7# Cin-Ta
Tersebab oleh daun seledri yang ada di mangkuk bakso milik Cinella, dan dengan kesokpahlawanan seorang Genta, semua orang yang ada di kantin kampus A kini mulai sering mencuri perhatian pada sosok Cinella yang terlihat dekat dengan preman kampus itu. Bahkan beberapa dari mereka tak tanggung-tanggung mulai menggosipi ada hubungan apa antara Cinella dengan Genta. Risih? Tentu saja.
Cinella yang kadang disebut makhluk tak kasat mata oleh teman-teman seruangannya itu kini seperti dipaksa muncul ke permukaan dan mulai sedikit dikenali oleh beberapa mahasiswa.
Cinella kini sudah berada di ruang kuliahnya bersama Dhea dan juga Gisel. Kedua temannya itu jelas sekali melihat raut tak suka di wajah perempuan yang kini memilih menatap pepohonan dari jendela yang ada di sampingnya.
"Cin, lo ... nggak pa-pa?"
Cinella yang tadinya sibuk berkutat dengan pikirannya, kini berbalik menatap Dhea dan juga Gisel. Keduanya–terutama Dhea terlihat khawatir. Sebagai teman, tentu mereka tahu ketidaksukaan Cinella berdekatan dengan laki-laki. Apalagi yang sejenis Genta dan kawan-kawannya itu.
"Hmm." Cinella menarik napas pelan, "Untuk saat ini, gue sedikit baik-baik aja."
"Sedikit?"
"Yaa, gitu deh."
Gisel memperbaiki posisi duduknya jadi sedikit condong ke arah Cinella. "Tadi gue liat anak-anak lain ngeliatin lo kayak udah kayak liat artis tau nggak? Matanya sampe melotot gitu," jelas Gisel seraya mengedikkan bahunya risih. "Bukan gue yang diliatin malah guenyang ngerasa risih," tambahnya.
Dhea mengangguk setuju karena dia pun merasakan hal yang sama saat keluar dari kantin.
"Ya, risih juga sih. Tapi ya gimana ya. Gue kan nggak bisa ngapa-ngapain. Jadi, biarin lah."
"Eh, tapi ... gue penasaran. Kok lo bisa kenal dia sih, Cin. Lo kenal seangkatan aja malesnya minta ampun, ini malah udah kenal duluan sama anak jurusan sebelah." Dhea mengangguk. Pasalnya dia juga penasaran dengan kejadian di balik dekatnya seorang Cinella dengan seorang cowok yang dikenal sebagai preman kampus. Bisa-bisanyaaa gitu.
Cinella menatap kedua temannya itu dengan saksama. Sebelumnya, dia berpikir keras antara mau bercerita dan tidak. Tapi, sepertinya mereka berdua memang harus tahu. Siapa tahu dengan begitu mereka mau jadi tameng di saat Genta tiba-tiba berulah lagi di kehidupannya.
Sejujurnya, ada sedikit rasa bersalah yang menggerayangi batin Cinella. Di masa-masa kesulitannya, dia tidak bisa menceritakan semuanya kepada sang ibu, bahkan hingga saat ini. Dan dia justru memilih menceritakan alasan di balik ketidakinginannya berhubungan dekat dengan laki-laki pada temannya. Tapi, salahkah? Dia hanya ingin berbagi dan mengurangi sedikit bebannya.
"Gue ... gue sebenarnya udah kenal sama dia sejak SMA. Dan ... dia adalah alasan di balik gue yang takut dekat-dekat dengan yang namanya cowok." Cinella memberi jeda. Ia lalu menatap kedua temannya yang hanya memberikan raut yang sulit diartikan. Tanggapan Cinella, mereka sama sekali tidak kaget dengan apa yang baru saja diceritakannya. Tapi, ternyata dia salah. Karena selanjutnya Gisel menggebrak meja hingga beberapa orang yang ada di ruangan itu menoleh karena kaget.
"Apa? Jadi dia yang ... yang ... wah! Nggak nyangka gue, Cin. Sumpah ya, kesel gue dengernya," timpal Gisel tak terima. Namun, sebelum cewek berkacamata itu mengeluarkan semua perkataannya, Dhea segera menepuk bahunya.
"Dengerin Cincin cerita dulu. Lo nggak bisa langsung nge-judge Kak Genta sebelum lo tahu alasan di balik itu."
Cinella beralih menatap Dhea. Rasa sesak di hatinya tiba-tiba kembali menyeruak hingga membuat ia berusaha menarik napas sedalam-dalamnya.
Setelah Gisel kembali tenang, dia dan Dhea kembali memasang telinga untuk mendengar cerita kelam dari seorang Cinella. Masa kelam yang entah mengapa bisa mereka berdua rasakan bagaimana sakitnya.
Kalau kata orang, orang lain tidak akan mengerti rasanya sebelum orang itu merasakannya sendiri, itu salah. Sebenarnya, untuk merasakannya kita hanya butuh rasa simpati dan juga empati.
"Ternyata ... gue cuma dipermainin sama dia. Dulu ... gue sempet punya hubungan sama dia, tapi kandas karena dia ternyata nganggap gue cuma mainan dia." Cinella menarik napas lagi. Kini, dia benar-benar sudah siap untuk menceritakan semuanya. "Setelah putus, anak-anak berandal dari sekolahku justru menjadikan hal itu alasan untuk ... untuk memperkosaku."
Rasanya tenggorokan Cinella tercekat. Dia lalu melipat bibirnya ke dalam untuk menahan getaran karena kesakitan yang dirasanya. Sementara Gisel menutup mulutnya menggunakan tangan saking tak menyangkanya. Dhea justru sedikit membulatkan kedua matanya sebagai reaksi dari rasa terkejutnya memdengat cerita Cinella.
