[empat puluh] it's not a happy ending

"Saya terima nikah dan kawinnya ....."

Mendengar kalimat tegas, yakin, dan dalam satu tarikan napas itu membuatku masih menahan napas, sampai akhirnya suara para aksi mengatakan pernikahan ini sah. Napasku seketika lolos lega dan aku tak mampu menahan tetesan air mata ke pipi. Aku tahu, ini bukan akhir dari kehidupan. Pernikahan bukanlah happy ending, tapi justru awal untuk membuka kehidupan baru, dengan peran baru.

Tapi, aku yakin aku tetap perlu merayakan ini dan mendoakan semoga kehidupan baru yang Abang dan Kak Mel pilih ini, bisa mereka jalani dengan baik. Sebaik-baiknya kemampuan mereka. Dengan sukacita. Mampu menghadapi bagian buruknya.

Aku benar-benar ingin Abang bisa bahagia.

Bersama perempuan pilihannya.

Aku menoleh saat merasa tanganku digenggam, Gyan sedang tersenyum menatapku, kemudian menganggukkan kepalanya. Aku membalas senyumannya tanpa jeda, lalu gantian balas menepuk-nepuk tangannya lembut. Laki-laki ini ternyata sungguh-sungguh membuktikan ucapannya; menemaniku menghadapi semua ini. Dia ada di awal masalah Abang datag, sampai hari ini Abang berhasil melakukan pernikahan sah.

Gyan masih setia di sampingku.

Yang membuatku sangat bahagia adalah ... aku tahu kalau perasaannya pasti berbunga. Saat menemaniku dulu, dia hanya mendapatkan tangisku juga rasa kasihanku. Sekarang, dia menemaniku dalam keadaan aku yang penuh perasaan untuknya.

Siapa yang akan menyangka?

Setelah semua acara beres, kami kembali ke rumah. Beberapa orang yang tadi diminta untuk datang ke kantor KUA—termasuk keluarga—sekarang sedang menikmati hidangan yang sudah keluargaku persiapkan. Meski tidak ada pesta meriah, tetapi aku tetap bisa merasakan kebahagiaan pernikahan ini dengan hadirnya keluarga, juga orang terdekat Abang dan Kak Mel.

Ibu sedang ngobrol di dalam bersama keluarga—keluarga Kak Mel dan keluargaku tentu saja, sementara Abang dengan sahabatnya, Kak Mel tadi aku lihat juga bersama dua sahabatnya. Aku ... sedang bersama Gyan dan Emma. sahabatku itu juga membantuku mengurus ini-itu, kami membantu Ibu supaya tidak benar-benar sendirian.

"Terus nanti Abang sama Kak Mel tinggal di sini, Ni?" Emma bertanya sambil mengunyah potongan kue.

Aku mengangguk. "Eh enggak deh, sori, sori. Dia di sini cuma beberapa hari, nanti ke rumah Kak Mel."

"Oh tinggal di sana?"

Aku mengangguk.

"Keren juga Abang. Biasanya cowok mana mau tinggal di rumah keluarga ceweknya, gengsi, ego, entah apa lagi nyebutnya."

Gyan tertawa pelan.

Emma refleks menoleh, memicingkan mata menatap lelaki itu. Aku tahu pasti alasan Gyan tertawa. Karena pembahasan tentang ego dan gengsi lelaki sudah terlalu banyak Gyan dengar dariku. Jadi, sekarang kalau dia mendengar tentang itu, dia pasti tertawa, katanya sih menertawakan dirinya sendiri. Geli.

"Kenapa tuh ketawa, Bapak Gyan? Merasa jadi salah satunya, ya?" tanya Emma, memasang wajah serius.

Gyan mengangguk-angguk. "Dulu." Dia tertawa pelan. "Sekarang enggak, kalaupun nanti Dhara maunya tinggal di sini sama Ibu, gue nggak masalah. Tapi ya jangan diungkit-ungkit. Nggak ada orang yang suka diungkit apalagi dengan kata numpang whatever."

Emma bertepuk tangan. "Jadi kapa nih?" Ia menatapku dan Gyan bergantian.

"Apanya sih?" Aku yang mengibaskan tangan, mulai malas dengan kalimat Emma jika ini diteruskan.

