15# Berubah?
Kadang kala, orang yang paling mencintaimu adalah orang yang tak pernah menyatakan cinta kepadamu, karena takut kau berpaling dan memberi jarak. Dan bila suatu saat pergi, kau akan menyadari bahwa dia adalah cinta yang tak kau sadari
- Kahlil Gibran
***
Ada yang lebih mencurigakan dari seorang Genta selain ia membaca isi diari milik Cinella. Setelah dua hari yang lalu ia mengantar Cinella pulang, laki-laki tidak lagi menampakkan diri. Ya, Cinella tidak berharap juga. Hanya saja, rasanya sedikit aneh. Dia yang biasanya selalu mendapat gangguan dari lelaki itu, kini seolah dipaksa untuk menghilangkan rutinitas itu. Sebenarnya tidak pantas juga jika disebut sebagai rutinitas, cuma yaaaa aneh saja lah pokoknya.
"Kenapa sih? Daritadi ngehela napas mulu. Kamu asma, ya?" tanya Dhea sedikit merasa aneh dengan sikap temannya itu.
"Hah? Oh, nggak kok."
Dhea ikut menghela napas. Ya sudahlah. Toh, kalau seorang Cinella sudah mengeluarkan jurus 'nggak pa-pa'-nya, itu berarti dia belum siap untuk berbagi.
"Ya udah sih. Lo jangan ngehela napas gitu, dong. Gue kan jadi negative thinking."
Cinella terkekeh pelan. "Hmm, sorry."
"It's okay."
"Eh, Dhe. Gue ke perpustakaan dulu, ya. Gue mau ngembaliin buku yang gue pinjem kemarin."
"Oh, iya. Sip."
"Gue kayaknya sedikit lama. Mau pinjem buku lagi, tapi kalo gue kelamaan dan udah ada dosen, tolong lo chat gue, ya."
Dhea mengacungkan dua jempolnya ke arah Cinella. Sementara Cinella tersenyum lebar seraya mengucapkan terima kasih.
Sebenarnya, jadwal pengembalian buku masih ada hingga besok. Tapi Cinella sudah menyelesaikan bacaannya tepat sebelum jadwal pengembalian.
Cinella terus melangkah melewati koridor, hingga hampir mencapai perpustakaan, kedua matanya tak sengaja melihat sosok Genta yang berjalan bersisian dengan seorang perempuan yang rasanya tidak asing diingatannya.
Kening Cinella mengerut dalam, berusaha me-recall kembali ingatannya terkait perempuan yang terlihat sedang tersipu malu itu.
Cukup lama Cinella menatap kedua manusia itu, bahkan hingga keduanya menghilang di ujung koridor, Cinella masih tetap berdiri di tempatnya. Melihat seraya mengingat kembali sosok berkacamata itu.
"Permisi," ujar seseorang dari balik punggung Cinella.
Cinella terkesiap lalu berbalik ke arah suara itu. Sosok Radit dengan dua buku tebal di tangannya itu tersenyum lebar. Sangat lebar hingga kedua matanya menyipit.
"Eh, a-aku ngalangin jalan ya, Kak? Maaf, maaf," ucap Cinella seraya menggeser dirinya di dekat dinding koridor–memberi jalan untuk yang mulia Radit.
Radit tertawa, tidak bisa dikatakan pelan karena beberapa orang yang lewat berhasil menoleh ke arahnya dan juga Cinella.
"Nggak ngalangin kok. Lah jalanan aja cocok untuk lima orang gini. Gue cuma negor aja sih. Kirain kesambet apaaaaa gitu. Tiba-tiba jadi patung di tengah koridor gitu. Kan aneh."
Cinella tersenyum kecut. Dia bahkan menggaruk pelan hidungnya yang tidak gatal–salah tingkah. "Eh, umm ... Iya, Kak. Tadi ... tadi ... Umm ... tadi mikir-mikir, kali aja ada buku yang ketinggalan gitu, hehe."
"Oh, gitu." Radit melangkah selangkah di depan Cinella. "Tapi kok lo salting gitu di dekat gue? Jangan-jangan ... jangan-jangan ...." Radit menggantungkan ucapannya. Membuat Cinella menatap laki-laki berkulit sawo matang itu dengan tatapan penasaran.
"Jangan-jangan apa, Kak?"
