Episode 21

*** 

SINAR matahari pagi mulai menyinari wanita muda yang sedang terlelap di ranjang putih besar. Di situ ia hanya sendirian dan tubuhnya menoleh ke kiri dalam keadaan mata terpejam.

Saat cahaya matahari pagi menyinari tepat di celah jendelanya, membuat matanya berekasi dan terbuka perlahan lalu mengamati sekitar.

Ia ingat semalam dirinya bersama Farhan bergelut selama sejam lebih. Dan itu membuat mereka saling tidak melepaskan diri dan terus melakukan hal yang membuat mereka puas. Hingga saat Amelia terbangun jam 6 pagi dan mendapati dirinya tanpa busana.

Ia terbangun dan mengeluhkan kepalanya pusing karena dirinya masih dalam proses penyembuhan setelah kecelakaan yang menimpanya.

Ia bangkit dari ranjang dan terus menutupi bagian tubuhnya dengan bed cover sampai mencari kemeja putih milik Farhan di lemari untuk dipakainya.

Pemandangan di balkon memanjakan matanya. Entah di mana suaminya itu. Mungkinkah sedang berlari di pagi hari. Sudah menjadi kebiasaannya sebagai seorang prajurit.

(Kamu makan yang ada di kulkas. Panaskan pizza kalau kamu mau.) Tulis Farhan di kertas kecil yang tertempel di kulkas.

Tanpa pikir panjang, ia mengambil boks kardus berisi pizza dan memasukkannya dalam microwave untuk dipanaskan.

Selagi pizza masih di dalam microwave, seseorang membuka pintu unit apartemen kemudian masuk dalam keadaan lusuh oleh keringat yang membasahi keningnya.

Kaos tank top birunya juga sudah basah oleh keringat dan tercetak jelas otot-otot di tubuhnya karena keringat.

"Eh, Mas Farhan," sapa Amelia menoleh saat Farhan datang dan menghampirinya.

"Mel. Sudah bangun, ya?" tanya Farhan sambil mengelap keringatnya dengan handuk kecil.

"Iya. Sudah daritadi kok. Duduklah, akan kusiapkan makanan hangat untukmu."

Amelia kembali berbalik dan berjalan ke dapur lalu berniat ingn mengambil gelas dari atas lemari. Merasa bahwa tingginya tidak sepadan dengan jarak gelas, ia tak bisa meraihnya dan membuatnya kewalahan mengambil gelas tersebut.

"Biar aku saja, Mel. Aku akan ambilkan."

Dengan sigap Farhan mengambil dua gelas mug berwarna merah jambu dan biru berukuran 250 ml.

Amelia malah canggung ketika Farhan berdiri di sampingnya mengambil gelas. Dan tak sengaja ia menghirup aroma tubuh suaminya yang bagaikan bunga. Rasanya ingin memeluk pria atletis itu sekali lagi biar dirinya puas.

"Oh iya ... mau kopi, susu, atau teh?" Amelia menawarkan untuk membuat minuman hangat pagi hari.

"Susu aja. Tapi susu cokelat," jawab Farhan lalu duduk kembali di meja makan.

"Oke."

Amelia masih menyiapkan sarapan di pagi hari juga menikmati hari pertamanya tinggal di asrama. Ia mencari-cari keberadaan susu cokelat bubuk di dapur. Ia menemukannya tepat di tengah-tengah. Dihimpit oleh wadah garam dan gula.

Amel menuangkan tiga sendok makan susu cokelat bubuk dan sesendok gula di gelas mug milik Farhan. Sementara dirinya hanya ingin teh dan tinggal mengambil racikan teh yang ditaruh di wadah kaca oval kecil.

Setelah semua sudah siap, Amelia menaruh mereka di nampan dan membawanya ke meja makan. Pukul 6.30, pasangan suami-istri itu pun menikmati minuman mereka masing-masing. Dengan Farhan yang meminum susu cokelatnya dan Amelia meminum teh.

