[duapuluh] What's jealousy?

"Dulu, Tante Anita sama Ibu kalau bercanda kayak gitu tau, Ni. Nanti kami mau jodohin anak-anak kami, ngasal aja ketawa-ketiwi sama temen-temen kantor lain. Eh ternyata bener, omongan itu kadang jadi doa, dan suka tiba-tiba dikabulin sama Allah."

Aku ikut tersenyum, senang sekaligus geli. Senang karena Ibu sudah benar-benar kembali menjadi ceria, tapi juga geli karena kalimatnya seolah-olah aku dan Gyan akan menjadi suami-istri minggu depan. Tapi nggak masalah, untuk sekarang, aku tidak ingin banyaka melawan Ibu atau memberinya banyak fakta menyakitkan. Di tengah dukanya, aku ingin dia tetap merasa bahagia, walau mungkin itu semu dan sementara. Nanti, ketika Ibu sudah lebih stabil dan kuat, aku bisa mengajaknya ngobrol serius lagi.

Yang aku pikirkan sekarang bukan tentangku dan hubungan tidak jelasku dengan Gyan, tetapi gimana caranya supaya Abang pulang, Kak Mel berhenti menghilang, dan Ibu mulai menerima Abang dan Kak Mel.

Itu dulu.

"Tapi menurut Ibu, Tante Anita suka sama Nini nggak?" tanyaku sambil menyodorkan gulungan benang yang Ibu minta, warna beige. Dia sedang membuatkan cardigan ... katanya untuk Gyan. "Oya, Ibu beneran yakin Gyan mau pake warna itu? Nggak keterangan buat dia? Dia, kan sukanya yang gelap-gelap."

Ibu tersenyum lebar, memintaku menunggu sebentar, kemudian dia berjalan ... ternyata mengambil handphone-nya. Setelah kembali duduk, dia memperlihatkan isi chat-nya dengan Gyan yang membahas tentang cardigan bikinannya ini. Balasan Gyan adalah: warna itu boleh, Bu, cantik. Abu juga cantik, dua-duanya Gyan suka, bebas.

Aku meringis.

"Banyak berubah, kan, dia?" tanya Ibu sambil tertawa pelan. "Gyan itu cuma perlu dikasih gambaran kehidupan lain, dikasih contoh, disayang, kalau ditunjuk-tunjuk sambil diomelin dia salah, dia pasti makin keras. Dia suka kamu, Ni, hidupnya berwarna sejak kenal kamu."

"Ah masa?" jawabku karena kebingungan sendiri, jadi aku memilih bercanda.

"Serius ih. Tadi kamu tanya apa Tante Anita suka kamu? Kamu mau nikah besok pun dia malah seneng, Ni. Dia suka liat Gyan sekarang setelah sama kamu, lebih bahagia dan terbuka."

"Papanya?"

Seketika ekspresi Ibu berubah. Aku tahu, semuanya tak semudah itu. "Papanya sih nggak tahu. Tante Anita dan Gyan bilang, yang perlu kita pikirin cuma mereka berdua aja, papanya kita buang dari list." Kami sama-sama tertawa. "Lagian, apa masih pantes disebut papa kalau dia aja malah nikahin pacar anaknya. Orang gemblung."

"Iya, kan? Makanya aku juga heran, kok ada papa kayak gitu di dunia. Saking buruknya tuh papanya, Bu, Gyan tuh sampai nggak percaya sama dirinya sendiri. Dia nggak mau nikah karena ngerasa dia pasti sama kayak papanya, nurun papanya. Edyan, kan?"

"Nggak mau nikah?"

Good job, Nini!

Saking serunya menggibah, sampai tidak sadar bahwa kalimatku sudah ke mana-mana dan sekarang malah mengeluarkan rahasia terbesar antara aku dan Gyan di awal perjanjian. Ibu menatapku penuh tanda tanya, sementara aku menutupinya dengan sibuk tertawa. Padahal, dalam kepalaku sedang panas karena memproses kata-kata untuk mengelak. Ayo dong, keluar lah kalimat bagus untuk menjawab ketakutan Ibu. Aku tidak ingin Ibu syok kedua kalinya, tidak ingin Ibu kenapa-napa.

