1. Pertemuan

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto

Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata


"Kau masih perawan?" Tanya Naruto, saat menyadari bahwa kejantanannya yang ia tancapkan pada liang seorang perempuan, telah mengoyak selaput tipis yang menjadi perwujudan kesucian kaum hawa.

"Uhum...," jawab Hinata dengan suara pelan nan lemah, tubuhnya menikmati tiap sentuhah  dari tangan kekar jaksa muda.

Naruto mengurungkan niatnya untuk melanjutkan permainannya dan saat dia akan melepaskan pautan kepemilikannya dari palung terdalam sang wanita, tangan putih mulus menahan pergerakkannya.

"Kumohon... lanjutkan lah...," pinta Hinata dengan suara lembut.

Nafsu sudah merajai pria yang berfrofesi sebagai Jaksa Muda pengadilan tinggi Jepang itu. Permintaan sang wanita yang berada di bawah kungkungannya itu dengan suara berbisik, membuatnya, melanjutkan permainannya, melepaskan jutaaan benih ke dalam rahim sang wanita.

Lebih dari dua jam, sepasang manusia ini bergumul di bawah selimut tebal membagi kehangatan satu sama lain dan sekarang mereka sedang tertidur lelap, sang wanita itu membaringkan nyaman kepala indigonya di dada bidang milik sang pria. Sementara tangan kekar sang pria mendekap hangat tubuh mungil sewarna susu itu.

Tok Tok Tok.

Suara ketukan pintu kamar hotel berbintang lima itu mengusik nyamannya tidur Naruto, kelopak matanya menampilkan permata shapire biru sewarna samudera, melirik ke sebelah tubuhnya, seorang gadis sedang tertidur lelap dalam dekapannya di bebantal dada bidang sang pria.

"Ngghhhhh," erangan lembut terdengar dari bibir mungil Hinata saat Naruto mulai menarik diri menjauh dari tubuh mungilnya. Dengan Hati-hati Naruto menutupi tubuh polos Hinata dengan selimut tebal yang tersingkap akibat permainan panas mereka.

Naruto mengenakan celana dalam dan celana kainnya sebelum membuka pintu kamar hotel.

"Big bos, anda lama sekali?" Komentar Kiba, salah satu anggota tim penyidiknya, mata pemuda berambut coklat itu lalu menengok ke dalam kamar dan mendapati sesosok wanita yang terbaring nyaman di atas ranjang ukuran king size "Astaga anda memakan 'upetinya' big bos!" Ucap Kiba tidak percaya sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

...

"Baiklah Danzo-sama saya akan datang malam ini pukul sepuluh malam di Chizanzo, kamar nomor Lima Ratus Sepuluhkan? Baiklah saya harap upeti anda memuaskan, sehingga kasus anda dapat saya tutup tanpa jejak, jam satu malam kita bertemu di loby dan bawakan juga upeti anda yang lain," Naruto menampakan senyuman iblisnya setelah memutuskan sambungan teleponnya.

"Dia benar benar naif dengan mencoba menyuap big bos kita." Komentar Kiba dengan sambil menyeruput kopinya.

"Dia benar benar belum mengenal Jaksa Muda Namikaze Naruto." Balas Sai sambil menampakan senyum liciknya.

"Hubungi instpektur Kakashi, beri tahu dia rencana penjebakan kita malam ini, minta dia menurunkan personilnya untuk menangkap basah mucikari kelas kakap itu, kali ini dia tidak akan berkilah, kali ini dia akan terjerat kasus berlapis, prostitusi online dan percobaan penyuapan." Naruto menampilkan senyuman iblisnya sambil berdiri, memasukan salah satu tangannya di kantong celana bahannya, berjalan menuju jendela lebar menatap pemandangan kota Tokyo dari lantai tiga kantor pengadilan tinggi Jepang

...


Onix Sai menatap nyalang sepasang shapire yang ada di hadapannya "Kebodohan apa yang baru saja kau lakukan Naruto?, kita kesini untuk menjebak Danzo, agar dia tertangkap tangan karena berniat berniat menyuapmu, dengan upeti si jalang itu." Saat ini mereka sudah berada di restoran yang terletak di lantai dasar Hotel berbintang lima di distrik Shinjuku, Tokyo.

"JAGA MULUTMU SAI!, Hinata tak seperti yang kau pikirkan!" Naruto berdiri dari single sofa yang dia duduki dan menarik kerah kemeja Sai. Entah kenapa dada Naruto terasa panas dan tidak terima, saat Sai salah satu anggota tim penyidiknya menyebut wanita yang dia beberapa jam lalu dia renggut keperawanannya sebagai jalang.