"Baru pertama kalinya kita bersama di meja makan ini. Iya kan?" ujar Amelia dengan ekspresi penuh rasa syukur.

"Benar. Inilah yang disebut 'cinta pertama' kedua kita. Karena sejujurnya, aku suka sama kamu sejak 7 tahun lalu. Malah, aku khawatir bagaimana psikologis kamu."

Amelia terkekeh dengan ungkapan Farhan. "Ah, masa sih?"

"Begitulah diriku khawatir padamu."

Farhan yang duduk di hadapan Amelia ini tidak tanggung-tanggung meraih wajah istrinya dan mengelusnya beberapa kali.

"Wajahmu mungil. Juga ... kulitmu putih dan bersih."

Amelia menunjukkan deretan giginya, tersenyum oleh pujian yang terlontar oleh Farhan.

"Kamu juga, Mas. Sudah ganteng, baik, ramah. Kurang apa lagi coba?"

Farhan membalas senyuman Amel sehingga mereka berdua saling melempar senyum. Pasangan yang selama ini sudah ditakdirkan sejak awal rupanya ingin memulai romantis mereka untuk pertama kali. Juga, ingin memperbaiki masalah-masalah yang sedang terjadi.

"Oh iya, Mas. Soal mengatakan kamu bodoh, maaf ya. Kata-kataku agak sarkas soalnya. Akunya malah enggak enak lagi."

"Enggak apa-apa, kok. Malah aku yang bersalah karena mengungkapkan hal itu."

"Aku malah berburuk sangka sama kamu. Aku mengira kamu akan memanfaatkanku. Tapi ternyata, kamu peduli dengan aku. Memberikanku kartu ATM di saat aku sedang krisis."

Farhan mencubit pipi Amelia sangking gemesnya lalu berujar. "Aku berusaha untuk menjadi suami yang baik untukmu. Makanya aku melakukannya. Lagipula saat itu, kita memang belum saling kenal."

Benar juga. Mereka canggung untuk melakukan pendekatan. Mungkin sudah lampu hijau untuk hubungan mereka sehingga mereka bisa melakukan pendekatan dari awal.

"Gimana caranya kita melakukan pendekatan?" tanya Amelia.

"Yah, dengan melakukan hal romantis. Aku ingin melakukan semua hal yang biasa dilakukan para pasangan suami istri. Salah satunya ... liburan."

Farhan memegang tangan istrinya lembut. "Jadi, jika aku bisa mengajukan cuti ke kesatuan, kita pergi liburan dan kita akan melakukan yang namanya 'pendekatan' itu. Kamu mau?"

Amelia sekali lagi menunjukkan deretan giginya sambil menganggukkan kepalanya setuju.

"Aku ngerti, Mas Farhan-ku," ucapnya menggoda hingga membuat Farhan semakin tersenyum lebar.

Pizza juga susu cokelat dan teh sudah habis disantap oleh mereka. 

Mereka berdiri bersamaan lalu bersiap untuk pergi bersama di tempat dinas Farhan.

Sebenarnya Amelia lupa jika sekarang dirinya merupakan istri tentara. Bahkan, ia ingat kalau seragam persit yang diberikan oleh ibu Farhan ke Amelia belum tersentuh. Masih terbungkus rapi saat menjalani prosesi pedang pora.

"Oh ya, Mas. Baju persit dengan lencana yang diberikan ibumu masih ada, kan?" tanya Amelia pada Farhan ketika melangkah ke kamar.

"Tentu masih ada. Malah masih kutaruh di lemari bajuku. Plastiknya juga belum terbuka."

"Izin, aku akan ambil di lemarimu," ucap Amelia seolah bicara khas militer yang harus pakai kata 'izin' bila melakukan sesuatu.

Farhan hanya tertawa melihat tingkah Amelia yang lucu itu.

*** 

(Keesokan hari)

Amelia mendapat jadwal bimbingan jam 10 pagi. Banyak perbedaan di saat sendiri maupun di saat bersama suami.

