🌙 Chapter 8: Pergi ke Bioskop

Setelah hari-hari yang penuh tantangan dan kesialan selama masa orientasi. Aku, Normal, Mentari dan Aila mendapat tiket untuk menonton film di bioskop. Ayahku yang memberikan tiket bioskop tersebut sebagai hadiah dan hiburan karena aku berhasil menyelesaikan masa orientasi dengan baik tanpa ada cidera yang serius. Kami pun sangat bersemangat dan mulai merencanakan perjalanan ke bioskop dengan antusias.

"Mal, kita harus nonton anime! Ada anime terbaru dan keren banget!" ujarku dengan penuh semangat, saat kami berdiskusi di ruang tengah rumahku.

"Tidak, Sa! Aku lebih suka nonton film barat yang penuh aksi dan yang menegangkan!" balas Normal tak kalah bersemangat dariku.

Perdebatan kami semakin sengit. Aku bersikeras mengatakan bahwa menonton anime lebih baik, sementara Normal tetap kukuh dengan pilihannya pada film barat. Mentari dan Aila yang awalnya hanya mendengarkan dari tadi, akhirnya memutuskan untuk mengambil alih.

"Udah-udah, kalian berdua nggak akan pernah sepakat. Jadi, kami yang akan menentukan mau menonton film apa!" ucap Mentari dengan nada tegas.

"Iya, betul! Aku dan Mentari sudah sepakat untuk pilih nonton film horor," tambah Aila sambil tersenyum licik.

Aku dan Normal terdiam sejenak. Kami saling berpandangan, mencoba menolak ide tersebut, tapi tampaknya keputusan sudah final dan tidak bisa diganggu-gugat lagi. Akhirnya, aku dan Normal mengangguk setuju dengan pasrah menerima kenyataan, meskipun dengan perasaan was-was.

Malamnya, aku mempersiapkan hal-hal yang aku rasa perlu dibawa saat pergi ke bioskop. Soalnya aku tidak tahu kapan nasib sialku bakalan kambuh. Pernah sekali, aku pergi ke bioskop bersama orang tuaku dan berujung dengan masuk ke rumah sakit.

Aku memasukkan tiga helai handuk kecil ke dalam sebuah ransel yang telah aku sediakan untuk pergi ke bioskop. Kegunaan handuk tersebut adalah untuk mengelap wajah, rambut, dan baju dari tumpahan air yang tidak sengaja mengenaiku. Setelah itu, aku memasukkan payung kecil lipat—ya, di bioskop. Ini karena aku pernah mengalami kebocoran atap bioskop saat hujan deras.

Tak lupa, aku juga memasukkan sebotol air minum, camilan darurat, dan sebuah power bank. Semua ini adalah langkah pencegahan untuk berbagai skenario sial yang mungkin terjadi. Aku menatap ranselku dengan puas. "Baiklah, aku siap untuk menghadapi apapun besok," gumamku pada diri sendiri. Tak lupa aku mengikat dompet milikku dengan tali di saku, agar tidak hilang lagi.

Soalnya aku pernah beberapa kali kehilangan dompet sehingga membuatku wanti-wanti agar tidak kehilangan lagi. Yaah, walaupun kadang isinya tidak seberapa sih yang penting bagiku itu bukan isinya melainkan dompetnya itu, loh. Padahal, aku beli mahal-mahal dompetnya malah ilang, gegara hal tersebut aku sampe di marahi sama ibu gegara nangisin itu dompet.

Keesokan harinya, kami berkumpul di depan rumahku. Mentari dan Aila datang dengan ceria, sementara Normal datang dengan wajah penuh rasa penasaran melihat ranselku yang tampak penuh.

"Sa, kamu bawa apa aja sih? Mau camping di bioskop?" ejek Normal.

Aku hanya tersenyum. "Aku cuma berjaga-jaga saja. Kamu tahu sendiri, nasib sialku bisa datang kapan saja."

Sesampainya di bioskop, kami membeli popcorn dan minuman, lalu memasuki ruangan teater. Film horor yang dipilih Mentari dan Aila pun mulai diputar dan suasana mencekam pun langsung terasa. Aku dan Normal mulai merasa tidak nyaman, tapi kami mencoba untuk tetap tenang.

