Episode 16

* * * 

SIRINE ambulans berbunyi dari satu jalan ke jalan lain.

Farhan mulai dibawa ke RS Sukabaru tempat adik sahabat Amelia bertugas. Tentu saja setelah ia terkapar di jalanan sepi kemudian banyak orang yang panik melihat Farhan ingsan di jalan, para tenaga medis pun bersiaga.

Sementara itu Amelia dan Yuna yang baru saja selesai ngopi di Kafe Dua Lima, tampak keluar dengan perasaan riang gembira karena kopi yang dijual di kafe itu enak. Yuna pun demikian.

Tepat setelah mereka keluar dari kafe, mereka terkejut saat ambulans lalu lalang di depan mereka. Yuna berpikir kalau ada pasien gawat di RS Sukabaru.

Ah, pasti adiknya sedang kewalahan menangani pasien baru datang itu. Dan niat bertemu adiknya ditunda lagi karena ia sudah tahu kalau adiknya akan sibuk lagi dengan pasien gawat. Bayangkan saja betapa kencangnya laju mobil ambulans tersebut. Pasti ada pasien yang harus cepat-cepat ditangani.

"Yun. Enggak jadi deh kamu ketemu adik. Sayang ya," ujar Amelia saat mengetahui raut wajah Yuna yang muram.

"Hooh. Bener juga. Adikku satu-satunya akan merawat pasien itu. So, what else can we do? Toh, itu tugasnya."

"Ayo, masuk ke kafe lagi. Hibur hatimu yang pendam." Amelia membujuk Yuna sebagai penenang buat sahabatnya. Meski harus masuk kafe untuk kedua kali, namun sepertinya mereka tidak keberatan.

"Pesan apalagi?" tanya Amelia menawarkan.

"Emm ... yang tadi deh." 

"Oke."

Amelia memanggil pelayan, dan kagetnya mereka ketika yang datang pelayan yang tadi. Yah, sepertinya ia tahu mereka pesan apa lagi.

Belum 30 menit ketika pesanan mereka belum datang, tiba-tiba Amelia mendapatkan telepon.

Ia kaget ketika layar di ponselnya tertuliskan "Farhan" dan mungkin ia pasti membuatnya menunggu karena tadi ia membalas bahwa ia akan dijemput olehnya.

Tentu saja tanpa basa-basi ia mengangkatnya.

Ia angkat telepon itu dan sempat menyapa. Namun, yang ia dengar bukanlah suara Farhan, melainkan suara orang lain, yang entah siapa itu.

"Maaf, ini istrinya?"

Amelia memutar bola matanya, tidak paham apa yang diucapkan pria itu. 

"Maaf ya, Pak. Anda siapa? Dan kenapa tanya?"

"Eh ... kami hanya ingin menginformasikan bahwa ada seorang pria tidak sadarkan diri. Barusan tenaga medis kami menemukannya dalam keadaan mulut berbusa."

Tunggu. Apa?

Sontak Amelia berdiri. Mendengar kabar yang tidak dia duga-duga sebelumnya. Panik di dalam hatinya.

"Jadi ... dia dirawat di mana sekarang?"

"Di Rumah Sakit Sukabaru."

Berarti di dekat Kafe Dua Lima. Amelia mendengarnya masih tidak percaya. Kenapa bisa Farhan diracun?

Amelia menutup teleponnya lalu duduk kembali. Mengundang rasa penasaran Yuna.

"Kenapa kamu kaget barusan?

"Mas Farhan."

"Kenapa Kak Farhan? Dia menunggumu?"

"Dia ..."

Seolah tidak bisa menjawab, Amelia memegang kepalanya pusing sambil mengeluh.

"Dia ... masuk rumah sakit."

"Hah? Kenapa? Kenapa tiba-tiba?" Yuna pun seketika ikut panik ketika mendengarnya.

"Dia diracun atau entahlah. Pokoknya keadaannya kritis di rumah sakit."

"Rumah sakit mana?"

"Rumah sakit adikmu koas."

"Sukabaru?"

Amelia mengangguk mengiyakan lalu kembali mengeluh. Kepalanya ditopang oleh telapak tangannya kemudian mengernyitkan wajahnya seolah membuat dirinya tak tahu harus berbuat apa.

"Kita ke RS sekarang. Aku ikut kamu."

