Episode 12

***

(Satu pekan kemudian)

RIO yang dikenal produktif dalam menjalankan pertandingan membuat tenaganya nyaris terkuras oleh beberapa latihan juga kemampuan smash-nya saat bertanding. 

Namun sayang, Rio yang rencananya akan bertanding ke Thailand untuk babak kualifikasi, harus menerima nasibnya yang kini sedang sakit. Kondisinya lemah dan mengalami demam tinggi. Hingga saat di klub, ia disuruh pelatihnya untuk pulang dan istirahat.

Rio berjalan kaki jauh dari klub bulu tangkis dengan kondisi lemah. Dia bahkan tak tahu bahkan tak merasakan kalau dirinya sedang sakit. Wajahnya saja pucat dan berkeringat dingin.

[Sial. Ngapain Amel harus minta putus? Dia menikah? Beneran? Sama siapa?]

Obrolannya dengan Amelia beberapa pekan lalu membuat kepalanya tambah sakit. Lagipula heran. Kenapa Amelia mendadak membicarakan pernikahan? Dia bahkan tak pernah diberitahu sebelumnya.

Jelas Amelia berbohong untuk memisahkan dirinya dengan wanita itu. Mengatakan hal yang membuatnya tercengang untuk semata-mata fokus ujian itu boleh saja, tapi perkataan yang Amelia ucapkan bagaikan rantai yang telah digembok oleh kunci yang disebut 'janji'. Tak bisa dibuka gembok tersebut kalau kuncinya belum siap dibuka.

[Kalau kupikir-pikir, ucapannya tulus. Kira-kira, apa dibalik alasan Amelia mengucap putus padaku?]

Memikirkan hal yang rumit seperti itu membuat kepalanya tambah sakit. Mendadak dirinya mengerang sakit di bagian kepala kirinya. Ia memijit-mijit sebentar kepala kirinya agar pusingnya hilang.

"Astaga. Kenapa kepalaku makin sakit aja, ya?" keluh Rio langsung mengernyitkan matanya dan memberhentikan langkahnya.

Tiba-tiba Rio berjongkok dalam keadaan lemas sambil meremas kepalanya yang semakin terasa nyut-nyutnya.

Selang tak lama, ada seorang prajurit dengan seragam hijau lorengnya sedang melintas di seberang jalan dan mendadak melihat seorang pria bermata sipit sedang jongkok meremas kepalanya.

Setelah matanya tersorot pada pria itu, langsung saja tentara yang memakai baret tersebut berlari ke seberang jalan. Dia menolong pria itu karena merasa kasihan.

"Mas. Mas tak apa? Mas?" 

Prajurit itu memegang kening dan pipi Rio lalu merasakan panas yang tinggi.

"Mas sepertinya sakit. Saya bawa ke klinik terdekat, ya. Tunggu, biar saya rangkul Mas. Tunggu."

Pria tinggi itu berusaha membopong Rio ke punggungnya untuk segera dibawa ke klinik dokter terdekat. Untung saja saat dia berlari kecil tanpa berbelok sekitar 10 meter, dia melihat sebuah klinik rumahan yang juga banyak pasien berdatangan di klinik itu.

*** 

Setelah memeriksakan kondisi Rio dan memberikan resep obat, Rio duduk di ruang tunggu pasien. Ia sedari tadi belum melihat siapa pria yang menyelamatkannya tadi karena matanya memicing.

Tak lama, pria berbaju loreng itu menghampiri Rio dengan membawa air putih hangat di dalam cup kecil.

"Nih. Masih hangat. Dipegang dulu." Ia membimbing Rio memegang cup kecil itu dengan hati-hati. "Sesuai anjuran, minum obatnya setelah makan. Pastikan perut kamu sudah terisi. Kebetulan, aku membeli roti keju. Makanlah dua roti ini," ucap pria itu dengan suara berat seraknya yang khas.

Pria itu memberikan dua roti kembung pada Rio yang kondisinya masih memicingkan matanya.

Ia tersenyum lalu membimbing tangan Rio kembali untuk membuka plastik kemasan roti itu.

"Meski kamu masih lemah, kamu butuh makan. Nih, makan dulu. Lalu minum obatmu."

Karena masih belum dapat melihat benar siapa orang itu, Rio pun mengikuti saran dari orang yang menyelamatkannya itu, meski hanya mendengarnya melalui suara.

Ia memakan roti keju yang sudah dibuka kemasannya, melahapnya perlahan sehingga bisa diisi banyak di dalam perutnya.

