🌙 Chapter 7: Masa Orentasi Siswa 3
"Sa, gimana MOS kamu di sekolah lancar, 'kan?" tanya ibu, saat kami tengah duduk di ruang keluarga sambil ngobrol dan menonton televisi.
"Lancar kok, Bu!" ucapku sambil mengacungkan jempol sekaligus mengedipkan sebelah mataku.
"Bohong!" Tiba-tiba, ayahku yang monoton itu angkat bicara.
"Aku gak bohong kok, Yah!" ucapku membela diri.
Ya kali, aku jujur bahwa MOS-ku kacau gegara kesialanku yang membawa kerugian buat kelompokku dan diri sendiri. Aku tidak ingin ibu dan ayah jadi mengkhawatirkan diriku dan membuat mereka cemas.
"Bohong!" ucap ayah lagi yang mendapat plototan tajam dari ibu.
"Ayah, kenapa dari tadi bilang bohong terus sih?" tanya ibu dengan kesal.
Ayahku yang monoton itu memilih untuk diam dan ia tidak menjawab pertanyaan dari ibu. Hal itu membuat ibu kesal dan ingin memukul ayah tapi tidak jadi karena sayang sama wajah ayah, yang menurut ibu lumayan tampan itu.
'Hadeuh, dasar bucin akut!' jerit batinku keki.
"Udah, Sa! Jangan dengerin kata ayahmu, sekarang kamu tidur besok sekolah, 'kan!" perintah ibu.
"Iyah, Bu! Bentar lagi, ini filmnya lagi masuk ke adegan yang paling seru," ucapku sambil terus menatap televisi di depanku dengan penuh antusias.
Setelah aku mengucapkan kata tersebut, mendadak aku merasa merinding dan punggungku rasa terbakar seperti ada yang menatapku dari arah belakang dengan niat membunuh.
"Angkasa, tidur sekarang atau gak tv-nya ibu buang!" ucap ibu sambil tersenyum sadis. Untungnya, ibu tidak memegang pisau dapur saat ini, kalau iya persis seperti di film-film thriller. Tubuhku pun mungkin sudah dimutilasi oleh ibu dengan dua belas potongan daging segar.
Membayangkannya saja sudah membuat diriku bergidik ngeri, ibu tipe orang yang lembut tetapi jika keinginannya tidak dituruti bakalan jadi sangat berbahaya. Apalagi kalau sudah marah, kita yang salah bakalan nyesel dua hari dua malam kena ceramah no jutsu, jurus andalan karakter anime favoritku, Naruto.
Setelah itu, aku dengan cepat mematikan televisi dan berlari menuju kamar. "Iya, Bu! Aku tidur sekarang," seruku sambil menutup pintu kamar dengan cepat. Aku tak ingin berurusan dengan ancaman ibu yang sudah terkenal karena selalu menepati ucapannya dan aku ingin telingaku tenang bebas dari ceramah no jutsunya ibu.
Malam itu, meskipun aku berusaha keras untuk tidur, pikiranku tetap melayang pada kegiatan masa orientasi yang kacau akibat nasib sialku. Rasanya seolah-olah aku tak bisa melepaskan diri dari pertanyaan-pertanyaan aneh dan tatapan tajam Pak Sabar.
Keesokan paginya, aku merasa sedikit lebih baik. Aku bersiap-siap dengan semangat baru, berharap bahwa hari ketiga masa orientasi akan berjalan lebih lancar. Saat aku tiba di sekolah, aku bertemu dengan Normal, Mentari dan Aila di depan gerbang.
"Pagi, Sa!" sapa Mentari dengan senyum lebarnya yang cerah, yang selalu membuat hatiku berdebar tak karuan.
'Oh, inikah yang namanya jatuh cinta?' teriak batinku histeris.
"Pagi! Siap untuk hari ini?" tanyaku sambil mencoba terlihat optimis.
"Selalu siap!" sahut Aila sambil menepuk punggungku. "Kali ini kita akan menang lagi, aku yakin!"
'Tapi, aku tidak yakin dengan adanya nasib sialku, bagaimana pun kita berusaha tak akan pernah berhasil,' jerit batinku nelangsa.
"Sa, pagi-pagi kamu udah kek gelandang aja! Liat pakaianmu yang kotor dan rambutmu yang berantakan itu," ejek Normal, saat melihat pakaian dan rambutku yang kusut.