"Hinata? Khe lihat kau bahkan tau namanya," cibir Sai

"Hei apa-apaan ini, kenapa kalian berkelahi karena seorang pelacur?" Ucap Kiba sambil melerai dua pria dewasa yang ada dihadapannya ini.

BUGGGHHHHH

Bogem mentah Naruto mendarat di pipi Kiba.

"BERANINYA KAU!" Mata Naruto menatap nyalang mata pria dengan tato di wajahnya itu

Sai menarik tubuh Naruto yang hampir menerjang kiba

"Naruto kendalikan dirimu!" Sai menarik kasar tubuh tegap Naruto dan mendorongnya ke hingga terduduk di singgel sofa. "Sebenarnya ada apa?" Tanya Sai sambil mencengkram bahu tegap Naruto.

...

Hinata menyamankan sandaranya di dada bidang polos Naruto , mengistirahatkan tubuhnya setelah mengikuti permainan panas pria yang baru saja di kenalnya beberapa jam lalu, bahkan nama masing-masing pun mereka tidak mengetahui.

"Siapa namamu nona?" Tanya Naruto sopan sambil mengelus surai indigo sang wanita.

"Hinata..., Hyuuga Hinata," Jawab Hinata lemah rasa letih sudah merajai tubuh mungilnya, di tambah lagi belaian lembut pria yang saat ini tengah mendekapnya.

"Aku Namikaze Naruto." Ujar Naruto sambil menatap wajah yang tertunduk di pelukannya.

"Aku sudah tahu Namikaze-sama, Danzo-sama sudah memberi tahu kalau pelanggan pertamaku adalah seorang Jaksa muda yang akan dia suap," jawab Hinata lirih dengan kelopak mata yang terpejam

"Kenapa kau mau bekerja pada Danzo?" Tanya Naruto lembut.

"Aku terpaksa, aku meminjam uang padanya dengan jumlah yang sangat besar untuk operasi jantung ayahku dan aku tidak mampu membayarnya, dia mengatakan akan membunuh ayahku yang sedang sakit jika aku tidak bisa membayar hutang, kecuali jika aku mau bekerja padanya." Lelehan air mata mulai turun dari kelopak matanya kala menceritakan keadaan yang di alaminya sekarang.

"Maafkan aku..., aku tidak bisa menahan diriku saat melihat wajah sayu mu... maaf..., harusnya aku tak melakukan semua ini, harusnya aku tak menyentuhmu, terlebih lagi kau hanya di peralat oleh germo sialan itu, maaf... seharusnya aku tak menyentuhmu karena aku seharusnya menjebak danzo malam ini, pukul satu nanti akan ada polisi yang akan menangkap basahnya, aku telah menyentuhmu, itu sama saja aku sudah menerima suap, walau aku tak berniat untuk berkomplot dengannya."

"Aku bersedia menjadi saksi Naruto-sama, akanku katakan pada polisi kalau anda tidak menyentuhku sama sekali," jawab Hinata tulus.

"Terimakasih." Jawab Naruto singkat sambil mengecup puncak kepala indigo Hinata.

...

Sai menghela nafas kasar, setelah mendengarkan cerita dari Naruto. Sementara Kiba sedikit terperangah mendengar cerita dari sang Jaksa Muda.

"Kau yakin pela-, maksudku, wanita itu tidak berbohong?" Tanya Sai tidak percaya.

"Aku yakin, aku jaminannya." Jawab Naruto pasti.

...

"Bagaimana Naruto-sama anda menyukai upetiku?" Tanya Danzo dengan sambil asik menghisap cerutu "Barang baru, segelnya masih rapat."

Naruto menampilkan seringainya "Kau benar-benar tau cara menyuapku tapi-," Tangan tan Naruto mendorong koper berisi uang lima juta Yen yang di diberkan Danzo padanya sebagai upeti tambahan "Aku tak pernah menerima suap." Naruto menampilkan senyuman iblisnya, dan bersama dengan itu beberapa polisi datang menyergap Danzo yang sedang duduk nyaman di sofa loby Hotel.

Hinata turun dari kamar hotel dan menampakkan atensi di loby hotel dengan di antar oleh Sai dan Kiba.

"JALANG KAU TAK AKAN KU LEPAS!" Teriak Danzo saat pergerakannya sudah di tahan oleh borgol

Naruto menoleh kebelakang dan tampak jelas raut ketakutan dari permata lavender, pelan-pelan dia tarik Hinata kedalam dekapan hangatnya. "Aku akan melindungimu." Bisiknya tepat di telinga Hinata.

...

