Bab 5 | Demonstrasi
Waktu Sekarang....
"Ji-ah!?" panggil Dania. Mereka sedang berada di bengkel mengutak-atik mobil. Hal yang sebenarnya tidak lazim dilakukan oleh seorang cewek, tetapi hal itu dilakukan oleh mereka. Jun Ji-ah, sekaligus sepupu Kayla sekarang sudah bekerja di industri otomotif salah satu anak perusahaan dari Wijaya Group, yaitu Mugen Motors. Gadis cantik blesteran Indonesia Korea itu sekarang tengah duduk di depan laptop sambil mencoret-coret layar monitor dengan pensil elektrik.
"Apaan?" tanya Ji-ah.
"Laper, makan yuk?!" ajak Dania.
Ji-ah menggeliat meregangkan otot-ototnya. Dia baru memperhatikan arloji yang ada di tangannya. Ternyata sudah lewat jam makan siang. "Oke."
"Makan siang apa kita?" tanya Dania sambil menggandenga tangan Ji-ah.
"Halah, apa aja, deh," jawab Ji-ah.
"Apaan, ntar kamu sendiri yang nggak mau," ucap Dania sambil mencibir, "kemarin aja aku ajak makan rujak cingur Mbok Tun aja nggak mau."
"Kan aku emang nggak suka rujak, Dan. Apalagi yang pedes-pedes. Ogah ah, bikin sakit perut," ucap Ji-ah.
Mereka pun akhirnya memutuskan untuk makan siang di warung yang ada di luar komplek pabrik. Meskipun Ji-ah adalah salah satu keluarga pemilik dari Wijaya Group, tapi tetap saja dia sangat rendah hati dan tidak terlalu mencolok. Keberadaannya di pabrik otomotif ini juga dengan perjuangan. Dia juga mengikuti seleksi bersama para karyawan lainnya hingga ditempatkan di bagian R & D.
Masih dengan menggunakan baju seragam karyawan dengan corak warna biru dan garis berwarna emas di lengan membujur sampai ke pergelangan tangan. Warna garis itu bisa menyala di dalam gelap, maka sering kali Ji-ah menganggap seragamnya ini seperti pegawai sekuriti. Keduanya makan menu warteg seperti ayam balado, ikan teri dan sambel goreng tempe yang bikin ngiler.
"Udah deh, warteg emang mantab," ucap Dania, "pilihan yang tepat. Apalagi panas-panas gini pake es jeruk. Uwaduh, udah pasti seger."
Sambil sibuk makan, Ji-ah menggunakan gadget M-Tech Portable miliknya. Gadget yang separuh monitornya menutupi mata kanannya itu menampilkan berbagai berita yang sedang menghangat di salah satu saluran tv online.
"Ada berita apa?" tanya Dania penasaran.
"Tak ada berita yang menarik. Cuma beberapa anak-anak nakal iseng melakukan vandalisme di beberapa tembok bangunan pemerintahan. Yah, tahu sendirilah mendekati pemilu seperti ini sudah pasti bakalan sangat ramai hal-hal aneh. Seolah-olah masa seperti digerakkan gitu," jawab Ji-ah.
Dania menyeruput es jeruknya. "Yah, kamu sih enak. Orang kaya, bahas beginian mah nggak takut. Bisa bayar pengacara mahal. Kita orang-orang kecil gimana? Makanya, dari dulu aku menghindari pembahasan politik. Pamali."
Di layar M-Tech Portablenya, Ji-ah melihat beberapa tanda yang tertangkap oleh kamera. Sepasang sayap malaikat, tetapi ada yang unik dari gambar tersebut. Gambar sepasang sayap malaikat itu disusun dari kode-kode yang terenkripsi. Otaknya langsung berpikir kemana-mana. Kode rahasia? Untuk siapa? Kenapa bisa sebanyak ini?
