1# Meet Again
•••
BUG! BUG!! BUG!!!
Genta mengarahkan pukulannya tepat di bagian perut lawannya. Terdengar rintihan kesakitan dan napas yang tersengal, pertanda sebentar lagi lawan yang Genta pukuli itu akan segera KO.
Tidak perlu menunggu lama, Genta melihat lawannya itu tumbang dengan luka memar di bagian wajahnya. Setelah berhasil membuat lawannya itu terjatuh, Genta meninggalkannya–juga dengan luka di sekujur tubuhnya. Kaos yang berwarna putih dan celana jeans biru gelapnya terhiasi dengan noda darah.
Satu-satunya tujuan Genta saat ini adalah belakang gedung UKM. Karena dia tahu, sahabatnya sudah berkumpul di sana–menunggunya.
Saat Genta sudah dekat dengan teman seperjuangannya itu, pandangannya tiba-tiba mengabur dan kepalanya terasa berat. Dua orang cowok yang tadinya asyik mengobrol, seketika bergegas menghampiri Genta yang terlihat acak-acakan dengan darah di sudut bibir dan pelipisnya. Baju putihnya pun banyak noda darahnya. Dan kedua sahabat Genta itu menyimpulkan, bahwa temannya yang satu ini pasti baru saja habis adu jotos.
"Abis ditonjok siapa lo?" tanya Radit saat berhasil menggapai lengan Genta.
Genta menatap Radit tanpa sepatah kata pun, dan tanpa aba-aba seketika ia terjatuh. Pandangannya berubah jadi gelap.
Genta tumbang.
***
Cinella berjalan dengan gontai, sesaat dia merasa lesu dan ingin cepat-cepat sampai di rumahnya dan merebahkan diri di kasur empuk. Kampus di jam segini tentu saja masih dipenuhi mahasiswa dan mahasiswi. Ada yang baru datang karena jam kuliahnya memang baru akan dimulai, ada pula yang punya tujuan yang sama dengan Cinella. Pulang ke rumah dan istirahat.
Cinella kemudian memutuskan untuk mengambil jalan pintas, yakni belakang gedung UKM. Sederhana saja, Cinella tidak suka keadaan yang terlalu ramai. Tapi, harapannya untuk segera sampai di rumah seketika sirnah.
Cinella terkejut dan hanya bisa mematung. Kedua tangannya bahkan mencengkeram tali tas selempangnya dengan sangat kuat. Rasa lelah yang tadinya menumpuk pun terasa hilang. Di depannya tergeletak seseorang dan ada dua orang yang berusaha untuk membangunkannya.
Ada apa ini?
Desta yang lebih dulu sadar ada seseorang yang melihat ke arah mereka, dengan segera berlari menghampiri orang itu, yang tak lain dan tak bukan adalah Cinella.
Dengan susah payah Cinella menelan salivanya gugup saat melihat salah satu dari mereka justru menghampirinya dengan raut frustrasi.
Secepat yang Desta bisa, ia melangkahkan kakinya ke arah cewek yang menatapnya dengan sedikit rasa takut itu. Tapi bukan itu yang menjadi fokus utamanya, tapi bagaimana caranya supaya cewek itu bisa membantu mereka dan tentunya tanpa menciptakan suara yang bisa saja mengundang perhatian dari orang lain.
"Ikut gue!" ucap Desta seraya menarik lengan Cinella.
Cinella gelagapan dan berusaha melepas cengkeraman Desta pada lengannya. "E -eh. Kak, aduh! Sori, Kak. Aku gak bermaksud untuk ngeganggu." Hanya itu yang bisa Cinella ucapkan karena setelahnya, cowok yang menarik lengannya itu sudah membawanya menuju sosok cowok yang tergeletak tak berdaya di samping Radit.
