BAB 2




Nathan menyandarkan dirinya pada sofa. Kedua matanya terpejam erat. Otaknya terus mengulang percakapannya dengan Fairis beberapa jam yang lalu. Perihal Jihan dan keseriusannya dalam menjalin hubungan dengannya.

Aku harap sih kamu serius, Nat.

Nathan menghela napas pelan sambil memijat pangkal hidungnya agar menghilangkan sedikit rasa pening yang tiba-tiba menggerayangi kepalanya.

Dentingan di ponselnya membuat Nathan membuka kedua mata dan beralih menatap layar ponselnya.

Juni

Gue tau kemarin itu gue salah, Nat. Tapi gue berharap lo mau ngasi gue kesempatan untuk memperbaiki semuanya.

Nathan mendengus kasar setelah membaca rentetan pesan dari Juni. Tanpa berniat membalas pesan itu, Nathan beranjak dari sofa dan berjalan menuju kulkas, tiba-tiba ia merasa haus setelah membaca pesan singkat dari mantannya itu.

Pffft... mantan? Emang dia ngakui elo Nat sebagai pacarnya?

Nathan meneguk air dari botol yang ia ambil hingga tersisa setengah. Dengan keras ia menaruh botol itu di atas meja makan, kemudian beralih ke kamarnya untuk membersihkan diri. Hari ini benar-benar melelahkan.

***

Jihan mengelap butiran keringat yang mulai menghiasi jidatnya, sambil mengaduk sup jagung kesukaan abangnya. Hari ini ia memasak khusus untuk abang semata wayangnya –Gio. Karena ibunya sedang ke pasar, jadilah ia yang disuruh untuk memasak hari ini. Lagian, kata Gio masakan Jihan itu top markotop.

"Lagi masak apa sih, Dek? Harumnya kecium sampai kamar Abang, nih," ujar Gio sambil mengusap kepalanya yang basah karena sehabis keramas dengan menggunakan handuk kecil.

Jihan melirik sekilas ke arah Gio dan kembali mengaduk sup jagung yang sudah hampir matang.

"Ini, lagi buatin sup jagung buat Abanb. Soalnya tadi Ibu pesen, kalo Abang lagi pengen makan sup jagung."

"Hoooo... pasti enak deh. Siapa dulu, yang masak chef Jihan. Hihihi."

"Apaan sih, Bang," ucap Jihan sambil mematikan kompornya. "Mau makan sekarang, atau tunggu Ibu pulang?"

"Tunggu Ibu aja deh."

Jihan mengangguk paham. "Ya udah ya, Bang. Jihan mandi dulu."

"Hemm, Abang ke kamar ya. Kalo Ibj udah dateng, panggil aja."

"Okee."

Keduanya pun berlalu. Jihan ke kamarnya, dan Gio ke kamarnya juga.

***

Sepuluh menit, Jihan keluar dari kamarnya dengan dandanan yang lebih fresh. Rambutnya yang biasanya lebih suka di cepol satu kini dibiarkan tergerai.

Jihan mengambil posisi di depan TV sambil mengunyah keripik pisang yang di buat ibunya. Sesekali ia melirik ke arah dapur, kemudian ke arah jam dinding juga. Sudah pukul sepuluh. Tumben sekali ibunya telat pulang dari pasar. Biasanya jam sembilan sudah pulang.

"Atau gue telpon Ibu aja kali, ya?" gumam Jihan.

Baru saja Jihan ingin beranjak ke kamarnya untuk mengambil ponsel, tiba-tiba ia mendengar suara ibunya dari luar. Tapi sepertinya wanita yang telah melahirkannya itu tidak sendiri, terdengar walaupun samar suara seorang laki-laki. Siapa?

Jihan pun berinisiatif untuk membukakan pintu, dan setelah ia membuka pintu betapa kaget ia melihat sosok laki-laki yang terlihat sedang asyik bercengkerama dengan ibunya.

Keduanya menghentikan perbincangan setelah melihat Jihan dengan tampang terkejutnya.

"Eh? Dek. Ini ada temennya nih. Panggil masuk gih," pinta Zara–ibu Jihan.

Jihan masih mematung menatap terkejut interaksi antara ibu dan laki-laki itu. Sampai Zara menepuk bahunya sedikit keras, guna menyadarkan anak bungsunya itu dari lamunannya.

"Eh?" Jihan terkesiap, kedua matanya bahkan mengerjap sebanyak tiga kali.

"Ehhh, si Jihan. Terkesima dia ngeliat kecakepan Nak Nathan. Ibu aja tadi susah ngedipnya, hihihihi. Ya udah, ibu masuk dulu ya. Ji, panggil temannya masuk, dong," ujar ibu sebelum ia berlalu.

Setelah kepergian Zara, Jihan masih menetap di tempatnya hingga suara laki-laki yang sepertinya sudah akrab dengan ibunya itu menginterupsi lamunannya.

"Gue nggak dipersilakan masuk nih?"

"Eh? Umm... umm, ayo masuk, Kak."

Nathan terkekeh melihat tingkah Jihan yang entah mengapa menurutnya jadi lucu begitu. Ia pun masuk dan mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu.

