⚖️PROLOG⚖️
"Libra Daily Horoscope"
Percintaan
Mari menjadi nyata, Libra. Bukankah akhir-akhir ini kamu selalu bertanya-tanya akan jodoh? Bisa jadi seseorang yang menyelamatkanmu adalah takdir di masa depanmu.
Kesehatan
Jika kamu berencana bepergian ke luar rumah, berhati-hatilah saat berkendara. Berjalan kaki adalah cara aman dan sehat untukmu.
Zodiak yang cocok dengan Libra
Sagitarius, Leo, Gemini, Aquarius, dan Libra.
⚖️ ⚖️ ⚖️
"Serius?" Libra memelototi kalimat-kalimat yang baru saja dibaca dari layar gawai. Mata yang sudah lebar itu semakin membola demi memperjelas tulisan artikel. Dipotongnya jarak antara netra ke layar hingga sedekat mungkin.
Poni yang selalu jadi ciri khas seorang Libra Salsabila, menutupi sebagian wajah. Dengan serius ia baca ulang Daily Horoscope. Memahami tiap kalimat yang dikatakan oleh panutannya itu.
"Apanya?" tanya Febi yang masih sibuk menepuk-nepuk wajah dengan bedak tanpa menoleh. Wajib hukumnya bagi Febi untuk memastikan penampilan sempurna. Jangan sampai bekas jerawat sisa siklus datang bulannya kemarin yang ada di pipi terlihat. Bisa merusak pamor.
Libra memiringkan tubuh menghadap Febi demi memperlihatkan gawai ke muka sahabatnya. Dia menggoncang bahu Febi agar mendengarkan ucapannya. "Katanya hari ini aku bakal ketemu my prince charming."
"Bagus dong." Febi menanggapi sambil lalu. Bukan hal aneh jika Libra selalu antusias membahas ramalan zodiak. Mengenal gadis berkepang dua ini sejak setahun lalu, membuat Febi hafal akan kebiasaannya. Yakni membaca Daily Horoscope. Bukan sekadar baca, tapi juga sangat percaya.
"Siapa? Di mana? Kapan? Atau jangan-jangan aku udah ketemu sama dia, Bi? Duh, gimana kalau aku nggak sadar udah ketemu dia?" Libra menggigiti ujung kuku jempol kiri. Dahinya berkerut, mengingat siapa saja lelaki yang ia jumpai hari ini.
Febi menggulir bola mata kesal. "Mana gue tahu, Dodol."
"Kira-kira yang zodiaknya sagitarius, gemini, aquarius, terus apalagi ini?" Digulirnya kembali layar ponsel ke atas. "Ah, libra dan leo, siapa, ya, Bi?"
"Gue aquarius," jawab Febi cuek.
"Maksudku yang cowok, Bi. Kan ini jodohku. Memangnya kamu mau jadi jodohku?" protes Libra sambil cemberut.
"Astaga, Li, gue nggak tahu. Lagian ngapain mikirin ramalan bintang sampe kepala lo puyeng? Hidup lo ribet banget deh. Kita masih kelas 2 SMP, Li. Masih lama banget buat nikah. Lagian nih, semisal ramalan itu bener, memang kenapa? Kalo ternyata kalian tadi udah ketemu, terus kenapa? Lo tinggal nunggu sampe ketemu lagi. Gampang kan? Dah ah, gue balik duluan. Papi udah nunggu di depan." Febi melenggang meninggalkan Libra yang masih terbengong.
Gadis berbibir penuh itu kembali menggigiti kuku. Tampak keningnya berkerut dalam. Antara percaya tak percaya dengan ramalan hari ini. Hingga sebuah pesan masuk membuyarkan lamunan.
Pesan masuk: Bangsat
Lo balik sendiri. Gue ada kelas tambahan.
Pesan dari Satria-satu-satunya kakak lelaki Libra-membuat wajah gadis itu kembali cemberut. Terpaksa siang ini dia harus naik angkot. Padahal cuaca sedang tidak bersahabat. Matahari seolah sedang mengamuk. Sampai-sampai Libra mengira Jakarta pindah ke Gurun Sahara.
Baru beberapa menit berdiri di pinggir jalan, punggung bajunya sudah terasa lembab oleh keringat. Libra sempat bimbang, haruskah ia naik taksi saja? Namun, uangnya bakal berkurang drastis. Padahal ia berencana membeli sepatu kets baru. Kalau jalan, seperti kata ramalan zodiak, bisa-bisa dia sampai rumah nanti sore. Jarak sekolah ke rumah lebih dari 15 km. Alhasil ia memutuskan untuk naik angkuta umum. Kalau tahu begini, Libra akan menumpang mobil Febi sampai rumah. Secara, rumah mereka hanya terpaut beberapa blok.
