20# Dompet Hitam

"Ibu kamu tadi maksain diri buat ke kamar mandi, Nak. Ibu tadi nggak lihat karena ibu lagi keluar mau buang sampah. Tau-taunya, pas ibu masuk, ibu kamu udah jatuh di dalem kamar mandi," jelas bu Asia saat Cinella datang dengan raut cemas. Terpaksa dia harus meminta izin pada dosen yang saat itu memberikan materi karena dia mendapat kabar bahwa ibunya jatuh DI kamar mandi. Ya, katakanlah Cinella bermain ponsel saat itu, tapi dia bermain ponsel karena berniat untuk mencari materi kuliah. Dan mungkin, itu cara Allah memberinya petunjuk.

"Nggak pa-pa, Bu. Justru Cincin bersyukur karena ada Ibu yang cepat nolongin ibu. Kalo nggak, Cincin nggak tahu lagi apa yang akan terjadi sama ibu," ujar Cinella dengan raut sedihnya. Dia masih setia menggenggam tangan ibunya yang masih tertidur karena pengaruh obat. Diperhatikannya raut lelah yang samar pada wajah wanita yang telah melahirkannya itu. Wajahnya pucat, lebih pucat dari kemarin. Mungkin karena efek kesakitan yang dirasanya setelah terjatuh di kamar mandi.

"Nak Cincin sudah makan? Mau ibu beliin nasi padang?"

Cinella menggeleng. Napsu makannya seolah hilang. Sepertinya efek dari kekagetannya mendengar kondisi sang ibu beberapa menit yang lalu. "Bu. Ibu istirahat juga, ya. Biar Cincin yang jagain ibu. Atau, Ibu mau makan? Biar Cincin yang beliin. Ibu di sini aja istirahat, ya?" tawar Cinella yang kemudian mengambil dompetnya dari dalam tas.

"Ibu tadi udah makan pisang goreng kok, Nak. Masih kenyang," tolak bu Asia.

"Cuma pisang goreng? Ah, Ibu. Ibu tunggu di sini deh pokoknya. Cincin beliin nasi padang dulu. Kita makan sama-sama."

"Loh, katanya kenyang?" tanya bu Asia dengan nada bercanda.

"Iya sih, Bu. Tapi kalo Cincin nggak makan, pasti Ibu nggak mau makan juga."

Bu Asia tersenyum lembut. Cinella sudah sepaham itu dengan dirinya. Entah mengapa, dia merasa bersyukur kenal dengan Cinella dan ibunya. Rasanya, dia punya keluarga dekat. Mereka adalah orang-orang yang bisa bu Asia percaya, sama percayanya ia terhadap keluarganya sendiri. Bu Ina bahkan tidak pernah merasa enggan saat bu Asia sudah menganggap Cinella sebagai anaknya sendiri. Justru, bu Ina merasa bu Asia adalah orang yang tepat untuk membantu dirinya merawat Cinella.

Cinella pun akhirnya keluar untuk membeli nasi padang, tidak lupa dia juga membeli satu bungkus rujak untuk dicemil. "Rujaknya nggak pake bengkoang ya, Mas," pinta Cinella.

"Pesan satu yang pake bengkoang ya, Mas."

Cinella menoleh ke arah sumber suara. Dan seketika kedua bola matanya membulat saat melihat sosok Radit berdiri tepat di sampingnya.

"Iya, tahu kalo gue secakep itu. Tapi nggak usah sepangling itu kali," sahut Radit saat melihat ekspresi Cinella yang menurutnya terlalu berlebihan.

Cinella yang akhirnya tersadar pun segera berdeham pelan untuk mengilangkan raut anehnya. Tapi benaran, dia kaget melihat kehadiran sahabat Genta itu. Jam segini, sedang apa dia di rumah sakit?

"Kakak ngapain di sini?"

"Beli rujak atuh."

Cinella berdecak dalam hati. "Maksud aku, Kakak kok bisa ada di sekitar rumah sakit? Kakak sakit, ya?"

Radit menahan senyumnya dengan kedua pipi sedikit merona karena terkena sinar matahari yang entah mengapa hari ini cukup terik. "Pelis lah, Cin. Lo jangan seperhatian itu sama gue, gue kan jadi baper."

