⚖️Hero-2⚖️

Dari semalam Libra tidak bisa tidur. Otaknya penuh dengan kekhawatiran. Bolak-balik ia mengecek pemberitahuan di ponsel. Seandainya tidak dilarang oleh neneknya, Libra tentu memilih tidur di ruang tamu. Agar tahu saat Satria pulang.

Pagi ini, dari subuh Libra sudah berjalan mondar-mandir di ruang tamu sambil menggigiti kuku ibu jari. Baru duduk sedetik, ia kembali berdiri mengintip ke luar melalui celah jendela. Lalu sedetik kemudian mengecek layar HP. Begitu terus sampai tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi.

Celana dan kaus tidurnya semalam masih melekat di tubuh. Rambut panjangnya pun hanya ia ikat asal dengan karet gelang yang ditemukan di gagang sapu. Hari ini ia terpaksa izin kantor. Ada hal penting yang harus diselesaikan secepatnya. Biarlah besok dia dapat ceramah dari Alina. Yang penting hari ini dia harus menemui Satria.

Padahal di Senin pagi seperti ini, teller selalu ramai. Banyak nasabah yang menyimpan uang, tak sedikit pula yang menarik dana untuk perputaran usaha, ada juga yang mencairkan pinjaman. Walau khusus lending, biasanya menjelang siang.

Untung saja saat ini sudah ada teknologi bernama mesin ATM. Apalagi ATM bukan cuma untuk tarik tunai, tapi sudah bisa setor tunai dan transfer. Kartu itu sangat membantu kerja teller. Bayangkan jika semua nasabah harus mengantre di teller. Pasti seharian Libra akan berdiri melayani nasabah tanpa sempat istirahat.

"Satria masih belum pulang, Li?" Eliana, ibunda Libra, keluar dari kamar sembari menenteng sepatu pantofel.

Ia sudah rapi dengan rok kulot krem dan kemeja lengan 3/4 bermotif bunga-bunga cerah. Rambut sebahunya pun telah di-blow. Make-up tipis menghiasi wajah yang mulai menampakkan garis usia. Meskipun sudah lebih dari setengah abad, Eliana masih menjaga penampilan.

Kata Rosmawati, nenek Libra, raga seseorang dinilai melalui penampilannya. Jika dirinya sendiri tidak bisa menghargai tubuhnya, maka orang lain pun tidak mungkin menghargai kita.

"Bangsat nggak ngasih kabar ke Ibun, ya?" Libra menyusul Eliana menuju ruang makan. Mungkin saja kakaknya tidak berani pulang, tapi bisa jadi dia tetap menghubungi ibunya.

Eliana menghentikan gerakan tangan yang sedang menuang air dari botol ke gelas. "Ubah panggilanmu ke Satria, Li. Biar bagaimana pun dia abangmu. Apalagi kalau nenekmu sampai dengar. Bisa-bisa kamu kena omel. Dipikirnya kamu mengumpat."

"Terus aku harus manggil apaan, Bun? Dia beneran bangsat." Kejengkelan Libra sudah di tepi batas.

"Libra," tegur Eliana sebelum kembali menuang air. "Nanti coba Ibun hubungi Satria dari kampus." Eliana meletakkan gelas ke baki. "Kamu tidak masuk kerja?"

Libra menggeleng. "Gimana aku bisa kerja kalau Bang Sat bawa kabur uangku."

Terdengar hela napas panjang. "Kamu juga gegabah sekali menyerahkan uang puluhan juta ke Satria."

Libra nyaris kembali menangis kalau ingat perbuatan kakak laki-lakinya itu. "Aku pikir Bang Sat bisa dipercaya. Nggak tahunya malah kabur bawa uangku. Aku yang kerja keras, tapi Bang Sat yang habisin. Bangsat beneran kan, Bund."

"Libra," tegur Eliana entah yang ke berapa di pagi ini.

Menjadi seorang ibu tunggal tak segampang yang ia duga. Terlebih mengurus dua buah hati sambil bekerja. Banyak hal yang luput dari pengawasan. Termasuk tak begitu mengenal circle pertemanan putra putrinya. Hingga akhirnya Satria memiliki teman seorang residivis.

"Uang itu hasil kerjaku selama dua tahun lho, Bun. Aku tabung dikit-dikit. Sampai aku batasin jajan cuma biar bisa nyisihin uang. Kata Bang Sat, temennya yang namanya Mario itu broker handal. Makanya aku percaya waktu ngasih dua puluh juta ke mereka.