Jika biasanya Amelia bangun jam 8 pagi atau jam 9 pagi, namun selama bersama Farhan, ia memajukan waktu majunya ke jam 6 pagi karena harus melakukan kewajibannya sebagai istri yaitu membuatkan sarapan untuk Farhan Entah kenapa dirinya selalu terdorong untuk bangun jam 6 pagi, hanya karena menunggu sang suami pulang dari aktivitas hidup sehatnya setiap hari.

Bahkan sekarang pun. Amelia setia dengan kewajibannya.

"Eh, sayang. Udah bangun ya?" sahut seorang pria yang dalam keadaan lengah setelah menjalani lari pagi.

"Nih, aku buatkan roti telur untukmu. Dan, susu cokelat," ujar Amelia sambil menaruh gelas mug biru favorit Farhan di meja makan.

"Istri yang perhatian. Terima kasih ya, sayang. Sdah susah-susah bangun jam segini."

"Ini 'kan kewajibanku sebagai istri. Ini juga sebagai syarat untuk melakukan pendekatan padamu."

"Duduk sini. Kita makan sama-sama," panggil Farhan menyuruh Amelia menghentikan aktivitas beres-beresnya dan duduk bersama untuk sarapan.

Setelah melepas celemek, Amelia duduk duduk berhadapan dengan Farhan. Masih dalam fase romantis, Amelia suka melihat tubuh Farhan yang kinclong karena keringat. Bahkan saat Farhan mengibaskan rambut depannya karena merasa tidak nyaman dengan keringatnya, Amelia semakin tidak mau melepaskan pandangannya. Ia terus menatap lekat suaminya, tanpa berkedip.

Farhan memakan satu roti telur yang dibuat Amelia. Farhan terlihat heran melihat istrinya yang memandanginya terus. Apa dia sedang sakit.

"Amel. Sadar. Kenapa melototiku?" Farhan menggerakkan tangannya di hadapan Amelia. Sementara wanita itu makin tersenyum melihat pria di hadpannya.

"Amel."

Farhan menggoncang-goncangkan tubuh istrinya sambil menyuruhnya untuk sadar.

Dan, plug! Bayangan itu hilang dari pandangan Amelia. Memang sedari tadi ia terus menatap suaminya yang gantengnya tidak ketulungan itu. Sampai Farhan mengira dirinya sakit dan terus menyadarkan dirinya.

"Amel, kamu baik-baik saja, kan? Kamu tidak sakit?"

Amelia menjawab sambil tersenyum. "Tidak apa-apa, kok, Wan. Maaf ya, abis ketampananmu membuatku tidak bisa berpaling."

Farhan menutup mulutnya tersenyum. Tersenyum diam-diam lebih tepatnya. Entah kenapa Amelia terkesima lagi melihat senyuman cool Farhan. Hingga membuatnya menutup wajahnya sambil senyum-senyum mesra di balik telapak tangannya.

"Aduh tolong jangan senyum, sayang," ucap Amelia terkekeh.

"Iya deh, iya deh. Baik, aku enggak senyum lagi."

Lalu Farhan menelusupkan roti telurnya ke mulut Amelia supaya istrinya bisa makan. Daritadi ia hanya melihat Amelia senyum-senyum sambil tertawa gelak.

"Makan dulu gih. Nanti dingin.

"Iya, Mas."

Jam 7 pagi. Ada yang berbeda dari kemarin. Farhan yang sudah berseragam lengkap seperti kemarin, sementara Amelia sudah bersetelan casual ala anak kampus. Kemeja kotak-kotak biru navy juga celana jeans melengkapi dirinya. Setelan ini tentunya membuat Amel teringat masa-masa kuliahnya dulu. Hingga dirinya sedang berjuang untuk ujian nasional kedokteran.

"Kita jalan samaan aja atau gimana?" tanya Farhan menawarkan.

"Jalan pisah aja deh. Kita 'kan nanti jalannya beda arah."

