[tigabelas] siapa dulu yang harus diselamatkan?

Yang paling menyebalkan dari semua drama buatan Gyan—sebenarnya aku juga menjadi founder dari drama ini, tetapi peran Gyan jelas paling banyak karena dia sebagai pengacaunya—adalah kenyataan bahwa aku masih bekerja untuknya. Semua kalimat panjangku kemarin rasanya tak ada harganya karena yang kulakukan pagi harinya adalah mendatangi Cafe Maladewa dan mengais rezeki di sini.

Padahal, kalau memang sungguh ingin istirahat dari semua hal tentang Gyan, harusnya aku juga meninggalkan cafe ini, kan?

Tapi ini bukan semudah tinggal pergi.

Aku harus memikirkan semua hal yang terlibat. Ada teman-teman cafe-ku yang mungkin akan kebingungan jika aku langsung menghilang begitu saja. Ada Ibu yang mungkin akan panik dan sedih ketika menyadari aku dan Gyan berakhir secepat itu, padahal dia baru menyaksikan kami terlihat baik-baik saja.

Atau bahkan dia mungkin sudah merasa bahwa aku dan Gyan sangat cocok satu sama lain.

Hal itu membuatku benar-benar merasa bersalah dan sibuk menyalahkan diri sendiri. Seandainya aku dan Gyan tidak saling menyetujui ini dan jujur pada orang tua kami dari awal, mungkin semuanya nggak akan sehancur ini. Tidak dengan perasaan tiba-tiba Gyan padaku, tidak dengan harapan Ibu yang mungkin sudah semakin tinggi, tidak juga dengan perasaanku yang sibuk menyalahkan dan mengasihani diri sendiri.

Sekarang, aku yang beneran kebingungan dan tidak harus bagaimana menjalaninya. Memilih untuk jujur pada Ibu atau ... ya, mungkin satu-satunya yang bisa kulakukan adalah meminta maaf pada Ibu dan menceritakan semuanya? Karena siapa lagi yang bisa memahami perasaanku selain dirinya saat ini? Hanya Ibu.

Aku tahu hanya dia.

Tapi, rasanya masih sangat berat untuk melihat langsung perasaan kecewa di wajahnya.

"Thanks buat hari ini, ya, gaes!"

Aku mengangguk dan buru-buru ke ruangan staff untuk membereskan barang-barangku. Hari ini jadwalku bukan closing, jadi aku masih bisa punya banyak waktu untuk melihat sedikit matahari. Aku ingin pergi keluar dan ... melakukan apa pun untuk mengalihkan pikiran—walau aku tahu semuanya hanya bersifat sementara—saat ini. Nonton kek, time zone kek, makan kek, minum kopi pahit kek, atau cuma keliling nggak jelas dan yang sudah pasti tekor bensin mobil.

Tapi, uang bisa aku usahakan untuk kumiliki, sementara kepalaku ini yang susah. Kalau dia sungguh-sungguh meledak sekarang, keputusan akhirnya cuma satu; aku akan mati.

Ternyata rencana panjangku tadi hanya akan menjadi wacana. Karena begitu aku membuka pintu mobil, aku melihat Kak Mel berjalan ke arahku. Aku mencari di mana mobilnya, tetapi tak berhasil menemukan, sampai akhirnya aku menutup kembali pintu mobilku. "Hai, Kak. Sama siapa?"

"Sendiri," jawabnya, dengan senyuman semringah. "Aku naik taksi tadi."

Aku mengangguk. "Mau ... ke mana?"

"Penasaran sama tempat kerja baru kamu dan cuma pengen ngobrol sama kamu aja sih. Aku tahu jadwal kamu hari ini dari Abang Dewa." Ia sudah berdiri di depanku. "Kamu punya rencana lain setelah kerja, Dek?"

Aku diam sebentar, mengingat panjangnya rencana yang tadi kususun di kepala dan sudah siap aku eksekusi. Tapi, momen ini juga sama langkanya. Maksudku, pertemuanku dengan Kak Mel. Dia masih merasa canggung dengan aku dan Ibu apalagi harus datang ke rumah. Jadi, kedatangannya sendirian menemuiku di tempat kerja pasti membutuhkan kekuatan yang besar. Mungkin dia bertengkar dulu dengan Abang hingga akhirnya berani ke sini.