Setelah mulutnya melahap roti sekitar tiga-empat kali, ia pun diberikan obat oleh pria itu ketika merasa perutnya sudah terisi.

Dua kaplet obat telah tertenggak lalu meminum air yang dipegangnya tadi agar obatnya ternetralisir ke dalam tubuhnya.

Sejenak, fokus pandangannya yang sedari tadi buram itu akhirnya terlihat jelas kembali. Ia menoleh ke sisi kirinya dan melihat seorang pria dengan rahang tajamnya serta pipi agak berisi berada di hadapannya. Ia nyaris kaget ketika pria itu adalah seorang tentara.

"Maaf, Anda ... siapa ya?" tanya Rio pelan dengan suaranya yang masih serak.

Karena penglihatannya yang sudah semakin jelas, ia melihat nama yang tertaut di baju loreng pria tersebut.

Farhan Heriyanto. Itu nama pria yang tadi ditolongnya. Tapi ... kenapa tentara?

Ia juga bsrkesempatan melihat pangkat yang ada di kerah baju. Tiga balok. Berarti dia adalah Kapten.

"Anda Farhan Heriyanto?" tanya Rio kembali setelah mengetahui namanya.

Farhan mengangguk sambil tersenyum.

"Kok Anda menolong saya? Apa kebetulan Anda melihat saya sakit?"

"Kalau aku biarkan begitu saja, apa kamu akan pingsan di jalan dan tidak diperhatikan orang?" Farhan mulai memalingkan wajahnya. "Aku menolong bukan karena ingin gengsi, melainkan aku kasihan melihat kamu pusing di jalan. Daripada nanti kamu sekarat."

Alih-alih harus bertanya lagi, ia mengucapkan banyak terima kasih kepada Farhan karena telah menolongnya tadi saat ia nyaris sekarat karena demam.

Bayangkan jika tidak ada orang yang menolongnya. Ia akan jatuh pingsan di jalan dan dirinya harus dirawat di RS yang penuh dengan berbagai pengurusan. Harus panggil wali atau apalah. Ia tak mau merepotkan orang tuanya ataupun Amelia.

"Nama kamu siapa?" Farhan bertanya membuka obrolan hangat dengannya.

Rio buru-buru mengusap tangannya dan menyodorkannya pada Farhan untuk berkenalan.

"Nama saya Rio Yudistira. Aku lebih suka dipanggil Rio. Rio aja kalau bisa. Aku atlit bulu tangkis."

Farhan hanya mengangguk sembari tersenyum.

"Kamu pemain bulu tangkis ya? Istriku juga suka nonton bulu tangkis. Dia tidak pernah sekalipun melewatkan pertandingan bulu tangkis ketika ditayangkan di TV. Bahkan ketika lagi tugas, dia menontonnya di ponselnya."

Farhan dengan senang hati menceritakan rinci demi rinci bahwa istrinya juga suka nonton bulu tangkis. Mendengar itu, Rio terkesima.

"Wah. Berarti dia juga nonton saya dong pas tanding?"

"Emm ... bisa jadi. Pokoknya dia suka dengan hal-hal yang berbau bulu tangkis. Nama-nama pemain bulu tangkis aja dia hafal. Termasuk kamu juga."

Farhan pasti tahu orang yang menolongnya tadi ada sangkut pautnya dengan Amelia. Mungkin, seseorang yang begitu.

"Ngomong-ngomong, kalau boleh tahu. Apa pekerjaan istri Anda? Sampai Anda bilang dia tetap nonton bulu tangkis di saat tugasnya?" tanya Rio penasaran ketika dia sudah nyaman berbicara dengan Farhan.

"Umm ... dokter."

"Dokter? Dokter apa?"

"Bukan dokter sungguhan. Melainkan masih koas."

"Ko ... koas?" ucap Rio terbata-bata. Farhan mengangguk.

"Koas di mana?"

Wajah mereka berdua otomatis muram, saat pertanyaan itu digantung selama 90 detik.

"Aku belum tahu di mana dia koas. Bahkan dia tak mau pulang ke tempat tinggalku di apartemen."

"Ke apartemen? Maksudnya apa ya? Kenapa istri Anda tak mau tinggal bersama Anda?" Rio mencoba terbuka dengan Farhan yang mendadak mencurahkan isi hatinya.

"Aku juga kurang tahu," jawab Farhan menggeleng.