"Siapa coba yang bakal tahu kalau Mario ini penipu? Kalau kemarin aku nggak dikasih tahu Febi berita tentang Mario di TV, aku juga nggak bakal tahu sampai sekarang. Kupikir karena kenalannya Bang Sat, pasti bisa dipercaya. Eh, nggak tahunya malah buronan polisi.

"Ibun tahu kan, aku nabung buat apa? Dari dulu aku pengin banget ke New Zealand. Bang Sat juga tahu aku ngumpulin recehan buat apa. Tapi, bisa-bisanya dia nipu adiknya sendiri."

Eliana mengecek ponsel. Beberapa mahasiswa bimbingannya mengirimkan file skripsi mereka ke email. Nanti akan dia teliti setibanya di kampus. "Kamu jangan ambil kesimpulan dulu. Cari tahu hal yang sebenarnya bagaimana. Bisa saja Satria—"

"Lihat ibumu itu, selalu saja membela Satria. Sudah jelas anak itu produk gagal, masih saja dibela. Di mana-mana sampah bergaulnya juga sama sampah." Rosmawati menyela ucapan Eliana. Wanita berusia lebih dari tiga perempat abad itu berjalan terhuyung mendekat.

Tubuh rentanya memang sudah mulai lemah. Jika tanpa tongkat penopang, Rosmawati tidak bisa berjalan sendiri. Pengapuran di kedua lutut dan punggung sudah menggerus kegesitannya di masa lampau. Namun, ingatan dan mulutnya tidak ada masalah. Ia masih bisa mengingat detail kejadian sepuluh bahkan dua puluh tahun lalu. Mulutnya pun seperti tidak mengenal arti kata tua.

Peribahasa 'bagaikan padi, semakin masak semakin merunduk' sama sekali tidak bisa disandingkan dengan sosok Rosmawati. Wanita renta itu masih menjunjung tinggi harga diri dan keegoisannya. Siapapun yang dianggap tidak berguna, pasti akan dihabisi tanpa ampun. Seperti Pramono dan Satria.

Eliana memicing sejenak sambil memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke paru-paru. "Bukan begitu, Bu. Kita memang belum tahu cerita dari pihak Satria. Bisa saja saat ini Satria sedang mencari Mario."

"Dasarnya kamu yang bebal. Sudah kubilang untuk mengusir anak itu dari rumah ini. Biar dia ikut bapaknya yang sama-sama tidak berguna itu. Aku tak sudi serumah dengan kriminal."

Libra mengembuskan napas. Capek sekali rasanya. Matahari saja masih belum bersinar terang, tapi rumah ini sudah terasa panas. Seandainya bukan karena menunggu Satria, Libra jelas memilih bekerja daripada harus mendengarkan ocehan Rosmawati.

"Umurnya sudah lebih dari cukup untuk hidup mandiri. Lihat anak-anak lain seusianya. Mereka sudah mapan. Punya rumah, mobil, bisa mengumrahkan orang tuanya. Tapi anakmu itu apa? Kerja juga masih serabutan. Untung dia belum kawin. Mau dikasih makan apa anak istrinya nanti? Sekarang malah bawa lari uang adiknya. Di mana otak dia, hah?"

"Bu, Satria juga sudah kerja semaksimal mungkin." Ibu mana yang rela anaknya dihina.

Rosmawati berdecih. "Ngamen kamu bilang kerja? Apa kamu lupa bagaimana Pramono dulu? Ke sana kemari bawa gitar. Setiap hari katanya manggung, tapi apa hasilnya? Bayar biaya sekolah Libra saja tidak sanggup. Dan sekarang kamu izinkan Satria mengikuti jejak bapaknya? Jangan sampai nanti kamu buat anak gadis orang sengsara gara-gara dinikahi anak lelaki tidak berguna itu! Cukup aku saja yang bodoh, yang membiarkanmu menikah dengan Pramono."

Jujur. Libra lelah berada di tengah-tengah antara ibunya dan Rosmawati. Pada dasarnya Libra paling tidak suka ribut-ribut. Motto hidupnya adalah kalau bisa damai buat apa dibikin ribut. Namun, pertikaian antara Eliana dan Rosmawati seperti sudah jadi menu wajib setiap hari. Tak peduli pagi, siang, sore, bahkan malam hari saat orang lain istirahat, Rosmawati tetap bisa menyerang Eliana. Apapun yang Eliana lakukan selalu salah di mata Rosmawati.