Lagi-lagi Cinella menelan salivanya, ia menatap cowok yang tak berdaya itu dengan tatapan yang sulit diartikan, antara kasihan dan juga takut. Apalagi melihat seorang cowok yang terus menatapnya dengan tatapan tajam membuat nyali Cinella semakin menciut.
Tapi tunggu, ada yang aneh, sepertinya dia mengenal laki-laki yang sedang tergeletak tak berdaya itu.
"Lo, sini. Tolong lo pegang luka di bagian perutnya Genta," sahut Radit yang sedaritadi menahan perut Genta agar darahnya tidak keluar terlalu banyak.
Benar. Tidak salah lagi. Laki-laki yang ada di hadapannya ini adalah laki-laki yang dulu telah membuat hidupnya jadi sengsara.
Cinella menggeleng pelan seraya mundur, tetapi Desta kembali menarik lengannya agar tidak pergi ke mana-mana.
"Eh, mau ke mana lo? Bantuin kek ini." Terlihat jelas dari raut wajah keduanya, bahwa mereka saat ini sedang panik luar biasa. Dan karena interupsi dari Radit, Cinella yang tadinya bengong pun mau tak mau segera melakukan hal yang diperintahkan. Tak bisa dimungkiri bahwa ketakutannya pada cairan berwarna merah itu harus ia tahan mati-matian. Begitu pun dengan hatinya yang kembali merasa terluka. Tapi di situasi yang seperti ini, ia harus mengesampingkan rasa bencinya pada sosok yang tergeletak tak berdaya itu.
Masih dengan kebingungan yang melandanya, Cinella pun memberanikan diri untuk bertanya. "Kak, ke-kenapa nggak langsung dibawa ke rumah sakit aja?" usulnya.
"Ya, ini juga mau dibawa. Makanya cepet bantuin," ujar Radit sewot.
Cinella tersentak pelan lalu berusaha menutupi luka sobek di bagian perut kanan Genta, sementara Radit dan Desta masih berusaha menyadarkan laki-laki itu.
"Dit, Genta bawa mobil nggak?" tanya Desta seperti berbisik, takut nanti seseorang mendengarnya dan malah memperkeruh suasana.
"Nggak, Des. Tadi gue naik motor bareng dia."
Semuanya menghela napas pelan, mencoba memikirkan cara agar bisa membawa Genta keluar dari kampus tanpa sepengetahuan siapapun. Pasalnya, kalau sampai kejadian ini sampai ke telinga dekan, bisa panjang urusannya. Dan Genta terlalu malas jika sudah berurusan dengan dekan kampusnya.
"Dit, kalo gitu lo panggil taksi aja dah."
Beruntung, mereka berada di salah satu pintu kecil yang terletak tak jauh dari tempat mereka berada, jadi mereka bisa membawa Genta melaluin pintu kecil itu. Tanpa banyak bicara lagi, Radit segera berlalu dan kemudian mencari taksi. Sekitar sepuluh menit, akhirnya Radit muncul dengan langkah lebar.
"Buruan! Taksinya udah dateng. Keburu disambar anak-anak yang lain!"
Setelah mendengar ucapan Radit, keduanya langsung mengangkat tubuh Genta menuju taksi yang dimaksud Radit. Sementara Cinella masih bingung, apakah dia masih dibutuhkan atau tidak.
"Ngapain lo di situ? Ambilin tasnya Genta. Sekalian tas gue dan Desta."
"Duh, sekarang aku jadi pembantunya mereka ya?" gumam Cinella dengan nada tak terima.
***
Cinella berusaha menyamakan langkahnya dengan kedua orang cowok yang kini tengah mendorong brankar di mana tubuh sahabatnya dibaringkan. Cinella sedikit kesusahan dibuatnya, bagaimana tidak, tas ransel –yang beratnya lumayan milik kedua cowok itu masih setia tersampir di kedua bahu kecilnya, tas miliknya bahkan harus rela ia peluk karena tidak sanggup jika tiga buah tas harus ditanggung oleh bahunya.
