[tiga dua] where's your love?

"Ni, Nini, sebentar, ini tolong kasih ke Abang. Orangnya ngapain sih di kamar mulu nggak keluar. Nggak takut lengket apa tuh kulit sama kasur."

Ibu mungkin marah-marah, tetapi aku justru senyum geli dan bahagia mendengarnya. Aku rindu sekali momen ini. Ibu marah ke Abang dan aku, artinya Ibu baik-baik saja, menganggap kami sungguh anaknya. Setelah drama Abang terjadi, Ibu bahkan seolah tidak menganggap ada Abang di rumah ini. Mau Abang makan di rumah, di luar, telat duduk di meja makan, Ibu akan tetap makan duluan atau mengajaknya. Tidak pernah komplain juga ketika Abang tidak keluar dari kamarnya sama sekali, atau hanya keluar saat butuh.

Tapi sore ini sepertinya berbeda.

Entah maksud Ibu apa kali ini dengan memberi Abang segelas di tengah kondisi marahnya, tetapi aku akan menganggap itu sebagai tanda kebaikan. Karena Ibu tidak mungkin, kan, tega meracuni Abang?

"Ini apa sih, Bu?"

"Kunyit asem, kesukaannya Abangmu itu, kamu kalau mau coba, ada di kulkas tadi."

"Hueeekkk," jawabku spontan yang tentu mendapat cibiran dari Ibu.

Aku buru-buru menaiki tangga dan berjalan cepat menuju kamar Abang. Dalam ketukan sekali, dia tidak bersuara, tapi aku mendengar suara dari dalam. Aku ketuk lagi, barulah dia mempersilakanku masuk. Ternyata Abang sedang menelepon seseorang, tapi entah kenapa terlihat sangat panik dan tidak tenang. Aku meletakkan gelas jamu itu di atas nakas samping kasur, lalu duduk di pinggir ranjang, memperhatikan Abang yang mondar-mandir.

"Demi Allah, Mel, aku juga sama pusingnya sama kamu. Aku udah bilang kita jangan bebanin salah satunya, kita hadepin bareng-bareng—Mel! Aku khawatir sama kamu!" Mendengar teriakan itu tubuhku berjengit, apa aku harus keluar dari kamar ini sekarang? Atau tetap di sini jaga-jaga sesuatu yang buruk terjadi pada Abang—pada mereka. "Aku nggak ngerti di kondisi kayak gini kamu masih bisa mikir aku cuma peduli sama bayi itu, padahal kamu jelas tahu siapa prioritasku. Aku mau kalian berdua, secara utuh dan sehat, aku akan usahain sebaik mungkin. Kalau kamu nekat, kamu nggak cuma bunuh bayi itu, tapi kamu juga bisa aja bunuh diri ka—Mel, ya Allah, jangan kayak gini."

Ya Tuhan ...

Apa yang mereka sedang diperdebatkan?

Apakah sama dengan yang ada di kepalaku saat ini?

Aku sama gelisahnya dengan Abang yang sekarang sudah duduk di pinggiran ranjang, di depanku. Kedua sikunya di atas paha, dia menundukkan kepala masih dengan handphone di tangan kanan. "I love you. Nggak ada yang bilang aku akan milih ibu daripada kamu atau kamu daripada Ibu." Ya Tuhan, Kak Mel ... perdebatan mereka sampai di level itu? "Kalian berdua sama-sama perempuan yang aku sayang dan aku mau ada di hidupku. Kamu jelas tau kalian punya peran masing-masing, dan nggak bisa pilih satu buat gantiin peran satunya. Ibu cuma perlu waktu, kita perlu waktu."

Aku mungkin sama kecewanya dengan Ibu pada Abang, tetapi kali ini, aku setuju dengan semua kalimat Abang untuk Kak Mel. Tidak seharusnya ada kondisi harus memilih antara orang tua atau pasangan. Semua sudah memiliki perannya masing-masing.

Kak Mel ... aku ikut sedih membayangkan posisinya dan mungkin dia kehilangan arah, tak bisa berpikir jernih saking penuhnya kepalanya. Hingga dia bisa berpikiran hal itu.

"...."

"Aku tetep mau kamu dan bayi kita, Ibu juga tetap akan mau cucunya. Kita cuma perlu waktu dikit lagi, sabar dikit lagi, Sayang. Kamu butuh temen, aku tahu, so please, kasih tau aku kamu di mana, aku temenin di sana."

"..."

"Nggak harus pulang sekarang, Mami dan Papimu ngggak marah, kamu nggak harus pulang sekarang, aku temenin di sana."

"..."

"I promise. I love you, aku tunggu location-nya ya, Sayang. See you." Aku mendengar napas lega Abang, kemudian dia mengurung wajahnya dengan kedua tangan beberapa detik, sebelum akhirnya menolehkan kepala untuk menatapku. "Gimana, Ni?"

Aku menunjuk gelas jamu. "Dari Ibu. Abang nggak salah waktu bilang ke Ka Mel tadi kalau kalian cuma perlu sabar dikit lagi." Aku melihat senyumannya keluar, lalu bergera maju untuk memeluknya. "Tadi Kak Mel, ya?"

Kepalanya mengangguk.

"Dia udah mau pulang?"

"Belum, kayaknya dia masih takut sama ortunya, sama Ibu, sama semua. Tapi nggak pa-pa, dia mau hubungi aku dan tadi janji bakalan share location."

"Alhamdulillah, progress, Bang. Pelan-pelan."

"Iya. Kamu gimana? Are you okay?"

Aku tertawa pelan, menganggukkan kepala.