Pagi ini setelah malam penyergapan itu, Hinata diminta datang ke kantor kepolisian Jepang untuk memberikan kesaksian atas keterlibatannya dengan usaha prostitusi yang di milik Danzo.

Naruto, jaksa muda itu dengan senang hati menawarkan untuk mendampingi Hinata.

"Ohayo Naruto-sama, maaf saya terlambat, tadi busnya cukup lama datang," sapa Hinata sambil membungkukkan badannya

Naruto yang sudah menunggu cukup lama di ruang tunggu kantor kepolisan, tersenyum tipis saat melihat wanita yang sudah lama dia tunggu.

"Harusnya kau bilang saja padaku, aku akan menjemputmu," ucap Naruto lembut seraya menarik pelan tangan putih itu, mereka berdua berjalan beriringan menuju ruangan investigasi.

...

"Jadi kau baru bekerja dengan Danzo, dan semalam adalah pertama kalinya kau menjual dirimu?" Shikamaru bertanya dengan ketus pada wanita yang ada di hadapannya.

"Terpaksa Shika!, Hinata terpaksa bekerja dengan Danzo, dan tolong jangan sebut dia menjual dirinya, karena semalam kami tidak melakukan apa pun." Naruto benar-benar tidak terima jika Hinata dianggap sebagai pelacur, bagaimanapun Hinata adalah korban dari keadaan.

"Aku percaya jika kau terpaksa bekerja pada Danzo, tapi aku tidak yakin jika jaksa pirang ini tidak tergoda untuk memangsamu, ku dengar dari pernyataan Danzo, Naruto adalah pria pertama yang kau layani, itu artinya kau masih perawan, setidaknya... semalam...," Shikamaru mengungkapkan analisanya, dan semuanya bisa dipastikan benar.

Hinata hanya menunduk menyembunyikan wajah memerahnya saat Shikamaru memberikan penekanan pada kata 'semalam'.

"Shika, kurasa kau sudah mendapatkan bukti bahwa Hinata tidak pernah terlibat dalam kasus prostitusi online dan aku sama sekali tidak menerima 'upeti'." Cecar Naruto. Dia sudah tidak tahan lagi di investigasi Shikamaru habis-habisan.

"Ya sudah kau boleh pulang membawa gadismu ini." Jawab Shikamaru malas.

Sepeninggal Naruto dan Hinata dari ruang investigasi, Shikamaru tersenyum simpul sambil mengusap dagu berjanggutnya "Aku tidak yakin dia masih gadis sejak kejadian semalam."

...

"Kau yakin kau tinggal disini ..?" Komentar Naruto saat saat sedan mewahnya berhenti di depan sebuah apartement kumuh di distrik Ueno.

Hinata menunduk mendengar pertanyaan Naruto dia mengerti dengan pertanyaan jaksa pirang itu. Ueno adalah salah satu distrik kumuh di Tokyo yang merupakan lokalisasi prostitusi.

"Aku sudah bilang dari semalam Naruto-sama kau tidak perlu mengantarkanku, maaf aku dan Tou-san hanya mampu menyewa apartement disini." Jawab Hinata lirih.

"Maaf..., maaf bukan maksud ku menyinggungmu, tapi kau tau tahu sendiri, distrik ini adalah...,"

"Kompleks rumah bordir." Sambung Hinata seolah dapat menebak kelanjutan dari kalimat Naruto.

"Hinata... , bukan maksudku untuk menghina mu, tapi terlalu beresiko jika kau tinggal disini..., kau menyimpan nomor ponselku kan, hubungi aku jika kau butuh pekerjaan, dan tempat tinggal yang layak, juga jika kau...,"

"Hamil?" Sambung Hinata lagi.

Naruto mengusap tengkuknya dan tersenyum kikuk "Ya Kau tahukan jika wanita dan pria dewasa... Maksudku... emmmm.."

Hinata tersenyum manis dan turun dari mobil Naruto "Sayonara...," ucapnya sambil melambaikan tangan.

Naruto mendongakkan kepalanya keluar dari jendela "Kita akan bertemu lagikan... Hinata...?"

Hinata hanya menjawab dengan senyuman manisnya.

...

"Behentilah memforsir dirimu Dobe kau lihat akibatnya terlalu memaksakan dirimu." Oceh Sasuke setelah memeriksa keadaan sahabat pirangnya.

"Berapa lama lagi?" Tanya Naruto datar.

"Sudah ku katakan dari awal harusnya dua tahun lalu kau berhenti menjadi jaksa, sekarang lihat, penyakit hepatitis C yang kau remehkan itu sekarang sudah berkembang menjadi sirosis." Pria Uciha yang biasanya bicara dengan tenang, kali ini sedikit menaikkan satu tingkat nada bicaranya.

