[tiga tujuh] unexpected message

Aku merasa kalimat Gyan barusan adalah tanda yang jelas bahwa dia tidak mau aku menyinggung tentang Dinda ... atau mungkin sesimpel aku tidak perlu ikut campur. Tak peduli sedekat apa hubunganku dengan dia dan juga Dinda—aku meringis dalam hati, sudah bisa kah aku dan Dinda disebut dekat?

"Gimana kabar ibu, Ra?"

Aku harus kembali ke realita. Tersenyum lebar, aku mengangguk pada Gyan. "Sebenernya baik, kalau yang ditanya fisik, Ibu baik-baik aja, sih. Cuma ... gue ngajak lo ketemu buat ..." Aku bingung perlu melanjutkan ini atau tidak. Tujuan utamu mengobrol dengannya ini, kan, untuk membahas hubungan kami, Ibu, dan Tante Anita. Tentu saja akan melibatkan Dinda. Tapi, tadi dia bilang kalau jangan membahas—

"Buat? Nini, you okay?"

"Oh!" Aku mengangguk-angguk. "Kalau lo lagi nggak enak pikiran atau badan, we can take a rain check, Gy, nanti kabarin—"

"Oh sorry sebentar, ini ada hubungannya sama Dinda?"

Aku mengangguk ragu.

Gyan mengacak rambutnya sambil tertawa pelan. "Astaga begoo, sori, sori, Ra. Gue blank tadi. Nggak pa-pa kita lanjut." Kepalanya mengangguk.

"Lo yakin?"

"Ya! Gimana gimana tadi?"

"Okaay." Aku menelan ludah, menarik napas pelan dan dalam, lalu aku embuskan sepelan mungkin. "Ini disclaimer dulu, ya, Yan, by the way, gue nggak nyalahin lo atau Dinda, demi apa pun I'm sooo happy for both of you." Aku tertawa pelan melihat wajah bingung Gyan. "Gue cuma coba ceritain detail kronologinya aja, biar bisa lo bayangin. Jadi, akhir-akhir ini, kan, kita nggak ketemu, nggak main bareng atau ya apa pun kayak yang biasa kita lakuin. Lo nggak ke rumah gue, yang manaaaa gue senang karena gue tau lo udah nemu kebahagiaan lo. Sumpah, gue lega karena lo bisa nemuin itu. Tapi lo tau, kan, kalau Ibu tuh berharap banyak sama kita?"

Kepalanya mengangguk, wajahnya kelihatan ragu, mungkin sangat bingung.

"Nah, dia jelas notis itu, terus dia tanya kabar lo, kabar hubungan kita. Nah, karena gue ngerasa bingung. Maksudnya, di sisi lain gue nggak mau duluin atau sendirian buat langsung billang ke Ibu kalau hubungan kita nggak berhasil dan lo udah nemu orang yang cocok sama lo. Tapi, gue juga nggak mungkin bilang ktia baik-baik aja, sementara gue tau progres lo dan Dinda oke banget. Takutnya, nanti durasi dari hari itu ke hari kita pamitan terlalu nggak masuk akal buat Ibu. Sampai sini dulu paham nggak, Gy?"

"Paham, paham. Go on."

Aku mengangguk. "Jadi, gue berusaha cari aman, for us, gue bilang kalau kita lagi ngalamin sesuatu, tapi kita coba perbaiki. Dan kayaknya Ibu paham ke mana arahnya sih, jadi yaa dia lumayan sedih, tapi gue yakin, sampai nanti saat kita bilang semuanya—kecuali ngaku kalau kita boong selama ini yaa. Gue yakin dia akan baik-baik aja kok, Gy. Jangan terlalu di—Gy? Lo beneran baik-baik aja?" Aku melihat ekspresinya terlihat sangat bingung, ia juga menundukkan kepalanya. "Gyan?"

"Kalau misalnya kita ngaku sekarang, tapi nanti Ibu tanya nyokap gue soal cewek baru gue, terus nyokap bilang nggak ada cewek baru, anjir, kayaknya bakalan runyam ya, Ra."

"Sori?" Aku benar-benar tidak bisa memahami kalimat panjangnya itu. Informasi dalam kalimatnya terasa memusingkan. "Maksudnya, lo nggak berniat ngenalin Dinda ke nyokap lo?"

Dia meringis. "Gue malu mau bilang." Lalu tertawa bilang.