Tawaku berubah jadi kikuk, kemudian aku teriak heboh saat menemukan jawaban. "Iya, Bu! Itu ceritanya Gyan sih, yang pasti sebelum kenal Nini. Aku bikin dia semangat lho sama pernikahan, malah Gyan yang sibuk tanya Nini siapnya kapan." Ya Tuhan, betapa lancarnya lidahku berbohong, maafkan Nini, Ibu. Maaaaffff! "Tapi Nini yakin sih, Gyan beda sama bapaknya. Nini bisa liat itu." Untuk yang ini aku tidak berbohong, aku yakin Gyan jauh lebih baik dari papanya.

Senyum Ibu lebar. "Itu kenapa Ibu percaya, orang bisa berubah pikirannya atau karakter ketika dia ketemu sama orang yang tepat." Tangannya mengelus lenganku. "Mungkin emang bukan kita yang ubah mereka, tapi kita jadi salah satu alesan mereka mau ubah diri mereka sendiri."

Aku mengangguk. "

"Ibu bangga sama kamu, Ni."

"Thank you," lirihku. "Ibu adalah Ibu yang hebat, Ibu tau itu, kan?" Tak ada jawaban, luka itu kembali muncul di matanya. Aku tahu ke mana dia berpikir, pasti tentang perasaannya yang merasa gagal menjadi Ibu untuk Abang. "Abang mungkin ngelakuin kesalahan, dan kesalahan Abang itu sama sekali nggak ada hubungannya sama Ibu. Ibu nggak kurang-kurang kok didik Abang untuk jadi orang yang baik. Tapi mungkin Abang yang memang keliru, dan biarin dia tanggung jawab sama kelirunya, Bu. Kita bantu Abang, yuk, Bu? Kita cari Abang."

Tak ada jawaban.

Ibu lebih memilih untuk membereskan peralatannya, kemudian berdiri. "Ibu mau ke kamar dulu. Nanti kalau Gyan ke sini, tolong panggil Ibu, ya?"

Aku mengangguk.

Masalah ini benar-benar tidak sepele.

Akan jauh lebih mudah kalau Ibu marah, teriak, dan maki Abang atau aku juga, kemudian kami sama-sama mencari solusinya. Bukan seperti ini, menghindar, terus menghindar. Seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah tidak pernah Abang di rumah ini. Seolah Ibu hanya memiliki aku sebagai anaknya.

Tapi aku mau Abang pulang.


***


"Ibu beneran nggak tahu kalau kita mau nemuin Abang?"

Aku menggeleng. Memasang sabuk pengaman, kemudian menatap Gyan serius. "Tadi gue bilang kita ketemuan di bioskop karena menghemat waktu kalau lo harus ke rumah. Gue bilang kita mau nonton. Kejar jam tayang."

"Ibu percaya?"

Aku mengangguk.

"Okay, good. Ni."

"Hm?"

"You okay?"

Aku mungkin bisa saja langsung mengangguk atau menjawab iya dengan suara kencang. Pertanyaan itu mudah dijawab seandainya ini bukan Gyan yang bertanya. Dia tahu dan dia ada di saat aku melewati semua ini, jadi walaupun aku mau berbohong, rasanya juga percuma. Dia pasti tahu jawabannya. Jadi, yang kulakukan adalah tersenyum tipis dan mencoba menjawab jujur tanpa terlihat begitu lemah. "Semoga. Gue deg-degan mau liat kondisi Abang, tapi gue happy akhirnya dia mau ditemuin."

"You know you're not alone, right?"

Aku mengangguk. "You're here."

"Ya." Senyumannya memberi sedikit suntikan ketenangan, aku mengembuskan napas pelan untuk melegakan dada yang sejak tadi sesak. "Bismillah."

Mendengar itu, aku refleks tertawa kencang. Bukan, tentu aku tidak menertawakan yang dia ucapkan, tapi lebih karena aku baru menyadari kalau dia sama gugupnya. Atau sebenarnya, dia jauh lebih gugup dariku? Masih berpakaian kantor, rambut sudah berantakan padahal yang bermasalah di sini aku. "Gy, you okay?"

