10# Pembicaraan yang Harus dihindari


"Cin, hari ini ikut bazar anak Psiko Rajawali nggak?" tanya Dhea yang saat ini berjalan beriringan dengan Cinella menuju parkiran kampus.

"Kayaknya nggak deh, Dhe. Gue hari ini lagi pengin quality time bareng Ibu dan Bu Asia. Hehe. Lo sendiri? Mau ikutan?"

Dhea mengedikkan kedua bahunya. "Kayaknya nggak juga deh. Entah kenapa akhir-akhir ini gue ngerasa lelah tanpa sebab. Padahal gue nggak ngapa-ngapain."

"Itu bukan karena tanpa sebab sih. Itu tandanya lo lagi perang batin sama diri lo sendiri."

"Maksudnya?"

"Ya lo pasti lagi ada yang nggak cocok lah sama batin lo."

Dhea terdiam sejenak, berusaha mencerna ucapan Cinella. Sepertinya ucapan perempuan itu ada benarnya juga. Masalah batin yang dihadapinya mungkin bukan pada saat ini, tapi pada masa lalu yang belum selesai. Belum termaafkan, belum terampunkan.

Dering telepon yang berasal dari ponsel Cinella pun membuat keduanya menghentikan langkah. Cinella sibuk merogoh tas selempang di mana ponselnya berada.

"Assalamu'alaikum, halo?"

"Apa? Ibu nggak ada?"

"Aduh! Iya, Bu. Cincin segera pulang."

Cinella segera menutup panggilan itu lalu menatap Dhea yang juga ikut menatapnya. "Dhe, gue balik duluan, ya. Ibu gue ngilang."

"Hah? Ngilang gimana?"

"Nanti deh gue ceritain."

Tanpa menunggu tanggapan Dhea, Cinella segera pergi. Rasa khawatir menyergap batinnya. Ini sebenarnya kejadian yang kesekian kalinya ibu Cinella menghilang dari rumah. Saat Bu Asia tengah sedikit lengah, hal itu bisa jadi alasan untuk bu Ina-ibu Cinella untuk pergi dan bingung dengan sendirinya saat ingin pulang. Ya, penyakit Alzheimer yang diderita Bu Ina memang sudah separah itu. Jangankan pulang ke rumah, terkadang Cinella sebagai anak sendiri bisa ia lupakan.

Raut wajah Cinella terus menegang. Tak henti-hentinya ia merapalkan doa, semoga ibunya baik-baik saja dan tidak ada yang menjahilinya karena dikira orang yang tidak waras. Pernah suatu ketika, ibu Cinella menghilang. Tak ditemukan di sekitaran rumah. Para tetangga pun tak ada yang melihat keberadaannya. Di tengah kekalutannya, beruntung Bu Ina segera ditemukan meski dengan kondisi yang sangat Cinella benci. Di sekeliling Bu Ina banyak anak-anak yang berteriak, mencaci bahkan mengolok-olok dengan sebutan si gila karena pakaian yang dipakainya pun terlihat sudah sangat kotor. Entah berasal dari mana kotoran itu.

Mengingat hal itu sukses membuat hati Cinella dilanda ketakutan. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa dengan ibunya?

"Pak, berhenti di depan kompleks saja, ya."

"Baik, Mbak."

Setelah turun dari motor, Cinella segera membayar biayanya dan mulai mencari keberadaan sang ibu di sekitaran kompleks, tapi hampir sekitar sepuluh menit mencari, tak ditemukan tanda-tanda keberadaan ibunya.

Cinella segera menelepon Bu Asia dan menyatakan bahwa dia saat ini berada di luar kompleks. Tak lama, Bu Asia pun muncul dengan tergopoh-gopoh. Rautnya hampir sama dengan raut Cinella, khawatir.

"Aduh, Bu. Bagaimana ini?"

"Coba tenang dulu ya, Nak. Kita coba cari di dekat pasar sana. Semoga ada yang melihat, ya?"

Cinella mengangguk dan mencari potret ibunya untuk diperlihatkan pada orang-orang yang ada di sana. Sekitar lima menit, akhirnya mereka sampai di dekat pasar yang masih sedikit ramai.

