[enambelas] pilah-pilih peran
Dalam keadaan sehancur ini pun, aku masih mensyukuri satu hal
Yaitu waktu yang Ibu pakai untuk mengurung diri hanya satu hari.
Hari ini, pagi-pagi aku sudah melihat Ibu sibuk di dapur dengan masakannya. Tapi aku tak membayangkan hal ini sebelumnya, tak mengira waktu yang Ibu butuhkan untuk sendiri di dalam kamar hanya 'sebentar'. Jadi, sekarang aku bingung harus bagaimana. Apakah harus menyapanya dan seolah tak ada yang terjadi. Mengganggu Ibu masak, tertawa bareng Ibu sebelum akhirnya saling ejek dengan Abang di meja makan. Aku mungkin bisa melakukan itu dalam peran, tetapi apakah Ibu siap? Apakah itu yang Ibu inginkan? Bahwa kami bisa aja pura-pura? Atau gimana? Aku harus gimana?
Pada akhirnya, terlalu fokus dengan isi kepalaku sendiri, sekarang Ibu sudah menemukan kehadiranku. Kami saling tatap sesaat, sebelum akhirnya dia kembali fokus pada sesuatu di atas kompor itu. "Sarapan sop iga nggak pa-pa, Ni?"
"Nggak pa-pa, Bu," jawabku secepat mungkin. Makanan itu mungkin terlalu berat untuk kami biasanya, apalagi dimakan sebagai sarapan. Tapi aku benar-benar nggak tahu apa yang sedang Ibu mau atau lakukan. Bisa jadi ... dia butuh banyak waktu untuk mendistraksi pikirannya dengan memasak, kan? "Ibu bangun jam berapa?"
"Kayak biasa, jam lima."
Aku tidak buta dan bodoh, aku tahu sesuatu yang besar telah berubah. Kebahagiaan Ibu hilang. Bawelnya Ibu tak ada lagi. Rasa antusiasnya setiap memintaku mengicipi masakannya sudah tidak ada. Ibu menyiapkannya di mangkuk dan meletakkannya di atas meja. Tetap diam saat aku izin membantunya. Tak mengiyakan atau pun menolakku. Rasanya ikut sakit, mencoba menerka apa yang sedang dia pikirkan sekarang.
Saat aku melihatnya sudah duduk di kursinya, aku menatap punggungnya dan kepala bagian belakang. Lalu aku mendekat untuk memeluknya. Mengecup pundak Ibu berkali-kali. Semoga Ibu paham, aku sangat menyayanginya. Begitu pun Abang, aku tahu Abang melakukan kesalahan. Tetapi aku tahu Abang menyayangi Ibu begitu besar. "Ibu adalah Ibu yang hebat." AKu melepas pelukan dan berjalan mengitarinya untuk duduk di kursi kosong lain. Tapi langkahku terhenti, saat aku mendengar jawaban Ibu.
"Ibu yang hebat nggak mungkin sampe Abang hamilin pacarnya."
Ya Tuhan ....
"Berarti yang belum hebat Abang," jawabku pelan dan aku siap resiko karena berani menjawabnya dengan kalimat semacam itu. "Ibu pasti tau kalau Ibu nggak mungkin bisa mantau pikiran atau tindakan anak-anak Ibu, kan? Yang udah dewasa dan bertanggung jawab sama apa yang dilakuin."
"Tapi harusnya Ibu bisa yakinin Abang kalau itu salah."
"Bu—"
"Kamu belum tahu rasanya jadi seorang Ibu. Ni," katanya, menatapku dengan tatapan menyakitkan. Aku tahu dia sangat terluka, tetapi kalimat pelengkapnya sepenuhnya menjadi kalimat yang juga menyakitiku. "Jadi Ibu harap, berhenti dulu buat usaha kamu ini."
Aku mengangguk.
Kemudian menatap nanar makanan yang ada di hadapanku. Belum pernah aku memandang masakan Ibu dengan perasaan sesuram ini, tanpa antusias. Di antara kami belum ada yang menyentuh makanannya, sampai akhirnya aku melihat Ibu mulai menyuapkan makanan. Aku menatapnya kebingungan, ingin bertanya kenapa dia tidak menunggu Abang. Tapi, mulutku terasa kaku, mengingat tadi kalimatnya. Aku tak ingin membuat Ibu merasa seolah aku memaksanya untuk tetap terlihat baik-baik saja.
Padahal, aku mau sekali melihatnya meluapkan emosi, kemudian menemaninya selama proses menerima diri dan keadaan.
"Makan aja, Ni."