"Kau ini cerewet sekali Teme, jika kau terus mengoceh seperti ini aku lebih baik berobat dengan dokter penyakit dalam yang lain saja." Komentar Naruto santai sambil mengenakan jaket kulitnya untuk melapisi kaos oblong polos yang dia pakai.

"Satu tahun, hidupmu kurang dari satu tahun lagi." Ucap Sasuke dingin.

Naruto tersenyum tipis dan menuju pintu keluar dari ruangan praktek sahabatnya sejak kecil itu.

"Berhentilah menjadi jaksa, jika kau masih ingin hidup dan ingin bertemu dengan wanita itu." Ujar Sasuke sambil menatap iba sahabat pirangnya.

Naruto tersenyum sekilas sambil meninggalkan sahabat ravennya itu.

...

Aku mengulangi kebiasaanku selama lima bulan ini, menyusuri distrik kumuh ini, mata biruku tak henti-hentinya memperhatikan orang-orang yang terlihat dari balik kaca mobilku. Hampir lima bulan ini aku mencari keberadaannya, ya Hinata wanita yang mampu mencuri waktu dan perhatianku.

Aku tak pernah menyangka, jika hari dimana aku mengantarkannya setelah kembali dari meberikan kesaksian di Kantor Kepolisian Jepang adalah hari terakhir aku bertemu dengannya. Sejak hari itu aku tak pernah lagi mendapat kabar darinya, bahkan nomor ponsel yang pernah dia berikan padaku sudah tidak aktif lagi.

Aku masih ingat lima bulan lalu saat aku menyambangi kompleks apartement kumuhnya, para tetangganya mengatakan bahwa dia dan ayahnya pindah tepat dimana hari aku mengantarkannya, hari itu pula Hinata dan ayahnya pindah dari sini.

Aku tidak tau mengapa pertemuan kami yang singkat itu bisa membuatku tak bisa melupakan senyum manisnya, mata sayunya. Entah kenapa aku jadi merindukan semua tentangnya, padahal hanya kurang dari empat puluh delapan jam kami bertemu

"Hinata kau dimana...?"

...


"Bagaimana keadaan bayi-bayiku Sakura-chan?" Tanya Hinata sambil menatap monitor yang menampilkan gambaran bayinya dari dalam perut buncitnya.

"Mereka baik-baik saja Hinata harusnya mengkhatirkan keaadaanmu juga. Ayah mereka saja bahkan tidak mengkhawatirkan keadaan mereka." Ucap Sakura ketus sambil menggerakkan alat pendeteksi yang terhubung dengan monitor itu ke perut buncit sahabatnya.

"Tou-san mereka bukannya tidak peduli, dia hanya tidak tahu." Jawab Hinata lembut sambil menerawang membayangkan rupa ayah dari bayi kembar yang dikandungnya.

Sakura menghela nafas panjang lalu meletakan alat pendeteksi itu ke atas monitor. "Tumor di rahimmu semakin parah Hinata...," balas Sakura putus asa sambil menatap lekat permata lavender sahabatnya.

"Mereka sudah berusia lima bulan Sakura sudah memiliki nyawa..." Lirih Hinata seraya membelai kandungannya.

"Aku sudah memperingatkanmu, untuk mengarbosi kandunganmu saat tumor itu di temukan di rahimmu, saat itu masih berusia 2 minggu Hinata..., kau harusnya tidak mempertahankan kandunganmu, itu memperparah penyakitmu, di tambah lagi kau tidak mau meminum obat-obat tumor mu."

Hinata tersenyum tipis sambil mencoba untuk duduk dengan di bantu Sakura.

"Dengan meminum obat-obat itu sama saja aku memberi racun pada bayiku," jawab Hinata lembut sambil mengusap perut besarnya.

Sakura sangat tahu bahwa obat-obat tumor itu bisa mengganggu perkembangan janin, membuat anak yang dilahirkan menjadi cacat, bahkan bisa sampai tidak lahir sama sekali.

"Setidaknya kau beritahu aku siapa ayahnya, biar aku yang mencari dan menghajarnya karna sudah menelantarkanmu." Kesal Sakura dengan mengepalkan tinjunya.

Hinata terkikik kecil menanggapi sahabat merah mudanya itu. "Kau tahukan Sakura hubungan kami terjadi hanya satu malam dan itupun tanpa disengaja, aku tidak mau mengganggu kehidupannya.. mungkin dia punya istri atau calon istri..."

"Kau belum mencobanya Hinata..., setidaknya bicaralah padanya, kau tau kehamilanmu ini sangat beresiko."

