First

Erwin Smith merupakan kapten bijaksana yang dihormati banyak orang termasuk para petinggi di tempatnya bekerja, namanya juga begitu terkenal dikalangan bangsawan jam berlayarnya jika dihitung dari ia pertama kali turun dalam pekerjaannya sudah tak terhitung. Ditahun ini ia memiliki tugas un bytuk mengarungi lautan dengan kapal terbaru Rms Titanic.

Hari ini adalah hari pertama pelayaran perdana kapal Titanic dari pelabuhan Southampton. banyak orang yang turut menyaksikan keberangkatannya, dikarenakan memang sudah tersebar luas bahwa titanic adalah kapal yang begitu megah dan mewah untuk saat ini, belum ada kapal lain yang berhasil menandingi keindahan sekaligus pesona dari sang kapal.

Begitupun Erwin, ia begitu antusias untuk pekerjaannya kali ini ia begitu tersanjung karena dipercayakan untuk memimpin pelayaran besar-besaran di Britania Raya.

Kini ia memperhatikan beberapa anak buahnya yang terlihat berdebat di anjungan , "Bagaimana keadaan disini?"

"Sir, untuk saat ini tidak ada masalah tapi kita diberi peringatan dikarenakan adanya gunung es dalam beberapa hari kedepan." Anak buah Erwin tetap fokus dalam menganalisa data yang diterima, Armin terlihat begitu cekatan dengan radio dan beberapa alat yang lain.

"Berapa jaraknya?" Raut wajahnya terlihat serius, Erwin mengambil alih alat navigasi kapal.

Eren terlihat sedikit gugup, pasalnya kapal yang mengirim informasi pun tidak bisa melacak titik koordinat gunung es. "Belum diketahui sejauh ini, tapi jika dikatakan untuk beberapa hari, maka seharusnya masih sangat jauh,"

"Berapapun jaraknya harus kita waspadai. jangan lengah dan tetap fokus, samudra ini begitu misteri apalagi kondisi cuaca yang tidak menentu membuat beberapa alat navigasi kita bekerja begitu lambat dari seharusnya."

"Siap, kapten!"

***

Disela-sela waktu santainya Erwin berjalan santai ke geladak utama, sedikit jenuh ia ingin melepas penat dengan duduk disalah satu kursi,

Matanya memperhatikan sekitar sampai ia bertemu dengan wanita bersurai Jingga kemerahan, jika ia telusuri sepertinya ia penumpang kelas II, dilihat dari gaun yang ia kenakan. sang wanita berdiri menatap keindahan laut, seakan begitu terpesona dengan ciptaan yang maha kuasa.

Menarik.

Erwin berjalan mendekati sang nona misterius, memberanikan diri untuk menyapanya.

Ia sedikit ragu karena takut mengganggu si nona yang begitu fokus dengan kerjaannya sekarang, tapi ia memberanikan diri.

"Sudah lama disini, nona?" Laki-laki pirang itu berdiri disamping sang wanita.

"Kau mengejutkanku." Yang ditanya hanya menjawab seadanya dan terdengar sedikit ketus, sebelum dia menyadari siapa lawan bicaranya.

"Ah kau kapten kapal ini bukan? maafkan aku, kukira siapa." Ia melanjutkan, seraya membungkuk sebagai tanda permintaan maaf.

"Tak apa, salahku juga mengejutkanmu, sudah kenal aku?" Erwin menyandarkan tangannya pada pagar besi pinggiran kapal.

"Erwin Smith, seorang kapten hebat yang namanya begitu dielu-elukan oleh banyak orang." Wanita itu menatap mata lawan bicaranya, menandakan bahwa ia sedikit tertarik dengan pembicaraan ini.

Erwin tersenyum kikuk sembari menggaruk tengkuknya, "Ah kau tau rupanya.."

Mengalihkan pandangan, sang wanita kembali menatap hamparan laut, "Jelas saja orang-orang di sekitarku membicarakanmu sejak beberapa hari yang lalu, sejak kabar pelayaran Titanic muncul."

"Begitukah, ngomong-ngomong aku belum tahu namamu, siapa namamu nona?"

