Episode 18

*** 

(Dalam mimpi Amelia)

KEGELAPAN makin mencekam. Terdengar suara burung terbang lalu lalang menuju suatu tempat. Terdengar pula suara jangkrik yang tak henti-hentinya membunyikan suara khasnya.

Ada sesosok gadis muda yang tangannya terikat di belakang beserta kedua orang tuanya juga tangan mereka terikat di belakang sambil mulutnya disekap oleh kain. Begitu pun gadis muda itu.

Gadis muda yang masih kelihatan aura remajanya adalah Amelia Riyanti. Seperti diketahui, Amelia bersama kedua orang tuanya sedang berlibu menggunakan kapal pesiar. Namun nahas bagi mereka, tiba-tiba sekelompok teroris menyergap dan menyekap seluruh penumpang dan awak kapal bahkan ada yang diculik dan dibawa ke pulau terpencil. Salah satu dari penumpang kapal yang diculik itu adalah Amelia sendiri. Juga beserta dengan kedua orang tuanya.

Amelia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia hanya bisa merintih kesakitan di bagian belakang tangannya. Karena sejak dibawa ke tempat gelap di pulau terpencil, ia dipukuli memakai benda tumpul. Sehingga di bagian lengannya terluka.

Tolong...

Tolongin saya...

Saya terluka...

"Mau kita apain nih, gadis muda cantik ini?" ujar salah satu teroris sambil memegang wajah Amelia dengan memasang ekspresi jahatnya.

"Entah. Kita gebukin mereka satu-satu. Lalu setelah itu ..."

"Habisi aja." Seorang teroris yang diduga adalah bosnya menyahut sambil tertawa keras.

"Bagaimana, cantik?"

Amelia bersuara tanpa bicara karena mulutnya disumpeli dengan kain.

"Bilang apa tuh anak?"

"Entah. Dia cuma 'emmmm, emmmm' aja."

Lalu Amelia membringas melototi para teroris itu seolah akan mengancam mereka.

"Wah, kelihatannya nih anak berani betul, ya."

Lalu bos teroris itu menyiapkan pistol untuk menembak Amelia.

"Siapkan peluru. Buruan!"

"Baik, Tuan."

Setelah semua peluru sudah siap, pistolnya pun sudah terisi dengan peluru yang diduga membahayakan bila ditembak dari jarak dekat.

"Sekali lagi kamu macam-macam, tangan ini langsung berekasi. Ingat itu," ancam bos berbadan kekar itu sambil mengacungkan pistol ke Amelia.

"Langsung tembak aja udah. Kelihatannya ni anak melototi kita terus," saran anak buahnya itu.

"Baiklah kalau begitu."

Jari telunjuknya mulai bergerak, ingin langsung menembak Amelia. Namun ekspresi Amelia menunjukkan rasa tidak takutnya kepada mereka. Amelia tetap melototi mereka.

"Siap. Kutembak ini."

Jari telunjuknya hampir bereaksi. Rasanya ingin mendorong jarinya itu untuk langsung menembakinya.

Hingga saat pistol itu mulai berbunyi, tiba-tiba sesosok pria berbaju loreng langsung memeluk Amelia dan peluru yang keluar dari moncong pistol itu tertancap di bagian punggung bawah kirinya.

Lalu kejadian yang tak mereka duga, para tentara yang bersiap memegang senjata laras panjangnya ini langsung menyerbu para teroris itu dan menembaki mereka.

Sementara tentara yang memeluk Amelia itu hanya refleks saja tidak melakukan apa pun. Amelia yang berada dalam pelukannya langsung menangis tersedu-sedu dan menyandarkan kepalanya ke dada tentara itu.

"Tidak apa-apa. Kamu aman bersamaku. Tidak apa. Jangan menangis."

Amelia masih saja mengeluarkan air matanya, tidak menyangka akhirnya ia masih bisa diberikan kehidupan. Ia berpikir bahwa ia akan mati di tangan teroris itu. Namun, karena para tentara yang dengan sigapnya menolong para korban, akhirnya dapat kembali hidup seperti semula.

Setelah matanya bengkak karena menangis, ia melihat wajah tentara yang memeluknya itu. Wajahnya tentu saja tampan. Kulitnya agak putih, pipi sedikit berisi, dan hidung yang mancung. Terlihat pula nama yang tertaut di seragam loreng itu. Farhan. Ya, nama pria itu adalah Farhan.

"Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Farhan pada Amelia di mana dirinya masih terisak-isak. Lalu ia melepaskan sekapan kain itu dari mulut Amelia.

"Ti ... tidak apa-apa," ucap Amelia masih dalam keadaan yang lemah.

"Tapi, saya terluka. Sangat sakit sekali. Di ... bagian ... bagian ..." Amelia tidak bisa menyebutkan di bagian mana, tapi sudah jelas sakitnya di mana. Ia mengalami sakit di bagian perut sebelah kanannya serta lengan di bagian kirinya.

"Nanti, kamu akan ditolong sama tim medis kami. Jadi kamu tenang saja, ya." Farhan berujar sambil tersenyum dengan cerahnya. Demikian gadis itu yang juga membalas senyumnya.

Seperti itulah pertemuan singkat antara Farhan dan Amelia. Mereka saat itu berpisah setelah selamat dari insiden tersebut. Dan semua itu terekam jelas di dalam memori Amelia.

*** 

Lima hari sudah Amelia dirawat di RS Sukabaru setelah mengalami kecelakaan tabrak lari di depan gedung lobby RS.  Tampak ada tanda-tanda siuman, dia membuka matanya perlahan.

Amelia mengedarkan pandangannya. Ia mencium bau obat-obatan yang ada di sekitarnya. Dan di sampingnya, seorang perawat perempuan yang ia kenalinya karena sering berjumpa saat dulu dirinya koas di RS ini, sedang mengatur jalannya infus yang tertancap di tangannya.

Sadar bahwa Amelia sudah siuman, perawat perempuan bernama Rara itu sontak kaget.

"Astaga! Kak Amelia sudah siuman?"

Amelia menganggukkan kepalanya pelan.

Rara pun berlari menuju dokter yang bertugas merawat Amelia itu untuk mengabarkan kondisi Amelia.

"Dokter! Kak Amelia sudah sadar!" serunya sambil keluar dari ruangan tempat Amelia dirawat.

Amelia mencoba bangkit dan meluruskan tubuhnya juga mencondongkan kakinya di ranjang brankar yang ia tempati. Ia mereflekskan sejenak tubuhnya setelah hampir lima hari hanya terbaring tidur sembari infusnya terisi masuk dalam tubuhnya.

Lalu ia menangkap kesimpulan terkait apa yang tadi ia mimpikan.

Mimpi yang membuatnya bertanya-tanya siapa yang pernah menyelamatkannya dulu rupanya sudah jelas. Usut punya usut, tentara yang menyelamatkannya, yang dia kira adalah Rio, ternyata adalah suaminya sendiri. Farhan Heriyanto.

[Memang Mas Farhan menyelamatkanku dari musibah itu. Kenapa aku harus menukarnya dengan nyawa Mas Farhan?]

Amelia menyesal sejadi-jadinya. Dia yakin, peluru yang ditembakkan kala itu masih membekas di bagian tubuh suaminya.

Andai saja dia dapat menanyakan balik keadaan sang suami, dia pasti tahu bekas luka Farhan ada di mana.

[Takdir. Takdir dari masa lalu membawaku hingga menjadi istri seorang Farhan. Aku tak bisa menyadarkan diriku ketika terus menindasnya. Hanya kata maaf yang perlu kuucapkan padanya.]

Tindakannya nyaris membuat rumah tangga mereka hampir retak. Bahkan sebelum itu, dia sama sekali tidak ingat bahwa tepat 7 tahun lalu ia diselamatkan oleh seorang tentara yang masih berpangkat Letnan Dua tersebut.

Bisa saja, Amelia kehilangan waktu dua bulan kebersamaan yang seharusnya dia manfaatkan.

Coba sejak awal dia tahu, harusnya dirinya tidak perlu mendelik Rio. Dia jujur saja ke semua orang kalau dirinya telah bersuami.

"Maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan aku," ucap Amelia di sela-sela tangisnya berulang kali.

"Apa yang telah aku lakukan membuat dia rugi," lanjutnya sebelum ada seseorang yang membuka pintu.

Tiba-tiba, Dokter Reza beserta perawat datang melihat kondisi terkini Amel.

"Mel. Amel?" panggil Dokter Reza sambil menggerakkan tangannya di depan mata Amelia.

