Episode 14

*** 

PULPENNYA menari seirama dengan tangannya. Buku kecil itu tercoret dengan curahan demi curahan yang ditulis oleh pria atletis tersebug.

Tulisan demi tulisan ia tulis dengan sepenuh hatinya. Setelah bangun dari tidurnya, ia menyempatkan diri duduk di meja kerjanya untuk menulis diary di buku kecilnya. Dan ini adalah diary pertamanya setelah menikah. Sebelumnya dirinya sangat suka menulis diary, bahkan hampir bab per bab ia tulis. Namun diary lamanya berada di rumah masa kecilnya, yakni di Surabaya.

Setelah menulis diary di buku kecilnya selama hampir 30 menit, Farhan menyempatkan untuk berseragam lengkap secepat mungkin karena harus apel pagi jam tujuh.

Tiba-tiba, ada yang meneleponnya dari ponsel. Satpam di lobby. Mungkin ada tamu.

(Ada orang tua Pak Farhan yang datang ke sini. Silakan dijemput.)

Buru-buru Farhan dengan seragam lorengnya langsung keluar dari unit dan turun ke lobby untuk menjemput ayah dan ibunya.

"Ganteng banget anak bapak," puji Musa ketika melihat putranya berjalan menghampirinya.

"Loh, Bapak, Ibu. Sudah datang. Ayo, naik ke unitku." Farhan pun membantu mereka menenteng barang-barang yang mereka bawa. "Kenapa baru datang?"

"Ini tadi berangkat semalem. Malah sampai di sini pagi-pagi," ujar Musa sambil memutar-mutar tubuhnya capek.

"Kalau capek, istirahat aja dulu, Pak," ucap Farhan menyarankan, memencet tombol atas lift.

"Ndak usah, tho. Bapak mau lihat kamu pergi dinas dulu. Bapak belum bisa tidur kalau belum berangkat dinas." Musa terkekeh.

"Ih, bapak bisa aja."

"Nak Farhan, udah makan?" tanya Yatmi sambil memegang pundak anaknya.

"Belum, Bu. Nanti Farhan sarapannya di tempat dinas."

"Setidaknya sarapan dulu di sini. Nih, Ibu bawa pepes ikan. Sama, Ibu bawa nasi uduk buatan Ibu. Kalau mau makan, Ibu akan panasi makanannya, biar Nak Farhan bisa makan."

"Boleh, Bu."

Mereka sampai di unit 14 nomor 3 milik Farhan.

"Kamu sendirian aja, nak. Mungkin Amelia belum terbuka sama kamu. Sabar saja ya nak."

Ayahnya tahu tentang masalahnya, namun Farhan berusaha tak menggubrisnya.

Masuk unit, Farhan sedang mencari-cari sesuatu. Membuat Pak Musa bingung.

"Cari apa, tho Nak?" tanya Musa.

"Mencari sepatu tentara Farhan. Mana, ya?" Farhan memutar tubuhnya beberapa kali sambil menggaruk kepalanya.

"Astaga, Farhan ini. Dari kecil, sampai sekarang, masih suka pelupa." Musa pun berjalan menuju pojok kanan ruang keluarga samping lemari TV. Di situlah sepatu hitam anaknya tersimpan. Namun tertutupi oleh kantong kresek putih yang entah apa isinya.

"Nih. Lain kali jeli lagi mencarinya, Nak." Musa memberikan sepatu anaknya pada pemiliknya.

"Astaga." Farhan terkekeh sendiri saat sepatunya sudah terdeteksi keberadaannya, padahal letaknya tepat di belakangnya.

"Maaf ya Pak, kalau membuat Bapak susah," ucap Farhan sopan.

"Sifatmu ini mirip seperti kakekmu, Nak. Dia juga biasa begitu."

"Enggak apa-apa, Pak. Meski sedikit pelupa, tapi tetap Farhan anak kebanggaan ayah ibu, kan?"

Mereka hanya bisa tertawa melihat tingkah lucu Farhan. Sesekali Farhan harus menghibur ayah ibunya setelah perjalanan jauh dari Surabaya menuju Jakarta dengan transportasi darat.

"Iya deh, Nak. Bapak coba lihat ibumu di dapur. Mana tahu ibumu panaskan dulu pepes ikan dan nasi uduknya. Biar bisa makan bareng."

"Siap, Bu," ucap Farhan tersenyum lebar.

