3# Hai, Cincin

"Ciiiiin! Besok ikut seminar Kesehatan Mental kan?"

"InsyaAllah. Kenapa?" tanya Cinella dengan kedua mata masih tertuju pada layar laptopnya.

"Nggak pa-pa. Kirain lo nggak mau ikut. Ya udah kita barengan aja ya. Biar gue ada temennya. Gak enak banget tau sendirian. Apalagi seminar besok kan kita gabung sama mahasiswa kedokteran," ujar Dhea lalu menyeruput milk shake-nya.

"Iya, iya."

"Lagi ngerjain apa sih? Serius banget? Perasaan nggak ada tugas deh hari ini." Dhea mengetuk-ngetuk jemarinya di atas meja seraya berpikir. Benar, hari ini memang tidak ada tugas dari dosen. Lantas, kenapa Cinella sok sibuk begitu?

"Nggak lagi ngerjain apa-apa. Cuma lagi baca jurnal aja."

"Jurnal tentang apa?"

"Bunuh diri. Tahun ini WHO mengangkat tema bunuh diri untuk memperingati kesehatan mental sedunia kan? Yaa, lagian gue juga penasaran tentang tema itu."

Dhea mengangguk setuju. "Boleh tuh, jadiin referensi buat skripsi lo nanti," saran Dhea antusias. "Tapi, Cin. Bentar deh. Sejujurnya, gue masih penasaran loh sama anak seni yang kemarin nyariin lo. Lo nggak penasaran gitu?"

Cinella mengangkat kepalanya sedikit lalu merenggangkan otot tangannya. Ia lalu menatap Dhea yang juga ikut menatapnya. Menghela napas pelan, ia lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Pikirannya juga dari tadi malam sebenarnya tak jauh mengarah ke sana. Dan hingga saat ini dia pun tak tahu menahu mengenai anak seni itu.

"Sebenarnya gue juga penasaran. Perasaan gue nggak ada masalah sama mereka. Eh, lo tanya namanya siapa nggak?"

"Nama siapa?"

"Yang nyamperin lo kemarin."

Dhea tampak berpikir. "Itu ... umm, eh iya. Kalo nggak salah namanya ... Desta?" ujarnya tak yakin.

"Desta?" Dhea mengangguk pelan.

Cinella menggigit bibir bawahnya setelah mengetahui siapa orang yang mencarinya kemarin. Apakah Desta yang dimaksud Dhea adalah Desta teman Genta? Kalau iya, ada urusan apa lagi dia? Perasaan Cinella tidak melakukan hal aneh atau semacamnya kemarin. Atau ... Cinella melupakan sesuatu? Tapi apa?

"Lo ... ada apa dengan si Desta itu?"

"Wait, wait. Kok lo tau dia anak seni?"

"Ya kan dia yang bilang. Katanya, bilang ya Desta anak fakultas seni nyariin dia. Gituuu."

Cinella mengangguk paham. Ah, sepertinya tidak salah lagi. Pasti Desta teman Genta. "Dia nggak nyampaiin sesuatu gitu?"

"Nggak. Aduh, Cin. Sumpah ya. Kok gue penasaran!"

"Ah, udahlah. Nanti dia juga dateng sendiri kalo emang butuh."

"Tapi, kok dia bisa kenal sih sama lo? Ternyata lo mainnya lumayan jauh juga, ya. Sampai temenan sama anak seni yang terkenal dengan kebadungannya."

Sebenarnya, Cinella ingin memberitahu Dhea terkait kejadian yang menimpa dirinya kemarin. Tapi diurungkan karena tahu Dhea nantinya bisa bocor dan menghebohkan jagat kampus. Lagipula, siapa sih yang tidak mengenal Genta dan kawan-kawannya itu? Dia sekelas dengan anak-anak famous lainnya yang seantero kampus Pelita juga tahu siapa dia. Dan yang membuat Cinella berpikir ulang jika ingin memberitahukan hal ini kepada Dhea adalah, dia tidak mau jadi bahan gosip mahasiswa-mahasiswa kurang kerjaan. Dia lebih memilih untuk fokus pada pendidikannya saat ini. Lebih baik tidak usah famous kalau nilai pendidikan menurun, itu lah yang selalu dipegang teguh oleh Cinella.

"Mungkin kebetulan aja dia lagi butuh sesuatu sama gue?"

