18# Tidak Adil


Cinella menundukkan pandangannya yang mengabur. Tubuh lelahnya ia sandarkan pada dinding rumah sakit.

"Nak Cincin, ayo makan dulu, ya. Sejak tadi Nak Cincin belum makan apa-apa," pinta bu Asia seraya menyodorkan kantung berisi sebungkus nasi dan sebotol air mineral. "Maaf, ya, Nak. Cuma bisa kasi nasi bungkus, Hehe."

Cinella buru-buru menegakkan badannya, ia lalu mengambil kantung yang bu Asia sodorkan. "Maafkan Cincin, Bu. Bukan maksud Cincin untuk menolak pemberian Ibu. Hanya saja, Cincin terlalu mikirin Ibu di dalem," ujar Cinella merasa tak enak.

Bu Asia sebenarnya paham dengan kondisi Cinella saat ini, hanya saja dia mencari cara untuk memancing anak semata wayang bu Ina itu agar mau makan walau hanya sesuap saja. "Hmm, Ibu paham kok, Nak. Tapi bukan berarti kamu nggak boleh perhatiin kondisi kamu juga. Ibu yakin, ibu kamu akan marah kalau tahu kamu seperti ini. Ayo, dimakan dulu."

Cinella mengela napas pelan. Ucapan bu Asia ada benarnya. Tapi dia benar-benar kehilangan napsu makannya setelah kejadian yang menimpa ibunya. Dia terlalu syok, sehingga rasanya dia tidak bisa merasakan apa-apa lagi selain khawatir dengan kondisi sang ibu.

"Ibu sendiri sudah makan?" tanya Cinella saat melihat hanya ada satu nasi bungkus di dalam kantung plastik bening itu.

Bu Asia mengangguk sekali. Dengan lembut dia mengelus bahu Cinella. "Ayo, dimakan. Habis itu salat ashar dulu, ya. Udah hampir magrib ini."

Mau tak mau, akhirnya Cinella mengangguk patuh. Dia kemudian mengeluarkan nasi bungkus berikut air mineralnya. Dan soal salat, dia hampir lupa saking khawatirnya.

Ya Allah, maaf.

Cinella buru-buru menyelesaikan makannya lalu pamit sebentar pada bu Asia untuk ke musallah. Tak akan disia-siakan lagi, dia akan memohon pada Allah agar ibunya tidak kenapa-napa. Ibunya adalah satu-satunya alasan untuk dia tetap bertahan. Jika tidak, sudah lama dia mengakhiri hidup. Siapa sangka, jika dulu Cinella juga sempat ingin melakukan tindakan bunuh diri. Tapi, bayangan sang ibu terus saja muncul di benaknya. Dan pada akhirnya, dia memilih untuk tetap bertahan, meski rasanya sulit. Namun sekarang, dia tidak tahu lagi harus bagaimana jika terjadi sesuatu pada ibunya.

Cinella memejamkan matanya, khusyu melambungkan doa-doa untuk sang ibu. Meminta dengan penuh permohonan pada yang Maha Kuasa agar memberi sang ibu kekuatan. Tak ada keinginan lain selain melihat ibunya kembali membuka mata dan mengulaskan senyum lembut padanya. Semoga Allah mau mengabulkan doanya.

Usai melaksanakan salat, Cinella pun buru-buru bangkit untuk menemui ibunya. Siapa tahu dokter yang menangani sudah keluar dan memperbolehkan dirinya dan bu Asia masuk. Namun, harapannya sepertinya harus pupus saat melihat bu Asia masih duduk menunggu pintu bercat putih itu terbuka.

Jangan putus harapan, Cin.

"Bu, dokternya belum keluar?" tanya Cinella.

Bu Asia mendongak dan menatap Cincin. "Sudah. Waktu Nak Cincin ke musallah, dokternya keluar."

Ekspresi kebahagiaan tidak dapat disembunyikan lagi. Cinella segera mengambil tempat duduk di samping bu Asia seraya menggenggam erat kedua tangan wanita paruh baya itu. "Kok Ibu nggak masuk? Belum dibolehin, ya?"

"Udah dibolehin, Nak. Cuma ...."

"Cuma apa, Bu?" Seketika perasaan Cinella jadi tidak enak. Genggaman di tangan bu Asia pun perlahan mengendur.

Menghela napas pelan, bu Asia menunduk. Dia pun ikut membalas genggaman Cinella. Bibirnya terbuka untuk memberitahu sesuatu, namun pintu kamar rawat bu Ina perlahan terbuka. Keduanya mendongak bersamaan, namun dengan ekspresi yang berbeda. Cinella dengan raut terkejut, sementara bu Asia biasa saja.

"Loh, kok Kak Genta ada di sini?" tanya Cinella kemudian berdiri dari posisi duduknya. Dia benar-benar tidak menyangka akan kehadiran laki-laki itu. Bahkan berbagai pertanyaan pun mulai bermunculan di kepalanya. Tapi, sebelum pertanyaan itu keluar, bu Asia lebih dulu membuka suara.