"Ibun, nggak berangkat kerja?" Libra mencoba mengalihkan pembicaraan. Kalau tidak segera dihentikan, Rosmawati akan semakin menjadi.

Eliana menepuk bahu Libra sembari tersenyum. Berterima kasih sudah dibantu untuk bebas dari pertengkaran dengan Rosmawati. "Ibun berangkat dulu, ya, Li. Bu, Ana kerja dulu."

Sekesal-kesalnya Eliana kepada Rosmawati, dia tetap berusaha sopan. Dalam keluarga mereka, berpamitan sambil mencium punggung tangan orang yang lebih tua adalah wajib.

"Cari itu Satria. Suruh kembalikan uang Libra. Kau juga," Rosmawati menunjuk wajah Libra, "jangan jadi bodoh seperti ibumu itu. Selalu salah melangkah."

Hati Libra rasanya mencelos. Ya. Itulah dosa turunan yang diwariskan Eliana ke dirinya. Sejak kecil baik Rosmawati, Eliana, maupun Pramono tidak pernah membiarkan Libra memilih. Selalu dicekoki berbagai hal yang menurut mereka baik, tanpa berusaha mendengarkan pendapat Libra. Terlebih setelah Eliana berpisah dengan Pramono, sikap Rosmawati semakin menjadi. Sedikit saja Libra salah menentukan pilihan sendiri yang tidak sesuai dengan keinginan Rosmawati, maka neneknya itu akan menganggap Libra tidak berbakti. Terlebih jika ternyata pilihan Libra berdampak buruk, Rosmawati tidak segan untuk mengolok-olok dan membodoh-bodohkannya.

Oleh karena itu, Libra tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri. Selalu tidak bisa menentukan pilihan dengan baik. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bimbang dan tidak yakin terhadap pemikiran sendiri. Hingga membuat Libra takut untuk melangkah. Ia khawatir bagaimana jika pilihannya salah? Bagaimana kalau keputusannya merugikan banyak orang? Bagaimana kalau pemikirannya tidak sesuai dengan kebanyakan orang? Bahkan Libra tidak tahu apa yang dia suka dan tidak.

Untung saja saat ini Libra memiliki pegangan hidup. Ia yakin, jika terus mengikuti saran yang ada pada Daily Horoscope, maka semua keputusannya adalah benar.

⚖️ ⚖️ ⚖️

Pukul sembilan pagi adalah saat ter-hectic di BPI. Terlebih bagian front office. Nasabah sudah memenuhi kursi di ruang tunggu. Sebagian ada yang mengantre di teller, sebagian lagi menunggu giliran ke meja CS.

Baru saja Libra menekan tombol nomor antrean, seorang nasabah berpakaian seksi mendatangi konternya. Mini dress A-line merah menyala dengan leher V rendah hingga memperlihatkan belahan dada. High heels belasan senti yang membuat kaki jenjangnya semakin tampak menggoda. Tas Louis Vuitton yang Libra tahu harganya bisa untuk membeli sebuah motor baru. Ditambah dagu yang terangkat. Menjelaskan seberapa percaya diri dan berkuasanya dia.

"Bapak Kaka ada?" Tanpa basa-basi wanita dengan rambut burgundi panjang bergelombang itu menanyakan keberadaan Kaka.

"Mohon maaf, Ibu. Silakan duduk dulu, kami akan panggilkan Bapak Kaka." Libra melambaikan tangan pada Adit, satpam kantor.

"Ada yang bisa saya bantu, Ibu?" tanya Adit yang sudah berdiri tepat di samping wanita itu.

Merasa tak ada tanggapan, Libra menjelaskan kepentingan wanita ini kepada Adit.

"Bapak Kaka baru saja keluar, Ibu. Mohon maaf, dengan Ibu siapa? Saya akan coba hubungi beliau." Adit mempersilakan wanita itu untuk menunggu di ruang tunggu lantai atas.

"Siapa, Li?" bisik Sandra saat wanita itu berlalu.

Libra mengedikkan bahu. "Nasabahnya Bang Ka mungkin," jawab Libra lirih.

Peraturan mendasar bagi seorang teller adalah dilarang mengobrol di konter. Dilarang bermain gadget. Dilarang membawa makanan atau minuman. Dilarang meninggalkan area konter tanpa alasan yang jelas dan harus ada yang menggantikan. Kalau sampai Alina—kepala teller—tahu mereka melanggar aturan, bisa-bisa mereka mendapat surat peringatan. Minimal diceramahi sampai seminggu ke depan.