Dhea menatap Cinella curiga. "Hmm, menurut gue di dunia ini nggak ada yang kebetulan sih. Setiap orang yang kita temui sudah punya garis peran dan alasan kenapa dia hadir di dalam hidup kita. Termasuk si Desta itu."

Ucapan Dhea behasil membungkam Cinella. Ia sampai bingung mau bilang apa lagi. "Hm, nggak usah dipikirin lah. Yuk, ke kelas. Bentar lagi jadwalnya Bu Tisa."

Beruntung Dhea tidak mempermasalahkan perihal Desta si anak seni itu. Kalau tidak, Cinella tidak tahu mau menanggapi bagaimana lagi.

***

"Yee, traktirlah kita, Ta. Syukuran kecil-kecilan karena akhirnya lo bisa masuk kampus lagi," rayu Radit setelah Genta duduk di kursinya.

Genta berdecak sebal. Radit dan gaya sok miskinnya memang kadang cenderung membuat Genta maupun Desta ingin sekali mengulek teman yang satunya itu. Padahal ya, kalau mau hitung-hitungan, di antara ketiganya Raditlah yang paling kaya. Kalau kata Genta, Radit itu cowok BERDU alias berak duit. Ya, perumpamaan yang 'iuh' sekali, tapi perumpamaan itu benar-benar cocok dengannya. Dia tidak pernah kehabisan duit. Mau foya-fota tujuh hari tujuh malam juga masih cukup itu duit buat sepuluh turunan.

"Syukuran apaan sih, Dit? Macem anak SD ultah aja," balas Genta dengan nada ketus.

"Ya ampun, Ta. Yang namanya orang habis melewati masa kritis itu, patut disyukuri, Ta. Syukur-syukur lo masih dikasi nyawa gitu buat tobat."

"Gue traktir deh di kantin." Satu-satunya cara agar Radit mau diam adalah dengan cara mengiyakan ucapannya dengan cepat. Panjang urusannya jika berurusan dengan mulut Radit yang sebelas duabelas dengan mulut cewek.

Radit menepuk pelan bahu Genta. "Nah, gitu dong. Bakso Mang Dadang tiga mangkok. Nggak mau tau gue."

"Mendingan Genta ngasi makan anak yatim daripada ngasi makan orang macem lo, Dit. Berak duit gitu malah minta traktiran mulu lo," timpal Desta.

"Ckckck, kalian kok ya jahat banget sih sama gue? Ikhlas lah dalam berbagi, biar pahalanya dapet."

"Omongan lo."

Genta mengangkat kedua tangannya masing-masing di hadapan Radit dan Desta agar kedua sahabatnya itu diam. Pasalnya ini masih terlalu pagi untuk merusak mood seorang Genta yang masih dalam masa pemulihan. Luka sobek di perut kanannya memang tidak terlalu dalam, tapi sukses mendapat jahitan sebanyak delapan belas jahitan. Sebenarnya ia pun belum diizinkan untuk melakukan hal-hal berat atau bahkan ke kampus. Tapi, Genta yang keras kepala tentu saja tidak mengindahkan ucapan dokter itu. Lebih baik dia ke kampus daripada dia harus menjadi saksi mata atas kejahatan sang papa yang sering menyiksa mamanya baik secara fisik maupun psikis. Dan hal itu tentu saja juga berdampak pada kondisi psikis Genta yang tak rela melihat kelakuan bejat papanya itu.

"Lo udah nyampein ucapan makasih gue ke cewek itu, Des?" tanya Genta.

"Kemarin gue ke kampus satu, nyariin dia. Tapi dianya belom dateng. Jadi ucapan makasihnya masih ditunda."

Genta memang sempat melihat sosok cewek yang membantunya saat dia dibawa ke rumah sakit, meski samar-samar tapi tetap saja dia mau mengucapkan terima kasih padanya.

"Siapa sih namanya? Biar gue sendiri nanti yang nyamperin." Genta mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya lalu mengecek sesuatu di sana.

"Kalo nggak salah namanya Cinderella!" sahut Radit antusias. Dia bahkan sampai menepuk tangannya bangga karena masih bisa mengingat nama cewek itu. Sampai Desta memukul kepalanya menggunakan buku dengan cukup keras.

"Cinderella, Cinderella. Lo pikir ini lagi di negeri dongeng?"

Radit mengusap kepalanya yang sedikit nyut-nyutan. "Dih, kan namanya emang Cinderella! Masa iya namanya Snow white!"