"Kenapa nggak sekalian aja, Ni, hari ini? Ibu pasti happy banget tuh."

"Ha!" tawaku hambar. "Nikah nggak bisa disamain kayak sunat masal ya, Emm, please. Nggak semata-maya syaratnya cuma ada pasangan dan mas kawin. Tapi juga kesiapan yang harus matang. Gue belum ngerti apa-apa tentang pernikahan. Lagian, Gyan juga gue yakin pasti belum siap. Iya, kan, Gy?"

"Siap sih kalau mau sekarang," jawabnya tanpa merasa bersalah, sibuk memilih makanan di piring.

Emma sudah terbahak, sementara bahuku merosot sambil menghembuskan napas lelah. Inilah sulitnya menjalin hubungan dengan orang yang tadinya kamu kira akan menjadi temanmu, teman dekatmu, teman bertengkarmu. Jadinya begini, penuh keisengan.

"Tapi gue setuju banget gilaaaa sama sahabat gue." Emma tersenyum lebar, melingkarkan tangannya di lenganku, lalu menyandarkan kepalanya. "Nikah tuh nggak ada simpel-simpelnya. OKE lo boleh bilang pernikahan ko sederhana atau apa pun, tapi pernikahannya, kehidupan pernikahannya, mana ada sederhana. Semuanya kompleks, butuh solusi serius, walau mungkin isinya kadang penuh candaan. Jadi, nikah nggak melulu soal nemu pasangan yang tepat. Orang suka lupa diri nggak sih? Ngerasa ketemu orang yang tepat tuh sama dengan nggak ada masalah. Ada masalah dikit, cerai ini mah, i deserve better, you deserve to be happy. Padahal, selagi masih ada napas, pasti ada masalah, kan? Sendirian aja ada masalah, tiba-tiba kepentok meja, tiba-tiba lupa hape di kafe, apalagi ada partner. Jadi, pasangan tepat itu menurut gue sih bukan yang bikin hidup nggak ada masalah, tapi yang selalu mau kompromi dan diskusi buat menghadapi dan menyelesaikan masalah."

"Edaaan, sahabat gue emang paling terbaik." Aku memeluk Emma erat. "Gue setuju dan gue sayang banget sama lo, Emm. Tapi lo inget enggak dulu lo nyuruh kakak sepupu lo cerai waktu dia cerita suaminya cuek?"

Emma meringis. "Justru itu, itu gue tolol banget sih asli. Gue menyesal, tobat seriusan, gue udah minta maap banget tuh sama mereka. Sejak itu, gue kalau ada orang curhat, gue dengerin aja serius deh, kecuali kalau dia minta pendapat, baru tapi ya gue paitin atau gue minta dia buat konsul ke profesional. Solusi masalah dalam pernikahan, kan, bukan melulu cerai, yaaa. Katanya, cerai malah harusnya dijadiin solusi paling akhir, kalau lo beneran udah mentok. Tapi ya nggak tahu juga sih batesan orang gimana."

Aku menganggukkan kepala. "Atau mungkin ... pada akhirnya, nggak ada template untuk pernikahan, kali, ya. Jadi, kata I deserve to be happy, I deserve better tuh ya disesuaikan sama diri kita sendiri. Mungkin ada masalah orang yang mang nggak ada solusi lain selain cerai, tapi ternyata kita masih bisa diperbaiki. Itu kenapa perlu banget mengenal diri sendiri dan pasangan dengan baik." Aku melirik Gyan bingung. "Kok lo diem-dime aja, Gy? Senyum-senyum lagi?"

"Lagi takjub banget sama lingkungan kalian berdua, bagus banget didik kalian. Dan gue yakin, Tuhan pengen gue happy dan lebih baik lagi dengan nemuin kita." Gyan tertawa pelan. "Kalian cewek-cewek hebat, jadi kalaupun dapetnya yang agak kurang, kayak gue gini .... Emm?" Gyan terkekeh sendiri, melirik Emma geli. "Nggak pa-pa, bagi-bagi ke kaum kami?"