Siapa yang merhatiin sih, ya Allah. Orang cuma nanya.

"Bukan gitu, Kak. Maksud aku—"

"Ish, iya, paham kok, paham. Gue ke sini tuh mau ngejengukin Oma-nya Desta yang lagi masuk rumah sakit. Kebetulan beliau dirawat di sini. Nah, sekarang giliran gue yang mau nanya. Lo ngapain di sini?"

Cinella mengambil bungkusan rujak yang disodorkan oleh si Mas-nya lalu menyerahkan selembar uang sepuluh ribu. "Makasih, ya, Mas." Ikatan pada bungkusan itu kemudian dieratkan lagi. "Oh, Ibu aku juga lagi dirawat di sini, Kak. Hehe. Ya udah, ya, Kak. Aku permisi dulu."

"Gue nanti mau dateng jenguk boleh nggak?"

Cinella mengerjapkan kedua matanya. Pasalnya, baru kali ini dia menghadapi situasi di mana seseorang secara sukarela ingin datang menjenguk ibunya. Genta tidak bisa diperhitungkan dalam hal ini, jangan tanya kenapa, sudah jelas dia datang karena diundang oleh sang ibu.

"A—itu ..., umm."

Melihat Cinella yang tampak ragu, Radit pun terkekeh pelan. "Nggak pa-pa kok kalo nggak dibolehin. Hahaha."

"Eh, boleh kok, Kak."

"Oke. Nanti gue, Desta dan Genta ke sana. Pokoknya lo nggak usah repot-repot, tapi kalo boleh pesen batagor aja gue juga udah seneng kok."

Sebenarnya daritadi Cinella sangat takjub dengan Radit yang kalau ngomong selalu lancar jaya. Sebagai lawan bicara, Cinella sampai bingung mau jawab apa.

"Kalian ngapain di sini?"

Cinella dan Radit menoleh secara bersamaan. Tak jauh dari posisi keduanya, berdiri sosok Genta dengan sebuah kantung berisi buah-buahan di tangannya.

"Eh, Genta. Lo jangan salah paham, Ta. Meski gue bilang kalo Cincin kayaknya suka sama gue, ya tetep aja itu belum pasti. Tapi kami berdua di sini juga nggak sengaja ketemu kok. Iya, kan, Cin?"

"Iya, Kak."

"Iya apa? Suka sama Radit atau nggak sengaja ketemu di sini?" tanya Genta dengan nada sarkastis. Cinella dan Radit seketika merasa kaku saat mendengar pertanyaan itu. Efeknya seluarbiasa itu.

Cinella berdeham. Untuk apa juga dia harus merasa terintimidasi? Toh, Genta bukan suaminya yang harus ia takuti, tapi kalau pun jadi suaminya, dia juga tidak perlu takut, kan dia tidak sedang selingkuh. Ini hanya kebetulan.

Tapi, sebentar. Kenapa harus suami? Ah, udah gila lo, Cin.

"Itu, kami berdua memang nggak sengaja ketemu di sini, Kak. Memangnya kenapa?" Ya, bagus, Cincin. Sewot aja.

Genta tampak mengangguk-anggukkan kepalanya lalu menatap Radit yang ternyata sudah mengunyah rujak tanpa bumbu yang ada di tangannya. "Terus lo ngapain di sini, Dit?"

Radit hampir saja tersedak kedondong yang masuk ke dalam mulutnya. Pertanyaan Genta terlalu tiba-tiba untuk dirinya yang sedang menikmati rujak yang ternyata enak itu.

"Ya gue ngejenguk emaknya Desta, Gen. Lo juga mau ke sana kan?" Radit memasukkan buah pepaya ke dalam mulutnya. " Oh, atau jangan-jangan hubungan kalian berdua udah sejauh itu? Lo mau ngejenguk emaknya Cincin kan? Hoo, ngaku lo, Ta."

"Ck. Gue mau jenguk Omanya Desta dulu." Genta berbalik, berniat meninggalkan Radit dan juga Cinella. Tapi baru selangkah, cowok berjaket biru navy itu kembali berbalik. "Kamu cepetan balik. Ibumu dan bu Asia pasti udah nungguin. Nggak usah nemenin Radit ngegosip. Nggak ada abisnya dia." Tanpa menunggu respon keduanya, Genta pun pergi.