Desta berdecak. "Bukan Cinderella, tapi Cinella!"

Genta yang tadinya sibuk dengan benda pipih di tangannya kini beralih menatap Desta dan Radit dengan tatapan terkejut. Apa dia tidak salah dengar tadi? Cinella?

"Siapa lo bilang, Des?" tanya Genta mencoba memastikan pendengarannya. Siapa tahu dia salah dengar.

"Cinella. Nama cewek yang ngebantuin kita kemarin. Btw, sori banget Ta, gue kepaksa narik dia kemarin, soalnya dia kayak yang mau teriak gitu. Gue kan nggak mau jadi bahan perhatian orang lain. Bisa berurusan lagi deh kita sama dekan kalo sampai itu terjadi," jelas Desta panjang lebar.

Tapi bukan itu yang menjadi fokus Genta saat ini, melainkan nama cewek itu. Dia jadi teringat dengan sosok cewek yang dulu pernah ada di masa lalunya. Masa lalu kelam akibat kesalahan yang diperbuatnya. Tapi, benarkah Cinella yang dimaksud Desta adalah Cinella yang itu? Dia harus memastikan sendiri.

"Dia di fakultas mana?"

"Kan gue udah bilang tadi di kampus satu. Jurusan psikologi, kalo lo lupa."

Genta mengangguk pelan. Dalam kepalanya ia sudah mengatur rencana ingin menemui cewek itu. Dia ingin melihatnya langsung, dan memastikan apakah benar dia Cinella yang dimaksud.

Terus kalau dia benar cewek itu, lo mau apa, Ta?

Genta berpikir keras dan mulai menerka-nerka, apakah cewek itu masih akan sudi melihat dirinya setelah kejadian beberapa tahun yang lalu? Apakah dia akan menerima permintaan maaf dari dirinya?

Genta berdiri dari posisinya, membuat Radit dan Desta menatap dirinya dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Heh, mau ke mana lo?" tanya Radit saat melihat Genta mulai menyampirkan tas ranselnya di bahu kiri. "Ke kantin, ya?" tebak Radit asal. Dia bahkan sudah ikut berdiri.

"Gue mau ke kampus satu," jawab Genta singkat.

"Eh, eh. Mau ngapain, Ferguso? Jam segini siapa tau dia masih ada jam kuliah."

Desta mengangguk pelan. "Iya, bener kata Radit, Ta. Nantilah lo datengnya siangan dikit."

"Sekarang aja, nanti dia keburu pulang. Lagian kan kali aja dosennya nggak masuk atau gimana. Udahlah, gue cabut dulu."

"Etapi lo jangan sampai pura-pura lupa ingatan ya, Ta. Yang luka kemarin itu perut lo, bukan kepala lo. Inget, ya. Lo masih ada utang neraktir gue bakso tiga mangkok," ujar Radit dengan teriakan yang sedikit menggema. Membuat beberapa orang yang ada di ruangan itu merasa risih.

"Eh, geblek. Lo jangan pake teriak-teriak juga keles. Lo nggak liat apa udah dilaser sama anak-anak," sahut Desta mengingatkan.

Radit melihat ke sekeliling ruangan, dan benar saja, berbagai macam tatapan sudah mengarah kepadanya. Meski terkenal berandal, temannya lebih berandal lagi. Wajarlah bulu kuduk Radit seketika jadi merinding.

"Maap, maap gaes."

***

Genta kini berada di koridor kampus PINUS fakultas psikologi. Tulisan selamat datang yang ditempel di dinding koridor seolah menyambut kedatangannya. Beberapa pasang mata pun sesekali menatap ke arahnya seolah penasaran akan maksud kedatangannya. Tapi Genta tidak peduli, saat ini fokusnya hanya bertitik pada cewek yang dimaksud Desta.

Langkah Genta tiba-tiba berhenti, dia lupa menanyakan pada Desta di mana ruangan kuliah Cinella. Segera Genta mengambil ponselnya lalu menghubungi nomor Desta.

"Halo," ujar Desta di seberang.

"Des, lo tau ruangan dia di mana?"

"Nggak tau sih, coba lo tanya anak-anak di situ. Gue juga kemarin cuma nanya-nanya aja, nggak sempet nanyain ruangannya di mana."

"Oke, thankyou."