Rio menghela napas kasihan. "Saya merasa tidak enak dari apa yang Anda katakan. Mungkin ... ada masalah internal atau apa pun itu. Ceritakan baik-baik sama dia. Terbuka sama dia."

"Meskipun aku melakukan demikian, dia tetap tidak bisa mendengarkan. Walau aku merasa begini, aku masih bisa menafkahinya."

Rio terenyuh dengan tindakan Farhan yang mungkin jarang sekali dilihatnya. Rio juga berusaha ingin bertanya lebih lanjut pada Farhan, namun ia merasa tidak enak nantinya Farhan tersinggung.

Tapi pada akhirnya dia tetap bertanya lagi sangking penasarannya.

"Ehh, maaf jika saya melenceng. Nama istri Anda siapa, ya?"

Farhan bergeming sejenak. "Kenapa?"

"Mendengar Anda curhat seperti itu, membuat saya teringat sesuatu. Teman ... bukan, maksud saya, pacar. Pacar saya juga dokter dan tontonan favoritnya bulu tangkis. Dia juga masih koas. Kalau boleh tahu, nama istri Anda siapa?"

"Nama istriku ..." Ucapan yang keluar dari mulut Farhan membuat jantungnya sedikit berdetak. Semakin lama detakannya semakin kencang. Dan mulutnya tidak mampu untuk mengucap.

"Siapa?" Bola mata Rio membesar, menunggu rasa keingintahuannya jelas.

"Amelia Riyanti."

"Am ... Amelia?"

Mendadak di benak Rio terputar sesuatu.


"Gue udah nikah!" jawab Amelia spontan.

"Ni ... nikah? Apa maksudmu?"

"Nikah sama siapa?"

"Nanti gue kasih tahu lebih lanjut lagi."

"Katakan saja sekarang. Siapa?"

Amelia menggenggam tangan Rio untuk menenangkannya. "Akan aku kasih tahu kalau sudah saatnya."

Rio tertawa kecil menunjukkan deretan giginya. "Kamu sengaja mempermainkanku, ya?"

"Bukan bermaksud permainkan," kata Amelia bersikeras. "Iya! Kita ini berteman sudah lama sekali, dan kita baru saja ingin memulai hubungan, tapi karena suamiku...  suamiku yang menyebabkan semua ini," tutur Amelia sedikit emosi.

*

Pertanyaan Rio terjawab sepenuhnya. Dia tahu pria berseragam loreng itu ternyata adalah suami dari Amelia. Dia juga baru menyadari sorot mata Amelia yang terasa seperti kejujuran.

Amelia minta putus pada Rio supaya dirinya tidak sakit hati melihat suaminya. Namun yang dikatakan Amelia itu salah. Alih-alih sakit hati, dia justru kecewa dengan sikap Amelia yang terlalu kelewatan. Mendengar curhatan Farhan tadi membuat Rio sangat ingin menelepon Amelia untuk membujuknya kembali ke sang suami dan menyelesaikan masalah. Rio menganggap Amelia tidak punya respect pada suaminya.

[Aku tak tahu apa-apa pada awalnya. Bahkan aku masih kecewa terhadap apa yang dikatakan Amelia kepadaku. Tapi ... aku ingin menyuruh Amelia untuk kembali pada suaminya. Persetan dengan cinta kami.]

Rio merasa insecure melihat Farhan yang lebih tampan darinya.

[Kalau gini, aku justru tidak enak memacari istri orang. Bagaimana jika dia tahu semuanya, ya?]

Mendengar suami Amelia sebagai prajurit membuatnya merinding.

"Ah, sudah waktunya." Farhan tiba-tiba memberikan kartu ATM miliknya pada Rio. "Kamu ambil saja dulu, belilah makanan untuk dirimu sendiri."

Tampaknya Farhan tak keberatan memberikan kartunya pada Rio. Dan kini Rio masih tidak enak dengan Farhan yang telah berbaik hati padanya.

"Ta ... tapi ..."

"Ini nomor teleponku. Kamu tarik saja uangnya terserah mau berapa. Oke?"

Farhan menepuk pundak Rio lalu beranjak meninggalkan Rio sendirian di ruang tunggu klinik.

Meskipun begitu, Rio tetap bersyukur dia bisa sehat kembali berkat Farhan. Dia menghargai kebaikan hati lelaki itu.

Rio sama sekali tidak sakit hati atau cemburu. Malah Rio senang masih ada orang yang baik padanya. Bahkan ia anggap orang itu sangat baik. 

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top