Masa baru mulai nonton udah dicap penakut, sementara Aila dan Mentari terlihat sangat antusias menonton film yang sedang diputar. Harga diri kami sebagai cowok tidak bisa terima ketika dibilang cowok penakut, Aila dan Mentari saja tidak takut kenapa kami harus takut?

'Ini cuma film jadi gak perlu takut!' ucapku dalam hati.

Setengah jam pertama film berlalu dengan cukup damai. Namun, saat adegan mengerikan pertama muncul, aku tidak bisa menahan diri untuk melompat dari kursi.

"Kyaaaaaa!" teriakku sambil menutup kedua mataku dengan  telapak tangan.

Normal yang duduk di sebelahku juga tidak kalah heboh. "Tidaaaak! Aku nggak mau nonton lagi!" teriaknya histeris sambil menjambak rambutku. Sehingga, aku yang rambutnya dijambak mengaduh kesakitan.

"Aduhh, Mal! Kenapa kamu jambak rambutku lepasin, woii! Sakit tauk!" ucapku sewot sambil melepaskan tangan Normal yang ada di kepalaku.

"Maaf, Sa! Tanganku reflek aja jambak rambut kamu," ucap Normal nyengir ala kuda minta disleding sambil menarik tangannya dari rambutku.

Mentari dan Aila tertawa terbahak-bahak melihat reaksi kami. "Lihat mereka, La! Penakut banget!" ujar Mentari sambil terpingkal-pingkal.

"Tunggu sampai adegan berikutnya, Tar!" tambah Aila sambil mengedipkan matamata sehingga membuat aku dan Normal serempak menelan ludah.

Film terus berlanjut dengan berbagai adegan yang membuat bulu kuduk berdiri. Aku dan Normal berteriak histeris hampir di setiap adegan seram dan sering kali dimarahin penonton lain karena terlalu berisik. Di satu titik, ada adegan di mana hantunya tiba-tiba nonggol di layar. Otomatis kami berdua melompat dari kursi, sehingga menumpahkan popcorn ke segala arah.

"HUWAAAAH! AKU NGGAK TAHAN LAGI!" teriak Normal sambil berdiri dan berlari ke belakang bioskop.

Aku pun mengikutinya dan berusaha mencari tempat yang lebih aman untuk bersembunyi. Namun, Mentari dan Aila tidak membiarkan kami lari begitu saja.

"Hei, kalian! Balik lagi ke kursi! Filmnya belum selesai!" seru Mentari sambil terus tertawa.

Akhirnya, Aku dan Normal kembali ke kursi kami, tapi tetap dengan rasa takut yang menggelitik. Setiap kali ada adegan menegangkan, kami menutup mata atau bersembunyi di balik kursi. Mentari dan Aila malah menikmati reaksi kami yang panik.

Saat film berakhir, aku dan Normal akhirnya bisa bernafas lega. Kami keluar dari ruangan teater dengan wajah pucat dan hati yang masih berdebar-debar. Namun, Mentari dan Aila tidak membiarkan momen itu berlalu begitu saja.

"Kalian ini penakut banget, ya!" ejek Mentari sambil memegang perutnya yang sakit karena tertawa terlalu keras.

"Kalian benar-benar nggak tahan lihat film horor, huh!" tambah Aila sambil menepuk bahu Normal.

Aku dan Normal hanya bisa tersenyum kecut. "Oke, kalian menang kali ini," kataku sambil menyerah.

"Ya, tapi kita tetap bersenang-senang, kan?" ujar Normal sambil tertawa kecil.

Kami semua tertawa bersama, mengingat kembali betapa konyolnya reaksi kami selama film. Meskipun menakutkan, pengalaman itu akhirnya menjadi kenangan lucu yang akan selalu kami ingat.

Perjalanan pulang dari bioskop diisi dengan cerita-cerita lucu tentang bagaimana kami berteriak histeris dan betapa mengerikannya film itu. Kami saling menggoda dan bercanda, membuat suasana menjadi ringan dan menyenangkan.

"Kalian harus lebih berani lain kali," kata Mentari sambil tertawa.

"Aku rasa cukup horor untuk tahun ini," jawabku sambil tersenyum.

Yaa begitulah, petualangan kami di bioskop berakhir dengan tawa dan kehangatan persahabatan. Meskipun sempat berselisih, pada akhirnya kami menemukan cara untuk menikmati waktu bersama dan menciptakan kenangan yang tak terlupakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top