"Gue masih penasaran sama tuh cewek," ujar Sandra saat istirahat makan siang. Dilepasnya id-card lalu menyimpannya di laci meja.

"Seksi banget, ya, Ci. Pasti orang kaya." Beni ikut menimpali.

"Itu calon nasabah Bang Kaka, Ci." Adit ikut bergabung di meja teller. Dia menambahkan, "Dengar-dengar dia anak pemilik salah satu mal di Cijantung."

"Pantes, gayanya selangit. Dari atas sampai bawah bermerek semua."

Libra tersenyum miring. Sama-sama ciptaan Tuhan, sama-sama perempuan, tapi kenapa nasib mereka jauh berbeda.

Dilihat sekilas pun bisa ditebak berapa total outfit wanita tadi. Minimal seratus juta, karena Libra tidak begitu paham harga jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan wanita tadi. Selama ini Libra hanya tahu merek jam pasaran yang dijual di etalase toko. Paling mahal hanya lima ratus ribuan.

Bisa jadi di dalam tas branded itu tadi berisi sejumlah uang yang fantastis. Kalaupun bukan tunai, minimal golden card. Miris bukan?

Di saat Libra kelimpungan mencari kejelasan uang dua puluh jutanya, wanita lain justru memamerkan kekayaan yang jelas jauh di atas Libra. Bahkan mungkin uang senilai itu hanya seperti recehan koin.

Tidak. Libra sama sekali tidak iri. Dia hanya merasa tidak adil. Kenapa Tuhan tidak menyamaratakan nasib semua ciptaan-Nya? Kenapa harus ada si kaya dan si miskin? Kenapa ada si pintar dan si bodoh? Kenapa seolah manusia dikotak-kotakkan sesuai dengan strata sosial ekonomi?

"Lu ikut makan di luar nggak?" ajak Sandra sembari mengganti sepatunya dengan flat shoes.

Libra menggeleng sambil mengulas senyum terpaksa. Uangnya sudah sangat menipis. Tabungannya tandas. Gajinya bulan ini tersedot untuk membayar tagihan kartu kredit. Hanya tersisa lima ratus ribu di rekening. Isi dompetnya pun hanya cukup untuk transportasi pulang pergi kerja. Padahal tanggal gajian masih seminggu lagi.

Salahnya sendiri. Bulan lalu Libra tidak bisa menahan godaan untuk membeli satu set perhiasan emas putih saat berjalan-jalan di mal. Demi memukan rasa ingin, Libra menggesek kartu kredit hingga limitnya habis. Alhasil saat ini dia hanya bisa gigit jari. Harapannya hanya ada pada Satria. Semoga saja kakaknya itu mengembalikan uang yang dibawa kabur Mario.

Namun, sudah tiga hari berlalu, masih belum ada kabar. Eliana sudah mencoba menghubungi beberapa teman dekat Satria, tapi tak ada yang tahu keberadaan lelaki itu. Libra juga mendatangi restoran tempat Satria biasa mengisi live music. Tetap tak ada hasil.

Sempat ada rencana untuk melaporkan Satria ke polisi. Namun, Eliana mencegah. Eliana khawatir polisi mencurigai keterlibatan Satria dengan kelompok Mario.

Libra menelungkupkan kepala di atas meja. Ia harus sabar. Karena kata Daily Horoscope tadi pagi, selalu ada jalan untuk setiap permasalahan. Dia yakin, jika saat ini terus bersabar, maka permasalahannya akan segera terpecahkan.

Hampir saja Libra terlelap saat getaran ponsel mengejutkannya. Diangkatnya kepala lalu mengambil gawai dari dalam laci.

Nomor asing.

Cukup lama Libra memandangi layar. Jarang ada yang menghubunginya di jam kerja. "Selamat siang."

"Selamat siang. Apa benar ini dengan Ibu Libra?"

Kening Libra berkerut. Nada lawan bicaranya sangat formal. "Iya, benar. Maaf, dengan siapa, ya?" Tanpa sadar Libra mulai menggigiti kuku ibu jari.

"Kami dari Rumah Sakit Medika Saras, ingin memberi tahu bahwa Bapak Pramono mengalami kecelakaan dan saat ini tidak sadarkan diri. Kami belum berhasil menghubungi keluarga beliau. Kami menemukan kartu nama Bu Libra di dalam dompet Bapak. Kami mohon bantuan Bu Libra untuk melengkapi berkas administrasi."

Sakit kepala Libra bertambah tiga kali lipat. Kenapa di saat hidupnya sedang tidak baik-baik saja, ayahnya justru menambah masalah?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top