Kejutan awal yang lumayan

"Ini bekel makan siangnya. Ibu masakin favorit kamu yang kalau makan ini bisa nambah berkali-kali."

"Udang mentega," lirihku dengan senyuman bangga.

Ibu mengangguk dengan begitu gembira.

Sudah tahu dong apa penyebabnya?

You're right, sejak semalam aku sampai rumah, Ibu menginterogasi bagaimana pertemuan pertamaku dengan Gyan. setelah mendengar jawabanku yang merangkumnya dengan satu inti sari: kita sefrekuensi. Tentu aja jawaban itu adalah suntikan vitamin bahagia untuk Ibu.

Aku yakin, harapannya pasti sudah melaju ke depan.

Padahal, seharusnya dia bisa berpikir dari sisi lain, bahwa satu frekuensi itu banyak macamnya. Sebagai siapa dulu? Teman? Partner kerja? Hanya pacar? Atau untuk pasangan masa depan.

Anyway, kurasa itu sudah cukup untuk saat ini.

Selebihnya, kita pasrahkan pada Tuhan Yang Maha Esa, seperti apa kata Gyan.

Bismillah.

Saat aku sedang mengunyah sarapanku dengan tenang, Ibu kembali duduk di depanku sambil menyodorkan kunci ... mobil. Seketia aku mengangkat dagu dan menatapnya bingung. "Lho, Abang naik apa?"

"Kereta."

"What? Seorang Abang? Naik kereta? Ke Jakarta? Dan nanti bayangin tuh arah pulang ke Serpong penuhnya kayak apa. Dia kan manusia paling sok rajin yang nggak mau nyium bau keringat orang lain seolah dia yang paling—"

"Kok panjang?" Ibu terkikik. "Kalau udah siap nikah, harus siap ngelawan sesuatu yang dia nggak suka, dong?" Teori dari mana lagi itu?

Aku mengibaskan tangan. "Bener, lupain Abang. Ibu yang suruh?" Melihat Ibu mengangguk tanpa beban, bahuku refleks merosot. "Tapi, Bu .... Abang yang lebih butuh mobilnya. Aku bisa naik transportasi online, tempat kerjaku deket banget."

"Lama kalau kayak gitu, kamu pesen pas macet, nanti kamu nunggu lama dan malah capek. Udah nggak pa-pa, Ni ..."

"Ibu ... aku kerja di kafe, masa bawa mobil sendiri, nanti aneh. Well, mungkin nggak aneh tapi ..." Aku kehabisan kata-kata. Intinya, aku tidak terlalu membutuhkannya.

"Lho, kenapa?" Ekspresi Ibu terlihat benar-benar bingung. "Kamu kerja itu kan buat diri kamu sendiri. Kendaraan sama makanan dari rumah itu bekel dari Ibu. Apa yang salah dari itu?"

"Nggak ada," jawabku pasrah dengan senyuman paksa.

"Lagian Abang naik kereta juga nggak akan lama kok, Ni." Mendengar itu, aku jadi penasaran kelanjutannya. "Dulu, waktu papamu udah mulai ngerasa badannya nggak fit, kami udah siapin dana buat transportasi Abang. Cuma, Abang selama ini ngerasa belum butuh. Sekarang, kamu kan udah besar banget nih, jadi nanti Abang bakalan urus punya dia sendiri. Jangan takut gitu, okay?"

Pantes, Abang tanya-tanya soal kenyamanan mobil yang sekarang kami pakai. Ternyata dia mau membeli untuk dirinya sendiri. Ya kenapa enggak bilang dengan jelas gitu, lho. Kalimatnya malah ke mana-mana dan bikin bingung.

Setelah obrolan panjang tentang kendaraan pribadi, akhirnya sekarang aku sudah di perjalanan ke kafe Maladewa. Hari pertama harus berjalan dengan baik. Jangan sampai telat. Bekerja di tempat seperti ini artinya aku harus mempersiapkan kafe itu buka hingga tutup.

Tidak ada OB atau siapa pun yang bisa dimintain tolong. Aku harus memanfaatkan kekuatan fisikku yang ... sepertinya aku harus melatihnya dengan olahraga kalau tidak mau makin jompo.

Handphone-ku berdering.

Kulirik, Kak Mel muncul di layar sebagai penelepon.

Aku menjawabnya setelah mengaktifan earphone. "Halo, Kak."

"Deeeeek, astaga, jawab jujur, Abang naik kereta?"

