Siap-siap menuju bom fakta
hi! it's me hehehehehe.
komen sejuta besok update
-------------
Sesungguhnya aku tidak begitu yakin hal ini perlu kami lakukan atau lupakan.
Kami yang kusebut di sini tentu aku dan Gyan.
Ini menarik tapi tidak semestinya.
Okay, mudahnya, let me explain what we're doing right now.
Setelah kehadiran ibu tiri Gyan yang super muda bersama anaknya—kamu paham, kan, itu artinya yang kumaksud si anak itu adalah adik Gyan—ke kafe tadi, Tante Anita sempat mengenalkan aku dengan semua harapan yang terucap dan nampak dari wajahnya.
Aku sudah tahu, nama mama tiri Gyan adalah Mega.
Aku juga tahu, nama adiknya Gyan adalah Orion.
Tak lama, aku bersyukur karena Tante Anita paham betul aku harus segera pindah dari tempat itu. Karena aku tak terlalu memahami suasana.
Namun, hal yang terjadi di luar dugaanku adalah ... ketika Tante Anita memintaku makan malam berdua sebelum pulang ke rumah masing-masing. Aku sudah berusaha bilang kalau aku bisa makan di rumah, tetapi ... oh Tuhan, entah kenapa menolak perempuan paruh baya itu sulit sekali—aku tidak bermaksud mendiskreditkan atau apa pun.
Alasan berikutnya yang kuberikan adalah karena aku membawa kendaraan sendiri, begitu pun Gyan.
Jawabannya di luar kemampuan bernegosiasi: "Nggak usah mikirin mobil Mas Gyan, nanti ada kekuatan magic tuh mobil udah ada di garasi rumah."
Itu artinya, kumpulan kata penyangkalan di kepala musnah serentak a.k.a aku hanya bisa mengangguk bodoh, of course sembari meringis.
Haduh, kacau!
Mungkin kamu bertanya-tanya, gimana dong reaksinya Gyan? Dia enggak mungkin diam tanpa usaha untuk mengambil keputusan terbaik yang paling adil, bukaaan?
Ya, dia memang tidak melakukan apa-apa selain senyum pasrah menatapku, mengangkat kedua tangannya.
Dia menyerah.
Jadi, kalau sekarang kamu bisa mendengarkan bagian lirik 'What's left of the dance. The sun on my hands. The rock in my throat, a hair on my coat. The stranger at home, my darling.'
Lalu dilanjut 'Now I'm vulnerable, so sad and alone. But don't cry for me 'cause everyone knows. You reap what you sow, my darling. Yeah, yeah, yeah.'
Sekarang, aku ikut bersenandung, "I can't even look at you. Would you look at the space just next to your feet?"— "Nowaaaay!!!!" seruku heboh, meliriknya karena tak menyangka dia juga tahu lagu ini.
Kami bahkan melanjutkan liriknya lagi.
"Elo ... tau lagu Troye Sivan?!" tanyaku terheran-heran.
Dengan senyuman lebar dan bangga, kepalanya mengangguk-angguk. Badannya juga tak berhenti bergoyang sambil mulutnya bersenandung pelan.
Easy adalah salah satu lagu terbaik yang pernah kudengar.
Siapa yang tidak setuju, ayo kita tinju!
"This house is on fire, WOO!" teriak kami kencang, bersamaan.
"Jawab pertanyaan gue cepaaaaat!" Aku bahkan sampai tak sadar telah memukul pelan lengannya. Dia sedang menyetir, tetapi aku tidak seolah mengabaikan keselamatan kami demi kepuasan dari rasa penasaranku. "Gyaaaan!"
Dia terbahak-bahak. "Kenapa? Lo amazed banget ya? Jangan bilang langsung jatuh cinta karena gue tahu Troye Sivan?"
Giliranku yang tertawa kencang. "Well, emang ada sebuah teori yang bilang kalau selera musik yang sama bikin orang tertarik dan lama-lama jatuh cinta. Buat gue itu absur sih, musik beda juga seru kok."
"Tapi selera musik lo sama your fav person itu sama atau beda?"
"Totally different. Zaman dulu, ya, dia lokal abis! Kalau dia denger gue nyanyi atau muter band-band luar fav gue, dia bakalan ngeluarin tuh kata-kata nasionalis ew dan kami akan debat."
Tubuh Gyan bergetar karena tertawa, kepalanya menggeleng-gelengkan kepala.
"Gyan ... c'mon! Gue nggak bisa lo selimurin ke sana-sini terus lo berharap gue lupa sama concern gue di awal."
Sebelah tangannya diangkat ke udara, ia masih dengan tawanya. "Iya ampun ampun, Adek Dhara ..." godanya, lalu ia makin tertawa saat aku memberinya ekspresi tak terima dengan panggilan menggelikan itu.