Aku jadi tidak tega untuk tetap egois. "Nggak ada sih, Kak. Kakak mau ngobrol di mana? Kafeku ke dalam atau cari yang lain?"

Dia tersenyum lebar. "Best seller-nya apa di tempatmu?"

"Kopi susu pisang." Aku tertawa, karena tahu Kak Mel tidak suka minum kopi. "Tapi ada minuman lain dan makanannya enak-enak juga kok. Apa mungkin karena aku kerja di sini jadi bawaannya pengen promosi, ya."

Dia tertawa. "Yaudah kita ngobrol di dalam yuk?"

Sebelum benar-benar berjalan kembali ke cafe, aku menatap mobilku dengan sedih. Mengucapkan selamat tinggal pada semua rencanaku tadi. Entah kapan aku akan kembali mewujudkannya. Padahal, harapanku tadi dengan jalan-jalan random, aku akan menemukan wangsit atas masalahku. Apakah berbicara langsung pada Ibu dengan sangat jujur atau apa pun.

Tapi, tak apa, aku tak boleh egois.

Jadi, kami—aku dan Kak Mel—sekarang di sini, duduk berhadapan di sebuah meja di pojokan. Pilihannya. Saat waitres datang dan mengenaliku, aku hanya bilang bahwa aku ingin mengenalkan tempat kerjaku pada calon Kakak ipar, dan dia tertawa. Termasuk Kak Mel.

"Betah kerja di sini, Dek?"

"Betah aja sih, orangnya enak-enak. Kerjaannya ... ya kadang emang capek, tapi kerjaan kan emang nggak ada yang mulus terus. Kerjaan Kakak gimana?"

"Sama sih." Dia tertawa pelan. "Kamu sama Gyan gimana?"

Here we go!

Aku mengembuskan napas kencang. Tidak ada niat untuk membohongi Kak Mel, tetapi aku merasa juga belum siap untuk menceritakan segalanya di saat Ibu kandungku sendiri masih kubohongi. Tidak adil untuk Ibu. Jadi, aku memberinya senyum dan menjawab, "Masih coba sih cocok apa gimana."

"Katanya mah cocok itu dibikin, bukan dicari." Kak Mel tertawa pelan. "Gyan kalau cerita dari Abang sih baik, yaaa. Mapan jugaaa. Cuma memang keluarganya mungkin yang nggak sehamornis kita, tapi bukan berarti dia nggak bisa bangun keluarga harmonis nantinya."

Aku mengangguk setuju.

Aku tidak meremehkan Gyan akan hal itu. Dia bisa saja membangun keluarga yang keren dan jauh lebih keren dari keluarga kami sendiri. Tapi, aku rasanya tetap tidak bisa untuk menjadi partner-nya dan aku tidak tahu karena alasan apa lagi. Karena kalau soal preferensiku, aku tahu dia mau berusaha. Mungkin ... karena aku sudah keburu marah dan kesal padanya. Jadi, apa pun yang dia lakukan setelahnya terasa salah. Semua sisi baiknya menguar menjadi tak terlihat di mataku, sedikit pun. Yang tersisa hanyalah keburukannya yang kalau kepikiran membuatku makin tak suka.

Tapi kemudian lamunanku akan Gyan buyar saat Kak Mel bertanya lagi. "Ini kan kamu udah pendekatan sama cowok baik, ya, Dek? Yang Ibu dan Abang juga udah suka sebenernya. Terus, kalau aku dan Abang mulai bilang ke Ibu tentang hubungan kami yang serius, menurutmu gimana?"

Sekarang aku tahu tujuannya apa.

Bukan cuma untuk melihat tempat kerja baruku.

Bukan untuk ngobrol denganku tentang hal-hal tidak jelas.

Tetapi karena dia ingin membahas tentang hubungannya.

"Apa Ibu udah bisa nerima, ya?"

Aku menelan ludah. "Jujur aku nggak tau perasaan Ibu soal itu, Kak. Yang aku tau selama ini Ibu selalu bilang kalau dia bolehin Abang nikah kalau aku duluan. Tapi kayaknya didiskon deh, kalau aku punya pacar pun kalian udah boleh. Tanya aja coba." Kami sama-sama tertawa.

"Takut kalau Ibu kesinggung dan marah sih."