Ladies and Gentlemen ... belum kenalan secara resmi dengan calon kakar iparku, kan? Meet her, Melati Jessica, yang seumur hidupnya belum pernah naik transporasi umum selain ... taksi. Okay, berarti pernah.

Dengan catatan, kepepet.

Satu kelebihannya yang membuat semua menjadi masuk akal adalah dia bisa menyetir mobil sendiri.

"Wah iya, Kak. Seru katanya naik kereta."

"Seru gimanaaa?!" Aku meringis. "Ih kasian lho, kata temen aku kereta suka penuh di jam-jam berangkat sama pulang kerja, desek-desekan, nanti dia gimana duduknya? Nanti kalau—"

"Abang bilang apa sama Kakak?"

Ia mengembuskan napas kasar, kemudian menjawab lirih—"Dia baik-baik aja dan udah sampe kantor."—dan terdengar tidak yakin. "Tapi, kan ... mobilnya kamu pake, kah?"

"Ide Ibu ini .... Aku juga nggak tahu. Makanya tumben banget berangkat jauh lebih pagi. Sori ...."

"No, no. Aku nggak nyalahin kamu sama Ibu, maksudku ... kasian Abang. It's okay, biar nanti pulangnya aku jemput aja."

"Kakak nggak kerja?"

"Kerja."

"Terus?"

"Ya pulang kerja."

"Kantor Kakak, kan, di sini. Taman Tekno." Salah satu daerah perkantoran di BSD. "Pulang kerja sore, terus ke Jakarta gitu?"

"Ya nggak pa-pa, kan?"

"Mending tunggu di rumah, atau kalau mau makan malem di luar, Kakak tunggu di stasiun sini aja. Bayangin, Kakak akan punya suami yang bisa survive dari hal-hal yang dia nggak suka. Berarti, dia akan terbiasa siap sama hal-hal yang terjadi nggak sesuai harapan. Ya, kan?"

"Ah kamu ...." Rengekannya membuatku tertawa geli. "Yaudah, deh. Sori, yaaa, ganggu kamu. Tadi aku panik banget waktu liat foto yang dia kirim. Kamu hari pertama kerja, ya, Dek? Selamat, yaaaa. Dan semangaaaaat! Semoga bos sekaligus pacar." Ia terkikik.

"Aamin nggak yaaa...."

"Aamin, dong!"

"Pasrah aja deh aku."

Kami tertawa sebelum akhirnya mengakhiri sambungan telepon.

Oh tidaaaak!

Aku kebablasan dan bagian paling menyebalkan dari jalanan super besar adalah putar-baliknya yang jauh. Okay, tarik napas dalam .... Hembuskan! Ini hari pertama, mood-ku harus terjaga dengan baik.

At least, sampai jam kerja berakhir dong ya!


***


Perkenalan singkat kami selesai.

Amanda, teman kerjaku hari ini—perempuannya hanya ada dua, tiga sisanya adalah laki-laki—selain Malik, membawaku ke ruang staff untuk meletakkan beberapa barang milikku.

"Kita biasanya makan gantian gitu, Kak, suka ngasal waktunya. Siapa yang laper aja." Ia nyengir. "Kalau Kakak keberatan, nanti obrolin aja, ya. Jangan sungkan, beda orang beda cara kerja."

"Okay, siap. Thank you!"

"Kita kenalan sama beberapa menu dan alat di kitchen, yuk! Biar Malik yang handle orderan."

"Eatery di sini makanan ... uhm, berat gitu?"

"Oh bukan, Kak. Masih cemilan-cemilan ringan, sih. Kayak french fries, dimsum, sosis bakar, gitu-gitu." Ia tersenyum sangat ramah. Sepertinya sangat mudah menyukainya. "Oh satu lagi! Sama singkong goreng karamel."

Aku mengangguk-angguk paham. Dari semuanya, seperti favoritku adalah dimsum, tetapi aku sangat penasaran dengan singkong karamelnya, hmmm ....

"Kata Mas Gyan sih mau bikin semacam rice box gitu, cuma masih maju-mundur, belum siap banget. Padahal, Ibu Anita udah dukung banget dan research resep terus praktek-praktek gitu. Kita suka dikasih icip, dan enak banget."

"Tante—ng, maksudku Ibu Anita suka ke sini?"

"Kadang."

Aku mengikuti ke mana pun langkah Amanda dalam memperkenalkanku dengan isi dari kafe ini. Sepertinya aku bisa mudah mengerjakan bagian camilannya. Yang terlihat sangat challengin adalah meracik minuman.