Setelah mendapat sepatunya, di duduk di sofa untuk memakai sepatu hitamnya. Dengan gagahnya, dia memamerkan lengannya yang agak kekar itu ketika gulungan lengan bajunya sampai di area bisepnya.

Kedua kakinya telah beralaskan sepatu hitam. Kemudian ia menyempatkan untuk bercermin, hanya untuk melihat bayangan wajahnya di depan cermin.

Dan ...

Sepertinya ia kelupaan lagi.

Benar, topi baretnya. Entah di mana lagi itu topi baretnya. Tadi malam Farhan ingat betul sudah siapkan semua sebelum berangkat pagi-pagi sekali.

Niat untuk berbalik menuju lemari, rupanya Musa sudah ada di belakangnya. Membawa topi baret hijau milik Farhan itu.

"Gagah betul nih anak Bapak!" Musa memuji.

"Nih, dipake dulu topi baretnya." Musa memberikan topi baret milik Farhan yang tadi kelupaan mengambilnya.

Saat topi baret itu terpakai di kepala Farhan, ketampananya semakin bertambah. Farhan memposisikan tubuhnya dengan menghadap lurus ke depan dalam keadaan tegap di depan cermin.

"Apa mau apel pagi, ya, sampai rapi gini?" tanya Pak Musa penasaran.

"Iya, Pak. Kebetulan banyak kegiatan di tempat dinas. Makanya Farhan mau berangkat pagi-pagi."

"Wah, semakin hari anak Bapak semakin rajin. Persis sekali seperti saat SMA dulu."

"Sarapan dulu, Nak! Sebelum berangkat!" seru Yatmi memanggil anaknya dari dapur. "Bapak juga!"

"Oh, dipanggil Ibu tuh, yuk sarapan dulu."

Ayah dan anak itu melangkah menuju meja makan untuk mencicipi makanan yang tadi dibawa orang tua Farhan.

Mereka pun sarapan bersama dengan kehangatan keluarga yang masih dipertahankan sampai sekarang. Bahkan Farhan merasa seolah terbawa pada masa kecilnya saat dirinya selalu makan bersama dengan ayah ibunya. Berharap kebersamaan itu tak luntur oleh waktu.

*** 

Sementara Amelia, di waktu yang sama, dia sedang mencuci beras untuk masak nasi. Ya, Amelia masih menginap di rumah Yuna, sahabat karib Amelia. Alasan ia masih menginap dikarenakan harus memantapkan diri belajar UKMPPD. Ia lebih ingin sendiri karena harus konsentrasi untuk menghadapi ujian dengan 200 soal itu.

"Mel. Amel." Yuna dengan seragam casualnya memanggil Amelia dari dapur. Namun Amelia tak mengindahkan sahutan Yuna dan fokus mencuci beras.

"Mau sampai kapan kamu nginap di rumahku? Bukannya aku tidak mengizinkanmu, setidaknya pikirkan suami kamu di apartemen. Lebih enak tahu tinggal di apartemen. Masa sih kamu tinggal di rumah yang kumuh di sini. Jangan pikirkan dirimu sendiri lah."

Yuna seolah berbicara dengan angin. Karena Amelia tidak mau menoleh ke hadapannya dan masih fokus mencuci beras yang kini masih satu kali bilasan dan harus dicuci lagi.

"Terserah saja. Aku ... masih ada urusan di kampus. Kalau mau keluar, silakan pakai kartu debit yang ada di meja makan. Sudah aku taruh di situ."

Yuna tak meladeni Amelia yang masih sibuk dengan dunianya sendiri lalu pergi dari rumah sederhana yang ditinggali.

Bulir-bulir nasi telah tercuci. Setelah membuang sisa air beras, wadah tempat berisikan beras yang telah dicuci dimasukkan ke dalam wadah panci bagian dalam rice cooker. Di set sebagai cooking, Amelia harus menunggu sampai nasi itu dimasak.

Amelia pun tak keberatan melirik apa-apa saja yang ada dalam kulkas, meski di rumah temannya. Namun nihil, yang ia temukan hanyalah sayur layu, tomat layu, dan bumbu-bumbu yang sudah tidak terpakai.

"Yuna kenapa bokek bener. Apa harus makan yang instan-instan mulu ya, supaya bisa tercukupi?" keluh Amelia mengkritik temannya.