Yang ditanya berbalik badan, sepenuhnya terfokuskan kepada Erwin, kini tubuh mereka berhadapan, "Asteria Meliantha. singkatnya Aster."

Erwin terpaku pada mata indah milik Aster, pandangannya begitu teduh dengan netra coklat yang dipadu dengan warna maroon, terlihat begitu bersinar sekaligus menghangatkan. ia sudah lama tidak melihat pemandangan ini, tidak semenjak kepergian sang kekasih.

Takjub. Erwin berkata tanpa sadar, "Matamu indah sekali.."

"Maaf?"

"Ah, nama yang sangat indah, maksudku."

Mendengar itu, Aster tersenyum ia bukannya tidak mendengar, tapi otaknya tidak sinkron hingga menyebabkan ia tidak dapat mencerna perkataan Erwin dengan baik. "Ah aku harus kembali! sampai jumpa Erwin."

Aster berjalan dengan sedikit terburu-buru, melihat itu Erwin hanya menatap kepergiannya, mengapa ia merasa sedih akan perpisahan ini? tapi yang barusan diucapkan wanita itu.. adalah 'sampai jumpa' bukannya 'selamat tinggal' apa itu berarti bahwa takdir akan mempertemukan mereka kembali? sungkan mengakuinya tapi Erwin berharap itu terjadi.

"Aster, tunggu." Tangan Erwin berusaha meraih wanita yang seperkian detik mampu menghipnotis dirinya, walau ia hanya meraih angin belaka karena Aster sudah begitu jauh, sial ini karena dirinya yang kelamaan melamun.

Lama kelamaan Aster benar-benar menghilang dari pandangannya, Erwin kembali menatap hamparan laut, ia melihat lumba-lumba yang menyajikan pertunjukan indah untuk ditonton. sejenak ia menikmati pertunjukan gratis sebelum akhirnya kembali ke ruang komando.

***

Langit jingga menyapa, diiringi dengan kawanan burung yang melintas. kini Erwin kembali ke tempat dimana ia bertemu dengan sosok yang ia tunggu, Aster.

Ia menunggu dengan gelisah, harap-harap yang ditunggu datang.

"Halo, Erwin kamu kembali kesini?" keajaiban menyertai dirinya, suara feminim terdengar menyejukkan bagi siapapun yang mendengarnya.

"Aster? kau juga kembali rupanya." Erwin berbalik, menemui pandangan Aster, ia tersenyum ketika melihat wanita itu begitu serasi dengan gaun maroon yang senada dengan rambut dan manik matanya, dan ciput putih yang menutupi sebagian kepala Aster.

"Sejak sehari berada disini, setiap sore pasti aku kesini, pemandangan dari deck kapal tiada duanya, kapan lagi aku bisa menikmati keindahan ini." Aster tergelak, lagi dan lagi menghipnotis Erwin.

"Aku sedikit bosan." Erwin kembali bertumpu pada pagar besi pembatas kapal,

"Jelas Erwin, untukmu mungkin sudah puluhan kali menyaksikan ini ya? ah sedari dulu aku begitu menyukai lautan banyak misteri sekaligus keindahan yang belum aku lihat, tapi aku tidak bisa melihatnya sejauh yang aku ingin, berada disini benar-benar anugerah untukku."

"Mengapa?" Erwin melirik sang gadis, sepertinya ia belum menikah? entahlah Erwin hanya berharap begitu.

"Aku harus bekerja sepanjang hari disuatu kedai minuman untuk melunasi hutang orang tuaku. makanya aku membuang jauh mimpi dan harapanku."

Ternyata benar, jika begitu maka Aster harusnya belum dipinang seseorang 'kan? ia masih fokus mengurus orang tuanya, anak yang berbakti.

Erwin menikmati cerita sang gadis, ia terhanyut akan pembawaannya yang tenang, ia sedikit heran bagaimana gadis ini mendapat tiket kelas II Titanic?

Sepertinya Aster bisa menebak pikiran Erwin, "Kau pasti bingung ya bagaimana aku bisa berada dikapal ini? sedikit rahasia ya." Aster mendekat, dan menampilkan mimik wajah serius,

"Aku mengikuti taruhan."

