirinya untuk mempersiapkan yudisium juga sebelum-sebelumnya harus magang walau dalam keadaan hamil. Dan kini kandungannya sudah mencapai hampir tujuh bulan. Dan setiap hari ia harus membawa anaknya dari dalam perutnya. Tanpa sentuhan sang suami, Amelia ikhlas menjalani semua itu. Bahkan harus naik ke atas podium dengan keadaan yang tergopoh-gopoh.

Anak kita masih berjuang untuk hidup sampai sembilan bulan. Kamu juga pasti berjuang untuk hidup demi aku, meskipun kamu sedang sekarat sekarang ini. Aku akan menunggumu, Wan.

Masih di atas podium, Amelia memberikan sambutan-sambutan di depan para rekan sejawatnya juga tamu undangan. Amelia menyampaikan rasa terima kasihnya kepada rekan-rekan sejawat yang telah mendukungnya sampai dirinya berdiri di podium. Dan Amelia juga berterima kasih kepada orang tua dan mertuanya untuk selalu mendukungnya. Serta ... suaminya yang mungkin masih berada di Sulawesi dan belum pulang juga.

Beribu-ribu ucapan terima kasih ia lontarkan dari mulut Amelia saat membacakan sambutannya. Semua bertepuk tangan ketika Amelia mengakhiri sambutannya.

* * * 

"Amel. Selamat, ya. Kamu sudah jadi dokter sekarang. Astaga, perjuangan kamu tidak sia-sia juga, ya," ujar Yuna senang sambil memberikan boneka wisuda.

"Amelia. Selamat. Akhirnya sudah bertitel 'dr.' Hebat banget."

"Semoga amanah ya, Mel."

Selain Yuna, beberapa teman sejawat Amelia memberikan ucapan selamat padanya. Amelia merasa senang karena perjuangannya telah terbayarkan. Apalagi banyak bunga dan boneka yang ia terima.

"Oh iya, Amel. Orang tua kamu mana?" tanya Yuna saat masih di sampingnya.

"Entahlah. Mungkin mereka sedang ke kantin."

"Ah, aku mau mengorol dengan ayah ibu kamu. Kalau begitu aku duluan ya Mel," ucap Yuna lalu menepuk pundak sahabatnya.

Yuna pun berjalan meninggalkan Amelia yang hanya sendirian di depan ruang auditorium.

Amelia bisa saja tidak memiliki siapa-siapa lagi, termasuk Farhan. Amelia bisa mengikhlaskannya. Akan tetapi setidaknya ia ingin ada satu orang yang bersandar padanya. Sosok itu belum menampakkan batang hidungnya. Bahkan selama beberapa bulan ini.

Aku cuma mau Farhan datang ke sini. Farhan, kamu ada di mana?

Suara hatinya berkata di dalam jiwanya. Rasa rindunya dengan suaminya tak dapat terbendung setelah terakhir melihatnya masuk dalam helikopter untuk berangkat ke Poso. Dan terakhir pula ia masih merasakan keningnya dicium Farhan sebelum pergi. Semua kenangan itu tidak hilang.

Ia tak sanggup untuk mengingat itu semua. Betapa baiknya Farhan padanya, dan semua hal yang membuat dirinya mendapat kesenangan.

Daripada terus meratapi itu, ia pun berbalik dan berjalan menuju toilet yang ada di lantai dua auditorium.

Ia menaruh semua bunga dan boneka ke bawah lantai ketika dirinya sampai di toilet. Ia membasuh tangannya sembari melihat bayangan dirinya di cermin.

"Amel. Banyak tangisan yang kamu keluarkan selama beberapa bulan ini. Bagaimana jika anakku juga menurun dari aku yang selalu menangis ini?" ucap Amelia berbicara dengan bayangannya sendiri di depan cermin.

Setelah membasuh tangannya, ia berniat untuk pergi dari toilet sembari membawa bunga dan boneka yang tadi ditaruhnya.