Penasaran, Ji-ah memeriksa saluran tv online yang lain. Mereka menampilkan berita dengan latar belakang yang mirip. Di dinding-dinding bangunan ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Gambar sepasang sayap malaikat yang disusun dari kumpulan kode enkripsi.
* * *
"Beri kami kepastian hukum!" teriak salah satu orator.
Surabaya yang cukup terik siang itu tambah panas saja ketika para mahasiswa turun ke depan gedung DPRD. Mereka meneriakkan tuntutan untuk segera melakukan perbaikan hukum di negara ini. Sudah beberapa kali kasus para pejabat yang melakukan kejahatan, hukumannya malah dipotong, sebagian sampai dibebaskan. Hal ini membuat masyarakat geram, tak hanya dari kalangan masyarakat, tetapi juga para mahasiswa. Tuntutan mereka jelas mendesak para wakil rakyat memberikan peraturan perundangan yang jelas untuk seluruh masyarakat agar mendapatkan hukuman yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.
Dari kejauhan seseorang lelaki berambut ikal sedang mengamati simbol sepasang sayap malaikat di sebuah dinding di samping resto makanan cepat saji. Dia adalah Adedi dan sekarang sedang penasaran dengan simbol-simbol yang dicoret nyaris di setiap sudut. Uniknya adalah sudut yang dipakai adalah sudut yang tidak terarah langsung ke orang yang biasa lalu lalang. Gambar itu terpampang di sudut yang tersembunyi, tetapi masih terjangkau oleh kamera CCTV.
Sesaat kemudian Adedi menoleh ke kumpulan orasi mahasiswa. Mereka cukup ramai bahkan polisi berjaga-jaga di sekitar lokasi. Beberapa anjing pelacak juga dikerahkan. Adedi tak mempedulikan kerumunan itu, kemudian dia langsung masuk ke restoran tersebut memesan paket lengkap. Tak perlu menunggu lama, hingga akhirnya dia menikmati makan siangnya. Sudah cukup lama bagi Adedi belum memakan ayam goreng seperti ini lagi. Selama di pulau Epsilon, jangankan jalan-jalan, makanan saja sudah disediakan oleh orang-orang yang berada di dalam fasilitas.
Ternyata restoran cepat saji itu sekarang sedang ramai pengunjung. Kebanyakan juga dari para demonstran dan petugas yang berwajib. Salah seorang petugas yang berwajib tampak menghampiri mejanya, karena memang kosong. Petugas itu membawa kopi panas dan kemudian dia letakkan di seberang meja Adedi.
"Kosong, mas?" tanya si Petugas.
"Silakan," jawab Adedi.
"Makasih," ucapnya. Dari nama yang ada di dada, Adedi langsung mengetahui nama petugas polisi ini Setyo. Adedi tidak begitu tahu pangkat polisi ini. Mungkin sekelas brigadir.
"Istirahat, Pak?" tanya Adedi berbasa-basi.
"Gantian. Sudah dari tadi pagi, butuh penyemangat. Yah, padahal di warung biasa kopi segini harganya murah harusnya," jawab Setyo.
"Dari pagi ya? Saya tadi barusan naik kereta dari Jakarta. Baru sampai trus rame banget," ujar Adedi.
"Waduh, ya jelas, Mas. Ada long march tadi. Dari Wonokromo sampai ke balai kota. Ya wajar sih kalau rame," ucap Setyo, "masnya mau kemana?"
"Oh, mau mudik. Keluarga tinggal di Penjaringan," ucap Adedi berbohong.
"Oh, ke sana. Tapi kok bisa ke sini? Apa nggak nyasar sampean?" tanya Setyo.
"Kebetulan ada urusan sebentar tadi. Jadi saya mampir dulu ke sini."
