9# Modus

"Hey!"

Semuanya menoleh ke arah sumber suara yang ternyata berasal dari salah seorang cewek berkacamata dengan sebuah sapu ijuk di tangan kanannya.

Tio berdecak sebal. "Eh, banci. Emang dua anak buah lo itu ke mana sampai bawa-bawa dua orang cewek ke sini? Apa mereka berdua udah menjelma jadi banci?" Tio dan anak buahnya terbahak, membuat si cewek berkacamata itu menggeram tak terima. Baru saja dia ingin bergerak ke arah Tio, tangannya ditahan oleh seseorang yang tak lain adalah Radit.

"Ckckck, gue acungi jempol deh buat lo berdua. Cewek-cewek pemberani. Tapi bagaimanapun, mereka urusannya sama kita. Bukan ke kalian. Jadi kalian nggak usah ngotorin tangan buat mukul para bedebah itu," ujar Radit membimbing Laras untuk menepi. Ia lalu ikut bergabung di antara Cinella dan juga Genta yang kini sudah tidak memegang perutnya lagi.

"Kamu menepi aja ke cewek itu. Dan jangan pulang dulu, kamu masih punya urusan denganku," bisik Genta pada Cinella.

Cinella gelagapan, tapi mau tak mau dia mengikuti ucapan Genta. Karena Desta dan Radit secara bersamaan perlahan mengangguk setuju dengan ucapan sahabatnya itu.

Setelah Cinella menepi di dekat Laras, Genta kembali membuka suara. "Gue peringatin, ya. Mereka berdua ini bukan kacung gue. Mereka ini sahabat gue. Oh, gue lupa. Lo kan nggak punya ya yang namanya sahabat. Jadi nggak paham apa arti dan rasanya punya orang yang kayak mereka."

"Bacot lo!" teriak Tio.

"Sini lo, gue mau tagih janji lo buat lawan gue. Satu-lawan-satu," ujar Genta penuh penekanan.

Sementara di ujung sana, Cinella sudah berdiri ketakutan karena harus menjadi saksi keganasan keduanya dalam adu tonjok. Ingin melerai, tapi mereka bisa apa? Yang ada nantinya malah mereka yang kena tonjok.

"Aduh, kenapa sih cowok kalo bertengkar harus adu jotos gitu?" gumam Cinella seraya meremas jari-jari tangannya untuk meredam rasa cemas yang kini menderanya.

"Ya karena kalo mereka jambakan, itu berarti yang bertengkar ya cewek."

Cinella menoleh ke arah Laras yang menatap Genta dan Tio kini beradu kekuatan. Di matanya sama sekali tak terlihat rasa takut saat melihat pukulan demi pukulan terus melayang di pipi dan perut masing-masing lawan. Cinella bahkan sempat takjub pada sosok cewek yang berdiri di sampingnya itu.

Apa cewek ini penyuka genre film thriller, ya?

"Kenapa lo natap gue kayak gitu?" tanya Laras tanpa mengalihkan tatapannya dari Genta dan Tio.

Merasa tertangkap basah, Cinella gelagapan. Dia lalu menggigit bibir bawahnya salah tingkah.

"Ng-nggak pa-pa. Cuma, lo nggak takut lihat mereka?"

Laras menggeleng, membuat rambutnya yang sedikit bergelombang bergerak perlahan. "Nggak. Biasa aja."

"Biasa aja?" Cinella terperangah.

"Iya. Lagian, gue juga nggak bisa kan ngelerai mereka. Jadi ya udah. Jadi penonton aja."

Cinella akhirnya mengangguk pasrah. Tak seperti Laras yang terus menatap adu pukul antara Tio dan Genta. Dia justru memilih untuk mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Entah bagaimana, Tio dan teman-temannya itu akhirnya pergi dengan banyak luka lebam di wajah tak terkecuali di sekujur tubuhnya yang lain. Namun, tak jauh beda dengan keadaan Genta, Desta dan Radit. Mereka justru kini sudah tergeletak dengan napas yang tersengal.

Menelan saliva susah payah, Cinella menatap ketiganya dengan penuh ketakutan. Sementara Laras yang sedaritadi melihat pertengkaran itu mulai menarik tangan Cinella untuk melihat keadaan ketiganya.

"Kalian ... oke?"

Itulah pertanyaan yang terlontar dari mulut Laras. Sementara Cinella hanya bisa terus menatap ketiganya dengan ringisan di wajah, seolah bisa merasakan perih yang dirasa oleh Genta dan kedua sahabatnya itu.

"Ya, kita oke. Hahaha."

Hahaha? Apa mereka sudah gila? Sudah mati rasa?

Dari ketiganya, yang pertama bangkit adalah Genta. Meski yang paling banyak lukanya adalah dia. Entah mengapa dia seolah memaksakan diri untuk bangun dan mencoba berdiri meski sedikit kesusahan. Baru setelah Genta berdiri, Desta dan Radit pun ikut bangkit dari posisi berbaringnya.

"Kalian berdua, jangan laporin hal ini ke dekan atau ke siapapun. Oke?" ujar Genta sambil menatap ke arah Cinella dan juga Laras. Refleks kedua perempuan itu mengangguk bersamaan. "Oke. Kalian berdua ikut kita," tambahnya.

"Ke mana?" tanya Cinella khawatir.

"Ke mobilku."