Sambil menunggu bus lewat, Libra kembali membuka telepon genggam. Mungkin saja ada ramalan yang berbeda di artikel lain. Dia tetap tidak ikhlas kalau ternyata sudah melewatkan kesempatan untuk tahu kira-kira bagaimana tampang jodohnya kelak.
Terlalu asyik berseluncur di dunia maya, membuat Libra kurang awas terhadap sekitar. Dia tidak sadar saat segerombolan orang mendekat ke halte tempat Libra berdiri. Telinga Libra seolah tuli. Tidak mendengar hiruk pikuk di belakangnya.
Hingga satu senggolan keras, saat Libra memasukkan ponsel ke saku rok, membuat gadis itu terhuyung ke depan. Kaki yang tidak siap menerima tubrukan serta tambahan beban, membuat Libra terpeleset dari trotoar. Untung saja tidak sampai tersungkur. Jelas Libra bisa malu setengah mati kalau harus mencium aspal di depan umum.
Terlalu sibuk dengan keterkejutan, membuat Libra tidak memperhitungkan bahwa dari arah kanan muncul bis kota. Tidak kencang, bahkan angkutan umum itu bersiap untuk berhenti. Namun, cukup membuat Libra berteriak histeris.
Sepelan-pelannya kendaraan, benda itu tetap saja terbuat dari besi dan baja. Minimal tubuhnya akan terpelanting dan berakhir dengan lebam. Lecet-lecet sudah pasti tak terelakkan.
Ya, itu semua sudah pasti terjadi seandainya tak ada seseorang yang menarik Libra dengan cepat. Dalam hitungan detik, tubuh Libra sudah kembali berada di trotoar. Selamat dari kemungkinan tabrakan yang terjadi.
Seharusnya dengan berpindahnya posisi Libra, suara tabrakan tak akan terdengar, bukan? Namun, teriakan kaget disertai suara debuman tetap saja masuk ke indra pendengarannya.
Keterkejutan kembali menyapa. Lelaki bercelana pendek hitam dengan kaus oblong abu-abu itu tergeletak di jalan dengan posisi telungkup. Libra memekik kencang dengan mata melotot lebar. Ia tak menyangka akan mencelakakan seseorang.
Dalam hitungan detik, lelaki itu dikerumuni orang. Ada yang mencoba menyadarkannya, ada juga yang cuma ingin tahu. Dengan tubuh bergetar hebat, Libra memaksakan kaki untuk mendekati penyelamatnya itu. Ia harus memastikan kondisi orang tersebut.
"Permisi." Dengan suara parau Libra menyibak kerumunan. Otaknya sudah mengembara jauh. Bagaimana kalau lelaki ini sampai meninggal gara-gara dia? Libra jelas khawatir setengah mati.
"Lo enggak apa-apa kan?"
Tubuh Libra luruh di panasnya aspal begitu mendengar pertanyaan dari sang Penyelamat. Terlebih saat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa lelaki itu tengah duduk tegak di jalanan. Rasa lega langsung memenuhi hati Libra. Tangis kencang pun tak bisa ia tahan.
"Kenapa jadi lo yang nangis woe? Kan gue yang ketabrak."
Ucapan lelaki itu semakin membuat isak Libra mengencang. Tidak masalah kalau dirinya dicap cengeng. Tidak masalah kalau dirinya dikatakan lebay. Yang penting laki-laki ini baik-baik saja.
"Mangkane, Mbak, nak ning ndalan ojok ngalamun!" tegur sopir bis yang hampir saja menabrak Libra, sebelum ia kembali ke dalam bis. (Makanya, Mbak, kalau di jalan jangan melamun!)
Tak butuh waktu lama hingga kerumunan itu menjadi sepi. Bahkan entah bagaimana ceritanya, saat ini Libra sudah berpindah duduk di bangku halte bis. Sisa isak tangisnya masih sesekali terdengar.
"Nih, hapus ingus lo."
Libra menatap tangan putih lelaki di depannya yang mengangsurkan secarik saputangan. Bimbang antara malu dan butuh. Kalau dia menyeka air mata, itu artinya dia harus membersihkan hidung juga kan? Tentunya akan ada suara yang memalukan. Namun, jika ia membiarkan saja, bukan tidak mungkin wajahnya penuh dengan ingus.
"Ini cepetan diambil elah." Lelaki itu menyumpalkan saputangan ke telapak Libra. "Lo ada yang sakit enggak? Kita perlu ke rumah sakit enggak?"
Libra mengusap sisa air mata sambil menunduk. Rasa malu dan takut akan amarah laki-laki di depannya muncul menggantikan keterkejutan tadi. Ia tak berani mengangkat wajah. Demi menghentikan gemetar di ujung jari, lagi-lagi Libra menggigiti kuku jempol.
"Lo bisa ngomong enggak sih? Dari tadi gue tanya cuman diem."
Libra hanya mengangguk, tanpa berani menatap lawan bicara. Tatapannya jatuh terkunci pada betis kanan lelaki di depannya. Luka sepanjang sepuluh senti jelas terlihat di sana. Darah segar menetes hingga mengenai kaus kaki putih itu.