Hinata terdiam "Jika aku mati saat melahirkan mereka, aku akan menyerahkan mereka, tolong hubungi sepupuku di Kyoto, aku yakin Neji-nii dan Tenten-nee mau merawat mereka."

"Kau tidak boleh bicara seperti itu Hinata, aku akan berjuang menyembuhkanmu." Jawab Sakura sambil memeluk sahabatnya itu.

...

"Bukankah kau ingin mati, kenapa masih datang kemari untuk berobat?" Tanya Sasuke ketus saat sahabat pirangnya datang menemuinya di ruang prakteknya

"Khe..., mulut mu kejam sekali Teme...," Naruto sama sekali tidak mengambil hati ucapan sahabatnya itu. "Aku mau mengusut kasus di Okinawa, bisa kau suntikan albunim." Ujar Naruto seraya duduk di hadapan meja kerja sahabatnya.

Jika ada yang bertanya kenapa stamina Naruto masih terlihat seperti orang sehat, dan tubuhnya yang sama sekali tidak menunjukan tanda tanda penderita penyakit sirosis. Itu semua tidak lebih karena bantuan senyawa protein yang selalu disuntikan ke tubuhnya setiap kali rasa sakit menyerangnya.

Naruto memejamkan matanya saat senyawa protein itu di suntikan melalui pembuluh darah di lengannya.

"Suntikan ini hanya bisa mengurangi sakit mu untuk beberapa minggu saja, kau perlu pendonor hati Naruto." Ucap Sasuke sambil menutup luka bekas suntik sahabatnya itu dengan kapas

"Memangnya ada orang yang masih sehat yang mau menyumbangkan hatinya untukku?" Jawab Naruto dengan senyum meremehkan.

"Kita bisa pakai hati orang yang baru meninggal, atau membeli di pasar gelap organ dalam." Jawab Sasuke seenaknya. Sambil melangkahkan kakinya menuju pintu.

"Apa ada orang yang mau keluarganya yang sudah meninggal di ambil organ tubuhnya? Dan soal pasar gelap organ dalam, kita harus memesannya lebih dahulu, baru mereka akan mencari gelandangan atau pengemis, yang organnya cocok dan membunuh mereka, isss, itu tindakan pindana Teme...Aku tidak setega itu Teme."

"Cih... apa kau tidak ingin bertemu dengan wanita itu, jika kau cepat mati maka semakin sedikit kesempatamu untuk bertemu dengannya."

Naruto terdiam dan tersenyum tipis ia teringat dengan pertemuan singkatnya dengan wanita yang menyita semua perhatiannya. Pertemuan singkat yang mampu membuat semangat untuk sembuhnya begitu kuat, tapi sekarang dia seolah putus asa karna tak ada lagi alasan untuknya tetap hidup.

"Kau mau kemana Teme ?" Tanya Naruto cepat menyadari sahabatnya yang sedang menggapai gagang pintu.

"Mau makan siang dengan Sakura." Jawab Sasuke malas lalu melangkah keluar

"Tunggu Teme aku ikut."

...

"Ne, Hinata aku mau makan siang diluar bersama Sasuke-kun kau ikut ya..." Pinta Sakura sambil membereskan peralatan medisnya. Siang itu dia berencana makan siang bersama suaminya yang baru menikahinya sebulan yang lalu. Sama-sama berprofesi sebagai dokter di atap rumah sakit yang sama tidak menjamin mereka berdua bisa sering menghabiskan waktu makan siang bersama.

"Maaf Sakura aku harus kembali bekerja, hari ini aku ada kelas siang..." Tolak Hinata sopan sambil menyampirkan tasnya di bahu. Sejak kematian sang ayah Hinata sekarang bekerja sebagai guru les di tempat bimbingan belajar.

"Hinata ku mohon perhatikan kesehatanmu, kau itu sedang hamil, dan penyakitmu itu...," Cemas Sakura dengan menahan lengan Hinata

"Aku butuh banyak biaya untuk untuk persalinan ku Sakura, untuk perlengkapan mereka, dan juga untuk melunasi asuransi pendidikan mereka, aku tidak mau menyusahkan Neji-nii dan istrinya jika aku sudah mati nanti." Jawab Hinata sambil tersenyum seolah-olah tanpa beban sama sekali.

Sakura tersenyum kecut, mendengar penuturan sahabatnya.

'Padahal Neji belum tahu tentang kehamilanmu.' Batin Sakura pilu.

"Tapi kali ini kau harus mau ikut makan siang bersamaku, biar ku telpon bosmu." Sakura menyambar tas di bahu Hinata dan mengambil ponsel flip Hinata dan mencari nama orang yang akan di hubunginya.