"Tapi ... lo nggak di uuummm–"
"Iya, gue nggak jadi diperkosa, beruntung saat itu ada bapak-bapak yang lewat dan neriakin anak-anak berandal itu."
"Wah, benar-benar kurang ajar," gumam Gisel kesal.
Dhea menunduk perlahan seraya menghela napas pelan. Rasanya tenaganya terkuras cukup banyak setelah mendengar cerita kelam yang dialami Cinella.
"Lo udah coba nemuin psikolog?" tanya Dhea bersuara.
Cinella mengangguk pelan. "Gue udah nyoba ke psikolog. Bu Prima. Gue bahkan udah ada beberapa sesi terapi dan konseling sama beliau."
Dhea dan Gisel menganggum secara bersamaan.
"Gimana sejauh ini?" Kembali, Dhea bersuara.
"Gue udah agak mendingan. Udah nggak separah dulu yang bahkan seruangan sama cowok bisa bikin gue keringat dingin. Setidaknya sekarang gue udah mudah berinteraksi sama mereka meski masih ada sedikit rasa was-was."
Dhea mengangguk lalu tersenyum. "Tapi gue salut sama lo, Cin. Sampai saat ini, lo kuat banget. Meski gue tau ... masalah ini tentunya bukan masalah kecil. Lo berani mengambil langkah untuk sembuh."
Cinella menunduk, sedikit terharu dengan dukungan yang diberikan Dhea padanya. Baru kali ini dia merasa benar-benar berharga. Dia merasa bersyukur, karena respon yang diberikan oleh Dhea dan Gisel ternyata memberi pengaruh positif kepadanya. Dengan begitu, ketakutannya untuk bercerita kepada orang lain akhirnya terpatahkan.
"Bener kata Dhea, nggak tau gimana deh kalo gue yang ada di posisi lo." Gisel menggeleng pelan. "Semangat ya, Cin. Jangan sungkan buat cerita ke kita. Lo yakin deh, kita ini nantinya bakal jadi psikolog, jadi jangan ragu buat cerita ke kita. Ya, itung-itung nambah skill konseling kita gitu loh. Hehe."
Cinella tersenyum lebar. Bebannya seperti terangkat. Sepenting itu rasanya didengarkan. Melegakan.
"Ya udah, deh. Hari ini gue udah nggak respect lagi sama Kak Genta dan gengnya itu. Tadinya sih gue sempet pangling, gila cakep gitu orangnya. Tapi setelah tahu dia dalang di balik kesengsaraan lo selama ini, gue jadi ... kayak gimana ya. Jadi semacam ilfeel gitu deh," tambah Gisel sambil mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di dagu.
"Tapi ya, bukan maksud gue mau belain Kak Genta, tapi ... apa kalian pernah kepikiran nggak alasan di balik Kak Genta ngelakuin itu?" tanya Dhea pelan.
Gisel mendengus pelan. "Ya apapun alasannya, hal itu nggak patut dibenarkan, Dhe."
"Iya sih, tapi kan di balik perilaku seseorang, sudah pasti dia memiliki alasan yang kuat."
"Hmm, benar juga," gumam Gisel.
Cinella yang mendengar perdebatan itu pun juga mulai bertanya-tanya. Apa sebenarnya yang melatarbelakangi sikap Genta hingga seperti itu? Tapi, kejadian itu sudah berlalu, Cinella tak mau lagi mengingat-ingatnya.
"Sudah, sudah. Gue pulang dulu, ya. Udah nggak ada mata kuliah lagi kan?" tanya Cinella mengakhiri percakapan mereka. Dia bahkan mengambil tas yang sengaja digantung di bagian sandaran kursi. "Ya udah, gue balik dulu ya."
"Iya, hati-hati."
Cinella melangkahkan kakinya hingga berada di koridor utama. Kali ini, dia memilih lewat di koridor utama, bukan lagi di belakang gedung UKM. Alasannya, kali ini koridor tidak begitu ramai, jadi Cinella cukup merasa bebas bergerak dan tidak terdesak.
Namun, saat ia hampir berada di pintu kampus, seseorang meneriakinya dari belakang.
"Cin!"
"Ta!"
Cinella segera menoleh, bersamaan dengan Genta yang ternyata berada tepat di belakangnya.
Dhea dan Radit bahkan saling berpandangan saat sadar bersamaan meneriaki nama Cinella dan juga Genta.
Radit menggeleng-gelengkan kepalanya takjub. "Ckckck, jodoh emang, ya. Bisa gitu namanya nyambung jadi CINTA. Maha besar Allah yang menciptakan manusia yang berpasang-pasangan."
***
Iya, ya. Cin-Ta. Wkwkwk
Btw, pas baca Cinella, Dhea dan Gisel ngegosip gitu, aku jadi inget pas kuliah dulu. Habis dosen keluar, kita gosipnya ya persoalan mental illness gitu. Apa-apa dibicarain. Termasuk kasus sianida dulu. Kita udah kayak detektif gitu, tiap hari ngikutin perkembangan kasusnya hihihi
Kangen deh.
Gimana kabarnya?
Semoga baik-baik terus, ya. Ya walaupun kita ngarepnya baik-baik terus, nyatanya pasti ada aja yg bisa bikin nggak baik-baik aja. Tapi nggak papa. Yang namanya manusia, ya emang gitu. Kalo baik-baik terus, nggak akan ada yang namanya pendewasaan. Karena sebenernya, pendewasaan itu lahir dari "nggak baik-baik aja"
Jadi, untuk kamu yang lagi nggak baik-baik aja, nggak papa. Jalani, hadapi. Jangan lari. Dengan begitu, kamu akan jadi lebih kuat lagi🥰
Luv,
Windy Haruno
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top