Tiba-tiba, di depan pintu toilet, tampak seorang wanita tinggi dengan dress serba jingga menyodorkan bunga padanya.

Wanita itu tampak melas saat bunga itu diberikan pada Amel.

"Mel. Selamat karena kamu sudah menjadi dokter. Pasti Farhan bangga padamu ketika melihat istrinya sudah bergelar 'dr.' Pasti senang," ujarnya pelan yang membuat Amelia kembali menyeimbangkan dirinya dengan barang bawaannya juga menatap lekat Erni yang memasang raut wajah sedih.

"Amel. Mungkin kamu belum tahu ini, tapi ... semua orang menjauhiku karena kejahatan yang telah aku perbuat. Kamu bisa saja dengan mudah memaafkanku. Tapi, lihatlah diriku sekarang. Karena aku sudah sangat kelewatan, aku sudah sadar dengan perbuatanku, namun yang kulihat semua orang menjauhiku." 

Amelia bergeming, tak tahu harus berbuat apa ketika Erni mulai curhat tentang perbuatannya selama ini.

"Aku hanya minta kamu ... untuk jangan membenciku. Aku telah berjanji pada diriku untuk tidak mengganggumu juga Farhan. Memang, hingga sekarang aku masih ingin membuat kalian terpisah. Namun semua sudah di ujung tanduk, dan semua sudah hafal gerak gerikku, makanya aku mau mengurung diriku saja."

Erni mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kecilnya. Yang ia keluarkan adalah secarik tiket pesawat yang baru dibelinya.

"Aku mau ke Singapore hari ini. Mungkin aku gak akan kembali ke Indonesia sebelum aku benar-benar sembuh di sana. Aku hanya berharap,..." ia lalu memegang tangan halus Amel. "... jaga baik-baik rumah tangga kamu sama Farhan. Baik-baiklah sama Farhan. Jangan membuatnya pusing. Aku yakin Farhan tidak pernah marah sama kamu meski dirinya pusing. Farhan itu orangnya penyayang, jadi ciptakan momen kamu sendiri dengan dia."

Penjahat yang bertaubat atas kesalahannya sendiri. Itulah Erni. Memang selama membuat Farhan dan Amelia celaka, ia sering mendapatkan mimpi buruk bahkan dirinya hampir stress setelah semua mimpi buruk itu. Dan ia ingin memperbaiki salah paham dengan Farhan dan Amelia. Juga semua orang yang merasa telah ia sakiti.

"Jaga dirimu selama di Singapore, Erni," ucap Amelia tersenyum lalu dibalas dengan senyuman yang lebih cerah dari Erni.

"Semoga persalinanmu juga lancar, Mel. Sudah berapa bulan kandunganmu?"

"Hampir tujuh bulan."

"Baiklah. Jangan membuat dirimu capek, Mel. Kasihan anakmu nanti."

Amelia mengangguk. "Iya, Erni."

"Aku ... pergi dulu."

Erni perlahan melepas genggaman tangannya lalu melangkah meninggalkan Amelia. Erni tersenyum lega ketika semua masalahnya selesai. Dan tidak ada lagi yang namanya mimpi buruk karena semua sudah ia selesaikan dengan baik.

Hentakan hak tinggi itu terasa sangat lembut di pendengaran Amelia. Ia menatap lurus punggung Erni yang perlahan menghilang. Sudah sepantasnya Erni mulai bersikap baik, karena tidak mungkin juga kesalahan akan terus bertahan. Pasti akan melebur oleh penyesalan. Kesalahan yang ada dalam diri tak akan terus bertahan jika ada penyesalan dalam diri. Seperti itulah yang dirasakan Erni. Setelah melalui semua hal yang membuatnya tidak nyaman, Erni pun memilih jalan mudah dengan mengucapkan salam perpisahan pada Amelia. Dan Amelia hanya tersenyum pelan mengingat itu.