"Baiklah Sakura, aku akan ikut, berikan dulu ponsel ku, biar aku sendiri yang menelpon." Pinta Hinata pasrah sambil mengulurkan tangannya meminta ponselnya yang sekarang berada di genggaman Sakura. Sahabat merah mudanya ini jika punya keinginan memang harus di turuti.

"Itu Sasuke-kun." Celoteh Sakura girang saat suaminya sedang berjalan dengan gagah melintasi koridor rumah sakit, dengan gaya cool

Penampilan Sasuke benar-benar terlalu keren untuk seorang dokter, memakai kemeja hitam panjang bergaris vertikal putih yang tangannya di gulung disampai batas siku dan jas putih dokternya yang asal tersampir di pundaknya.

Bukan hanya memandang penuh harap pada sang dokter, beberapa perawat disini juga terpesona dengan pria pirang disamping sang dokter.

Naruto berjalan di samping sasuke, ia mengenakan kemeja putih panjang yang tangannya di gulung sampai batas siku, dua kancing yang menampakan dada bidangnya dan jangan lupa jas hitam jaksanya yang hanya di sampirkan di bahu kirinya.

"Mau apa Naruto kemari?" Gumam Sakura saat melihat sahabat sang suami yang juga berjalan ke arah mereka.

Batin Hinata berdesir saat mendengar nama itu, ya nama sang ayah dari bayi yang sedang di kandungnya sekarang, kakinya mulai berjalan mundur, dan mengurungkan niatannya makan siang bersama sang sahabat.

"Mau kemana Hinata...?" Tanya Sakura dengan memengang erat lengan Hinata.

"Biarkan aku pergi Sakura...," Pinta Hinata setengah memelas, sesekali pandangannya terarah pada Naruto yang semakin mendekat ke arah mereka.

"Katakan padaku ada apa Hinata?!" Paksa Sakura.

Hinata tak menjawab petanyaan sahabat merah mudanya itu, yang ia lakukan sekarang melepaskan cengraman Sakura pada lengannya. Tapi semua usahanya itu gagal.

"Sakura ada apa, siapa dia?" Suara lelaki Uchiha, suami Sakura membuat gerakan berontak Hinata terhenti seketika dan menundukkan wajahnya

"Hinata, kau...?" Suara itu menggema di telinga Hinata.

Sakura melepaskan genggamannya dari lengan Hinata. "Hinata kau kenal dengan Naruto?" Tanya Sakura dengan raut wajah penuh rasa penasaran.

Hinata hanya memperdalam tundukannya, tanpa berkata apapun.

"Kalian duluan saja ke restoran sushi, ada yang ingin ku selesaikan dengan Hinata." Jawab Naruto dengan memandang lekat perut buncit Hinata.

"Ada apa ini?" Sakura masih menuntut penjelasan.

Sasuke yang sudah tau siapa wanita ini, saat Naruto menyebut nama sang wanita, segera menarik istrinya untuk meninggalkan Naruto dan Hinata berdua

"Sasuke-kun ada apa ini?" Sakura bertanya lagi tapi suaminya menjawab dengan dengan tarikan paksa menuju lapangan parkir.

"Koniciwa Naruto-sama," Hinata memberikan salam resmi sambil membungkukkan badannya, tapi gerakan Hinata untuk membungkuk tertahan oleh tangan Naruto yang memegang erah pundaknya.

Naruto menuntun Hinata berjalan ke salah satu kursi panjang di koridor rumah sakit.

Saat duduk berdampingan dengan Hinata tatapan mata biru Naruto tidak lepas dari perut buncit Hinata. Tiba-tiba tangannya terulur dan refleks mengusap lembut perut buncit itu. "Berapa bulan?" Tanyanya dengan tanpa melepas pandangan dari perut yang dia yakini sedang bergelung nyaman darah dagingnya.

"Lima..." Jawab Hinata pelan dengan nada ketakutan.

Naruto menunduk dan mengecup lembut perut itu. "Aku Tou-san mu bayi," Naruto tak perlu bertanya pada Hinata bayi siapa yang dikandungnya. Batinnya mengatakan kalau yang di kecupnya ini adalah benar darah dagingnya.

"Naruto-sama... mereka kembar...," Cicit Hinata

Naruto mengangkat kepalanya yang tertunduk karena mengecupi perut besar Hinata "Kau tahu Hinata aku mencarimu seperti orang gila selama ini, kau menghilang seperti di telan bumi setelah pertemuan terakhir kita, kau menyembunyikan kebenaran tentang kehamilanmu."