"Gyan, please? Kita harus komunikasi yang bener kalau mau satu suara dan ini semua berhasil, mengurangi drama."

"Dinda ngilang. Udah berapa hari yaaa...."

"What?!" Aku mendongak, mengembuskan napas lelah. Lalu kembali menatap Gyan yang sekarang sedang menggosok-gosok wajahnya. "Sorry that happened to you. Tapi dia bilang sesuatu nggak sebelumnya?" Ya Tuhan, aku menggelengkan kepala cepat-cepat. "Astaga, sorry, sorry that was a strange thing to ask."

Kepalanya menggeleng. "Dia nggak bilang apa-apa sih. Cuma gue ingetnya, abis kita jalan malem itu, gue anter dia balik. Pas jalan sih baik-baik aja. Dia masih haha-hihi, sampe gue anter pulang juga masih OKE." Gyan terlihat berpikir sangat keras, mungkin mengingat kejadian yang mereka lalui. "Terus ... dia ngirim chat, nanya gitu seinget gue. Kayak ... pendapa gue tentang orang yang jadiin orang lain pelampiasan. I mean, oh dia kirim video gitu yang isinya cerita orang yang dideketin cowok dan akhirnya dia tau kalau cowok itu masih cinta sama orang lain."

Aku menelan ludah. "Jawaban lo?"

Dia meringis. "Sebentar." Gyan meraih handphone-nya dan mengutak-atiknya sesaat, lalu kembali menatapku dan tertawa pelan. "Kayaknya gue salah jawab deh, Ra."

"God ..." lirihku sudah ngeri duluan bahkan sebelum dia menyebutkan apa jawabannya.

"Gue bilang ya tergantung kondisi. Gimana kalau emang cewek baru itu dateng di perjalanan proses dia move on. Dia emang nggak jawaban apa-apa sih, tapi iya kayaknya itu deh, dia ilfeel kali sama gue."

Aku memijat kening karena ... semua benar-benar terjadi di luar kontrol. Lalu kami harus gimana sekarang? Apa ... kita tetap nekat mengatakan pada Ibu cuma minusnya tidak menyebutkan bahwa Gyan sudah mendapatkan perempuan yang cocok dengannya?

Aku menggelengkan kepala. "Lo galau banget Dinda ngilang?"

"Enggak sih," katanya serius. "Di awal ya sempet bertanya-tanya kenapa, tapi kayaknya ya emang nggak cocok aja. Mungkin dia ngerasa nggak sefrekuensi? Atau jawaban gue salah ya? Apa perlu gue minta maaf? Menurut lo gimana?"

"Seharusnya sih kalau dia rasa ada yang keliru, lebih baik dia ngomong ya. Tapi balik lagi, kita kan nggak tau cara komunikasi orang gimana, jadi menurut gue ngga ada salahnya kalau lo mau coba ajak dia ngomong, siapa tau cuma salah paham dan bisa diperbaiki?"

Dia tertawa pelan.

"Apa? Kenapa ketawa?" tanyaku bingung.

"Lo tuh ... emang nggak ada rasa sedikit pun sama gue ya, Ra?"

"What?"

"Lega kek, Dinda ngilang, ini malah nyaranin gue ngajak ngomong Dinda."

Aku tertawa, tapi dalam hati tersentil.

Sebagus itu kah sikap pura-pura gue selama ini, Gy? Nggak kelihatan kah kalau gue penuh penyesalan karena selama ini isinya denial? Sibuk ngasihanin lo, padahal yang sebenarnya perlu dikasihani ya diri gue sendiri.

"Nanti gue coba chat Dinda, tapi gue nggak bisa jamin kalau dia masih mau ya sama gue. Jadi, kita coba ambil worst case deh, dia nggak mau, kita bakalan gimana ke Ibu?"

"Mungkin bilang kita nggak berhasil tanpa perlu sebut lo udah dapet yang baru atau belum?"

Dia mengangguk. "Kita cukup bilang kalau emang kita nggak bisa aja gitu?"

"Betul."

"Okay. "

"Lo mau gue bantu ngomong sama Dinda, Gy?"

"Enggak lah!" Dia tergelak. "Gue tau lo temenan sama dia sekarang, dan kalaupun nanti gue sama dia nggak jadi, dan misalnya dia mau kontek elo, nggak apa-apa, ya, Ra, jangan karena gue atau apa lo jadi kehilangan temen."