"Nunggu Abang, Bu."
"Dia nggak akan turun."
Aku terdiam.
Apa maksudnya dengan Abang tidak akan turun?
Kami sudah melakukan ritual ini selama kami hidup. Makan bersama-sama selagi memang tidak ada kegiatan di luar. Apalagi sarapan. Ibu selalu meminta kami sarapan bersama sebelum aku dan Abang beraktivitas. Sekarang, kami hanya makan berdua. Bodohnya, aku tak berani bertanya lebih, memilih untuk menurut—aku tidak ingin membuat Ibu merasa aku ikut melawan atau memojokkannya—dan mulai berusaha menikmati makananku.
Kami makan bukan untuk kenikmatan hari ini, tetapi demi kebutuhan.
Aku dan Ibu membersihkan bekas makan kami masing-masing. "Kamu nggak kerja, Ni?"
"Nini resign, Bu. Nemenin Ibu di rumah, ya?"
Kepalanya mengangguk.
Tapi tak ada kalimat tambahan apa pun, dia berjalan meninggalkan dapur. Yang kemudian aku menemukannya mulai mengerjakan jahitan lagi. Aku berkata lirih 'Kalau butuh apa-apa panggil Nini ya, Bu.' sebelum berlalu melewatinya. Meski tak mendapatkan balasan apa pun. Aku mengetuk kamar Abang, tak mendengar jawaban apa pun. Akhirnya memberanikan diri membuka pintunya yang ternyata tidak dikunci.
Tak ada siapa pun.
Jadi maksud Ibu, Abang tidak akan turun karena memang tidak ada di rumah? Ke mana dia?
Aku berjalan cepat ke kamar untuk mengambil handphone dan menghubunginya. Ia baru mengangkatnya setelah panggilan ketiga. "Abang di mana?"
"Ni, maaf nggak ngabarin kamu. Tapi kayaknya baik Abang dan Ibu sama-sama butuh waktu." Wajah kecewa dan hancur Ibu saja rasanya belum cukup menyakitiku, ditambah sekarang mengetahui bahwa Abang pergi dari rumah. Kenapa harus keluargaku? "Ibu mungkin belum mau liat Abang. Abang pengen kasih Ibu waktu."
"Dengan kabur dari rumah?"
"Abang nggak kabur, Ni."
"Tapi nyerahin tanggung jawab ke aku," lirihku, sekuat mungkin menahan tangis. "Biarin aku sendirian liat Ibu hancur."
"Menurutmu Abang nggak hancur?"
"Menurut Abang aku juga nggak hancur? Tapi aku nggak kabur, aku tetap di sini."
"Maafin Abang. Kamu bisa minta bantuan Gyan—"
"Abang egois, Abang tahu itu? Ngirim Gyan, libatin Gyan buat ikut tanggung jawab padahal dia nggak tahu apa-apa."
"Maafin Abang, Ni."
Aku menarik napas dalam-dalam. Menanyakan kalimat terakhir yang ingin kuucapkan untuknya. "Abang tinggal Kak Mel?"
"Enggak. Abang sendirian. Abang belum ketemu Kak Mel lagi, dia kayaknya menghindar."
Menghindar?
Kenapa?
Bukankah sekarang mereka sudah bebas menentukan? Bebas menjalankan mereka? Mungkin memang agak berbeda dari rencana, tetapi setidaknya nggak ada lagi yang menghalangi jalan mereka. Jadi, kenapa Kak Mel malah menghindar? Apa dia juga perlu waktu untuk mencerna? Mencerna apa? Kekecewaan Ibu? Atau dia juga ikut kecewa karena sikap Ibu?
Ya Tuhan, kepalaku ....
Aku menggeleng cepat.
Jangan merusak diri sendiri, Ni, jangan di saat semua orang sedang hancur. Terutama Ibu. Harus ada minimal satu yang 'waras' dan membantunya melewati ini. Aku merebahkan badan dan berniat scroll media sosial untuk distraksi, tetapi aku percaya Tuhan selalu punya cara untuk menyelamatkan hamba-Nya. Video yang muncul adalah video seseorang sedang membuat kue ... dan kenapa tidak aku praktekkan juga?
Aku bisa mendistraksi pikiran, membuahkan hasil yang kalau nanti kuenya enak, Ibu bisa memakannya—kalau dia mau. Atau Gyan. Ya, Gyan juga tidak masalah, kan, masuk ke daftar penerima kue buatanku nantinya? Dia sudah sangat baik setelah apa yang kulakukan dan katakan padanya. Aku yang memintanya untuk tidak bertemu, tetapi sekarang yang paling berterima kasih karena dia masih mau menemuiku, menjadi temanku.