"Gomen Naruto-sama." Jawab Hinata dengan mata yang berkaca-kaca.

Naruto tersenyum pilu.

"Apa aku sebejat itu sampai kau mengira aku tidak mau mengakui mereka?" Suara Naruto terdengar bergertar, tangan tannya di letakan di perut besar Hinata.

"A...A...Aku hanya-" Hinata terbata bata.

"Bagaimana kabar ayahmu?" Tanya Naruto dengan senyumanan yang lembut.

"Beliau sudah meninggal empat bulan yang lalu." Jawab Hinata pelan sambil mengelus perut buncitnya.

Naruto menghembuskan nafas kasar "Kau tinggal dimana sekarang?"

"Distrik Kamagasaki." Jawab Hinata pelan.

Mata Naruto terbelalak sempurna, bagaimana Hinata yang sedang hamil itu hidup di distrik kumuh yang hampir seluruh penghuninya adalah gengster dan penjahat kelas kakap, distrik yang hanya bisa menghasilkan penjahat, bahkan Jepang selama ini menyembunyikan keberadaan distrik yang tak menghasilkan apapun ini dari mata internasional. "Sendirian?" Tanya Naruto lagi.

Hinata mengangguk lemah.

"Kita menikah, sekarang, tak ada penolakan!" Ucap Naruto yang merupakan tuntuan seorang jaksa yang harus di penuhi.

...

"Teme, Sakura, aku dan Hinata akan menikah sekarang juga, bisa kalian menjadi saksi?" Naruto tak membuang banyak waktu, dia menyusul Sasuke dan Sakura ke restoran langganan mereka, dan dengan segera menyampaikan maksud hatinya.

Byurrrrrrrrrr

Sakura menyemburkan kembali ocha yang sedang dia tegak

"Kau orangnya, kau yang menghamili Hinata dan tidak mau bertanggung jawab!" Tuduh Sakura.

"Ck, tolong ajari istrimu ini Teme." Dengus Naruto.

"Wanita ini yang menghilang, bahkan si Dobe ini tidak tau kalau dia hamil." Jelas Sasuke sambil menyeruput ochanya dengan tenang.

Hinata menundukkan pandangannya karena sekarang Sakura sahabat merah mudanya itu menatapnya dengan tatapan menuntut.

"Hinata kau tidak pernah katakan jika si baka ini yang menghamilimu?" Tanya Sakura dengan nada menuntut.

"Gomenasai Sakura, aku tidak tahu kalau Naruto-sama adalah teman suamimu," jawab Hinata takut takut.

Naruto membalikkan tubuh Hinata dengan mencengkram bahunya, sehingga Hinata dan Naruto yang tadi duduk berdampingan, sekarang menjadi berhadapan. Mata biru menatap lekat permata lavender di hadapannya.

"Sama?" Naruto benar-benar keberatan jika ibu dari anak-anaknya ini masih memanggilnya dengan embel-embel sama.

Hinata mendongak dengan menampilkan mata lavendernya yang sudah di penuhi bakal-bakal air mata. "Jadi aku harus panggil anda apa?" Tanyanya takut-takut.

Naruto terdiam, sekarang dia sendirilah yang bingung atas pertanyaanya, dan malah mengusap kasar tengkuknya.

...

"Sakura...," panggil Hinata saat mereka keluar dari restoran.

Sasuke dan Sakura yang sedang berjalan menuju mobil mereka pun berhenti saat mendengar panggilan dari Hinata.

"Kau duluan dulu Sasuke-kun." Pinta Sakura pada suaminya.

Sakura menghampiri Hinata yang berdiri sendirian di belakangnya karena Naruto masih di dalam restoran, ia di paksa Sasuke membayar semua tagihan makan siang mereka dengan dalih perayaan pernikahan.

"Ada apa Hinata?" Tanya Sakura lembut

"Gomenasai karna tidak memberi tahumu soal Naruto-sama...," cicit Hinata

"Sudahlah Hinata..." Jawab Sakura sambil terkikik dan mengibaskan tangannya.

"Ano...aku boleh minta tolong sesuatu...," ujar Hinata lembut.

"Oh... teman ku yang kawaii ini ingin minta apa?" Jawab Sakura gemas sambil mencubit pipi gembul Hinata.

"Tolong jangan katakan apapun pada tentang penyakitku pada Naruto-sama," pinta Hinata dengan mata berkaca-kaca.

Sakura menepuk jidad lebarnya "Astaga Hinata kau akan menikah dengannya kenapa masih ingin menyimpan rahasia lagi?"