Ia juga mengeluhkan tentang uangnya yang lenyap bagaikan angin topan menerjang. Uang yang selama ini ia tabung rupanya sudah habis tidak cukup sampai seminggu.

Amelia yang kocak dan periang ini sudah hilang di dalam dirinya. Setelah mantap putus dengan Rio, ia malah bimbang tentang hatinya yang masih belum mengizinkan Farhan. Meski ia tahu bahwa Farhan itu baik dan peduli, tetap saja tidak ada rasa cinta dalam dirinya dan seolah dirinya benci pada pria itu.

Ia harus bagaimana, selain harus menghindarinya?

Rupanya ia baru kepikiran kalau Yuna menaruh kartu debitnya di meja makan. Yuna menyuruh Amelia untuk membeli bahan makanan memakai kartu itu, karena ia tahu bahan makanan di dalam kulkasnya sudah habis. Maka, Amelia lebih baik memanfaatkan waktunya untuk membeli sayur-sayuran dan bahan-bahan lainnya untuk ia makan nantinya.

Amelia bersiap untuk ke minimarket dengan berpakaian santai. Menurutnya itu nyaman-nyaman saja, selama yang dipakainya itu sopan kelihatannya.

Sesampainya di minimarket yang letaknya tak jauh dari rumah Yuna, ia mengedarkan pandangannya dengan bahan-bahan yang ingin ia beli. Ia bingung ingin membeli bahan apa. Ia juga harus membelikan bahan makanan untuk Yuna juga?

Setelah lama berkeliling dari satu lorong ke lorong lain untuk mencari bahan makanan, ia memutuskan mengambil kornet bentuk kaleng, sayur kangkung segar, paprika kuning dan merah, serta bumbu-bumbu penyedap. Semua ia beli per dua barang. Untuk Yuna juga. Rencananya makan siang nanti ia akan masak tumis kangkung paprika kornet. Ia nekat mencoba eksplorasi dengan menggabungkan sayur dan daging kornet.

Dan beruntung, total belanjaanya hanya 106 ribu saja. Tidak semahal yang dikira. Ia takut kalau isi saldo debit milik Yuna terkuras habis. Bisa-bisa ia kena marah olehnya.

Ia keluar dari minimarket itu, lalu di sisi kanannya ia melihat sepasang yang diduga adalah suami istri saling merangkul sambil mengumbar senyum. Mereka berjalan menuju mobil sembari mendorong kereta belanjaan yang mereka bawa.

"Sini, biar aku bantu," ujar pria itu lalu membuka bagasi mobil.

Pria itu mengangkat barang dan menentengnya seolah mengangkat beban yang sangat kuat sehingga ia bertingkah seperti kewalahan mengangkatnya. Wanita yang melihatnya itu langsung terdecak tertawa dengan aksi kocak suaminya.

"Ih, mas bandel deh," ucapnya tertawa lalu menghampiri suaminya yang sedang menutup bagasi mobil.

"Kenapa? Sebentar lagi kita akan jadi orang tua. Setidaknya menghiburmu adalah tugas pertamaku. Betul 'kan, sayang?" ujar pria itu mencubit pipi kanan istrinya gemas.

Amelia yang melihat pemandangan bagus ini tersenyum miring tanpa menunjukkan deretan giginya. Ia merasa bahwa mereka beruntung dalam urusan cinta. Sementara dirinya, entah mengapa ia masih belum bisa berhubungan baik dengan Farhan. Selagi dirinya sudah mengakui kebaikan hati Farhan, ia ternyata masih belum mendapatkan cinta yang mendalam dari hatinya. Bahkan Amelia masih belum menganggap Farhan suaminya. Rasa cinta itu belum tumbuh dan masih menjadi pertanyaan. Kenapa hanya Farhan yang harus menjadi suaminya?

Tepat pukul 09.30 pagi, ia sudah sampai kembali di rumah Yuna dan melihat nasi dalam rice cooker sudah matang.

Ini belum jam makan siang, tapi setidaknya ia harus mengerahkan tenaganya untuk memasak satu atau mungkin dua makanan utama karena sangking banyaknya bahan yang ia beli.

Amelia mencoba mengandalkan ponsel pintarnya untuk membuka aplikasi perambanan browser untuk mencari resep tumis kangkung unik di internet.

Ketika ia menemukan resep di web yang tepat, ia pun mengikuti langkah-langkah apa saja yang harus ia ikuti untuk memasak tumis kangkung.