Setelah memutuskan sambungan teleponnya, Genta kembali mengedarkan tatapannya di penjuru koridor. Dia mencoba melihat-lihat dan menebak yang mana dari mereka yang bisa ditanya tanpa menimbulkan kerusuhan karena tidak berfokus pada apa yang ditanyakan oleh Genta, melainkan fokus pada wajah tampan laki-laki itu.

"Permisi," ujar Genta pada sosok cowok yang memakai PDH BEM. Setidaknya, cowok itu tidak akan malu-malu kucing juga kan saat melihatnya?

"Ya?"

Laki-laki itu menatap Genta dari ujung kepala sampai ujung kaki seolah mencoba menilai sosok laki-laki yang ada di hadapannya itu.

"Mau nanya. Kenal mahasiswa psikologi yang namanya Cinella nggak?"

"Cinella?" Laki-laki itu tampak berpikir. Cukup lama, sampai Genta ingin sekali pergi dan mencoba bertanya ke orang lain. "Oh, iya. Dia adik tingkatku. Kenapa?"

Ya jelaslah adik tigkat lo. Kan lo sekampus.

"Ruangan dia di mana, ya?" tanya Genta tanpa basa basi.

"Oh, kamu lurus aja, terus di pertigaan itu belok kanan, terus ada perempatan, belok kanan lagi. Ruangan paling ujung itu ruangannya."

Genta mengangguk singkat. "Oke. Thanks, ya."

"Eh, ngomong-ngomong. Kamu anak seni kan? Kalau boleh tahu, ada urusan apa ya sama adik tingkat saya?"

Genta menatap cowok itu dengan tatapan malas. Gila urusan juga anak ini. "Urusan pribadi. Sori."

"Oh, iya. Maaf."

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Genta segera berlalu. Dia sama sekali tidak berniat berbasa-basi, karena memang bukan itu tujuannya. Tapi, wajar saja sih. Mahasiswa di jurusan psikologi memang yang paling terkenal dengan kekompakannya, serta kakak tingkat yang akan terus melindungi adik-adik tingkatnya. Terkesan protektif, tapi begitu cara mereka melindungi kampus dan adik-adik mereka. Bahkan pihak rektor sering membanggakan mereka karena mereka terkenal dengan kesantunan dan tidak pernah terlibat masalah atau kerusuhan di luar sana.

Kini Genta sudah berdiri tepat di depan ruang kuliah Cinella, pintu itu tertutup rapat, membuat Genta tidak bisa melihat ke dalam. Beruntung ada seorang mahasiswa yang akan masuk, Genta tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.

"Permisi, di dalam ada yang namanya Cinella?" tanya Genta tanpa basa-basi.

Perempuan berhijab hijau toska itu meneliti Genta cukup lama. "Cincin maksudnya?"

"Cincin?" ulang Genta. Cincin siapa?

Perempuan itu mengangguk. "Iya, Kak. Cinella, biasa kami panggil Cincin."

"Ah, ya. Cincin." Sebenarnya Genta mulai ragu, pasalnya Cinella yang dikenalnya tidak pernah dipanggil Cincin. Tapi, sudahlah. Mumpung sudah di sini, kita buktikan saja.

"Ada di dalam, Kak. Mau saya panggilkan?" Genta mengangguk pelan, sementara perempuan itu segera masuk.

***

"Cin, ada yang nyariin noh."

Cinella yang tadinya sibuk menulis sesuatu di bukunya pun mendongak. "Siapa?"

Dhea yang mendengar Cinella dicari oleh seseorang pun ikut bergabung. "Apa jangan-jangan orang yang bernama Desta itu, Cin? Ayo segera temui dia!"

Cinella berpikir sejenak. Apa benar yang mencarinya adalah Desta teman Genta?

Tanpa banyak bicara lagi, Cinella segera bangkit dan akan menemui orang itu. Pintu ruangan digeser perlahan, Cinella keluar dan mencari sosok yang mencarinya itu. Tak jauh dari posisinya saat ini, berdiri sosok lelaki yang membelakanginya. Penasaran, Cinella perlahan mendekat.

"Ehem, Ka-Kakak yang nyariin saya?"

Laki-laki itu berbalik, yang seketika menyisakan raut keterkejutan di wajah ayu Cinella.

"Hai, Cincin."

***

Hayoloh, disamperin Genta. Wkwkwkwk

Kalo kalian yang ada di posisi Cinella, apa yang akan kalian lakukan?🤭

Luv,
Windy Haruno

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top