"Baik, deh." Farhan mengelus pundak istrinya berpamitan untuk kerja. "Aku pergi dulu, ya, sayang. Hati-hati di jalan."

Sekali lagi, Amelia merasakan keningnya dikecup oleh suami tercinta. Sejak Amelia balikan dengan Farhan, ternyata romantis ini tidak akan hilang. Farhan saja mengatakan bahwa mereka harus membuat momen menyenangkan sebagai suami istri, yang mungkin belum pernah mereka jalani selama dua bulan pernikahannya. Dan sekarang hari ini sudah dua setengah bulan pernikahannya, jika dihitung oleh waktu yang ada.

*** 

Tanggal tua tak hanya dirasakan oleh orang-orang, namun bagi Amelia tanggal tua itu menjadi momok untuk selalu berhemat.

Namun gaji Farhan yang ada dalam ATM Merah Putih ini terus mengalir bahkan uang di debit atau dipakai hanya sedikit saja. Sehingga isinya masih banyak. Amelia pun bertugas memegang ATM Merah Putih milik Farhan, yang juga sempat ia pakai saat krisis dulu.

"Aku tak tahu berapa isi uang ini. Tapi, akan kupergunakan dengan baik," ujar Amelia menatap ATM Merah Putih yang ia pegang.

Sangking senangnya ia terus menatap kartu ATM itu, sampai tiba'tiba ATM itu terjatuh memantul dua kali menjauh dari Amelia.

"Yah, malah terjatuh."

Amelia mencoba mengambilnya, namun tiba-tiba seorang pria membantunya mengambilnya. Pria itu mungkin tak asing lagi bagi Amelia.

Benar, Rio. Yang sedang menenteng tas punggung raketnya.

"Ri ... Rio?

"Kenapa lo masih ceroboh gitu, sih? Sampai mencoba menjatuhkan ATM orang?" ujarnya menggerutu.

Mantan ketemu mantan. Mungkin kata tersebut cocok buat mereka berdua. Mereka berdua bertemu lagi dan meminta untuk mengobrol di restoran ayam penyet yang dulu pernah mereka kunjungi.

"Kenapa kita ke sini lagi? Bikin ingat masa lalu, tau enggak?" ujar Amelia sebal.

"Cuma ini tempat yang aku hapal."

"Kenapa? Mau mendelik lagi dan mengingat masa-masa dirimu makan ayam penyet dan sambal rawit itu?"

"Bukan. Itu ... karena ..." Rio menelan salivanya. "Aku cuma mau makan ayam penyet doang."

"Oh iya, ngomong-ngomong, kita putus bukan berarti kita tak bertemu seperti ini lagi, kan?" tanya Rio yang membuat Amelia bingung.

"Maksudnya?"

"Fakta yang kini kita dapatkan, kamu minta putus ke aku. Alasannya karena ingin fokus ujian. Tapi nyatanya kamu sudah menikah. Kita putus, akankah persahabatan kita juga putus? Menurut aku tidak. Kita akan tetap bersahabat seperti dulu."

Reaksi Amelia biasa-biasa saja.

"Jadi? Kesimpulannya?"

"Kita tetap sahabat aja. Maaf saat itu aku kasar sama kamu di telepon. Tapi ... jujur aja. Kenapa keterlaluan begitu, Mel? Kenapa tidak balik ke suamimu? Dia menunggu kamu, loh."

Amelia mendengkus keras.

"Dengerin ya, aku sudah pulang ke asrama dan juga sudah memperbaiki apa yang salah. Jadi aku sudah berubah. Oke?" Amelia meminta menghentikan obrolan omong kosong.

Rio hanya terperangah mendengar Amelia berucap dengan tempo agak cepat.

Kemudian, ada seorang wanita masuk dalam restoran. Terdengar bunyi hentakan sepatu hak tinggi wanita tersebut. Balutan pakaian serba merah, lipstick merah, serta kacamata hitamnya melengkapi dirinya. Ia tiba-tiba berjalan menghampiri Rio dan Amelia yang masih mengobrol secara empat mata.