Bagiku, minuman itu sangat personal, dan membutuhkan feeling, hahaha.

Anyway, seperti kalimatnya Amanda: "Semua butuh waktu, waktu akan kasih pengalaman dan nanti akan terbiasa. Jangan takut salah dan tanya ya, Kak. We're like a family here."

Ah, dia manis sekali, kan?

Tapi, katanya, kalimat itu kalau dalam dunia pekerjaan adalah hal buruk. Untuk bekerja lebih keras dan lelah.

Baiklah, aku akan mencoba dengan kemampuan terbaikku untuk menjalani hari ini.

Rasanya ... sama sekali tidak semudah yang dibayangkan. Saat biasanya kamu memerlukan konesntrasi berpikir dan menjaga kantuk, sekarang ditambah harus tegak fisiknya. Menurutku, ini double lelahnya.

Bedanya, entah kenapa, rasanya lebih happy?

Melihat Amanda, melihat Malik, dan tadi beberapa orang datang bergantian memesan minuman dan makanan.

Kafe ini tidak seramai coffee shop di tempat biasa aku nongkrong, tetapi pendatangnya selalu ada. Gantian, satu pergi, satu-dua lainnya datang.

Sampai akhirnya, jam kerjaku berakhir dan rasanya nano-nano sekali bisa mengerjakan hari pertama aktivitas baruku ini. Aku patutu bangga dengan diriku sendiri. Sangat-sangat keren.

Saat aku sudah pamit dengan teman-teman yang lain, rencanaku akan langsung pulang ke rumah dan merebahkan diri. Ternyata, aku dihadang oleh ibu-ibu cantik yang memperkenalkan dirinya sebagai Tante Anita.

Yep, aku tidak mengenali karena aku hanya melihat dari foto profil di WhatsApp yang tidak sejelas itu wajahnya. Dia jauh lebih cantik dari yang kubayangkan. Sekilas mirip Desi Ratnasari. Entah atau hanya karena gaya berpakaian dan hijabnya yang mirip.

So, lupakan bayangan tentang dinginnya kamar dan empuknya kasurku, karena sekarang aku malah kembali duduk di salah satu meja sudut kafe, dengan hidangan minuman. Persis seperti pengunjung lain.

"Gimana hari pertama, Sayang?"

Aku tersenyum kikuk . "Uhm ... lumayan challenging buat aku, Tante, karena baru. Tapi sejauh ini berjalan baik. Temen-temen juga kooperatif dan baik semua. Semoga bisa terus baik ke depannya."

Senyum ramah itu sama sekali tidak pudar dari wajahnya.

Benar-benar lovely.

"Nggak pa-pa, masih adaptasi. Jangan malu-malu buat bilang apa yang dibutuhin atau ngeganjel gitu, ya?"

Aku mengangguk dengan senyuman yang sama ramahnya. Menurutku.

"Dikerjain sampe batas mampu. Kalau nanti udah nikah dan ngerasa nggak sanggup, ya nggak pa-pa di rumah aja." Tante Anita tertawa kecil, lalu seketika memukul pelan mulutnya sendiri. "Di rumah tuh nggak aja kok, ya. Capek juga."

Aku hanya bisa ikut tertawa pelan.

"Tante happy banget kamu di sini." Tanganya mengelus tanganku yang berada di atas meja. "Nggak nyangka, dulu waktu mamamu bilang punya anak kedua cewek, yang dikasih liat foto bayi, eh ternyata udah sebesar dan secantik ini."

"Tante sama Ibu temen apa dulu?"

"Temen kerja. Dulu tuh kita ketemu waktu masih awal-awal kerja setelah lulus kuliah, masih obsesi sama banyak hal. Pekerjaan pertama yang awet banget sampe nikah dan punya anak. Pas Abangmu umur berapa, ya, ibumu resign. Udah deh, lama-kama kita lost contact. Eh ketemu lagi udah punya kamu, masih bayi. Eh ngilang lagi, terakhir ketemu ya sekarang. Jodoh emang nggak ke mana, ya."

Ya, mungkin, Tante.

Tapi, bisa aja sih ke mana-mana kalau dilempar, karena kitanya yang enggak mau, misalkan.

Percakapan kami tentang masa lalunya bersama Ibu terhenti karena kedatangan seseorang. Ralat, dua orang, tetapi mereka turun dari mobil yang berbeda. Yang satu, aku tahu dia Gyan. Satunya, perempuan, turun dari kursi belakang.