Amelia sontak memegang tangan Yuna. "Tidak usah. Kamu jangan ikut. Mending pulang ke rumah, atau di sini saja sampai pesanan kita sampai."

Amelia pun beranjak dari kursi itu. "Aku pergi dulu, ya."

Yuna melihat betapa tergesa-gesanya temannya untuk berlari menemui sang suami. Sementara dirinya lebih memilih membatalkan pesanan dan langsung pulang ke rumah untuk istirahat.

Amelia yang seperti dikejar-kejar sesuatu, ia dengan tergesa masuk ke dalam gedung lobby RS Sukabaru. Ia mencari keberadaan ruang UGD, dan tepat sebelah kirinya ia berlari kencang dengan sepatu heels pendeknya.

Sepertinya ruang UGD mereka masih tutup rapat-rapat untuk pemeriksaan lebih lanjut. Maka, Amelia pun memilihbmenunggu di depan ruang UGD. Ia memegang kedua tangannya sembari berharap akan kesembuhan Farhan.

Amelia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, namun hatinya hancur saat mendengar kondisi Farhan yang dikabarkan kritis juga oleh semburan busa di mulutnya.

Tak lama setelah itu, Erni pun datang ke ruang UGD dengan tampilan yang membuat mata pria tidak bisa lepas. Dress merah maroon yang cerah, celana ungu panjang yang selaras juga sepatu mahal berlian yang berketuk-ketuk membuat Amelia berdiri mematung melihat Erni yang sedang berjalan menghampirinya.

Ia ingin membuka mulut, namun Erni sudah melakukannya duluan.

"Pembunuh. Ngapain lo di sini?"

Pembunuh? Maksud Erni apa?

"Gu ... gue gak ngerti apa maksud kedatangan lo ke sini dan menyebut gue pembunuh. Apa niat lo?"

"Lo tuh sadar diri, dong. Sebenci-bencinya lo sama Farhan, setidaknya jangan racunin dia dong." ucap Erni memanas, sehingga Amelia juga tidak mau kalah.

"Maaf ya. Gue gak tahu apa maksud lo mengatakan begitu. Lo bilang gue ngeracunin dia? Sadar diri dong! Lo jangan fitnah gue. Lo gak usah ikut campur rumah tangga orang!!" geram Amelia menunjuk-nunjuk Erni.

"Gue berhak untuk menjadi penasihat rumah tangga lo!" Erni juga tidak mau kalah menunjukkan kegeramannya pada Amelia.

"Ya setidaknya jangan kirim tikus mati kek apa kek segala macam ke apartemennya! Tidak sopan tahu!"

"Cemen! Intinya lo sengaja membunuh suami lo sendiri! Lo ngeracunin dia dengan mengirimi dia sekotak kopi, kan?"

"Mana buktinya? Jika gue bunuh dia?"

"Nih!!!"

Spontan Erni memperlihatkan postingan Facebook milik Farhan.

(Terima kasih untuk hadiahnya, dokter Amelia.)

Jelas-jelas yang Farhan terima adalah sekotak kopi tubruk. Foto itu menunjukkan tulisan pengirim dari Amelia Riyanti.

[Bukankah itu ... foto sebulan lalu?]

Seingat Amel, dia diberitahu oleh orang tuanya jika mereka mengirim kopi tubruk ke Farhan namun atas namanya sendiri. Dan postingan itu sudah ada sejak satu bulan lalu. Tak mungkin kopi itu mengandung racun.

"Hei. Lo tidak usah fitnah. Darimana lo tahu kalau suami gue diracun? Hah?"

"Gue sempat bertemu dengannya kemarin. Katanya dia mengeluhkan soal dirinya yang sakit. Dan sudah jelas gue bisa lihat sakitnya di mana. Dia sudah diracun oleh kopi yang lo kirim."

Tangan Amelia langsung bereaksi dan mendorong tubuh Erni. "Hei! Mana mungkin Farhan akan ketemu lo jika lo sendiri yang mengirimkan ancaman beberapa kali padanya. Farhan akan menolak kedatangan lo! Berpikirlah secara logis! Gue gak pernah berniat melakukan itu!"

"Terus postingan di Facebook-nya apa? Hah? Masih mau mengelak lagi?"

"Jangan fitnah!" teriak Amelia dan menampar wajah Erni dengan berani.