"Don't you dare to call me 'Adek'! Abang sama Ibu gue aja nggak panggil begitu. Lagian, kita juga seum—"
"Sebelum lo salahnya banyak, gue bantu cegah. I'm almost 30 lho."
Aku mengangkat kedua tangan, menyerah.
"Sebenernya dulu emang nggak kenal sama Troye sih, bukan selera musik gue. TAPI!" serunya kencang, menolehkan kepala singkat untuk memberiku senyuman lebar. "Lo bener, selera musik yang beda juga bisa bikin jatuh cinta."
Mataku sudah berbinar-binar, kami akan membahas kisah percintaannya.
Aku tidak tahu apakah ini hal aneh atau biasa saja, tetapi aku sangat senang mendengar cerita. Baik tentang kehidupan, apalagi percintaan. Energi orang jatuh cinta itu kuat banget, dan aku senang tertular.
Jadi, sekarang aku duduk gelisah, tidak sabar mendengar kalimat selanjutnya.
"Nungguin, ya?"
Kalimat itu malah keluar dari mulutnya lengkap dengan ekspresi menyebalkan. Aaaakkk, lelaki ini ternyata memiliki tingkat keisengan di atas rata-rata, dan kesabaranku sepertinya tidak bisa mengimbanginya.
Aku harus latihan menahan sabar.
Kalau punya hati yang imut a.k.a sensitif a.k.a baperan, artinya aku harus memperluas sabar.
Sabar ....
Sabar ....
Sabar.
Katanya, harus diucapkan tiga kali untuk mendapatkan potensi terkabul yang tinggi.
"Lagu-lagunya dia, gue inget banget judulnya 'Youth' di ulang-ulang di mobil tiap jalan. Lama-lama gue cari tau judul lain, gue dengerin. Jadi, biar kalau jalan sama dia, gue nggak buta-buta aman. Eh ternyata enak juga."
"Tapi, kan, lagu ini termasuk baru?"
Kepalanya mengangguk. "Orangnya nggak ada, tapi kebiasaan yang dia tinggalin bisa aja bertahan selamanya, kan? Salah satunya nih penyanyi."
Entah kenapa, seketika aku kok merasa sedih dan ... kasihan.
Gyan malah tertawa, "Duh ngeri nih gue."
"Kenapa?" Aku mulai panik.
"Lo tau, alasan jatuh cinta itu unik-unik karena manusia susah bedain perasaan yang ada sejuta lebih jenisnya kali. Termasuk salah satunya rasa kasihan."
"Hah?"
"Sekarang lo kasihan sama gue nih kayaknya, awas nanti jatuh cinta."
Aku mengepalkan tangan dan kali ini beneran melayangkan ke lengan kirinya. Melihat dia yang tertawa kencang, aku tahu laki-laki ini super ramah dan baik. Jadi, apa pun alasan kisah percintaannya kandas, aku berdoa dia bisa menemukan kehidupan bahagia.
"Lo mau makan apa nih jadinya?"
"Huft!" Aku bersedekap, menatap jalanan malam di depan, lebih tepatnya mobil dan motor di depan mata kami, sih. Apalagi? "Gue boleh ngomong jujur nggak?"
"Enggak."
"Gyan, astagfirullah, lo bener-bener ya!"
Dia tertawa.
Aku tidak tahu kenapa 90% isi hidupnya adalah tawa. Apa dia mau kubagi rasa sedihku 10% aja? Atau rasa kantukku yang kadang muncul tidak tahu tempat.
"Lagian ngomong ya ngomong aja lah, Ra. Kenapa pakai izin segala."
"Itu bukan iziiiin! Itu kayak ... frasa klasik dan basi memang tapi sulit dihindari. Udahalah, astaga, darah tinggi gue." Aku juga jadi ikutan tertawa.
"Tensi berapa terakhir ngukur?"
Aku meliriknya tajam, dia terlihat pura-pura tidak melihatku. Aku mengembuskan napas sekali lagi. "Sebenernya gue nggak laper, sama sekali. Soriii," lirihku, meringis. Semoga dia tidak tersinggung. "Ini bukan soal gue menghindar atau nggak sopan atau apa, ya, tapi gue beneran—lo laper banget?"
"Honestly, sebelum ke kafe tadi gue udah makan. Gue lumayan picky soal makanan, jadi kalau lo emang nggak mau makan, amaaan. Nggak usah ngerasa bersalah." Kali ini, bukan tawa renyah atau senyum jail, tetapi ia tersenyum tipis dan ... sebenarnya dia punya senyuman manis, kok. "Okay, sebagai cowok yang kece, gue tawarin buat—"
"Drive thru es krim, please?" Aku menyerongkan tubuh, menghadapnya, dan mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Abis itu kita jalan-jalan ngasal, biar kalau lo ditanya Nyokap, ada bahan."