"Sakura ku mohon berjanjilah padaku." Pinta Hinata sambil menggenggam erat tangan putih Sakura.

Sakura masih terdiam, memandang lavender Hinata. Dia tak mengerti apa yang diinginkan sahabatnya ini dengan merahasiakan penyakitnya pada Naruto.

"Sakura..., kumohon...," pinta Hinata lagi dengan gelisah karena sekarang Naruto sedang berjalan mendekat ke arah mereka.

Sakura masih diam.

"Ada apa ini?" Tanya Naruto yang sekarang sudah berada di tengah tengah mereka

"Bukan apa-apa Naruto, Hinata hanya sedang berbicara tentang rahimnya." Jawab Sakura ambigu

"Ya sudah cepatlah kita harus segera ke kuil sekarang." Ajak Naruto sambil menarik tangan Hinata.

Saat tangan Naruto sudah menarik Hinata menjauhi Sakura, Hinata menoleh dan menatap mata Sakura.

Emerald itu mengerti bahwa lavender yang menatapnya itu sedang menanti sebuah jawaban.

Sakura mengangguk sambil tersenyum, sebagai jawabannya atas permintaan Hinata.

Hinata tersenyum lega dan berbalik menghadap ke depan.

Sementara Sakura berjalan menuju suaminya yang sedang menunggu di mobil.

...

"APA MENIKAH SEKARANG JUGA!" Teriak seorang pendeta yang bernama Saittama. Bagaimana tidak terkejut, hari ini Saitama kedatangan sahabat lamanya yang datang ke kuil tempat dia mengabdi bersama dengan wanita yang sedang hamil, dan mengatakan ingin di nikahkan sekarang juga.

"Aku sudah bawa semua persyaratan sesaji dan para saksi." Ujar Naruto santai, sambil menunjuk Sasuke dan Sakura yang membawa nampan sesaji pernikahan.

Saitama mengusap wajahnya kasar, yang jelas dia akan berdosa jika menghalangi dua orang ini menikah, karena dia sangat yakin alasan pernikahan dadakan ini adalah perut Hinata yang buncit itu.

Tak butuh waktu lama bagi Naruto untuk pernikahan kilat itu, setelah pernikahannya sah di mata agama, bersama Hinata, Sasuke dan Sakura, mereka langsung menikah dicatatan sipil.

Dan sekarang dia langsung memboyong istrinya ke apartementnya.

"Aku akan ke Kamagasaki mengambil barang barang mu, kau disini saja, oh ya aku minta kunci apartement mu dan alamat nya sekalian." Ucap Naruto saat mereka baru memasuki apartement. Tidak akan dia biarkan Hinata dengan perut buncitnya itu menginjakan kaki di distrik sarang gengster itu.

Hinata mengangguk dan menyerahkan kunci serta secarik kertas yang bertuliskan alamat apartementnya

"Ano... Naruto-sama, dimana orang tua anda?" Naruto yang hendak menggapai pintu segera berbalik kearah Hinata, dan menatap lekat wanita yang baru di nikahinya itu.

"Ayah dan ibu ku meninggal saat aku berusia sepuluh tahun, karena kecelakaan shinkansen aku di besarkan di panti asuhan." Jawab Naruto sendu.

"Gomen...," Hinata tertunduk saat merasa menyinggung masa lalu perih Naruto.

"Tak perlu sungkan, nanti jika butuh sesuatu kau bisa memintanya pada...,"

"NARUTO!" Ucapan Naruto terpotong oleh teriakan seseorang yang baru saja muncul dari balik pintu apartementnya dengan membawa banyak belanjaan "Siapa perempuan hamil ini?" Tanya orang yang ternyata bernama Iruka itu.

"Nah ini dia orangnya, Hinata mari ku kenalkan pada Iruka-sensei." Ajak Naruto sambil menghampiri sosok yang bernama Iruka itu.

"Naruto siapa dia?" Tanya Iruka setelah menggeletakan saja belanjaanya yang berupa sayur sayuran itu ke lantai.

"Hinata kenalkan ini Iruka-sensei dia guruku saat di panti asuhan, sejak aku bekerja di pengadilan tinggi aku mengajaknya tinggal disini bersama ku."

Iruka mengangguk sambil tersenyum.

"Iruka-sensei ini istriku." Ucap Naruto enteng. Sementara Iruka seketika melongo mendengar ucapan anak asuhnya tersebut. Bagaimana dia tidak terkejut, baru saja tadi pagi anak didiknya itu pergi berangkat ke kantor pengadilan tinggi Jepang untuk bekerja, dan sekarang saat pulang sudah membawa wanita hamil yang diakuinya sebagai istri pula.

tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top