"Gemblung lo, ya!" Emma terbahak. "Lo nggak boleh insecure sama Nini, Gy, sini gue kasih bocoran sebagai orang dalem." Setelah Emma mengatakan itu, Gyan dengan penuh drama buru-buru memasang telinga sambil sedikit membungkukkan tubuhnya. "Mungkin dia agak ngeyel kalau dia nggak suka cowok yang a b c d, ya lo pasti udah kenyang lah denger dia gimana, kan?"

Sambil terlihat menahan senyum, Gyan mengangguk yakin, lalu melirikku entah dengan tujuan apa.

"Tapi lo harus tau, dia tuh ... selama ini cuma karena nggak ada cowok yang bisa ngeluarin sisi feminin dia. Percaya sama gue." Kalimat Emma barusan membuatku menyipitkan mata, menyangsikan apa yang dia ucapkan. Sementara Gyan mendengarkan dengan wajah serius. "Sejak bokapnya meninggal, mana ada tempat dia menye-menye lagi. Ke Ibu? Nggak mungkin, dia tau Ibu juga lagi berusaha berdiri kuat karena gandengannya ilang. Ke Abang? Elaah, dia memang lumayan deket ke Abangnya tapi bukan tipe yang berani ngerengek kalau PMS di depan Abang. Manja ke ayang? Ya lo tau sendiri, kan, Angkasa aja nggak tau masih idup atau beneran udah di angkasa. Jadiiiiii, waktu lo dateng bawa semuaaaa itu, nyerahin diri lo sebagai provider sejati, ya dia tantrum dikit lah pasti."

"Emm???"

Emma mengibaskan tangan, seolah memintaku diam selama dia berpidato. Tatapannya hanya fokus pada Gyan, padahal tokoh pertama dalam script-nya itu adalah aku dan keluargaku. "Jadi, meski dia nolak-nolak lo sampe kayak orang gila, dia suka. Dia suka lo traktir makan, dia suka lo peluk, dia suka lo kasih tatapan sayang kayak tadi, dai suka lo ngomong ke dia lembut, dia suka lo anter-jemput, dia suka lo tetep ngeyel ada di deketnya padahal dia ngusir lo." Lalu Emma menoleh, menatapku. "Gue udah bilang dari awal, lo akan terjebak, kan? Lo mungkin nggak tau karena udah lupa apa aja macam-macam gejala orang jatuh cinta, Ni. Nggak melulu harus berdebar-debar mau ketemuan, tapi gue yang liat aja tau lo mau Gyan, lo suka ada Gyan, dari cara lo nyeritain dia, nyebut nama dia."

Aku melongo.

Benar-benar tidak siap mendengar semua kalimat tamparan ini.

"Jadiiiiii, kalau kalian akhirnya sama-sama sadar dan mau memulai hubungan, gue doain semoga bisa saling kompromi. Soooo yeaaah, kapan nikah dan bikin anak yang banyaaakkk????"

Gyan terbahak.

Aku mendorong tubuh Emma.

"Lo mau punya anak berapa, Ra?" Gyan menatapku masih dengan sisa tawa.

"Gyan, please?" Aku mulai lelah dengan semua keisengan ini.

"Serius, gue kayaknya belum pernah nanya."

Aku melirik Emma yang terlihat sedang menunggu jawabanku juga. Lalu aku terpaksa memberi mereka jawaban lewat jari.

"Satu???" teriak mereka berbarengan. Gyan menggelengkan kepala. "Okay, kita harus dikusi masalah ini serius. Lo tau gue sendirian, kan, Ra? Lo nggak berusaha tanya pros and cons-nya ke gue dulu sebelum kita mutusin mau punya anak berapa?"

"Okay guys! Gue kasih waktu kalian diskusi, gue mau mau caper dulu di depan orang-orang. Byeee!"

Emma sudah pergi, tapi Gyan masih menatapku serius. Semua iseng dan tawa jenakanya hilang, obrolan kami sungguh berubah jadi rapat. "Dhara," lirihnya. "Jadi anak tunggal bagian enaknya mungkin satu, nerima semuanya secara utuh, nggak terbagi. Oh sama, latihan menghadapi kesendirian, okay bisa diterima. Tapi sisanya?" Dia meringis. "Kamu bisa bayangin, nggak ada temen debat di rumah, nggak ada temen berantem rebutan mainan, nggak ada temen kongkalikong bohongin mama, nggak ada—"

"Gue bahkan nggak tau gue bisa jadi ibu yang baik atau enggak, Gy." Aku menunduk lesu. "Gue nggak tahu kalau gue nanti jadi ibu, terus pasangan gue meninggal duluan, gue bisa atau enggak ngurus diri gue sendiri dan anak. Gue ..."