"Gadis punggung sepertimu? wah ternyata berani juga. lalu kau menang?" Erwin tergelak, tangan kanannya ia jadikan tumpuan, sembari menatap Asteria

"Tentu saja! makanya aku berada disini, tapi yang sebenernya terjadi adalah, aku sedikit putus asa kala itu, dan tiba-tiba di kedai tempatku bekerja, datang lah sekelompok orang, mereka berkumpul di salah satu meja, dan salah satunya berkata siapa saja yang ingin ikut diperbolehkan asal membayar uang taruhan yang sudah dijanjikan."

Erwin menyimak, ia terbawa suasana. wah gadis ini.. apa sudah membuka diri untuknya?

"Kau tahu Aster? kau sedikit gila." Sedikit bergurau tidak masalah kan, toh dia sudah merasa dekat dengan gadis yang baru ia temui beberapa jam yang lalu.

"Memang. aku juga berfikir begitu, tapi aku bersyukur karena keberuntungan menyertai diriku."

"Syukurlah, aku jadi bisa bertemu denganmu sekarang." Tidak ada yang menyadari bahwa wajah kapten yang berusia 35 tahun itu merona,

Tidak dengan Aster, ia terkesiap melihat wajah kaptennya.

"Kapten, wajahmu? kau tidak apa-apa? sepertinya kau sakit!" Aster berjinjit, ia meraih kening Erwin, mencoba memeriksa suhu tubuhnya mana tahu karena kelelahan bekerja kondisi fisik Erwin melemah.

Terlonjak, Erwin benar-benar gila sekarang, matanya membulat sempurna. "Eh aku nggak apa sungguh," sedetik kemudian ia menutupi wajahnya dan membuang muka ke sembarang arah.

"Kapten!"

Kedua insan yang sedang menikmati matahari terbenam merasa sedikit terganggu, dan kemudian menoleh,

"Ah anak buahmu ya, Erwin?"

"Iya, tunggu disini sebentar ya. maaf kalau jika nanti aku tak sempat kembali." Ia langsung bergegas menemui anak buahnya,

"Eh? kenapa--?"

Dari kejauhan Aster masih memperhatikan, ia menyimak meski tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

***

"Siapa gadis itu, kapten?" Armin Arlert kru sekaligus tangan kanan Erwin.

"Teman yang baru saja aku temui Arlert, lalu ada keperluan apa? ada yang mendesak?"

"Tidak. hanya saja, jangan terlalu berlarut kapten sampai kita berlabuh di pelabuhan selanjutnya."

"Aku mengerti, maaf jika aku merepotkan aku terlalu terbawa suasana."

"Sebenernya tak apa kapten, belum ada hal yang serius sejauh ini. kemudi aman bersama Franz dan Samuel.

Jadi, jika kau ingin menikmati waktumu bersama gadis pujaan hatimu, temuilah kapten. tapi jangan lewat dari jam 10 malam kami pasti akan membutuhkanmu."

Erwin tersipu, sial dirinya tidak boleh seperti ini didepan anak buahnya cepat-cepat ia sadar dan kembali menunjukkan raut wajah tegas miliknya.

"Jangan menggodaku, Arlert. tapi terima kasih."

Hah? Armin hanya menatap kaptennya dengan tatapan yang sulit dimengerti, sedikit gugup?

***

Aster kembali kekamarnya, kamar ini jika dibandingkan kamarnya di rumah, jelas lebih mewah kamar ini! apalagi perjalanan mewah bisa ia dapatkan dengan cuma-cuma, ditambah lagi uang tabungan miliknya kembali dengan berlipat ganda dimana uang taruhan milik orang lain otomatis menjadi miliknya juga.

Sulit diterima jika wanita anggun bergaya feminim bisa memenangkan taruhan yang sisanya adalah laki-laki dengan tampang preman.

Lelah, Aster ingin tidur tapi tunggu, perutnya menginginkan hal lain, jam makan malam tinggal setengah jam lagi, ia memutuskan untuk tidur dengan perut yang meronta-ronta.

Disaat yang bersamaan, Erwin selesai dari urusannya di ruang komando. ia bergegas menuju ruangannya untuk membawa beberapa bunga, hadiah untuk Aster sekedar basa-basi.

Tunggu mana ada basa-basi yang memberikan hadiah, ah peduli amat.

