Episode 2

FARHAN sedang melakukan push-up di sebuah ruangan yang dijadikannya tempat untuk berolahraga. Tentu dia masih di unit apartemennya. Kehadirannya ditolak mentah-mentah oleh sang istri, apalagi jarak mereka masih terpisah begitu saja.

Pria itu mulai bersimbah keringat. Dia membuat posisi seolah-olah berada dalam latihan tentara yang cukup keras. Tanktop miliknya pun basah namun Farhan tetap meneruskan push-up-nya.

"98. 99. 100!" Farhan menghitung, kemudian menjatuhkan dirinya seraya mengatur napas. Matanya menatap langit-langit. Entah bagaimana lagi caranya membujuk Amelia untuk kembali padanya. Rasanya rumit sekali.

"Aku yakin bakal susah. Mustahil berbaikan dengannya," kata Farhan berprasangka buruk.

***

Seorang wanita mengharapkan hubungan lebih dengan seorang pria yang telanjur akrab padanya. Tentu, tak ada persahabatan antara pria dan wanita. Ada sebuah klimaks.

Itulah yang dialami Amelia.

Rio adalah pria idaman yang sangat cocok sebagai pendamping hidupnya. Bagaimana tidak? Fisiknya yang tinggi yaitu 180 cm. Juga putih bersih berseri. Serta mata sipitnya Juga pipinya yang sedikit chubby itu membuat ketampanan Rio berlebih-lebih. Rambutnya yang mohak perlu diapresiasi juga.

Tugasnya sebagai co-ass telah selesai. Kini Amelia sedang menunggu di depan gedung klub badminton tempat Ruo sering latihan. Dia tahu perwakilan tunggal putra Indonesia telah memenangkan pertandingan dua hari lalu. Ekspektasi Rena patah sebab diomeli Rio tak akan menang.

Amelia tahu Rio menang karena dikabari langsung oleh orangnya. Hadiah berupa cokelat dan bunga sedang dipeluknya. Hadiahnya sangat spesial. Coklatnya dibeli dengan harga 45 ribu berukuran sangat besar. Cocok digunakan sebagai hadiah. Sementara bunga dari rangkaian kertas origami lalu disatukan sebagai buket. Menambah kesenangannya.

"Rio sayang." Tak ragu Amelia menyambut atlit tampan itu dan menyodorkan hadiah tersebut padanya.

"Eh, Amel. Ngapain datang ke sini?" Rio tersenyum sumringah.

"Merayakan kemenangan kamu yang telat dua hari."

"Aduh, repot banget dah. Kenapa datang di saat kamu lagi tugas?"

Kebiasaan Rio adalah mengkhawatirkan aktivitas Amel yang terbilang padat. Tentu dia tak mau jadi sasaran amukan Amel bila wanita itu kena marah.

"Kamu menembakku kemarin, jadi aku juga akan menembakmu sekarang."

Rio tertawa terpingkal-pingkal. "Hei, memangnya kamu tentara, main tembak-tembak?"

Mendengar kata tentara tentu membuat Amelia membeku seketika. Dia adalah tipe orang yang tak mau terbawa emosi bila menyangkut hal-hal yang tak disukainya. Akan tetapi, Amelia masih bisa mengendalikan diri karena masih berbunga-bunga oleh Rio.

"Ya sudah. Yang penting kita pacaran, kan?" tanya Amelia mengkonfirmasi.

"Iya dong, sayang." Rio tak ragu menyapu kepala wanitanya berulang kali.

"Biasanya kamu bicaranya ngawur banget. Tapi entah kenapa kamu bisa mengatur tata bahasa yang baik? Aku malah senang kamu bisa bicara normal."

"Memang kenapa denganku? Apa aku biasanya suka bicara kumur-kumur begitu? Maksudnya itu, 'Ngawur' dalam artian kamu enggak tahu yang kubicarakan." Rio mendorong kening Amelia dengan telunjuknya. Menunjukkan ekspresi sayang pada sahabatnya itu.

"Btw, terima kasih sekali lagi ya, Mel."

Rio terdiam sejenak. Kemudian dia mulai berucap sesuatu.

"Oh iya, Mel. Kata rekan-rekan co-ass-mu, kamu sudah nikah?"

Amelia mengerjap heran. "Maksudnya?"

"Enggak, aku bukan bermaksud menyinggungmu, tapi ... ada yang bilang ... kamu menikah dengan seorang prajurit angkatan darat berpangkat Kapten. Benar begitu?"