Sedikit ragu, akhirnya Cinella dan Laras pun mengekor di belakang ketiga cowok itu. Di dalam benaknya, Cinella terus merapalkan doa. Semoga tidak terjadi yang aneh-aneh nantinya.

Sejujurnya, Cinella paling malas jika harus berurusan dengan hal-hal yang seperti ini. Rasanya sudah cukup beban psikis yang harus ditanggungnya.

Cinella sedikit membungkuk tatkala melewati pintu kecil yang ada di belakang UKM. Pun dengan Laras yang tingginya melebihi tinggi seorang Cinella.

"Wih, prepare ternyata," sahut Desta saat melihat mobil milik Genta terparkir cukup dengan pintu rahasia itu.

"Hm, gue udah tebak sih kalo Tio nggak bakal dateng sendiri. Makanya gue nyiapin mobil, kali-kali gue KO lagi kan?"

Radit berdecak sebal. "Nggak tahu lagi gue kali nggak ada kita berdua. Emang kenapa sih lo ngundang Tio nggak manggil-manggis kita?!" ujar Radit sebal.

Genta terkekeh lalu membuka kunci mobilnya. Dia lantas mengambil kotak P3K yang berada di bawah kursi kemudinya.

"Gue cuma mau ngelepasin masalah yang kemarin. Nggak rela gue masuk rumah sakit sementara dia kelayapan. Enak banget."

"Ck. Terserah lo lah. Tapi, beruntung si cewek kacamata itu ngasi tahu kita kalo lo ada di sini."

Genta beralih menatap Laras yang juga menatapnya. Hanya sepersekian detik, karena setelah itu barulah Genta mendekat ke arah Cinella dengan kotak P3K di tangannya.

"Nih." Genta menyerahkan kotak berwarna putih dengan tanda plus berwarna merah itu ke tangan Cinella. "Obati lukaku."

Cinella gelagapan. Apa? Mengobati luka Genta?

"A-aku–" Ucapan Cinella menggantung karena kini Genta sudah mendudukkan dirinya di kursi penumpang. Diikuti Desta yang duduk di kursi depan dan Radit yang memilih menyandar di sisi mobil Genta.

Melihat Laras diam, Desta meminta bantuan cewek itu untuk membersihkan lukanya. Sedikit kaget, karena selama ini Laras sama sekali belum pernah membantu membersihkan luka orang lain. Urutan pengobatan pun dia sama sekali tak tahu. Maka yang dilakukan adalah mengikuti apa saja yang dilakukan Cinella terhadap luka milik Genta.

Tahapan demi tahapan mulai dilakukan oleh Cinella. Sesekali terdengar ringisan dari mulut Genta saat kapas yang dipegang Cinella menyapu pelan kulitnya yang terluka.

Saat kapas itu menyentuh area sudut bibir Genta, laki-laki itu refleks memegang tangan Cinella yang terulur. Refleks pula Cinella menepis tangan itu karena kaget. Lagipula, rasanya aneh jika ada tangan lelaki yang menyentuh dirinya. Bayang-bayang lelaki berengsek beberapa tahun silam itulah yang akan muncul di dalam benaknya.

"Maaf," gumam Genta pelan.

Cinella mengerjap cepat lalu kembali fokus membersihkan luka Genta yang lain. Tangannya sedikit gemetaran, dan hal itu tentu tak luput dari tatapan intens Genta.

"Kamu ... nggak pa-pa kan?" tanya Genta lagi. Cinella menggeleng pelan tanpa sedikit pun mengeluarkan suara. "Ngomong-ngomong, makasih karena tadi udah nolongin."

Genta tersenyum tipis, sementara Cinella hanya diam dengan kening yang berkerut. "Kamu tadi lucu banget. Dapet ide dari mana sih sampai mau buat mereka jadi sup? Hahaha."

Cinella membelalakkan kedua matanya tatkala Genta terbahak. Tangan Cinella bahkan menggantung karena tubuh Genta mengarah ke belakang seraya tertawa. Apa tadi dia selucu itu?

"Hah? Serius Ta Cincin mau jadiin mereka sup? Ckckck. Nggak nyangka gue kalo seorang Cincin bisa juga ngancemnya."

"Eh? Bukan gi-gitu, itu ... itu cuma gertakan bi-biar mereka pergi. Tapi yang ada mereka malah balik nyerang."

"Tapi kamu nggak kenapa-napa kan?" tanya Genta dengan ekspresi serius. Sangat berbanding terbalik dengan Genta beberapa detik yang lalu.

"Nggak pa-pa, kok."

Genta mengangguk lagi. "Lain kali kamu rajin-rajin ngecek hp. Tadi aku telepon nggak diangkat dan ngirim pesan bilang jangan lewat belakang UKM tapi kamu malah nggak baca."

"Oh, aku ... lagi nggak pegang hp."

"Nah, iya. Makanya lain kali rajin-rajin ngecek HP," ulang Genta. "Tapi aku bersyukur sih kamu di sini. Jadi ada yang ngobatin kan?"

"Haduh, moduuuuus moduuuuus," sahut Radit yang disetujui oleh Desta.

***

Apdetnya lageeeee hehehe

Lagi semangat nih, jadi idenya lancar jaya😂😂

Nggak tahu mo ngomong apa lagi, pokoknya makasih buanyak buat kalian yang masih setia nungguin cerita ini.

Love love love love dah buat kalian💕💕💕💕

Luv,

Windy Haruno

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top