Cinella kemudian baru bisa bernapas lega ketika para perawat berhenti tepat di depan sebuah ruangan. Tubuh lemah Genta kemudian dibawa masuk dan kemudian pintu pun akhirnya tertutup rapat, meninggalkan sahabat-sahabat Genta dan Cinella yang masih sedikit ngos-ngosan.
Cinella meletakkan kedua tas ransel itu di bangku khusus untuk menunggu pasien, bahunya yang terasa sakit ia renggangkan perlahan.
"Nih."
Cinella mendongak saat melihat sebuah gelas air mineral disodorkan tepat di depannya.
"Eh? I-iya, makasih ya, Kak." Ucapan Cinella kemudian dibalas dengan anggukan oleh Desta.
Cinella masih enggan membuka suara, dia membiarkan keheningan tercipta di antara kedua cowok itu. Sesekali ia melirik ke arah Desta dan Radit yang terlihat khawatir, sebenarnya Cinella ingin sekali bertanya mengenai Genta yang tiba-tiba tumbang dengan sobekan yang lumayan besar di perut kanannya, namun lagi-lagi diurungkan niatnya. Toh, dia juga bukan siapa-siapa yang harus tahu. Dan tidak penting juga kan? Di otak Cinella kini bahkan sudah dipenuhi dengan pertanyaan 'sebenarnya atas dasar apa dia berada di sini?'.
"Dia habis bertengkar," sahut Desta seolah menjawab pertanyaan di hati Cinellah.
Cinella meneguk air mineralnya, berusaha menghilangkan kegugupan yang masih tersisa.
Hoooo ... wajar saja sih ya ... emang jago berantem ya gini akibatnya.
Merasa tidak ada respon dari gadis yang duduk di sebelahnya, Desta kemudian berdeham kecil. "Ehem ... itu ... sori ya, tadi tiba-tiba gue narik lo. Gue panik setengah mati, dan lo malah muncul dengan tampang pengen teriak histeris. Ya gue ambil inisiatif aja, biar lo nggak teriak dan bikin gaduh. Bisa brabe jadinya kalo orang-orang pada liat kejadian tadi. Sekali lagi ... sori ya."
Cinella tersenyum samar, dia paham maksud dari Desta. Memang, tadinya dia ingin teriak minta tolong, tapi diurungkan niatnya itu. Apalagi melihat tatapan tajam dari teman-teman Genta, membuat nyalinya seketika jadi ciut.
"Gak pa-pa kok, Kak."
"Oh, ya. Siapa nama lo?" Kali ini Radit lah yang membuka suara.
"Cinella, Kak."
Radit kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya, diikuti Desta.
"Lo, anak fakultas mana?" tanyanya lagi.
"Psikologi, Kak."
"Angkatan?"
"Angkatan 2018, Kak."
Lagi, Radit mengangguk. "Kenalin, gue Radit. Dan yang di samping lo itu Desta," jelas Radit.
Cinella mengangguk paham. "Salam kenal, Kak."
Cinella kemudian melirik jam tangan yang bertengger di pergelangan tangannya. Pukul tiga sore. Cinella membulatkan kedua matanya. Teringat sesuatu. "Ya ampun, Kak. Aku harus pulang."
"Oh, iya. Gue anter ya," ucap Radit menawarkan.
"Lo mau nganter pake apa? Orang kita tadi pake taksi ke sini."
Radit menepuk jidatnya seraya membenarkan ucapan Desta yang kemudian dihadiahi dengan tawa dari Desta, tak terkecuali Cinella. "Oh iya, ya. Hahaha ... ya udah, gue anterin sampai depan aja kalo gitu."
"Yeeee. Modus bangetttttt!" teriak Desta yang kemudian membuat Cinella sedikit lebih rileks berada di tengah-tengah cowok yang terlihat sangar itu.