Kulihat mereka sempat berbincang sebentar, sebelum keduanya berjalan ke meja kami.

"Assalamualaikum!" Gyan menyapa ibunya, bersalaman. Kemudian, menoleh ke arahku masih dengan senyuman di wajah. "Hei, gimana hari pertama?" Ia menarik kursi, dan duduk begitu saja.

"Okay-okay aja." Aku tertawa pelan. "Agak perlu usaha dikit, tapi masih bisa kok."

"Capek pasti, ya." Dia tertawa.

Aku malah lebih penasaran dengan perempuan yang sekarang menyapaku dan Tante Anita, kemudian duduk bersama kami. Dia tidak mengenalkan diri sebagai siapa pun.

"Mau jemput Alex, Ga?"

Ga?

"Iya, Mbak." Mbak? "Bisanya, kan, jemput dulu baru ke sini, tapi tadi Mama bilang masih di jalan. Jadi, aku tunggu sini sekalian, kata Mama sekalian dianter ke sini aja."

"Nginep berapa hari di rumah Omanya si Alex?"

"Dua hari. Ini tetep diajak ke sini, nih. Tadi telepon Gyan dulu, biar nggak zonk. Alex suka bete kalau pulang ke rumah tapi nggak ketemu sama Gyan. Diungkit terus nanti."

"Nginep di rumah dong kalau gitu."

"Iya nanti kapan-kapan."

Aku masih ingin mendengar lebih banyak obrolan mereka karena membingungkan sekaligus sedikit menarik, tetapi ternyata hal itu tidak dianggap baik ole Gyan. Karena sekarang, dia memiringkan kepalanya dan mengajakku berbicara.

Kalimatnya dimulai dengan, "Tadi kamu icip makanan dan minumannya nggak?" Kamu? Seketika aku mengerjap saat dia paham keterkejutanku dan ia mengedipkan mata sambil melirik Tante Anita.

I see.

"Gu—aku icip dimsumnya. Enak!" Kuberi ia dua jempol.

"Es kopi susu pisang juga?"

Dahiku mengernyit.

"Eh serius belum coba? Asli, lo—" Dia tertawa sambil membasahi bibir bawahnya. "Kamu ketinggalan dunia kalau sampe belum cobain menu itu. Salah satu best seller di sini."

"Oya? Kayaknya Amanda kelupaan bagian itu."

"Lupain Amanda, biar Mas Gyan yang bikini khusus buat Dhara."

Entah ini normal atau tidak.

Aku seketika merasa geli dan mual dengan gaya percakapan kami. Kenapa tiba-tiba gulanya ditambah banyak sekali dan aku sama sekali tidak siap dengan keunyuan ini. Sepertinya, ini bukan style kami berdua dalam berbincang sejak di pertemuan pertama.

Oh tapi, ya, aku paham harus begini, setelah melirik Tante Anita yang memperhatikan kami dengan senyuman ceria. Sementara perempuan di sebelahku ... ekspresinya sulit dibaca. Yang pasti, dia tidak mungkin berpikir aneh-aneh mengingat dia terliha seperti kerabat Tante Anita, sehingga menjadi kerabat Gyan juga, betul?

"Aduh, makasih banget!" seruku sambil menangkupkan kedua tangan. "Tapi serius, aku cuma sanggup minum satu gelas kopi sehari. Nanti nggak bisa tidur."

"Serius? Sengaruh itu?" Gyan menatapku tidak percaya.

Aku mengangguk.

Lalu, obrolan kopi susu pisang teralihkan saat saat aku melihat ada kehadiran orang tambahan. Ibu-ibu bersama anak kecil yang mungkin ... sebagai Alex yang tadi mereka bicarakan.

Semuanya nampak langsung akrab, apalagi anak lelaki itu dengan Gyan. Aku bingung melihatnya, seperti adik-kakak tetapi terlalu jauh bedanya. Lebih pantas seperti anak-bapak.

Bagian mengejutkan adalah saat handphone-ku berdenting dan pengirimnya Tante Anita.

Perempuan ini namanya Mega. Istri papanya Gyan

dan itu anak dia sama papanya Gyan. Alex, adik Gyan☺️

Tubuhku kaku sesaat, kemudian aku melirik orang-orang di sekitarku ini dan berusaha memahami keadaan.

Istri papanya Gyan? Mamanya Gyan dong? Semuda itu? Terus Tante Anita?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top