Ia berganti pakaian, memakai pakaian yang lebih santai, kemeja putih polos dan celana cream terlihat pas memang namun tetap tidak menghilangkan aura kuat Erwin.

Membuat siapapun yang melihatnya akan jatuh hati pada pesona alami yang ia milikki.

Lihat saja, begitu ia keluar dari ruangannya dan menuju deck penumpang kelas II, banyak wanita yang mencuri pandang, bahkan ada yang sampai kepalanya berputar untuk tetap mengamati Erwin.

"D75." Erwin mencari keberadaan kamar Aster, ia terus menggumamkan perkataan yang sama,

Saat mereka berbincang tadi, Aster menyebutkan bahwa dirinya mendapat tiket nomor D75.

"D63," Ia berjalan beberapa langkah lagi, menemukan persimpangan ia memilih untuk ke kanan, sembari tetap melihat nomor-nomor yang tertera dip intu kamar.

"D73, ah sedikit lagi."

Erwin berjalan sedikit lagi, hingga tiba di tempat tujuannya.

Dari luar, terdengar suara ketukan pintu, Aster yang terganggu terbangun mengumpulkan nyawa selama beberapa detik karena tak mau menunggu tamunya terlalu lama.

"Tunggu sebentar!" Ia menjepit rambutnya dan segera memakai alas kaki,

Begitu pintu terbuka, menampilkan sosok gagah yang dibalut dengan pakaian kasual, Erwin menyembunyikan sesuatu dibalik badannya.

"Ah Erwin, mau masuk sebentar?" Aster tersenyum hangat, ia tidak menyangka Erwin akan menemuinya seperti ini Aster sangat senang.

"Boleh," Aster membiarkan Erwin masuk dan mempersilahkan kapten dengan alis tebal itu duduk di sofanya.

"Aku membawakanmu ini, Aster. aku harap kau suka. aku membelinya di salah satu toko yang ada di Britania Raya," seraya menyerahkan bucket bunga lily yang berwarna biru bercampur warna putih.

"Wah wah, aku tidak menyangka pria sepertimu mempunyai pikiran untuk merawat bunga lho, Erwin." Aster menerima dengan senang hati, ia meletakkan bunganya di meja rias. salah tingkah sedikit boleh lah.

"Yah, saat melepas penat entah mengapa rasanya aku harus membeli bunga itu, memangnya lelaki tulen tidak boleh mengoleksi bunga ya?"

"Apasih Erwin, bukan begitu haha." Aster merapihkan rambutnya, ia menata rambutnya sedemikian rupa agar terlihat lebih rapih,

"Ngomong-ngomong, sudah berapa banyak gadis yang sudah kau bawakan bunga kapten?"

"Hm? tidak ada. kau yang pertama." Erwin menghampiri Aster di meja riasnya, ia duduk di meja, memperhatikan Aster yang membeku selama 6 detik di kursinya.

Erwin benar-benar tidak sopan terhadap jantungku! Aster berteriak dalam hati,

Aster menatap Erwin dengan angry facenya "Hei kau keterlaluan pak tua!" Si pelaku hanya tersenyum menandakan ia lah pemenangnya.

"Kau sudah makan? mau makan bareng nggak?"

"Belum, aku baru bangun tidur, selama tidur aku tidur bersama perut yang keroncongan."

"Malang sekali nasibmu, ayo kita pergi ke restoran A La Carte."

"Hah? Ala apa?"

"A La Carte."

"Wah bukannya itu restoran untuk penumpang kelas I? a-aku kan.." Gadis ini merasa sedikit minder, jika berani kesana bukankah ia tidak tahu diri? menang taruhan saja sudah untung.

"Kenapa? tenang saja aku jelas punya akses masuk kesana, Aster. kau bisa menyamar menjadi bangsawan 'kan?"

"Aku tidak yakin, bajuku hanya baju-baju sederhana yang tidak terlalu mewah."

"Baik kalau begitu aku punya ide, kau mandilah dulu, Aster. aku akan mengajakmu merasakan bagaimana rasanya menjadi bangsawan meski hanya semalam."