Ia melangkah pelan menuju tangga untuk turun.

Tak lama setelah itu, ia tiba-tiba terkejut saat melihat pria tinggi besar berada di hadapannya. Pria itu memakai kruk dan masih ada beberapa perban yang menempel di tubuhnya. Lebih menonjolnya ia memakai gips di tangan kirinya.

Amelia hampir saja menyenggol pria itu, dan tentu saja Amelia hampir menganga ketika pria yang hampir saja terjatuh itu adalah suaminya sendiri. Seorang pria tampan dengan rambut cepaknya yang khas. Namun rambut itu sudah sedikit panjang karena tidak dicukur. Mungkin selama beberapa bulan dirinya menghilang dari Amelia, ia tak merawat dirinya. Dan kini ia memunculkan batang hidungnya ke wanita itu.

"dr. Amelia Riyanti. Selamat ya, Amel. Kamu sudah menjadi dokter," ucapnya lalu meraih kepala istrinya untuk dielus. "Maafkan aku ... karena aku baru muncul."

Suara beratnya yang khas membuat air mata Amelia tak terbendung lagi dan membuat dirinya terdorong memeluk pria berbadan kekar itu.

"Mas Farhan! Kenapa kamu baru muncul sekarang? Kenapa?" tanya Amelia lalu menangis tersedu-sedu.

"Aku kembali ... karena ... rindu sama kamu." Suara lemah itu berbisik seolah memperlihatkan dirinya masih sakit saat ini.

"Kamu jahat, Wan! Kenapa kamu harus muncul di saat seperti ini, kenapa?" Amelia sesaat memukuli badan Farhan melampiaskan kekesalannya yang ia tahan selama beberapa bulan ini. Lalu kembali memeluknya setelah sekian lama.

"Maafkan aku, Mel. Maaf. Maaf." Berulang kali dirinya mengucapkan kata maaf sembari mempererat pelukannya lalu tangan kanannya mengelus tubuh belakang istrinya beberapa kali. "Tetapi selamat. Kamu sudah resmi menjadi dokter."

Amelia masih mendekapkan wajahnya ke dada Farhan dan seolah dirinya lem, ia tak mau melepaskan pelukan itu dan memilih menangis di dada bidang itu. Farhan juga meneteskan air matanya. Meski keadaannya masih lemah, tetapi ia masih bisa bangkit dengan membawa luka parahnya itu dan menemui istrinya dan memberikan bunga padanya.

"Ngomong-ngomong, aku merasakan ada yang bergerak dari dalam perutmu. Kamu ... hamil?" tanya Farhan menyadari apa yang dirasakannya saat memeluk erat sang istri.

"Iya, Mas. Anakku ... maksudnya anak kita ... sudah memasuki tujuh bulan. Aku mempertahankan kandungan ini demi kamu, Mas."

Farhan tersenyum lebar lalu menatap wajah istrinya yang cantik dengan riasan yang menawan.

"Bahkan tanpa riasan pun, kamu sudah cantik," ucapnya memuji. "Bisakah, kamu berada di dekapanku sebentar? Aku ingin merasakan hangat pelukan dari istriku."

"Aku persilakan. Tidak perlu meminta ijin, kok."

Dengan pelan, Farhan menyeret kaki kruk sedikit lalu memeluk Amelia kembali dengan sangat erat. Kini Farhan menopang dagunya di bahu istrinya.

"Kamu ... mau berapa jam dipeluk, sayang?" tanya Farhan menawarkan.

"Sebanyak yang kamu mau, Mas. Mau seharian juga boleh, kok," ujarnya lalu terkekeh.

"Hehe, bisa-bisa kita malah diusir kalau begini," ucap Farhan lalu menunjukkan deretan giginya.