"Woaah, dasar si bangs—maksud gue, si Genta. Ck. Ya udah, gue duluan, ya, Cin." Cinella mengangguk mengiyakan. Selanjutnya, dia hanya bisa melihat kepergian Radit yang sedikit berlari mengejar Genta.

"Huft."

***

Bertepatan saat adzan maghrib berkumandang, bu Ina sadar. Cinella yang saat itu menemani sang ibu pun bergegas menghampiri. Tugas yang tadinya ia kerjakan pun ditinggalkan.

"Ibu. Ibu sudah sadar?"

"A-aku di mana?" tanya bu Ina dengan suara serak.

Tak menjawab pertanyaan ibunya, Cinella segera meraih gelas yang berisi air putih dan menyodorkannya di hadapan sang ibu. "Ibu minum dulu, ya."

Bu Ina tidak menolak, ia pun segera meneguk air itu hingga tandas. Sekali lagi, ia menanyakan keberadaannya saat ini. Namun, kali ini Cinella tidak abai.

"Ibu lagi ada di rumah sakit," jawab Cinella singkat.

"Rumah sakit? Dan ... kamu siapa?"

Entah sudah yang keberapa kalinya sang ibu melupakan fakta bahwa Cinella adalah anak satu-satunya yang dia miliki. Dan hal itu cukup membuat Cinella merasa ... sedih. Bahkan terkadang, ia menangis diam-diam untuk menuntaskan rasa sedih yang mendera batinnya. Bagaimana tidak sedih, tak ada satupun anak di dunia ini yang mau terlupakan oleh ibunya.

Tok tok tok.

Cinella menghela napas berat. Air mata yang tadinya menggenang berusaha ia tahan agar tidak meluruh. Ia pun tidak menjawab pertanyaan ibunya dan memilih untuk beranjak membuka pintu."Ya? Sebentar."

Saat pintu sudah dibuka, raut Cinella sedikit berubah. "Loh, Kak Genta?" Kedua mata Cinella sedikit melirik ke sudut bibir Genta yang masih terlihat menyisakan luka. Bayangan Laras—ah iya, namanya Laras menyapukan kapas dengan antiseptik di area itu kembali terngiang. Tapi sepertinya ia tidak perlu terlalu khawatir, toh lukanya juga sudah ada yang mengobati.

"Aku nggak dipersilakan masuk?"

"Eh? Itu ... umm, bukan maksud, Kak. Hanya saja, ibu harus istirahat dan ...."

"Oke, oke. Aku paham, kok. Ya udah, gue nitip ini deh."

Cinella melirik kantung yang disodorkan Genta padanya. Kantung itu berisi buah-buahan yang berbeda dari yang dia lihat saat bertemu di dekat penjual rujak tadi. Sepertinya, itu kantung dan buah yang baru dibeli.

"Terima kasih, Kak."

"Sama-sama. Kalo gitu, aku pamit dulu."

"Iya, Kak. Hati-hati."

Cinella masih terus berdiri di depan pintu meski sosok Genta sudah pergi beberapa detik yang lalu. Ada rasa bersalah juga tidak membiarkan laki-laki itu masuk. Tapi, Cinella juga tidak ingin jika Genta melihat fakta bahwa ibu Cinella tengah lupa pada anaknya sendiri. Hal itu biar dirinya saja dan bu Asia yang tahu. Terlalu dini membiarkan orang baru untuk tahu fakta itu. Belum tentu juga kan orang lain bisa menerima hal itu.

Cinella membuka kantung itu untuk melihat isinya, tapi sebuah benda berwarna hitam yang terdapat di dalamnya sukses membuat Cinella penasaran. Ia pun mengambil benda itu yang ternyata merupakan sebuah dompet.

"Loh, jangan-jangan Kak Genta lupa lagi sama dompetnya?"

***

Hei, hei, hei.

Cin-Ta apdet. Wkwkwk

Etapi, kalian sebenarnya lebih condong ke Tim #Cin-Ta (Cinella-Genta) atau ke Tim #Cin-Di (Cinella-Radit), sih? 🤭

Radit yang lagi seneng karena habis makan rujak ditraktir minum koffi😂


Eh, btw jangan lupa tinggalin vote dan komen ye. Hahaha

Luv,

Windy Haruno

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top