"Assalamu'alaikum, Bu. Mau tanya, Ibu lihat ibu ini lewat di sekitaran sini nggak?" tanya Cinella pada seorang ibu yang sedang mengipasi jualannya.

"Wah, nggak lihat, Nak."

"Oh, iya. Makasih, Bu."

Perjuangan mencari ibu Ina pun masih terus berlanjut hingga hampir memakan waktu satu jam. Bahkan, Cinella rasanya sudah hampir menyerah. Sementara Bu Asia sudah pulang lebih dulu, itupun karena permintaan Cinella sendiri. Dia tidak tega melihat Bu Asia kelelahan, jadi ia memutuskan untuk mencarinya seorang diri.

Saat tengah mengistirahatkan diri, ponsel Cinella yang hampir kehabisan baterai itu kembali berdering. Telepon dari bu Asia.

"Assalamu'alaikum. Halo, Bu?"

"Apa? Sudah ketemu, Bu?"

"Sama seseorang?"

"Oh, iya. Cinella segera pulang. Assalamu'alaikum."

Cinella segera berlari, sekencang yang dia bisa. Bagaimanapun, dia harus berterima kasih pada orang yang sudah berbaik hati menemukan sang ibu.

Saat memasuki kompleks, Cinella berhenti sejenak. Menarik napas dan membuangnya perlahan. Kakinya rasanya kebas, tak terasa. Dengan sisa-sisa tenaga, dia pun akhirnya memutuskan untuk berjalan saja. Kalaupun orang baik hati itu sudah pergi, tidak apa-apa. Cinella cukup mendoakan kebaikannya saja.

Bertepatan saat Cinella sudah menginjakkan kakinya di teras rumah, suara yang tak asing tiba-tiba menyapa gendang pendengarannya. Suara yang sangat familiar. Tapi ... siapa?

"Assalamu'alaikum," ujar Cinella.

"Waalaikumussalam, Nak Cincin."

"Waalaikumussalam."

Kedua mata Cinella membulat sempurna tatkala ia melihat sosok Genta duduk di ruang tamunya dengan senyuman lebar. Cinella masih berdiam diri tepat di pintu rumah, hingga Bu Asia yang sudah menyuguhkan secangkir teh dan sepiring kudapan itu mengalihkan fokus Cinella.

"Loh, Nak Cin. Kenapa?"

Cinella terkesiap. Dia bahkan mengerjapkan kedua matanya agar tersadar dari sikapnya barusan.

"Hai, Cin," sapa Genta dengan nada pelan.

Bu Asia yang mendengar Genta menyapa Cinella pun terlihat kaget. Bahkan raut wajahnya menegaskan rasa penasaran, ada hubungan apa antara Cinella dengan laki-laki penyelamat Bu Ina itu.

"Loh, kalian saling kenal?" tanya Bu Asia lagi.

"Uumm, dia ... dia teman sekampusku, Bu," jawab Cinella sekenanya.

"Oh, teman sekampus toh. Kok Nak Genta nggak bilang kalau kenal Nak Cincin? Aduh."

"Iya, Bu. Saya temannya Cincin." Genta tersenyum tipis. "Calon teman hidupnya," lanjutnya dengan nada pelan.

"Apa, Nak?"

"Eh? Nggak, Bu. Hehe."

"Ya sudah. Ayo, kudapannya dimakan dulu. Kata Nak Genta kan baru balik kampus, pasti lapar, ya? Atau, Nak Genta mau makan nasi saja? Bareng sama Ibu Cincin nanti."

Cinella tergagap. Tidak siap dengan ajakan Bu Asia pada Genta. Maka refleks, dia menelengkan kepalanya menolak keras ajakan Bu Asia pada Genta. Genta yang melihat kelakuan Cinella itu pun tersenyum tipis. Tentu dia tidak akan menolak kesempatan ini. Kesempatan untuk dekat lagi dengan perempuan itu.

"Oh, iya. Tentu, Bu."

Apa? Tentu? Maksudnya, Genta tidak menolak?

"Apa ... Kak Genta nggak capek?" tanya Cinella pelan.

"Ya capek sih. Tapi belum sempat masak juga di rumah. Jadi, nggak papa-lah nerima ajakan makan gratis. Eh, maap Bu Asia. Gratis kan?" tanya Genta serius.