"Hah benarkah?" Berbinar, Aster menaruh harap pada Erwin, memang dia sangat ingin rasanya menjadi tuan putri atau bangsawan berdarah biru, siapa sih yang tidak mau? hidup mewah bergelimang harta dan menghadiri beberapa pesta dansa yang akan membawamu menemui cinta sejati, ah membayangkannya saja sudah membuat senang.

"Iya, bersiaplah aku pergi dulu sebentar."

***

Ternyata maksud Erwin adalah, meminjam beberapa pernak-pernik yang biasa teman-temannya pakai, pertemanan Erwin memang kebanyakan dari orang-orang kalangan atas, tak heran jika dilihat dari jenis pekerjaannya.

Erwin mampir ke ruangannya sebentar, ia juga berganti ke setelan baju yang lebih formal, celana hitam+kemeja putih+jas hitam. ia tampak sempurna.

"Aster! bagaimana?" Erwin mengetuk pintu kamar Aster.

"Tunggu sebentar!" tak lama pintu terbuka, menampilkan Aster dengan riasan wajah yang membuatnya semakin memukau.

"Wah, lihat siapa yang akan jadi bangsawan malam ini?"

"Apasih Erwin, haha." Aster memukul kecil lengan Erwin, lalu Erwin memberi tas yang berisi gaun, terlihat gemerlap dari aksesorisnya jika terkena lampu.

"Eh, Erwin kau juga ganti pakaian wah niat sekali pak kapten!"

"Jangan panggil aku begitu dong, Erwin saja. aku juga harus menyesuaikan teman kencan ku malam ini kan?"

"Heh, memangnya siapa yang memperbolehkan kamu ngomong begitu hah? t-terus sejak kapan kita mau kencan." Aster tergagu, dari tadi Erwin mempermainkannya ya? awas saja ia tak segan melawan kapten yang berkuasa di kapal ini lho!

"Sejak aku mengajakmu makan tentu saja, bukankah sama saja dengan kencan?"

"Beda lah! gimana sih kau nggak pernah pacaran ya? kencan tuh untuk 2 orang yang saling menyukai."

"Aster, apa kamu nggak menyukaiku?"

"Hm? suka kok. semua orang suka kau."

Erwin menghela nafas berat, "Bukan yang seperti itu kau sedikit lemot ya."

"Lemot? lemot atau bodoh nih haha. temanku bilang kalau aku agak bodoh, padahal nggak juga tuh waktu sekolah aku pernah 3 kali juara kelas."

"Wah benarkah? kapan itu?"

"Waktu sekolah dasar, hehe."

"Wah kau ini ya sudah pintar bercanda. tapi lumayan lah setidaknya kamu pernah merasakan jadi juara kelas deh, Aster."

"Iya dan aku cukup bangga.

Eh, Erwin aku mau ganti baju dulu, kau tunggulah disini jangan sesekali mengintip awas saja." Aster mengambil tas pemberian Erwin, ia membawa tas itu bersamanya sembari menuju kamar mandi.

"Kasar sekali Asteria aku baru tahu kalau kau punya kepribadian seperti ini."

Aster berhenti sejenak, melirik Erwin melalui ekor matanya, "Sok tahu, ini tuh bentuk pembelaan diri seorang wanita."

"Ya ya. cepatlah Asteria aku nggak mau menunggu lama."

"Iya!"

Tak berselang lama Aster muncul, ia makin bersinar ketika berbalut gaun biru dongker yang semakin membuatnya terkesan percaya diri dan mempunyai karakter kuat.


"Jangan bengong terus! ayo jalan."

Tunggu sebentar Aster, Erwin sedang mencerna pesona dirimu kau tahu? dia nyaris kemasukkan lalat yang entah darimana karena mulutnya terbuka,

"Oi Erwin!"

"Hah? oh kau sudah selesai? maaf maaf."

"Haha kau ini kenapa Erwin?"

"Em, kau cantik sekali~"

"Hari ini kau berbicara aneh-aneh atau kau memang playboy kelas kakap huh? bercanda Erwin."

"Mana ada aku yang seperti itu Asteria, pesonamu lah yang menarikku untuk semakin jatuh dan berlutut dihadapanmu."

Celaka kaki Aster benar-benar lemas! Erwin ini penggombal handal ya?



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top