Ia memandangku seolah ada kalimat aneh yang keluar dari mulutku.
Aku meminta penjelasan lewat ekspresi dan gestur, tetapi dia tersenyum lebar dan mengangguk.
"Let's get some ice cream!" serunya, terdengar bahagia.
Mobil kami mengantri, sekitar dua mobil di depan, akhirnya giliran kami yang pesan! Gyan menyapa Mas kasir (aku lupa sebutan profesi kalau membantu pesanan drive thru kita), lalu memintanya menunggu sebentar, dan dia bertanya apa pesananku.
Aku menyebutkan es krim cone rasa Stroberi, of course!!!! Favoritku dalam dunia es krim seduniaaaaa! Gyan memesan miliknya, rasa Vanilla. Ia menawariku lagi untuk lainnya, aku meminta air mineral. Sisanya ... tidak ada lagi.
Sementara dia ... kudengar memesan nugget berisi 9. Ia pesan dua? Aku enggak, tapi sudah terlanjur. Okay!
Kami maju lagi, mendengar pesanan ulang, dan begitu aku menyodorkan kartu debit, dia tersenyum sambil menggelengkan kepala dan mendorong tanganku. "Bill on me, please?" katanya, kemudian menyerahkan debitnya pada petugas.
Setelah beres, mobil keluar area McDonald's, kembali tempur di jalanan malam sekitaran BSD (Bumi Serpong Damai, salah satu wilayah di Tangerang Selatan). Aku sedang menikmati es krimku, dan sadar kalau Gyan juga memesan cone dan posisinya dia menyetir.
Belum sempat aku ngomong, dia sudah lebih, "Gue bisa, jangan khawatir," katanya sambil tertawa pelan. Gerak-gerikku sangat terbaca ternyata. "Urusan nyetir, gue jangan diraguin deh. Sambil kayang juga bisa."
Aku tertawa geli. "Atur aja, ya, Yan. SSL."
"Apa tuh?"
"Suka-suka lo!" ucapku sewot, membuatnya malah makin bahagia. "By the way, lo suka storiberi nggak?"
"Suka aja. Kenapa?"
"Terus kenapa tadi nggak pesen yang stroberi?"
"Karena lebih suka vanilla?"
"Iya, sih." Aku mengangguk-angguk. Rasa-rasanya, aku tadi iseng tetapi cuma mau make sure satu—
"Lagian kalau buat makanan atau minuman kurang suka aja, sih. Warnanya pink, kayak cewek banget."
"Lho, kenapa? Emang warna punya jenis kelamin?"
Ia tak tersinggung, malah tertawa lagi. "Coba lo bayangin, pernah nggak liat anak cowok dari zaman kecil dikasih pink?"
"Nah itu!" jawabku menggebu-gebu. Setelah menjilat es krim dengan nikmatnya, aku kembali melanjutkan, "It's 2022! Udah saatnya nggak sih, kita berhenti kelompokin warna buat cewek atau cowok. Pake aja warna apa pun yang dimau."
"That's the point! Menurut gue pink bukan warna gue."
"Dan, menurut lo, nyetir juga nggak boleh buat cewek?" tanyaku dengan sangat enteng. Kenapa aku tidak pernah bisa menjaga kesabaranku stabil, tidak tersulut emosi.
Cuma, maksudku, aaakkk!
Sedikit fakta sebelum kami akhirnya ada di dalam mobil yang sama. Karena kami menggunakan mobilku, kupikir sudah seharusnya aku yang menyetir dan aku tidak pernah ada masalah dengan itu.
Gyan, entah dengan jiwa apa yang melekat di badannya, bilang kalau dia mana mungkin mengizinkan perempuan nyetir semenytara dia enak-enakan duduk di samping. Aku sempat melongo sesaat, sebelum akhirnya mengiyakan.
Sekarang ... warna pink?
Tidakkah dia terdengar seperti ... seorang yang toxic masculinity?
Dia baik, seru, dan ya aku tidak ada masalah sampai dengan hal ini tadi.
Aku tidak tahu harus bereaksi apa.
Is it a red flag?
"By the way, Ra," katanya, menghancurkan diskusi di kepalaku. "Mau kenalan nggak sama cewek yang suka Troye Sivan tadi?"
Aku refleks tertawa. "Ngapain?"
"You might be shocked."
"Masa? Seseorang yang dateng di hidup lo bertahun-tahun la—"
"She is Mega. Perempuan yang lo temui di kafe tadi."
—lu.
Baru kali pertama dalam hidup, aku merasa es krim adalah benda tajam menyakitkan yang melewati tenggorokanku.
Telingaku salah mendengar, kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top