Ia mengeluarkan semua bahan-bahan yang ia beli. Pertama-tama tentunya kangkung itu harus dicuci terlebih dahulu. Lalu bahan yang dijadikan bumbu semua ia potong dan cincang halus kemudian disisihkan untuk nantinya ditumis bersama dengan kangkung yang sudah dicuci.

Langsung saja ia menuangkan sedikit minyak goreng setelah mengolah semua bahan-bahan.

Saat ia memasukkan kangkung yang sudah dipotong-potong, ia sempat kesulitan saat memasukkan kangkungnya di teflon besar. Namun ia tetap berusaha mengaduknya sambil memasukkan bahan-bahan yang tadi sudah diolah sesuai instruksi dari internet.

Dia terus memasak sampai termakan waktu 1 jam 45 menit. Itu sudah termasuk mengolah bumbu dan mencuci bahan-bahan utama. Ia menata semua makanan yang telah dimasaknya di meja makan.

Amelia pun duduk di kursi sofa sembari memberikan kesempatan bagi dirinya untuk bernapas. Memasak seperti itu baru pertama kali buatnya. Itu pun harus mengikuti instruksi resep di internet.

Dan ia baru menyadari inilah pekerjaan rumah tangga yang sebenarnya. Tak sia-sia bagi dirinya untuk menikah. Tak sia-sia memang. Selama dirinya libur untuk mempersiapkan ujian, ia harus merenung sepanjang hari di rumah Yuna. Bahkan di TV juga tidak ada yang menarik, jadinya ia lebih memilih merenung. Atau jika bosan, ia kembali membaca buku-buku materi fotokopi yang sudah ia kumpulkan sejak masih kuliah.

Terpikir olehnya sebuah pertanyaan. Pertanyaan yang menurutnya menjadi momok bagi dirinya.

Kira-kira, bisakah kembali ke masa lalu dan melakukan pendekatan pada Farhan sebelum menikah? Iya, mereka memang memiliki banyak kecocokan. Selain proporsi wajahnya beserta warna matanya yang terbilang mirip, mereka juga memiliki sifat yang berbanding terbalik. Apa salahnya untuk menikah dengan Farhan? Lagipula Farhan juga mencari jodoh untuk dirinya kelak.

Kenapa saat itu dia tidak melakukan pendekatan dengan benar? Bahkan dirinya berpikir bahwa dia dijodohkan mendadak hanya karena orang tua mereka bersahabat dan sedang memiliki bisnis kerja bersama. Disitu dirinya muak dan ingin mangkir dari acara perjodohan itu dan memilih memperkenalkan Rio saat itu. Namun orang tuanya menentangnya dan merasa bahwa Farhan adalah anak yang baik-baik.

[Pria polos seperti Mas Farhan kupermainkan. Dia adalah pria baik yang kutemui. Semua yang kulakukan padanya adalah sebuah ujian. Memang, dia tetaplah pria yang baik.]

(Ingatlah, Mel. Kamu harus kembali ke suamimu. Jangan membuatnya sedih.)

Sial, dia mengingat kata-kata Rio padanya.

Amelia menutupi wajahnya sembari mendecak kesal ketika pikiran itu terus menggerogotinya.

Tiba-tiba Yuna membuka pintu dan mendapati Amelia yang sedang frustasi di kursi sofa.

"Amel. Kamu kenapa lagi, sih?"

Amelia spontan mendongkakkan kepalanya lalu menyadari kehadiran Yuna yang tiba-tiba pulang ke rumah dan bertanya.

"Oh. Kamu sudah urus ijazah?" tanya Amelia

"Kebetulan sudah. Eh, kamu masak apa?"

Hidung Yuna peka oleh aroma tumis kangkung yang masih mengepul.

"Wah, masak kangkung nih?"

"I--iya," jawab Amelia pelan. "Tapi belum jam makan siang."

"Hei, sudah hampir jam 1 loh. Sudah jam makan siang. Sedari tadi mikirin apa, sih?" gerutu Yuna menarik kursinya untuk duduk di meja makan.

Amelia menyadari bahwa ia sudah berpikir sejauh itu bahkan memakan waktu hampir sejam.

Daripada ia berpikir yang tidak-tidak, lebih baik ia juga ikut makan bersama Yuna. Tadi ia tidak sempat sarapan, makanya ia tadi capek setelah masak.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top