Sialan. Pikir Amelia.

Siapa yang menyebarkan hal tak masuk akal? Amelia merasa ingin marah rahasianya bakal terbongkar begitu saja.

[Tapi memang benar aku menikah dengan seorang tentara. Bukan berarti aku harus membocorkan segalanya. Takut saja perasaan Rio akan hancur.]

Ketika ingin menjawab tanggapan Rio, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sama seperti dua hari lalu saat berkumpul bersama teman-temannya.

(Not Important Person)

Lagi-lagi suaminya menelepon. Ada apa dengannya?

"Kenapa melamun? Ada telepon tuh. Angkatlah." Rio sedari tadi memandang Amelia yang bengong melihat ponselnya.

"Ah, enggak ada apa-apa. Cuma spam doang," ucapnya sedikit cengengesan.

Rio melirik jam tangannya sedikit terkejut. "Oh iya, aku lupa ada pertemuan dengan para atlit di stadion. Jadi aku harus cepat-cepat pergi. Dah. Makasih sekali lagi hadiahnya," ucapnya satu kali napas.

Rio buru-buru pergi meninggalkan Amelia dengan membawa hadiah di tangannya. Tak lupa Rio mengulum senyuman pada Amelia.

Telepon dari Not Important Person pun diangkatnya.

"Jangan ganggu aku!" seru Amelia langsung menekan tombol merah mengakhiri pembicaraan.

***

Amelia memilih berjalan kaki di persimpangan jalan MH Thamrin Jakarta, setelah menaiki ojek daring dari tempat latihan Rio.

Jauh dari Rio rasanya membuat hatinya hening. Terlebih dia mengungkap perasaannya pada Rio. Hatinya masih berbunga-bunga, tentu saja.

Bagi Amel, Rio seperti kakak. Meski jarak usianya tidak terlalu jauh. Hanya beda tiga tahun.

"Berjalan kaki bukanlah ide bagus," keluh Amel dengan napas memendek. "Rasa haus pun melanda. Ke mana harus mencari minimarket?"

Untung aktivitas yang terbilang melelahkan pun membuahkan hasil. Lebih 100 meter menapak kaki, dia menemukan sebuah minimarket di seberang kanan.

Amelia menyeberangi jalan dan mulai memasuki minimarket.

Wanita itu pun duduk di tempat yang disediakan oleh pihak minimarket. Setelah membeli minuman, dia pun meneguk cepat tanpa henti. Memang, cuaca panas bisa membuat dehidrasinya hilang seketika.

Ah, itu memalukan. Pikir Amelia.

Beruntung, dia dapat mengembalikan energinya dan memastikan dirinya tetap hidrasi. Dia bisa melanjutkan kembali perjalanannya menuju rumah sakit.

Tak lama setelahnya, di seberang jalan, dia melihat seseorang.

Seseorang yang dia benci.

Yang tidak dia inginkan.

Yang membuat hidupnya kurang nyaman.

Farhan Heriyanto. Pria itulah si "Not Important Person"-nya Amelia. Dengan seragam tentaranya yang ia pakai dengan gagahnya.

Ketika mata Amelia bertatapan dengan mata hitam Farhan, rasanya mereka agak canggung.

Amelia pun harus berpaling sembari berdiri di depan lelaki itu. Farhan yang sedang berdiri di seberang jalan, menyebrang menemui Amelia yang masih berpaling ke kiri demi menghindarinya.

"Amel. Amelia." Farhan meraih lengan istrinya, namun ditepisnya.

"Mel. Barusan aku meneleponmu. Kok tidak diangkat?" tanya Farhan memelas.

"Siapa peduli? Seharian ini aku sibuk sama koas. Apa urusanmu?" kesal Amelia masih tidak ingin melihat wajah lelaki itu

"Mel, tatap mataku kalau bicara. Kamu jangan seperti ini terus," ucapnya pelan.

Mendengar celotehan Farhan membuat kaki Amelia rasanya ingin lanjut melangkah.

Tanpa basa-basi, Amelia pun segera pergi dari lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.

Akan tetapi, Farhan kekeuh menahan tangan Amelia sehingga wanita itu pun ikut berhenti.

Apa maunya nih orang? Batin Amelia.

Kemudian Amelia menoleh.

"Jujur, Mel. Ini belum seminggu pernikahan kita, tapi sikap kamu ke aku malah seperti ini. Kenapa, Mel? Kenapa kamu segitunya membenciku, sebagai suami kamu?" tanya Farhan yang butuh kepastian.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top