Amelia yang dapat merasakan hangatnya badan kekar milik Farhan itu kembali berucap. "Oh iya, Mas. Kamu tahu? Selama kamu gak ada, aku sempat pesimis bahwa kamu sudah meninggal di sana. Meski aku sudah dikabari kondisi kamu, tetap saja aku pesimis. Dan momen di mana kamu gak ada, aku malah hamil. Jika saja ... saat itu kamu masih ada, pasti kita akan berteriak kegirangan atau sampai loncat-loncat. Nyatanya, aku malah sedih dan aku sempat berpikir ingin menggugurkan kandungan ini."

Farhan mendengar jelas apa yang diucapkan istrinya. Ia menikmati suara lembut Amelia juga dekapannya yang hangat. Dan tak berapa lama, ia mulai merasakan sesuatu yang mengganjal di tubuhnya. Masih memeluk wanita mungil itu, Farhan merasakan ada darah yang mengucur keluar dari tubuhnya. Dan karena ia merasakan kondisinya tidak karuan, itu membuat tubuh juga imunnya semakin lemah. Sementara Amelia masih berbicara lembut sambil memeluk pria kesayangannya.

"Tapi beruntung saja, aku memikirkan kamu. Jika anak kita gak ada karena aku memilih menggugurkan kandunganku, kamu pasti juga akan nangis karena kita tak punya momongan. Dan beruntung juga, aku bisa merasakan anak kita menendang-nendang dari dalam perutku. Ia ingin cepat-cepat bertemu dengan ayahnya."

Napas Farhan memendek ketika dirinya mulai merasakan kehilangan energi juga keseimbangan. Dan ia menunduk ke bawah, darah itu perlahan menetes di lantai tanpa disadari oleh Amelia.

"Oh iya, Mas Tentang ... janjiku supaya tidak terluka, aku tarik kembali saja. Melihat kamu yang masih terluka sangat parah, membuatku teringat bahwa semua pekerjaan ada risikonya. Aku gak bisa seenaknya bilang kamu tidak boleh terluka. Aku salah memang. Jadi, bagaimanapun dan seberapa parah kamu terluka, aku akan hargai semua itu. Aku suka sama kamu karena kamu baik, juga pekerja keras."

Farhan tidak merespon ucapan Amelia dan terus menahan rasa sakit di bagian perut dan dadanya itu. Memang di bagian itu masih belum sembuh total dan rawan akan terjadi luka yang timbul akibat bekas tembakan itu.

Mendengar Farhan tidak bersuara, Amelia menerka apa yang terjadi pada suaminya itu.

"Mas. Kamu gak apa-apa? Kok kamu ..."

Pria itu ingin memejamkan mata dan terus memeluk erat istrinya demi menahan rasa sakit. Namun Amelia tidak bisa terbendung rasa penasarannya dan mencoba melepaskan pelukan sang suami.

"Mas. Sebenarnya kamu kenapa?" Ia mencoba melepas diri dari dekapan suami dan seketika terkejut ketika melihat darah membasahi kemeja biru milik Farhan. "Astaga, Mas Farhan!! Da--darah ..."

Dan tepat saat ia melepas pelukannya, Farhan pun melayangkan kruknya ke bawah lalu menjatuhkan dirinya. Matanya seolah bergoyang tidak karuan oleh rasa sakit yang sempat ia tahan.

"Mas. Mas Farhan. Kenapa kamu ..." Ia berusaha menahan luka yang ada di dada suaminya sementara kondisi Farhan sudah tidak karuan lagi.

"Bertahan ya, Mas. Sebisa mungkin aku akan menghentikan pendarahan ini."

Melihat suaminya yang terkapar membuat Amelia terus bertindak untuk menghentikan pendarahan. Tangannya sudah bebercak darah sementara Farhan menoleh melihat istrinya menindak dirinya.

Dengan perlahan ia menggenggam tangan istrinya seraya menghentikan penindakan yang dibuatnya.

Farhan menggeleng pelan sembari memberikan isyarat untuk berhenti.