Bu Asia terkekeh pelan, sementara Cinella hanya bisa menghela napas diam-diam. "Gratis kok, Nak. Ya sudah, Ibu siapin makanan dulu, ya."

Tepat saat Bu Asia beranjak, Cinella juga beranjak menuju kamar di mana ibunya berada. Tentu setelah ia pamit sebentar pada Genta yang masih mempertahankan senyumnya yang menurut Cinella sedikit menyebalkan.

Saat Cinella memegang kenop pintu, pintu itu terbuka. Ternyata Bu Ina telah selesai mengganti pakaiannya. Wanita paruh baya itu kini bahkan terlihat lebih bersih dan fresh.

"Nak?"

Cinella menarik ibunya ke dalam pelukan. Ah, betapa rindunya ia dengan wanita yang telah melahirkannya itu. Ia benar-benar takut atas kejadian hari ini.

"Bu. Ibu nggak pa-pa kan? Ibu nggak ada yang terluka?"

Bu Ina menggeleng pelan. Kedua matanya bahkan berkaca-kaca, menatap Cinella penuh haru sekaligus penuh dengan rasa bersalah.

"Nak, maafkan ibu ya karena udah buat kamu jadi kewalahan. Bikin kamu khawatir, sampai kerepotan seperti ini."

Cinella menggeleng pelan. "Nggak kok, Bu. Cincin nggak ngerasa direpotin. Ibu jangan ngomong seperti itu."

Bu Ina mengelus lembut pipi anak semata wayangnya itu, perasaan bersalah atas kejadian menghilangnya dirinya selalu menjadi momok mengerikan untuk dirinya sendiri. Bahkan tak jarang ia menyalahkan dirinya sendiri karena membuat semua orang jadi repot.

Tak ingin sang ibu berpikir yang tidak-tidak, Cinella segera menarik tangan ibunya dan ikut bergabung bersama Genta di ruang tamu.

"Ah, iya. Nak, ini anak perempuan ibu, satu-satunya. Namanya Cinella. Tapi ibu panggil Cincin. Cantik kan?" ujar bu Ina kepada Genta sesaat setelah ia duduk di hadapan laki-laki itu.

"Ah, iya, Bu. Cantik banget," ucap Genta setuju.

"Ibu setuju loh kalau Nak Genta bisa dekat dengan anak ibu ini. Ibu suka dengan Nak Genta yang punya hati yang baik. Coba ndak ada Nak Genta, ibu ndak tahu lagi mau ke mana," jelas Bu Ina merasa beruntung. "Tapi, kok Nak Genta bisa tahu kalau di sini rumahnya ibu?"

"Oh. Itu, Bu. Saya temannya Cincin, pernah ke sini nganterin Cincin. Itu pun waktu SMA. Tapi ternyata otak saya masih ingat rumah orang yang dicintai."

"Orang yang dicintai?"

Cinella menggeleng pelan. Apa-apaan sih si Genta itu?! Bikin runyam saja.

"Ah, itu ... hahaha Cincin kan termasuk orang yang saya cintai, Bu."

Kedua mata Cinella sukses membulat sempurna. Astaga, cowok ini benar-benar minta digeplak kepalanya.

"Oh, gitu ya? Alhamdullilah kalau orang sebaik Nak Genta cinta sama anak ibu."

Wait, ini sebenarnya arah pembicaraan yang sudah tidak sehat bagi Cinella. Bisa-bisa kepeleset sedikit, masa lalu Cinella bisa terkuak saat itu juga. Dan tentunya Cinella tak ingin itu terjadi. Apalagi itu masalah yang sengaja ia tutupi setengah mati.

"Ayo, makan dulu."

Thanks, God. Bu Asia. Terima kasih karena sudah mendengar jeritan hatiku.

***

Guys, hingga part ini aku mau ucapin maaf dan terima kasih banyak pada kalian.

Maaf karena part-partnya kadang ngebosenin atau yaaa seperti itu lah. Dan terima kasih karena masih memberi support atas cerita ini.

Part ini kayaknya amburadul banget ya, bukan tanpa sebab. Aku ngetiknya sambil nahan sakit gigi gengs😅

Jadi maapkeun kalau rada ngaco yaa😭🙏

Luv,
Windy Haruno

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top