Kami sama-sama terdiam.

"Gue liat Ibu keliatan banget kesusahan, mungkin itu kenapa dia bikin kesalahan dengan syarat yang konyol buat Abang. Tapi pernah nggak sih kepikiran, Ibu tuh juga baru pertama jadi seorang ibu. Apa yaaaa." Aku mengangkat pandangan, supaya bisa menahan air mata. "Mungkin dia juga berusaha banget, tapi jatohnya tetep trial error, dan karena kehidupan tuh live, nggak bisa diedit, jadi kalau eror dikit, ya jadi masalah. Tapi Ibu buat gue udah keren banget. Sementara gue ... gue nggak tau gue bisa atau enggak."

Gyan berpindah duduknya menjadi di sebelahku, menarik tanganku untuk diletakkan di atas pahanya, dielusnya pelan. "Gue nggak bisa bilang kalau lo akan jadi Ibu yang baik buat nenangin lo, karena gue jelas nggak tau yang lo rasain dan lo tanggung di dalam diri lo nanti. Tapi yang gue tau, selama gue masih ada, Ra, gue akan berusaha jadi orang terbaik yang bisa lo gandeng. Gue bantu siapin bekel, jadi kalau-kalau gue pergi duluan, seenggaknya lo punya bekel yang cukup. Dan kalau lo tanya lo pasangan yang baik atau bukan, gue bisa jawab dengan yakin, you are. Tapi gue juga tau, jadi pasangan yang baik belum tentu bisa bikin kita jadi orang tua yang baik. Jadi, lo nggak perlu maksa diri buat punya anak. Gue nggak pa-pa."

Aku menoleh, menatapnya dalam-dalam.

"Kalaupun nanti lo ngerasa yakin dan mulai berani, kita bisa edit rencana." Senyumnya muncul, dia memelukku lembut. "Lo boleh ngeluarin sisi maskulin dan feminin di depan gue. Jangan takut atau malu, itu yang elo contohin ke gue juga. Gue tau lo bisa buka pintu mobil sendiri, gue tau semua anggota tubuh lo berfungsi dengan baik, tapi kalau memang lo suka gue bukain pintu mobil, nikmati. Kalau emang lo lagi ngambek atau bete meski nggak jelas, keluarin. Gue tau lo ceria, banyak bisanya, tapi gue juga mau dan seneng dengerin lo ngerengek atau bukain tutup botol."

Aku tertawa pelan.

"Janji lebih terbuka lagi di depan gue, ya, Ra?" Belum sempat aku menjawab, dia sudah meralatnya sendiri. "Terbuka perasan dan emosi, bukan yang lain." Tawanya ikutan muncul setelah aku. "Tapi kalau mau terbuka yang lain ... baju misalnya, boleh juga, ayo ke KUA sekarang."

Aku memukul punggungnya pelan.

Gyan tertawa.

Betapa lucunya manusia, ya. Aku yang sempat kasihan dengan Gyan karena hidup dengan penuh kepura-puraan, tidak lepas, tidak bebas berekspresi. Tapi kenyataannya, aku seharusnya lebih banyak kasihan pada diriku sendiri. Karena ternyata, aku hanya melampiaskan rasa kasihan itu pada orang lain karena terlalu takut untuk memberikannya pada diriku.

Aku benar-benar ingin manusia ini, lelaki ini, mendapatkan kebahagiaan yang banyak sekali dari dunia. Aku akan berusaha menjadi salah satunya.

TAMAT



---

haiiiii, ya ampuuuun, satu lagi cerita yang berhasil aku tamatin di taun iniiiii, rasanya nano-nanoooo, alhamdulillah, makasyii buanyaak juga buat kalian yang masih percaya sama tulisanku bisa jadi hal yang kalian suka jugaa huhu. makasyiiiii, muachhh. 

gimana perasaannya selama baca Gyan-Nini? hihi

btw, extra part ada di Karya Karsa yaaa, sudah ada 12 bab, hihi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top