Ini semua salah batu yang ada di tengah jalan, padahal aku lagi buru-buru sambil berlari berangkat ke sekolah dan tanpa menghiraukan nasehat ibu yang menyuruhku untuk berjalan dengan santai. Di pertengahan jalan, aku tiba-tiba kesandung batu dan sialnya aku jatuh berguling ke semak-semak mana di sana ada tahi burung lagi, yang membuatku berasa ingin muntah.
"Mal, pagi-pagi kamu udah minta dihajar ya!" balasku kesal sambil mencoba merapikan seragamku yang kotor.
Normal hanya tertawa sambil mengelak, "Hehe, aku cuma bercanda, Sa! Jangan baper dong."
Mentari dan Aila yang berdiri di dekat kami, tertawa terbahak-bahak melihat kejadian itu. "Ya ampun, Sa! Kamu ini benar-benar sial banget pagi ini," kata Mentari sambil terus tertawa.
Hari itu, kegiatan masa orientasi dimulai dengan sesi permainan kelompok yang bertujuan untuk memperkuat kerja sama tim. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok, kebetulan aku, Normal, Mentari dan Aila berada dalam satu tim. Permainan pertama adalah 'Spider Web' atau 'permainan jaring laba-laba' di mana kami harus melewati jaring tali tanpa menyentuhnya.
"Sa, kamu harus hati-hati kali ini. Jangan sampai tersandung lagi, ya!" goda Normal sambil tersenyum jahil.
Aku mengerutkan kening, merasa semakin kesal dengan ejekannya. "Hati-hati sama mulutmu, Mal. Bisa-bisa kamu kena sial juga," balasku sambil tersenyum miring.
"Sudah! Sudah, sekarang kita fokus ke pertandingan dulu dan atur strategi biar bisa menang," ucap Mentari melerai perdebatan kecil kami.
"Aku punya sebuah ide," ucap Normal dalam mode serius. "Aku bisa angkat Angkasa ke atas dan Mentari bisa membantu Aila untuk melewati bagian bawah."
Kami semua setuju dan mulai merencanakan langkah-langkah kami. Dengan hati-hati, kami berhasil melewati jaring itu tanpa ada satu pun dari kami yang menyentuh tali.
"Kerja bagus, tim!" seru Mentari setelah kami berhasil menyelesaikan tantangan itu.
Aku merasa lebih percaya diri saat kami melanjutkan ke permainan berikutnya. Namun, tantangan sesungguhnya datang saat kami harus mengikuti sesi kuis lagi. Kali ini, pertanyaannya bahkan lebih aneh dari sebelumnya.
"Siapa yang menemukan 'pohon yang bisa berjalan' di hutan Amazon?" tanya Bu Damai.
Aku memutar otak, berusaha mengingat sesuatu tentang pohon yang bisa berjalan. Apa itu mungkin ada pohon yang berjalan? Pohon yang bercabang dengan batang yang berbeda aja sudah sulit, apalagi yang berjalan. Bukankah itu mustahil dan merupakan sebuah keajaiban?
Mentari mengangkat tangan dengan cepat. "Itu pohon 'socratea exorrhiza', yang dikenal bisa 'berjalan' karena akarnya tumbuh untuk mencari cahaya matahari."
"Benar sekali, Mentari!" kata Bu Damai sambil tersenyum puas.
Aku terpesona dengan pengetahuan Mentari yang tampaknya tidak ada habisnya. Sesi kuis itu berlanjut dengan pertanyaan yang semakin aneh, tetapi Mentari dan Aila terus memberikan jawaban yang tepat.
Saat sesi berakhir, tim kami dinyatakan sebagai pemenang. Aku merasa bangga dengan kerja keras dan kolaborasi kami. Meski pertanyaan-pertanyaan yang kami hadapi sering kali terasa di luar nalar, kami berhasil mengatasinya dengan baik.
"Aku rasa kita bisa menghadapi apapun jika kita bersama," ucap Aila dengan semangat saat kami berjalan keluar aula.
"Setuju," jawab Normal. "Dan yang paling penting, kita belajar banyak hal yang baru dan yang aneh hari ini!"
Aku tersenyum, merasakan rasa kebersamaan yang kuat dengan teman-temanku. Masa orientasi ini mungkin dimulai dengan kesialan dan kekacauan, tetapi berkat dukungan dan kerja keras dari teman-temanku, aku merasa bahwa kami bisa menghadapi apapun yang akan datang.
---
Dengan itu, berakhirnya masa orientasi siswa memberikan kami banyak pelajaran berharga, baik tentang pengetahuan yang tak terduga maupun tentang kekuatan persahabatan dan kerja sama. Aku merasa siap menghadapi hari-hari di SMA Bina Bangsa dengan semangat dan keyakinan yang baru.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top