"Tapi kamu terluka, Mas! Aku gak bisa diam kalau kamu terluka sampai parah begini!" serunya terisak sembari terus mendorong dirinya untuk melakukan tindakan menghentikan pendarahan.

Farhan pun mulai bersuara. "Berhenti. Jangan ... lakukan ... itu." Dengan lemahnya ia berusaha membuka mulut terus membujuk istrinya untuk menghentikan apa yang dilakukan sekarang.

"Jadi sekarang aku harus apa, Mas? Aku gak bisa melihat kamu seperti ini," ucapnya sedih dan memperbaiki posisinya menyesuaikan dengan jarak sang suami.

"Lebih baik ... kamu ... tidak usah ... begitu," ujar Farhan lemah. "Mungkin kamu berusaha untuk ... menolongku, tapi ... biarkanlah darah di tubuhku terus berkurang. Karena ..."

Mata Farhan memicing saat menjeda ucapannya dan ia berusaha fokus melihat wajah istrinya yang terus berkaca-kaca.

"... mungkin ini sudah waktunya bagiku ... untuk ... mati."

"Mas. Jangan bilang begitu. Aku baru saja memelukmu selama beberapa menit, dan kita baru saja ketemu. Bagaimana dengan anak kita? Apa anak kita akan lahir tanpa ayah? Kamu jangan bilang seperti itu. Pikirkan masa depan keluarga kecil kita."

Farhan kembali menggeleng memberikan isyarat bahwa semua sudah terjadi. Ia tak bisa berbuat apa-apa lagi selain menunggu kapan dia benar-benar memejamkan matanya.

"Semua ... sudah diatur. Karena aku adalah ... orang yang baik, jadi ... aku memang sudah siap untuk meninggalkan kamu ... juga anak kita."

Farhan meraih wajah mungil Amelia dan terus memandanginya hingga penglihatannya semakin buram.

"Aku berharap ... kamu ... menjalani kehidupanmu ... dengan baik ... bersama ... orang-orang ... yang ... kamu sayangi."

Pria itu berusaha bangkit untuk mencium istrinya, namun ia tak bisa karena kondisinya yang sudah tidak memungkinkan.

Amelia yang sudah bengkak oleh tangisan di matanya terus memohon supaya Farhan tidak mati. Ia terus mengeluskan wajahnya dengan tangan kanan Farhan yang sudah bebercak darah dan terus berharap untuk tidak mati.

Sebelum pria itu benar-benar memejamkan mata, Farhan sempat mendengar suara tangisan istrinya. 'Jangan mati' adalah suara yang ia dengar, meski agak mendengung.

Sekali lagi, Farhan bereaksi dan berusaha melepaskan tangan kanannya dari istrinya. Ketika tangan kanannya refleks telah dilepas dari dekapan wajah istrinya, ia tersenyum pelan meskipun matanya memicing ke arah istrinya.

Wanita itu pun melihat Farhan benar-benar memejamkan matanya dalam damai. Kepala Farhan tertoleh ke kanan dan tangannya refleks terjatuh di lantai.

"Mas! Mas Farhan! Mas! Bangun! Farhan!!!" Amelia berteriak histeris sembari terus menggoncang-goncangkan tubuh suaminya.

"Kamu pasti bisa bangun, kan? Aku sudah berusaha untuk menyelamatkan kamu. Jangan berbohong seperti itu, Wan. Aku mohon, bangun!" Ia menangis tersedu-sedu lalu terus berusaha membuat suaminya terbangun, tetapi hasilnya nihil.

Farhan yang berusaha menahan darah yang mengalir keluar dari tubuhnya, mana mungkin ia bisa bangun lagi? Tindakan Amelia juga sia-sia karena Farhan telanjur tak bisa bangun lagi.

Amel ... jaga dirimu baik-baik. Aku akan selalu melihatmu, meski kita sudah di tempat yang berbeda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top