Aku juga merasa kasihan pada Kak Mel, tetapi aku tahu aku tidak bisa berbuat banyak. Mungkin bisa, kalau aku mau menyingkirkan kepentingan dan keinginan diriku sendiri dan mengiyakan semua hal tentang Gyan. Ibu pasti bahagia dan mungkin akan langsung merestui pernikahan Kak Mel dan Abang.

Tapi, aku tahu tidak akan semudah itu memutuskan karena aku sendiri masih bingung dengan perjalanan hidupku ini. Belum lagi sepertinya obrolan dengan Kak Mel bukan satu-satunya hal penting di hari ini. Karena setelah kami berpisah, aku sedang di perjalanan untuk ke mall, tiba-tiba Abang kirim pesan yang meminta waktuku untuk ngobrol berdua, nanti sesampainya aku di rumah.

Bukannya apa, aku seketika menjadi takut karena benar-benar sebagai penentu nasib dua orang ini. Apa aku harus mengorbankan hidupku demi hidup orang lain? Atau aku ... harusnya kabur saja dan tak usah kembali?

Hah!

Pemikiran yang mustahil karena aku tidak mungkin bisa meninggalkan Ibu dengan keadaan kacau akibat perbuatanku. Entah kenapa, setiap masalah datang apalagi ada deadline keputusan, jam rasanya cepat sekali berjalan. Aku ingin lama sampai rumah, tapi nyatanya, sekarang sudah berhasil parkir di garasi. Aku juga sudah melihat mobil Abang terparkir. Artinya dia sudah di rumah.

Jadi, ini aku beneran aku harus menemuinya?

Ya Tuhan ....

Apa yang harus kulakukan?

Aku tak menemukan siapa-siapa begitu memasuki rumah, jadi langsung masuk ke kamarku untuk membersihkan diri. Aku mau keramas, supaya lebih dingin dan siap menghadapi Abang. Apa pun yang akan dia bahas, semoga aku tidak berasap mendengarnya. Selesai berganti baju, aku siap untuk turun, tetapi gagal karena mendengar kamarku diketuk. Dia bahkan tak membiarkanku keluar kamar dan mengobrol di ruang keluarga. Semendesak apa masalah kami sebenarnya?

Aku mempersilakannya masuk.

"Kamu udah mandi?" tanyanya, lalu duduk di ujung kasur.

Aku hanya mengangguk.

"Gimana hubunganmu sama Gyan, Ni?"

Pertanyaan itu lagiiiiiiii! "Nggak tau, nggak berani labelin apa-apa sih, Bang. Kenapa?"

Dia terdiam, tetapi kemudian menatapku dalam-dalam setelah kami duduk berhadapan. "Kamu tau, kan, Abang sayang kamu? Nggak pengen sebenarnya push kamu buat cari pacar atau buka hati atau apa lah. Tapi kamu juga tau, syarat konyol Ibu. Abang udah berusaha sabar, tapi Abang juga punya batesan, Ni. Abang dan Kak Mel mau nikah. Kalau nunggu kamu yang nggak pasti, gimana sama kami?"

Iya, aku tahu perasaannya. "Aku bantuin ngomong sama Ib—"

"Kamu udah sering bantuin, tapi syarat Ibu nggak pernah berubah. Cuma diturunin dikit sampe kamu punya pacar."

"Tapi aku dan Gyan belum resmi pacaran, Bang."

"Kenapa? Dia nggak oke?"

Aku menggeleng. "Aku nggak tahu, semuanya rumit." Aku tak berani menatapnya. "Gyan sebenernya bukan tipeku, tapi Ibu suka banget sama dia. Aku dan Gyan—" Apa aku jujur aja, ya, dengan Abang tentang semuanya? Atau pilih-pilih cerita mana yang kusampaikan? "Udah janji kalau ini nggak berhasil, tapi kami mau coba dulu. Tapi tetap nggak cocok, dan ini aku lagi nyari celah buat bilang jujur ke Ibu. Aku minta maaf." Karena dengan begitu, artinya Abang harus nunggu lagi sampai aku bertemu dengan lelaki baru, kalau dia dan Kak Mel mau—

"Kak Mel hamil, Ni."

—menikah.

Hamil?











---

ih pusing semua anak fiksiku idupnya bermasalah. aku bantu yang mana dulu niiih? Dyuthi yang ga waras itu atau Nini si paling lovely ini (hueekkk)?

yang mau baca duluan di KK udah sampe bab 21 yawww, silakan klik link di wall akyuu, muach kering.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top