"Jangan-jangan ... lo naksir sama gue, ya?" Radit menutup mulut menggunakan kedua tangannya, seolah-olah dia benar-benar terkejut. Kedua bola matanya bahkan membulat tak percaya. Ah, benar-benar drama. "Cin, please. Gue masih mau hidup. Kalau sampai Genta tau lo suka sama ... sama gu-gue, bisa tamat riwayatku."
Cinella tersenyum kecut, tidak menyangka jika Radit akan beranggapan demikian.
"Kok gitu? Aku sama Kak Genta kan ngga ada hubungan apa-apa. Jadi dia ngga berhak marah, dong."
Mulut Radit terbuka, sedangkan kedua matanya membulat sempurna. Dia benar-benar syok mendengar jawaban Cinella. "Se-sebentar, jadi ... gue bener? Maksud gue ... lo naksir sama gue?"
Sebenarnya Cinella tidak bermaksud memberikan tanggapan seperti itu, hingga membuat seorang Radit berasumsi demikian. Tapi, ya sudahlah. Toh, ucapannya juga ada benarnya. Dia dan Genta tidak ada hubungan apa-apa. Jadi dia tidak punya hak untuk marah jika dirinya dekat dengan yang lain. Tapi, sepertinya hal itu harus dipertimbangkan lagi, mengingat dirinya yang belum begitu bisa percaya dengan yang namanya sosok laki-laki. Lagipula, saat ini Genta juga sudah dekat kan dengan perempuan lain?
Radit berdeham pelan. Terlihat sekali jika saat ini dia sedang salah tingkah. "Ah, gue tahu. Gue tahu," ucap Radit sedikit tersipu. "Soal Genta, nantilah gue beri pengertian soal perasaan lo itu. Ehem. Jadi, lo mau ke perpustakaan kan?" Cinella mengangguk pelan.
"Kakak mau ke perpustakaan juga? Mau balikin buku atau mau minjem buku?" Kali ini, mereka berdua berjalan bersisian. Tentunya dengan wajah Radit yang sedikit kemerah-merahan dan Cinella yang terlihat biasa saja.
"Oh, iya. Gue ... ada tugas remedi. Jadi, mau nyari referensi jawaban di perpustakaan."
"Kakak rajin juga ya ngerjain tugas. Pasti beda sama Kak Genta."
Radit menatap Cinella lekat-lekat, tiba-tiba ada perasaan hangat yang menjalar hingga hatinya. Bukan karena apa-apa, hanya saja, jarang sekali atau bahkan hampir tidak pernah dia mendapat pujian seperti itu. Yang ada hanya caci dan makian. Jadi, wajar kan jika ... Radit sedikit senang?
"Haha, ini juga demi bisa lolos ke mata kuliah selanjutnya kok. Gini-gini gue juga ngga mau lama-lama di kampus."
Cinella tak membalas ucapan Radit. Dia terlalu disibukkan dengan pemikiran sosok perempuan yang bersama Genta tadi. Rasanya perempuan itu tidak asing dalam ingatannya.
"Oh, astaga!" gumam Cinella dengan ekspresi kaget. Radit tak kalah kagetnya. Dia bahkan menatap Cinella dengan tatapan terkejut.
"Kenapa deh? Ada yang kelupaan? Btw, orang-orang pada liatin tuh."
Cinella mengedarkan pandangannya ke sekeliling perpustakaan. Ah, sepertinya dia terlalu serius memikirkan perempuan itu hingga tak sadar jika sekarang mereka sudah berada di dalam perpustakaan.
Tak disia-siakan, Cinella segera membungkuk pelan seraya bergumam meminta maaf kepada semuanya.
Ah, aku udah ingat siapa perempuan itu. Perempuan itu adalah orang yang membantuku dan Kak Genta saat Kak Genta sedang dikeroyok oleh Tio dn gengnya. Tapi, siapa ya namanya? Ck! Lupa lagi.
Cinella berdecak pelan dan berniat untuk tidak ambil pusing lagi perihal perempuan itu dan tentunya tentang sikap Genta yang tiba-tiba berubah kepadanya.
Wait, kenapa aku kayak gini sih?!
***
Tadinya, kupikir ga bisa apdet hari ini karena ... entah kenapa dua hari belakangan ini aku ngerasa aneh sama tubuhku sendiri. Capek tiba-tiba, sakit tiba-tiba. Ngga tau deh. Semua serba tiba-tiba. Hehe😅
Udah, ga tau mau bilang apa lagi. Pokoknya, semoga suka aja sama part ini😊😌
Luv,
Windy Haruno
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top