"Nak Genta, bagaimana keadaan bu Ina?"

Cinella melirik bu Asia dengan ekspresi seolah berkata 'hey, sebenarnya di sini anaknya bu Ina itu aku atau Kak Genta?'

"Ibu udah baik-baik aja, Bu."

Cinella menghela napas kasar. Apa-apaan itu? Kenapa laki-laki itu memanggil ibunya dengan panggilan ibu? Wah, sepertinya ada yang terlewatkan olehnya.

"Sebentar, biarkan saya mengajukan beberapa pertanyaan dulu. Pertama, kenapa Kak Genta tiba-tiba ada di sini? Kedua, kenapa saat siuman justru Kak Genta yang ada di dalam? Ketiga, kenapa ... Kak Genta memanggil ibuku dengan sebutan ibu? Ada yang bisa jelaskan?" Cinella menatap kedua orang yang ada di hadapannya itu, mereka saling melempar pandangan sampai Bu Asia mempersilakan Genta untuk menjawab pertanyaan pamungkas dari Cinella.

Genta mengangguk perlahan lalu beralih menatap Cinella yang kini telah melipat kedua tangannya tak sabar menunggu jawaban atas pertanyaannya.

"Oke. Jadi begini. Pertama, kenapa aku di sini? Aku di sini karena mendapat telpon dari bu Asia bahwa Bu Ina mencariku---"

"Wait, wait. Apa? Ibuku mencarimu? Dan ... bukan mencariku?" tanya Cinella tak percaya.

"Begini, Nak. Bu Ina memang mencari Nak Genta, karena ... karena ada sesuatu yang ingin diberi tahu. Tapi bu Ina juga mencari Nak Cincin, kok."

Cinella mengalihkan tatapannya tak percaya. Bagaimana bisa ibunya mencari anak orang saat pertama kali sadar?

"Memangnya hal apa yang ibu sampaikan sampai mencari Kak Genta segala?"

Genta tersenyum misterius, membuat kening Cinella mengerut penasaran. "Mau tau?" Cinella mengangguk. "RA-HA-SI-A. Oke. Pertanyaan ketiga. Karena jawaban pertanyaan nomor satu udah mewakili pertanyaan nomor dua. Next, pertanyaan nomor tiga. Apa tadi? Aku sampai lupa."

"Kenapa Kak Genta memanggil ibuku dengan sebutan ibu," ujar Cinella sewot. Dia benar-benar tak terima dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.

"Ah, itu. itu ibu sendiri yang minta."

"Woah, dan kenapa Kakak mau-mau aja?"

"Loh, memangnya kenapa?"

"Ya nggak bisa gitu lah, Kak."

"Sudah, sudah. Kalian jangan bertengkar, ini di rumah sakit. Kalian tidak sadar kalau para perawat melirik-lirik ke arah kalian?"

"Itu karena aku cantik, Bu."

"Itu karena aku ganteng, Bu."

Bu Asia menatap keduanya secara bergantian. Senyum tipis lalu menghiasi bibir bu Asia karena merasa lucu dengan tingkah kedua muda-mudi di hadapannya itu. Ada-ada saja tingkah mereka.

"Sudah. Kalian ini. Mirip Tomi dan Jero saja," timpal bu Asia.

"Tom dan Jerry, Bu," koreksi Cinella dan Genta bersamaan.

Bu Asia lalu mengangguk-angguk pasrah. Ya sudahlah. Lebih baik dirinya yang jadi perhatian dari keduanya daripada mereka bertengkar kan?

"Iya, itu yang ibu maksud."

"Udah ah, aku mau masuk dulu."

Cinella meninggalkan keduanya dengan tampang kusut. Bagaimanapun, dia tidak bisa menerima Genta memanggil ibunya dengan sebutan ibu. Pun dengan fakta bahwa saat ibunya siuman yang dicari justru Genta, bukan dirinya.

"Ketidakadilan macam apa ini?" gumam Cinella tak percaya.

***

Assalamu'alaikum. Hai, hai? Bagaimana kabarnya semua? Semoga dalam keadaan sehat wal'afiat, ya. Jaga kesehatan ya, guys. Untuk saat ini, ikutin aja dah saran pemerintah untuk ga ke mana-mana dulu. Di rumah aja, udah. Rebahan sambil ngemil. Etapi jangan lupa olahraga dan perbanyak konsumsi makanan yang sehat. Banyakin doa juga, semoga kita semua terhindar dari virus corona dan semacamnya. Aamiiin.

Btw, aku mau minta doanya juga dong untuk kucing kesayangan aku, namanya Hiro. Tadi pagi dia abis kecelakaan, satu kakinya di bagian belakang jadi pincang gitu 😭😭😭😭.
Semoga cepat sembuh dan bisa ndusel-ndusel lagi kayak biasa😭😭😭😭

With luv,

Windy Haruno yang lagi sedih karena meongnya sakit

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top