Sebelum mulai menyiapkan bahan-bahannya, aku menyalakan musik lebih dulu. Bersenandung sambil memasak, sendirian, tanpa instruksi ini-itu, seharusnya bisa sangat menyenangkan. Aku tahu mungkin level senangnya sedikit berkurang di momen ini, tetapi tetap jauh lebih membantu daripada aku hanya diam dan memikirkan semuanya.
Aku takut kepalaku akan meledak.
Cupcake ini nanti harus lezat.
Supaya nggak terlalu zonk dan kelihatan hasil dari pelarian emosi.
Wait, vanilla extract-nya mana? Bukannya harusnya di sini? Aku ingat Ibu pernah membuat kue dan bilang di sini lah letaknya. Oh ya Tuhan, mataku tidak melihat. Aku tertawa memegang benda yang kuinginkan. Bisa-bisanya di depan mata tapi tidak terlihat.
"You look so happy."
"Astagfirullah!" teriakku, berdiri mematung dengan tangan memegang electric whisk dan berakhir cipratannya ke mana-mana. Aku buru-buru menekan tombol off dan tertawa bareng Gyan.
"Sori, sori," katanya. Berjalan mendekat dan terlihat ikutan panik.
"It's okay!" seruku, lalu mematikan musik. "Ibu yang bukain pintu?"
Dia mengangguk.
"Nggak kerja?"
Dia menggeleng. Kemudian tertawa pelan saat aku memberinya pelototan. "Aku punya banyak cuti yang belum diambil dan biasanya nggak keambil karena nggak pernah ke mana-mana."
"Okay." Aku memandangi area dapurku yang sudah mirip kapal pecah. Atau lebih tepatnya, mirip kondisi dapur saat sepasang suami-istri yang toxic sedang bertengkar. "Mau bantuin bikin kue?"
"Dengan senang hati." Gyan menepuk-nepuk tangannya, seolah-olah dialah yang profesional sebenar—oh, is he? Maksudku, dia mengambil alih whisk dan tak terlihat panik, lalu tanpa bertanya, dia melanjutkan semua step, sekarang tersenyum menatapku setelah memasukkan kuenya ke oven.
"Gy."
"Hm?"
"Are you kidding me?"
Dia tergelak. "Kenapa? You surprised, huh?" Dia mengedipkan sebelah mata, tengil banget.
"Bukannya lo—"
"Gue cuma diajari buat menghindari pekerjaan-pekerjaan cewek sama bokap, bukan berarti gue nggak ngelakuinnya."
"Maksudnya?"
"Dulu waktu kuliah, gue seneng banget main di kost temen. Dan lo pasti bangga kalau tau gue yang jadi chef buat mereka kalau kumpul. Di kost-nya ada dapur, tapi dia nggak pernah masak, nggak bisa. Lo tau, Rha? Bahkan dia nggak seekstrim gue doktrinnya buat jadi patriarki konyol ini."
Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk; sedih, haru, bingung, dan bangga.
"Gue bisa masak dan lumayan suka, tapi gue takut dan malu kalau orang tau. Takut orang-orang pada sama kayak bokap atau sama punya didikan kayak bokap." Ya Tuhan, Gyan, aku benar-benar speechless. "Dulu gue suka bantuin Mbak kalau bokap-nyokap lagi nggak ada and she's the best secret keeper."
"Lo ... edan sih, gue speechless."
Dia tertawa pelan. "Gue tahu lo dan keluarga lo berbeda, itu kenapa gue pikir ini saatnya buat nunjukin itu. Lo sama Ibu lagi butuh diurus dan ditemenin, kan? So let me, Rha."
"Gy." Aku menatap langit-langit dapur, berusaha menghalau air mata. "Gue nggak tahu harus bales apa kebaikan lo."
"Nanti aja dipikirinnya pas udah aman semua." Kami sama-sama tertawa miris. "Belanja buat bikin makan siang dan malem, yuk, Ra? Biar Ibu tinggal makan dan happy. Kita layanin Ibu sebaik mungkin."
Aku menutup wajahku sendiri sambil bilang, "Kenapa lo mau ngelakuin ini, Yan?"
"Gue suka, gue mau, dan kalian berhak dapetin kebaikan di dunia yang jahat ini. Kalian orang-orang hebat dan baik."
---
gimana inii gyaaan?😭🥹
di KK udah ada bab 28 yawww gih meluwncuuuuwwwrrr
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top