"Jadi ini yang namanya rumah tangga baik begini? Sementara kamu sibuk sama cowok lain?" sahut Erni ketika mengejutkan Amelia dan wanita itu sontak berdiri melihat Erni yang sudah berdiri di hadapannya.

"E ... Erni." Gagap bicaranya seolah tak terbendung lalu menatapnya terkejut.

"Iya, ini gue. Erni," sapanya lalu melepas kacamata hitamnya.

"Gimana setelah dirawat di RS? Gue pikir lo sudah mati karena kecelakaan itu. Ternyata enggak," ujar Erni dengan senyuman licik.

"Jaga ucapan lo ya." Amelia menunjuk mengancam Erni.

"Kenapa? Lo mau gue tutup mulut supaya kalian tidak terciduk sama suami lo?"

Melihat pertengkaran antara kedua wanita itu, Rio juga berdiri berniat menegedahi mereka berdua.

"Justru lo yang terciduk nanti. Karena lo sudah meracuni suami gue."

"Hei, hei. Sudah, dong. Ada apa sih kalian?" Rio berusaha melerai.

"Rio, tolong jangan ikut campur urusan kami. Kamu pulang aja dulu, nanti kita ngobrol lagi." Amelia meminta Rio menjauh dari masalah yang ditimpanya. Karena yakin saja, Rio pasti tidak akan paham.

"Baiklah, aku duluan, ya." Rio pamit lalu melangkah keluar dari restoran dan kini hanya ada mereka berdua.

"Erni. Kenapa lo bisa tahu kalau gue di sini?"

"Kebetulan aja ketemu lo di sini. Kenapa? Enggak suka keberadaan gue?"

"Jangan ganggu Mas Farhan lagi. Kalau sampai lo ganggu dia, lo akan gue habisi."

Erni terperangah lalu tertawa jahat.

"Habisi gue? Dengan cara apa? Lo berani ama gue?"

"Lo mencoba membunuh gue hingga hampir mati. Lo keterlaluan, wanita sok jago."

Erni sontak menampar Amelia tanpa kompromi.

"Jaga bicara lo. Gak pantas gue disebut seperti itu."

"Kenapa? Lo sensitif? Suatu saat nanti, lo akan dipenjara. Membusuk lo di situ!" teriak Amelia di depan Erni yang jaraknya sangat dekat.

"Sama ... gue akan kasih tahu  Mas Farhan soal kejahatan lo."

Seolah tak puas dengan tamparan Erni, ia juga menarik baju kerah Amel dan melototinya tajam.

"Gue bakal mengakui semua kejahatan gue pada Mas Farhan, tapi dengan satu syarat."

Amelia tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menerima kerah bajunya kusut dan ditarik secara ketat oleh Erni.

"Syarat apa itu?"

"Menjauhlah dari Mas Farhan. Lo gak pantas hidup bersamanya."

Disuruh untuk menjauh? Di saat sedang melakukan pendekatan?

Amelia merasa bahwa kata-kata Erni sudah keterlaluan. Sudah mencelakakan Farhan juga dirinya, masih belum puas juga mendorong dirinya untuk cerai dari Farhan. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh Erni?

Merasa emosi, ia pun menepis tangan wanita itu lalu menggenggam pipi Erni seolah mencekiknya.

Melihat keributan menjadi perhatian para pengunjung, karena memang teriakan mereka membuat para pengunjung terganggu.

Masih dengan aksinya, Amelia mengancam Erni dan melotot seperti yang dilakukan Erni.

"Dengerin gue baik-baik. Gue enggak bakal pisah sama Mas Farhan. Enggak akan pernah. Jadi gue ingetin sekali lagi. Lo yang menjauh dari Mas Farhan. Menjauh dari kehidupannya. Lo seperti sampah bagi dia. Paham??!!"

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top