Episode 11

***

(Satu pekan lalu)

SAAT Amelia mendesak Rio ke restoran ayam penyet yang pernah mereka datangi untuk membicarakan sesuatu. Saat itu Amelia masih ingat dengan tindakan nekatnya kepada Rio.

Jam 5.45 petang, Rio dan Amelia duduk berhadapan di kursi yang persis sama dengan yang mereka tempati dulu sebelum Rio berangkat ke Singapore. Amelia masih ragu-ragu, bahkan sampai memegang kedua tangannya dan memainkan kuku ibu jarinya bersamaan.

"Amel. Kenapa wajahmu masam gitu? Ada yang kamu sembunyikan dari aku?" tanya Rio penasaran.

"Rio," panggil Amelia mulai serius. "Saat kita memulai hubungan ini, aku pernah janji suatu hal sama kamu, 'kan?"

"Enggak tuh," jawab Rio cepat.

"Aku pernah ucapkan janji. Jika ... aku sudah mulai serius ingin fokus ujian, kita akan putus. Tapi putusnya hanya sementara."

Rio mengerutkan dahinya, memberikan kesempatan dirinya untuk berpikir. "Ah, iya. Aku ingat. Sesaat sebelum aku mengatakan cinta sama kamu. Iya, aku ingat."

"Tapi, aku kasih tahu kalau ..." Ucapan Amelia terhenti dan mulutnya terkunci seolah tidak rela ingin membocorkan semuanya. "Lebih baik kita pisah aja."

Rio menaikkan alis. "Apa maksud kamu? Pisah?" tanya Rio meninggikan suaranya.

"Pisah. Tidak ada hubungan apa-apa lagi," ucap Amelia pelan.

"Hei, hei. Apa maksudmu sih? Katamu ujian sebentar lagi, tapi kamu minta putus?"

"Mungkin sebentar lagi aku akan hadapi ujian koas, tapi aku enggak bisa sia-siakan waktu untuk sekadar keluar pacaran sama kamu. Sebab, aku harus belajar. Pun kamu punya waktu untuk latihan pertandingan bulu tangkis, 'kan? Mustahil kita saling ketemu."

Rio tercengang saat mendengar Amelia mengatakan ingin putus secara permanen. Bahkan Rio telah menyatakan perasaannya pada Amelia dengan syarat itu. Tapi kenapa harus sampai mendadak begini?

"Iya, aku tahu kamu bakal fokus ujian. Tapi kamu sendiri yang bilang, kalau kita putusnya cuma sementara doang. Setelah kita tidak ada kegiatan lagi, kita boleh pacaran. Lalu apa ini? Wah, pasti ada yang kamu sembunyikan ternyata."

Rio menatap lekat Amelia, meminta klarifikasi yang sejujurnya. Tatapannya seolah serius dan tidak ingin adanya kebohongan.

"Jadi ... benar rumor itu?"

Amelia tak tahu apa yang harus diucapkan.

"Aku tak mau kamu kecewa," lanjut Amelia.

"Kecewa kenapa, sih? Kecewa kenapa memangnya?"

"Aku sudah menikah!" jawab Amelia dengan cepat. "Rumor itu memang benar, aku menikah dengan laki-laki lain."

Rio mulai tidak karuan, seolah merasakan hatinya diguncang bom yang amat dahsyat. Amelia benar-benar menikah?

"Nikah? Nikah sama siapa?" tanya Rio ingin meluapkan emosinya.

"Nanti aku kasih tahu lagi."

"Katakan saja sekarang. Siapa?"

Amelia menggenggam tangan Rio untuk menenangkannya. "Akan aku kasih tahu kalau sudah saatnya."

Rio tertawa kecil menunjukkan deretan giginya. "Jadi kamu sengaja permainkanku, ya?"

"Bukan bermaksud mempermainkan," kata Amelia bersikeras. "Iya! Kita berteman sudah lama sekali, dan kita baru saja memulai hubungan, tapi karena suamiku ... suamiku yang menyebabkan semua ini."

"Enggak percaya. Sejak kapan kamu menikah?" tanya Rio kembali. "Sejak kita baru saja pacaran, begitu? Kamu memandang kelemahanku yang sering emosian, begitu? Jadinya kamu tidak suka padaku dan memilih orang lain, begitu?"

Amelia semakin merasa tak enak dengan cercaan tersebut.

"Aku butuh bukti. Aku tak percaya kalau kamu sudah menikah. Jujur, aku sangat mencintai kamu. Sangking bucinnya, sampai aku bahkan tak percaya dengan kabar yang kamu lontarkan. Jadi kamu sengaja memanggilku ke sini hanya untuk mengatakan hal itu?" tanya Rio gerutu memanas hati. "Aku tak bisa menerima putus darimu jika belum memberiku bukti."