Tapi karena aku ... dia kehilangan banyak hal.

Aku tersenyum lebar, menganggukkan kepala.

Di perjalanan pulang ke rumah, rasa penyesalan menghampiri lagi. Menyesal karena kenapa tadi tidak mencoba bilang ke Gyan tentang perasaanku. Tapi rasanya aku benar-benar tidak punya empati pada hubungan dia dan Dinda. Karena detik tahu Dinda pergi, aku mau langsung confess.

Itu pasti kejam.

Entah kenapa, setelah kenal Gyan, sepertinya separuh dari diriku adalah penyesalan.

Begitu sampai di rumah, aku buru-buru ke kamar mandi untuk menyiram seluruh tubuh termasuk kepala dengan air hangat. Berharap, bisa sedikit menenangkan pikiranku yang kalut. Aku tidak tahu mana yang aku inginkan atau harapkan terjadi setelah ini. Apakah Dinda mau menerima Gyan kembali sehingga alasan ke Ibu lebih masuk akal? Atau justru Dinda tidak kembali lagi, jadi aku punya kesempatan bersama Gyan—itu pun kalau aku punya nyali.

Mungkin sekitar 30 menit, aku akhirnya selesai membersihkan diri, bergegas untuk berganti pakaian tidur, memakai skincare dan langsung ke atas kasur. Walaupun belum siap untuk tidur, setidaknya aku ingin duduk bersandar di atas kasurku, lebih nyaman untuk bermain hand—Dinda?

Aku melihat notifikasi pesan dari Dinda. Di WhatsApp.

Dinda

Hai, Dhar!

Gue cuma mau bilang, kenal sama lo tuh nyenengin bangeettt. Lo orang yang apa yaaa positive vibes kalau kata orang-orang hahaha. Dan itu beneran, lo cantik, ramah, welcome banget dan seru abis. Nggak heran deh lo jadi orang fav-nya Gyan lol. Lo juga jadi salah satu orang fav gue, cuma mungkin bakalan jadi kenangan fav sih. Gue nggak bisa nerapin konsep temenan sama mantan, atau mantan gebetan atau apa ... so gue harap lo paham maksud gue. Gue nggak bisa sama Gyan, Dhar, i'm sorry. Mungkin Gyan udah ngasih tau lo atau akan? Idk. tapi gue punya pengalaman nggak baik sama orang yang belum selesai sama masa lalunya, jadi gue nggak mau terulang, sembuhnya lama wkwkwk.

Dhar, gue nggak mau sok jadi orang bijak atau apa sih, tapi kayaknya kalian perlu coba dobrak gengsi atau ketakutan kalian. Cinta dan sayang lebih dari temen itu boleh, dan kalaupun nantinya nggak jadi selamanya, itu emang resiko yang harus diambil gasih? Setidaknya, kita nggak nyesel karena nggak coba.

Nama lo nggak pernah absen dari mulut Gyan, ke mana pun kita pergi tau hahaha. Gue bisa liat dia sayang sama lo udah gatau deh lebih dari temen atau apalagi.

Tapi itu cuma pendapat gue, sisanya terserah kalian.

Gue cuma berharap, pertemuan singkat kita ini semoga kasih kesan baik buat lo. Semoga gue sepositif elo di ingatan gue. I don't hate you atau Gyan, sama sekali enggak, semua orang berhak menjalani proses buat sembuh dan bahagia, kan? Cuma, mungkin harus cari yang sama-sama bisa nerima.

May your future be as bright as your smile!

Ya Tuhan, bukan cuma napasku yang terasa berat, tapi air mataku juga banjir. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan setelah membaca pesan panjangnya Dinda. Yang jelas, aku merasa bersalah untuknya. Tapi begitu mau meneleponnya langsung karena ingin mencoba menjelaskan, aku tidak bisa. Aku mencoba menjawab pesannya, tapi hanya centang satu. Foto profilnya pun menghilang.

Dia sudah memblokirku.

Yang paling menyedihkan adalah karena perpisahan ini bukan karena saling membenci. Dia baik dan menyenangkan, begitu pula dia menyebutku. 



---

note: khusus buat extra part nanti cuma bisa dibaca di KK yaaa, jadi di sini tetep sampe tamat kok, ada 40 bab. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top