"Lihat aku?" sahutnya lagi.

Amelia hanya termenung melihat ke arah lain tanpa sadar jika Dokter Reza yang awalnya adalah dokter residen yang ia kenalinya berada di depannya.

"Amel? Ada berapa di jariku ini?" Dokter Reza membentuk angka 2 di jarinya.

"Dua," ucap Amelia dengan suara serak.

"Kalau ini?" Jari manisnya terangkat sehingga membentuk angka 3.

"Tiga." Amelia berucap tanpa menatap Dokter Reza.

"Baguslah kamu sudah siuman. Kamu butuh obat lain atau apa pun?"

Amelia menggeleng pelan.

"Baiklah."

Saat Dokter Reza ingin beranjak, Amelia tiba-tiba menahan lengan dokter berkacamata tersebut.

"Dok, pasien bernama Farhan Heriyanto dirawat di mana?" tanya Amelia.

"Hmm, Pak Farhan? Kalau itu mah bukan tugasku, itu tugasnya Dokter Afif."

"Bukan itu yang kutanyakan. Dia dirawat di mana, kamar mana?" tanya Amelia mendesak.

Dokter Reza berujar sambil menggarukkan kepalanya. "Di sini 'kan bangsal Harmoni lantai empat. Kamu dirawat di kamar lima di bangsal ini. Setahuku Pak Farhan juga dirawat di bangsal Harmoni yaitu di sini. Kemungkinan dia dirawat di kamar enam," jawab Dokter Reza hanya memperkirakan.

"Memangnya kenapa? Kamu ada hubungan dengan Pak Farhan?" Dokter Reza bertanya penasaran.

"Dia istrinya Pak Farhan," sahut salah seorang perawat di belakang Dokter Reza.

"Hmm, begitu," ucapnya manggut dengan ekspresi biasa.

"Tapi, kamu tidak boleh ke mana-mana. Kamu butuh istirahat selama satu jam atau dua jam. Infus ini harus dihabiskan," saran Dokter Reza.

Amelia mengangguk mengerti.

"Ayo. Kita periksa pasien lain," ucapnya pada perawat di belakangnya.

Dokter Reza pun pergi dari kamar lima bangsal Harmoni tempat Amelia dirawat saat ini.

Amelia hapal betul bagian-bagian dari rumah sakit ini. Kamar enam itu tepat di depan kamar lima. Maka, Amelia pun menurunkan kakinya perlahan dan memakai sandal RS sambil membawa tiang infus untuk melihat apa benar pasien dari kamar enam itu adalah Farhan.

Dan setelah ia lihat saat mengintip di celah pintu, ternyata benar. Pasien itu memang Farhan.

Tetapi, coba lihat lebih jeli lagi.

Farhan sudah tidak memakai pakaian rumah sakit yang berwarna biru polos itu, seperti yang Amel pakai sekarang. Farhan kini memakai baju kaos polo berwarna biru dan celana jins hitam. Sedang memberes-bereskan bajunya.

"Mas Farhan sudah mau pulang?"

Tak lama semua sudah beres, barang-barangnya pun masuk dalam koper. Tinggal langsung ia tenteng kopernya dan selanjutnya ia harus ke lantai bahwa untuk mengambil resep obat dari Dokter Afif di apotik.

Saat Farhan ingin menyentuh gagang pintu yang artinya ingin keluar, Amelia mendadak berbalik dan melangkah cepat menuju kamarnya supaya tak dilihat oleh Farhan.

Farhan keluar dari ruang rawat inap beserta membawa kopernya yang besar.

Ketika Farhan melangkah jauh dari bangsal Harmoni dan hendak ke lift, Amelia pun keluar dari kamarnya lagi. Amelia menatap pria tinggi tersebut. Beruntung sekali dirinya memiliki seorang suami yang bentuk tubuhnya atletis juga berhati baik. Ia sangat beruntung. Sampai selama dua bulan ini tidak saling menatap dan hanya sesekali. Cintanya pun tumbuh di dalam hatinya. Yang dari awal hanya menerima dia sebagai seorang "suami" saja. Itu pun semata-mata mengkhawatirkan pria baik itu, alih-alih karena cinta.

Amelia jenuh melihat tatapan kosong di depannya, setelah Farhan masuk dalam lift menuju lantai bawah.

"Sekali lagi ... maafkan aku."

* * * 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top