Rio sedari tadi menjadi liar karena dibutakan oleh cinta. Apa Rio sebelumnya tidak merasakan cinta?

"Jadi, kamu minta bukti sekarang?

"Iya. Aku tahu kamu akan mencoba membuatku hampir naik emosi, 'kan? Kita bisa putus, tapi bukankah sebaiknya kita LDR saja? Daripada segalanya sia-sia."

Amelia berpikir, Rio rupanya masih belum percaya. Dengan mengatakan dirinya telah menikah tak sekali membuat Rio percaya.

[Apa jangan-jangan aku belum mengenalkan suamiku padanya?]

"Baiklah. Tapi, jika aku sungguh menunjukkan bukti itu, ikuti perkataanku saja. Daripada menanggung sakit ke depannya.

Rio tiba-tiba menyambar tangan Amelia dan menggenggamnya erat. 

"Tak ada bukti, berarti kita tak bisa putus. Toh, kurang logis juga kan kalau kita saling mencintai tapi bilang kamu sudah menikah seolah kita ingin saling menjauh?"

Rio menatap lekat Amelia baik-baik, seolah pandangannya tidak ingin lepas dari wanita itu. "Mel. Aku itu tidak bisa dibodohi. Aku bijak dan cerdik. Sama seperti saat bermain bulu tangkis. Aku bisa tahu dari arah mana lawan memukul bola agar gue bisa kalah."

Mata Rio sepertinya ada kode kalau dirinya masih ingin melanjutkan hubungannya tanpa perlu putus sementara. Baru terpikirkan di kepalanya bahwa dia boleh menjalani LDR meski mereka sibuk oleh kegiatan mereka masing-masing. Rio masih berhak untuk mencintai Amelia, apa pun itu.

* * *

Seminggu telah berlalu. Amelia dengan sangat seriusnya ingin jujur pada Rio. Namun yang ada Rio memintanya untuk jangan membodohi pria bermata sipit itu. Katanya dia tak bisa dibodohi, bagaimanapun caranya. Kecuali saat Amelia sudah memperlihatkan bukti konkretnya, maka dia bisa putus dengan tenang dari Rio

Bukannya Amelia benci pada Rio, dia hanya takut melihat Rio sakit hati dan terguncang mengetahui Amelia yang telah bersuami. Dia tak enak melihat situasi tersebut.

Meski tak berniat mengatakan yang sebenarnya sebab masih membenci suaminya, dia tetap melakukannya agar dia tidak perlu bertemu Rio lagi.

[Mungkin karena amarahnya yang membuatku ingin putus dengannya. Tapi di sisi lain aku masih suka sama dia. Aku tak mau meninggalkan bekas luka untuknya.]

Memikirkan hal tersebut membuatnya makin down saja. Dia berpikir, apa ada cara agar bisa membuatnya berpisah dengan Rio? Semakin bimbang saja.

"Amel. Kamu kenapa lagi sih?" Rena bertanya keadaan Amelia yang sedari tadi cemberut.

"Kamu lapar lagi, ya? Belum jam makan siang, tau." Susan menengok jam tangannya masih pukul 9 pagi.

"Tiga hari lagi kita mau ujian, nih. Pokoknya kita kudu semangat." Rena memberikan suntikan energi kepada dirinya juga teman-teman lainnya.

"Benar, benar. Penguji kita pokoknya jangan Dokter Yadi. Bisa-bisa aku ngompol dah pas ujian nanti," kata Susan bergidik.

"Tergantung kali. Yang uji kita siapa, tergantung. Nanti dapat penguji juga bukan kita yang pilih," jelas Rena.

"Yang penting, kita setelah ujian ini, koas kita juga selesai. Kita akhirnya bisa rehat untuk belajar ujian UKMPPD. Yes, yuhuu!!!"

Rena mulai melompat kegirangan, sangking semangatnya mengetahui bahwa koasnya bakalan selesai tinggal sepekan lagi.

"Ckckck. Ketularan gila nih anak!" gerutu Amelia.

"Dasar, aku tuh sudah ketularan gila dari kamu juga kali." Rena membela, mulai duduk kembali di tengah-tengah Amelia dan Susan.

"Pokoknya semangat aja. Kita konsisten refresh materi-materi yang sudah kita pelajari selama 4-5 minggu ini."

Amelia, Rena, dan Susan saling berpelukan dan menyoraki diri mereka agar tetap konsisten untuk mengikuti ujian akhir stase bedah ini.

"Semangat!!!"

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top