Erni sontak memegang wajahnya yang kena tampar tadi. Wajahnya tertutup oleh rambutnya saat tamparan tadi.

"Gimana? Puas? Masih mau tampar lagi? Dasar tukang adu domba! Pengganggu rumah tangga orang!"

Seolah puas dengan semua itu, Amelia menarik tangan Erni untuk mengusirnya keluar dari rumah sakit.

Sementara itu, sepasang suami-istri renta datang ke depan ruang UGD dan mereka langsung dipersilakan masuk. Mereka adalah Musa dan Yatmi. Mereka juga diberi kabar oleh tim medis bahwa Farhan sedang sekarat di ruang UGD. Makanya ketika mereka baru saja ingin naik kereta untuk pulang, mereka baru saja mendapat kabar tersebut dan menunda kepulangan mereka ke Surabaya.

Di sisi lain, Amelia dan Erni masih belum selesai membicarakan hal yang terkait dengan Farhan yang diduga diracun. Mereka berada di depan gedung rumah sakit untuk bicara empat mata.

"Erni. Jujur gue gak mau membuka ini lebih jauh lagi. Tapi serius, lo tuh udah berlebihan, tau gak?"

"Berlebihan soal apa maksud lo?"

"Lo menuduh fakta yang belum ada kebenarannya. Lo bilang bukti konkretnya ada di postingan Facebook, kan? Mana mungkin lo jadikan bukti bahwa dia diracun? Lo mana tahu itu!"

Senyum simpul Erni mulai terlihat.

"Jangan-jangan, lo gak sekolah apa?"

Erni menanggapi semua pernyataan Amelia yang menurutnya absurd itu. "Lo gak sadar ... jika perbuatan busuk lo akan berdampak ke suami lo?"

Amelia mengernyitkan keningnya tidak mengerti.

"Lo sadar ... jika kopi tubruk yang lo kirim itu rupanya adalah racun?"

Erni melangkah dan menatap lekat Amelia dengan tajam.

"Ingatlah ini. Racun yang ada dalam kopi tubruk itu, efeknya akan berdampak pada beberapa minggu setelah dia meminum kopi itu. Gue tahu karena gue pernah masuk ke asramanya dan menelisik kopi itu."

Erni mendekatkan mulutnya ke telinga Amelia berbisik. "Gue mencium bau anyir di dalam kopi tubruk itu. Dan itu sebabnya busa racun tersembur keluar dari mulutnya."

Pendengaran Amelia seolah mengatakan bahwa itu tidak benar. Dari feeling-nya, mana mungkin ia meracuninya hanya melalui kopi tubruk itu.

Memang benar bahwa kopi tubruk itu miliknya dan Yusran mengatakan kalau kopi itu pernah dicicipi oleh Farhan dan rasanya enak dan tak terjadi apa-apa. Bahkan Yusran pernah menghirup aroma kopinya dan tidak ada bau anyir seperti yang dikatakan Erni. Bau anyir semacam apa yang dimaksud? Bau racun yang menyeruak ke seluruh kopi bila memasukkannya? Ah, mana mungkin itu.

"Lo gak usah fitnah. Justru gue yang ingin mengklarifikasi sesuatu. Gue rasa, lo kan yang ngeracunin Farhan?"

Erni melotot ketika pertanyaan itu keluar dari mulut Amelia.

"Jawab!!"

Erni rupanya masih tak sungkan menunjukkan senyum simpulnya yang dikenal licik.

"Sok membela. Memangnya ada ya sahabat meracuni sahabat sendiri?"

"ADA! Jelas-jelas itu lo! Lo juga yang ngirim tikus mati ke RS gue! Jangan ngelak lo!"

Emosi Amel sudah tak dapat terbendungkan lagi. Ia sangat geram dengan Erni yang masih menimpali kesalahannya.

"Berpikir terbukalah, Mel. Gue gak pernah jahatin siapapun. Lo aja yang berusaha ngejauhin Farhan."

"Jangan sembarangan bicara!!"

"Satu lagi."

Erni menghentakkan sepatunya dua kali lurus ke depan dan menyilangkan tangan ke dadanya.

"Jika lo sejahat itu, jangan anggap lo sebagai istri setianya dia. Sudah cukup kasihan dengan penderitaannya, malah lo perparah lagi. Tidak ada rasa kasihannya banget ya."

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top