Aku juga tidak tahu kalau mau menjawab tidak baik, bagian mana yang tidak baik. Apakah karena tidurku yang kurang karena sibuk memikirkan nasibku dan Gyan? Sibuk menyesal dan semenit kemudian tidak. Atau bagian bahwa aku harusnya senang seperti kata Emma kalau Gyan benar-benar sudah bisa move on dan memiliki kekasih baru—well, sepertinya belum sejauh itu.

"Gyan gimana?"

"Nanti mau makan gultik depan."

"Ketagihan, uh?"

Aku tergelak. "Bener."

"Atau cuma alesan aja bair ketemu terus kali."

"Ck!"

Gantian Abang yang tertawa. "Abang seneng kamu udah bisa move on dari Angkasa atau Refal Hady itu, dan Gyan jauh lebih baik dari mereka. Ibu juga suka dia, dan kamu harus bersyukur karena kalaupun mau nikah besok sama Gyan, kamu bisa karena Ibu nggak kasih syarat konyol."

Kami sama-sama tertawa. Bedanya, mungkin abang menertawakan kisahnya, aku pun sama, menertawakan kisahku sendiri. Apanya yang nikah besok, justru nanti malam, aku akan menemani orang yang sedang PDKT makan gultik. Bagian menariknya, orang itu adalah Gyan.

Gyan dan gebetan barunya.


***


"Gue Dinda."

"Dhara."

"Wah nama kita mirip-mirip, sama-sama awalan D." Dia tertawa, menoleh pada Gyan, yang laki-laki itu berikan padaku adalah ekspresi 'see? I told you'. Sekarang aku paham kenapa Gyan menyukai Dinda. She is beautiful and nice.

Nasib kami sepertinya memang baik, karena berhasil mendapatkan duduk untuk kami bertiga di tengah keramaian taman jajan ini. Aku juga tidak melihat Dinda kesulitan atau tak nyaman, jadi asumsiku dia terbiasa makan di tempat ramai. Itu poin penting karena suasa tidak akan awkward ke depannya. Sekarang, kami sedang menunggu pesanan datang sambil ngobrol santai.

"Tapi gue masih ngerasa aneh dan lucu tau, Dhar." Dinda tertawa, menggelengkan kepala sebelum menyedot minuman dari gelas. "Maksudnya, kisah kalian tuh kayak fiksi, harusnya kalian akan saling jatuh cinta, eventually. Tapi karena ini dunia nyata, jadi ya nggak seindah itu."

Bersamaan dengan kalimat Dinda, aku melirik dan laki-laki tertawa, terlihat menikmati mendengarkan cerita Dinda. Jadi aku merasa lega, kami akan menganggap perasaan Gyan untukku seolah tak pernah ada—lega kah aku? "Jatuh cinta, kan, nggak gampang, Din," jawabku sambil tertawa juga.

"Agreeeed!" serunya. "Nggak peduli ya tuh orang mau ganteng atau cantik kayak apa pun, kadang ya klik atau cinta nggak dateng segampang itu." Aku menyetujui kalimatnya. "Gue lega aja sih, Dhar, bisa temenan sama lo gini dan nggak ada drama."

"Of course!" Aku tersenyum lebar, lalu menatap Gyan. "Gue bahkan sama Gyan dari awal udah clear kok karena menghindari drama juga. Tapi mungkin nanti lo akan terlibat sedikit sih ke drama gue dan Gyan." Aku meringis. "Misalnya, waktu nanti kalian udah fix, terus gue bilang ke nyokap, mungkin dia akan butuh statement langsung dari Gyan. Sori kalau nanti misal lo terlibat."

"Santaiiii." Dinda mengibaskan tangannya. "Gue pasti bantuin nanti."

"Thanks, Din."

"Waaah makanan kita dateeeng!" Gyan akhirnya bersuara, menyambut bapak-bapak penjual yang mengantarkan pesanan kami bergantian. "Makasih, ya, Pak. Ini tadi belum dikasih sambel, kan?"

"Belum, Mas. Sambelnya dikasih masing-masing, sebentar, ya."

"Iya nggak pa-pa, Pak. Soalnya dia nggak terlalu suka pedes." Tak lama, Gyan menerima mangkuk sambal dari Bapak penjual dan kembali mengucapkan terima kasih. Kalimatnya tadi membuatku tersenyum karena Gyan masih ingat—dia menyodorkan mangkuk sambel untukku. "Oh astaga, lupa! Lo juga nggak terlalu suka pedes."

Aku tertawa. Dalam hati menertawakan diriku sendiri.

Jadi, 'dia' yang dia maksud tadi adalah Dinda yang tidak terlalu suka pedas? Wah, Dinda benar, dan bukan hanya kita memiliki awalan huruf yang sama untuk nama, tetapi kita juga memiliki kemiripan lain soal selera makan.

"Makan pedes emang nggak baik kalau berlebihan, Dhar." Dinda tertawa. "Kita satu tim."

"Setuju." Aku tertawa. "Gyan," panggilku pelan sambil melirik Gyan dengan songong. "I'm sorry, tapi lo harus tau kan ada istilah 'women support women' di sini?"

Gyan tergelak, dia mengangkat kedua tangannya. "I know, girls! Janji nggak akan neko-neko. Jangan bikin seolah-olah ini perdebatan dua istri gitu dong, Ni."

Aku melotot, dia makin tergelak.

Jadi, sekarang benar-benar ada detail-detail lain yang harus lo ingat selain tentang gue ya, Gy? Atau mungkin, detail tentang gue beneran udah lo hapus dari list?



---

note: khusus buat extra part nanti cuma bisa dibaca di KK yaaa, jadi di sini tetep sampe tamat kok, ada 40 bab. 



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top