Basa-basi di meja makan itu sebenarnya bukan hal yang ingin dilakukan oleh Adedi. Dia lebih mencari ke sinyal-sinyal aneh yang bisa membawanya ke tujuan kenapa dia sampai berada di tempat ini. Mata istimewanya memperhatikan terus benang-benang sinyal elektromagnetik maupun gelombang radio yang bisa dia jangkau atau dia sadap. Jemari tangan kirinya terus aktif bergerak memilah-milah, sedangkan tangan kanannya dia gunakan untuk menyuapi makanan ke mulut.
Demonstrasi makin memanas. Terjadi beberapa gerakan dorong-mendorong dari pihak demonstran. Dari sinyal-sinyal radio yang ditangkap oleh Adedi, dia bisa mendengarkan beberapa suara.
"Panggil pengamanan khusus!" terdengar suara di radio milik Setyo.
"Wah, sudah dimulai nih," ucap Setyo.
"Ada apa, Pak?" tanya Adedi.
"Kami sedang ingin mencoba unit baru. Unit Non Human, pasukan khusus yang seratus persen adalah robot. Lima tahun terakhir sudah dikembangkan hingga bisa bertugas sebagai pasukan anti huru-hara. Mau lihat?" tanya Setyo menawarkan diri, "tunggu saja, habis ini mereka akan didatangkan kok."
Sebenarnya, Adedi tak perlu melihat unit tersebut. Sebab, dia tahu persis bagaimana komponennya, cetak birunya, bahkan bagaimana rangkaian paling detail di dalamnya sudah sangat diketahuinya. Unit yang dimaksud adalah Unit Anti Riot, sebuah prototype yang dikembangkan oleh perusahaan robotika yang didirikan oleh Putra Nagarawan. Adedi salah satu orang yang mengembangkan robot tersebut, sehingga tahu apa saja kegunaan dan kelemahan robot itu.
Dari luar barikade beberapa mobil panser satuan unit khusus anti huru-hara datang. Tanpa diperintah lagi pintu panser terbuka, setelah itu dari dalamnya muncul beberapa unit robot dengan satu roda yang kokoh berbaris dengan rapi. Di kedua tangannya memegang alat seperti perisai dan tongkat pemukul. Sudah seperti unit anti huru-hara. Pasukan robot itu pun membentuk beberapa peleton, setelah itu berbaris dengan rapi masuk ke dalam barikade gedung DPRD.
Adedi buru-buru menghabiskan makannya. Tinggal menunggu hitungan menit saja sebelum terjadi kekacauan di tempat ini. Terlebih para demonstran juga sepertinya sudah mulai memanas.
"Saya pergi dulu, Pak. Sudah selesai," ucap Adedi sambil meneguk minuman terakhirnya.
"Oh iya, sepertinya juga saya harus bekerja," ucap Setyo.
Dan benar saja, belum sempat Adedi keluar dari restoran cepat saji itu, tiba-tiba terdengar suara ledakan. Ternyata salah satu demonstran melemparkan bom molotov ke arah unit robot tersebut. Alhasil chaos pun terjadi. Dari dorongan, berubah menjadi pukulan, tendangan, hingga akhirnya para demonstran melakukan aksi perlawanan. Tentu saja, mesin dengan manusia tidak akan bisa dibandingkan. Robot-robot itu tak bergeming sekalipun dipukul ataupun dibakar. Memang sudah fungsinya seperti itu. Alhasil, di saat para demonstran mengerubunginya, dari badan robot tersebut muncul sesuatu seperti granat. Ternyata itu adalah gas air mata.
Masa yang berkumpul mulai panik dan berlarian ke sana kemari untuk menghindari efek racun dari gas air mata. Mereka berdesak-desakan, berlarian, sebagian kebingungan dan merusak salah satu keran air minum yang ada di pinggir jalan. Mereka berebutan untuk membasahi mata mereka yang perih terkena gas air mata.
Sementara itu, Adedi menjauh. Dia sama sekali tidak mempedulikan apa yang terjadi. Sebab, dia tahu tujuan dari demonstrasi ini bukan itu, melainkan ada hal lain yang sudah direncanakan dengan matang oleh Putra Nagarawan.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top