"Itu ...." Libra menunjuk betis tersebut. Ujung telunjuknya sampai bergetar saat menyaksikan luka itu.
Lelaki itu mengikuti arah pandang Libra. "Aaah ... ini cuma luka kecil. Paling tadi kena plat nomor."
Lelaki itu mengambil handuk kecil dari dalam tas punggung, lalu membersihkan noda darah. "Nah, beres kan."
Libra menatap pria di depannya. Baru sekarang ia benar-benar memperhatikan paras lelaki ini. Tampan. Super ganteng. Atau kalau kurang lebay, te.ra.mat.tam.pan.se.ka.li.ke.ce.ba.da.i.
Untung saja masih ada bagian dari otak Libra yang bekerja normal. Membuatnya tidak sampai ternganga. Gegas ia kembalikan perhatian pada luka itu. Bagaimana pun lelaki ini terluka karena menyelamatkan Libra. Sudah sewajarnya jika Libra bertanggung jawab.
"Tapi, Bang, itu lukanya masih terbuka," cicit Libra.
Lelaki itu tertawa lebar. "So what? Ntar juga nutup sendiri."
Lagi-lagi Libra terpesona dengan wajah tersenyum lelaki ini. Ia menebak kemungkinan dia seumuran Satria. Sekitar 17-18 tahun. Namun, jangan ditanya paras. Jelas berbeda 180° dari abangnya itu.
"Aku panggilin taksi ya, Bang. Kita ke rumah sakit dulu. Takutnya nanti infeksi." Libra gegas mencari letak ponsel di dalam tas. Karena terlalu terburu-buru, membuatnya lupa di mana menyimpan telepon genggam itu. Padahal baru saja ia pakai sebelum insiden kecelakaan itu.
"Lo sakit?" tanya lelaki itu sarat akan kekhawatiran. Ia mengamati tubuh gadis di depannya dari atas sampai bawah. Mencari kalau-kalau ada luka yang luput dari pengamatannya.
"Bukan aku, tapi Abang." Libra masih mengubek-ubek isi tas.
"Halah, enggak perlu. Cuma luka begini juga bisa sembuh sendiri. Lagian gue buru-buru."
"Tapi ... nanti bisa berbekas, Bang." Libra mengangkat wajah khawatirnya.
Lelaki itu tersenyum lebar. "Itu tandanya gue lakik," ucapnya sembari memperlihatkan otot bisep di lengan kanan.
"Tapi-" Ucapan Libra terpotong oleh teriakan seseorang yang dari seberang jalan.
"Leon!" teriak lelaki bertopi Nike. Dia melambaikan tangan. Tak lama, beberapa pemuda bergabung dengan lelaki itu.
"Gue duluan ya, temen gue sudah nungguin di sana." Lelaki itu beranjak dari duduk.
Libra cepat-cepat berdiri. "Tapi lukanya gimana, Bang?"
"Ini?" Lelaki itu menunjuk tepat di pertengahan betis kanan. Ia lalu tersenyum sambil menatap Libra. "Anggap saja bukti kalau kita pernah ketemu."
"Leon, cepetan!" Teriakan dari seberang kembali terdengar. Bukan sekali, tapi tiga kali, yang dibalas lambaian dari lelaki di depan Libra.
"Sabar kenapa!" teriak laki-laki itu ke seberang. "Gue cabut dulu." Lelaki itu menepuk ringan lengan Libra, sebelum berlari cepat menuju seberang jalan.
Tepat di tengah jalan, ia berbalik dan berteriak sambil menunjuk betis kanannya, "Lo harus hati-hati. Jangan sia-siain luka gue ini."
Libra tak memutuskan pandangan dari sosok itu, hingga pria tinggi tegap, berkulit putih itu hilang di pertigaan.
"Astaga! Aku belum sempat ngucapin terima kasih." Libra menepuk kening. "Aku juga nggak tanya nomor hape-nya. Dasar bodoh!"
Berkali-kali Libra menghentakkan kaki, hingga tanpa sengaja telepon selularnya terjatuh dari saku rok. Gegas ia pungut benda pipih itu. Jangan sampai rusak. Kata Ibun, angsurannya belum lunas.
"Ih, tadi dicariin nggak ketemu, begitu nggak dibutuhin—" Ucapan Libra terhenti. Matanya kembali melotot melihat ponsel saat ia membuka kunci layar. Tampak jelas deretan kalimat dalam rubrik zodiak.
Libra Daily Horoscope.
... Seseorang yang menyelamatkanmu adalah takdir di masa depanmu ....
Zodiak yang cocok ....
..., Leo ....
Dan semua yang tertulis di sana benar-benar terjadi. Haruskah Libra meragukan keabsahan ramalan bintangnya? Tentu tidak.
⚖️ ⚖️ ⚖️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top