"Kata emak gue, jadi cowok harus bertanggungjawab! Nggak kayak lo, Ta. Nggak cocok dijadiin suami. Iya nggak, Cin?" tanya Radit seraya melipat kedua tangannya di depan dada.
Cinella terkekeh pelan melihat tingkah kedua cowok itu. Tidak disangka, di balik tampang sangar mereka, ternyata masih tersimpan sisi humor juga. "Nggak usah repot-repot, Kak. Aku ... bisa ke depan sendiri," tolak Cinella pelan. Tentu saja ia merasa tidak enak jika Radit mengantarnya sampai di depan rumah sakit. Lagipula, seperti katanya, dia juga bisa sendiri. Bukankah selama ini dia juga selalu melakukan apa-apa sendiri?
"Ya nggak pa-pa. Anggaplah ini ucapaan terima kasih gue, dan Desta karena udah bantuin kita bawa Genta ke ruma sakit."
"Udah, nurut aja, Cin. Biar nggak panjang urusannya. Radit mah mau gitu ya harus gitu," timpal Desta menambahkan.
Akhirnya Cinella tersenyum kaku dan menganggukkan kepalanya. Bukan saatnya untuk berdebat, ia hanya takut jika ada apa-apa dengan ibunya di rumah. "Aku pamit dulu, Kak."
Desta mengangguk mengiyakan. "Iya, hati-hati."
***
Sesampai di depan rumah sakit, Radit melihat Cinella yang tengah sibuk mengutak-atik ponselnya. Entah siapa yang sedang dia hubungi, mungkin orang tuanya.
"Lo mau pulang naik apa? Lo biasa naik ojol atau taksi online?" tanya Radit yang kemudian mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana jeans-nya.
"Aku udah pesen taksi online, Kak."
"Oh, udah pesen. Ya udah."
Tak lama mereka menunggu, sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan keduanya. Kaca mobil diturunkan oleh supirnya dan bertanya apakah salah satu dari mereka yang memesan taksi online.
"Aku, Bang," sahut Cinella cepat. "Aku ... pulang dulu ya, Kak. Se-semoga Kak Genta bisa segera pulih."
Radit mengangguk pelan lalu mempersilakan Cinella untuk naik ke dalam mobil. Tentunya dengan pesan kepada supir taksi online agar menjaga Cinella hingga sampai dengan selamat di rumahnya. Mobil pun melaju perlahan, hingga menghilang di belokan pertigaan. Saat itu barulah Radit meninggalkan tempatnya.
Cinella menghela napas pelan, mencoba meminimalisir detakan jantungnya yang berdegup dengan tidak biasa. Baru kali ini ia berinteraksi cukup lama dengan seorang laki-laki. Biasanya ia bertahan hanya beberapa menit saja. Entahlah, rasanya tidak nyaman saja.
"Huhft, melelahkan."
Pikirannya kemudian kembali pada sosok Genta yang tak sadarkan diri. Dari fisiknya, laki-laki itu sudah banyak berubah. Tubuhnya yang dulu sedikit kurus, kini sudah terlihat lebih berisi. Rambutnya yang dulu sedikit panjang, kini dipotong cepak. Ya, mungkin masa puber membentuknya dengan sangat baik. Tapi, berbicara mengenai perubahan, sepertinya perilakunya masih tetap sama. Suka memberontak, dan suka cari masalah. Terbukti kan dengan keadaannya sekarang? Lihatlah, dengan kelakuannya itu kini dia terbaring lemah di rumah sakit. Kira-kira, apa kata orang tuanya melihat dia seperti itu?
Ah, yang jelas Cinella sudah tidak ingin lagi berhubungan dengan Genta, orang yang selama ini menjadi penguat persepsinya bahwa laki-laki itu sama saja. Sama-sama berengsek.
•••
Yeay, cerita baru lageeee hehehe
Gimana?
Lanjut gak nih?😬
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top