"Kok sms gue nggak dibales?"

Jihan mengernyitkan jidatnya. "Sms? Oh? Aku tadi lagi nggak megang hape, Kak."

"Oh, emang lagi sibuk apa sih sampai sms calon suami nggak dibales."

Jihan meringis pelan mendengar ucapan penuh kepedean dari Nathan. "Lagi masak tadi, Kak."

Nathan mengangguk-anggukkan kepalanya paham. "Emang calon istri idaman ya, lo. Dijamin deh gue sejahtera kalo nikah sama lo."

Jihan tersenyum kecut. Namun, sebelum ia membalas ucapan Jihan, suara Zara lebih dulu menginterupsinya.

"Ji, panggil mas-nya makan dulu."

What? Mas?

Jihan bergidik ngeri mendengar panggilan ibunya pada Nathan. "K-kakak mau makan dulu?" tawar Jihan ragu

Nathan terlihat berpikir, kemudian melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Emang boleh?"

"Umm.. kalo Kak Nathan nggak keberatan."

Nathan tersenyum tipis. "Ya udah kalo lo maksa."

Lah, siapa juga yang maksa? Gue sih ngarepnya Kak Nathan nggak mau diajak makan.

"Emang Kakak nggak ada kuliah?" tanya Jihan lamat-lamat. Takut menyinggung perasaan Nathan.

"Lo sebenernya mau ngajak gue makan dulu apa ngusir gue?"

Jihan terbelalak mendengar pertanyaan Nathan. "Aduhhh, nggak gitu, Kak. Duh, gimana ya... itu, nanti itu, si pembimbingnya dateng... terus... teruss..."

"Udah, nggak usah khawatir. Pembimbing gue datengnya jam dua belas. Ini masih jam setengah sebelas."

Laper banget kayaknya ya, sampe nggak bisa nolak ajakan Ibu.

"A-ayo, Kak."

Jihan beranjak dari sofa dan berjalan menuju ruang makan, diikuti Nathan yang sudah setengah mati menahan tawa di belakangnya.

Di meja makan sudah ada Zara serta Gio yang senantiasa menatap Nathan penuh selidik sampai Jihan mendudukkan dirinya di samping Zara dan Nathan yang dengan sungkan mengambil posisi di samping Gio.

"Siapa ya?" tanya Gio dengan sarkastis.

"Oh, iya. Kenalin, Bang. Temen Jihan. Namanya Nathan," ujar Jihan memperkenalkan Nathan dengan canggung. Pasalnya, selain Raisa baru kali ini ada teman Jihan yang bertandang ke rumah, apalagi ini seorang laki-laki.

Gio mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nathan? Bukan pemain film Dear Nathan, kan?" tanya Gio bercanda.

Nathan mengernyitkan jidatnya bingung. "Yang mana ya, Bang?"

"Itu, yang... ah, kok jadi bahas soal film sih? Ehem, jadi sejak kapan kamu berteman dengan Jihan?"

"Oh, itu. umm... baru-baru ini sih, Bang. Sejak temennya Jihan, si Raisa nikah sama sahabat saya, Fairis."

"Ohhh... begitu."

"Udah ah, Bang. Ngomongnya nanti aja, makan dulu gih. Nak Nathan makan juga, nggak usah canggung."

"Iya, Tante."

Sementara Jihan jangan ditanya. Jantungnya sudah seperti akan melompat keluar. Ia benar-benar merasa canggung dengan kehadiran Nathan di tengah-tengah keluarganya.

"Ummm, sup jagungnya enak banget, Tante," puji Nathan.

"Oh, itu sih Jihan yang buat. Dia emang jago masak, nurun dari ibunya. Hehehe..."

"Oh, gitu. Tante yang ngajarin Jihan masak?"

"Iya. Tapi dianya aja sih yang inisiatif buat belajar masak. Katanya biar suaminya nanti seneng."

"Cocok banget dong jadi calon istri aku, Tan."

Hampir saja Jihan menyemburkan makanan yang ada di mulutnya, kalau saja ia tidak berusaha untuk menutup mulutnya mungkin makanan itu sudah mengenai wajah ganteng Nathan.

Sementara Gio menatap Nathan tidak percaya. Zara pun demikian, ia ikut menatap Nathan dengan tatapan terkejut. Sedangkan yang membuat kerusuhan dalam rumah Jihan itu dengan santai menyuapkan kembali sup jagung ke dalam mulutnya.

***

Ya Allah, ampuni tingkah Nathan yang tiba-tiba nggak tau malu, ya Allah.

Apalagi ini di depan keluarga calon ehemistriehem. Hahaha

Sabar ya, Ji. Ini cobaan... badai pasti berlalu kok. Wkwkwk

Gimana tingka Nathan menurut kalian? Suamiable banget nggak sih? Atau justru nggak banget??

Ditunggu vote, komen, kritik dan sarannya.

Kalo ada typo, silakan banget komen di inline ya.

Oke, enjoy all!

Love,

Windy Haruno si penulis amatir

t

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top