Gyan ikutan tertawa sambil mulai menjalankan mobilnya. "Gue gugup sih, jujur. Makanya gue salut banget lo, lo harus tau lo hebat, Ra. You're the best."

"Lo juga kali." Aku meledeknya. "Masalah lo nggak kalah rumit, dan lo bisa survive. Ini kerasa gugup buat lo, karena bukan masalah lo. Percaya deh."

Kepalanya mengangguk-angguk.

Obrolan kami terjeda, karena aku mendengar ringtone dari handphone milik Gyan. Dia memasang wireless earphone ke sebelah telinganya sebelum berbicara dengan si penelepon. "Ya?"

"...."

"Malem ini?"

"..."

"Nggak bisa kalau sekarang, lagi ada urusan." Pekerjaan kah? Tante Anita kah? Tapi kalau mamanya, dia pasti bilang bersamaku, karena katanya mamanya suka aku, kan? "Atau anterin aja ke rumah, ada mama. Aku pulang kok nanti."

"..."

"Boleh. Tapi tunggu weekend, ya?"

"...."

"Papa nggak bisa emang?"

Oh ... apakah itu Mega? Aku membenarkan posisi tubuh, tiba-tiba merasa tenggorokanku kering dan butuh minum. Aku ambil minuman masih bersegel milik Gyan dan meneguknya beberapa kali. Aku baru bertemu Mega sekali waktu itu, dan tidak pernah lagi bahkan mendengar namanya. Saat bersamaku, Gyan juga tak pernah menyebut nama mama tirinya itu, atau menerima telepon seperti sekarang ini.

"Yaudah boleh." Apanya yang boleh? Apakah nanti aku boleh bertanya tentang percakapan mereka? Tapi siapa aku? "Okay." Aku terlonjak kaget ketika Gyan tiba-tiba menoleh. Dia juga bingung. "Kenapa, Ra?"

"Oh, nggak pa-pa. Gue inget sesuatu dan kaget sendiri."

Dia tertawa, aku juga ikutan tertawa kikuk.

Siapa yang telepon, Yan?

Kalian ngobrolin apa?

Sepenting apa?

Semua kalimat itu cuma ada di kepala, tapi sayangnya mulutku terkatup rapat. Aku terlalu gengsi untuk menanyakan itu dan juga ... sadar diri karena aku bukan siapa-siapa. Dia pasti merasa aneh aku memberinya pertanyaan yang sangat terlihat mencampuri urusan orang lain.

Aku menggelengkan kepala, berusaha untuk melupakan rasa penasaranku. Tapi sepertinya Tuhan tidak mengizinkan, karena tiba-tiba Gyan menyebut nama adiknya yang otomatis membawa pikiranku pada Mega lagi.

"Inget sama Alex?" tanyanya.

"Of course! Dia apa kabar?"

"Kabar baik. Dia mau ke rumah malem ini."

"Oya?? Waah, ganggu dong gue? Lo kalau mau—"

"Siapa yang kemarin ngatain gue suka nyambungin A ke B padahal nggak nyambung?" Gyan tertawa meledek, aku meringis mendengarnya. "Gue baru tanya inget Alex, pikiran lo udah ke mana-mana."

"Ya kan gue nggak enak kalau ganggu urusan keluarga lo."

"Alex banyak yang urus. Mama, Mega, Papa. Elo, siapa? Sendirian, kan?"

"Tapi kan gue udah gede."

"Emang kalau udah gede nggak butuh bantuan orang lain? Bisa hidup sendiri? Siapa waktu itu yang bilang kangen rasanya diman—"

"Gyan .... " panggili lirih. "Jangan pernah jadiin kalimat gue buat nyerang gue, okay?"

"Okay, Bos!" Dia memberiku hormat, tentu saja lengkap dengan tawa jenakanya itu. "Lo suka ke kebun binatang nggak, Ra?"

"Mmmm, kurang tau. Suka ya biasa aja gitu."

"Mau nggak nemenin gue nemenin—my bad, Alex kekeh mau liat hewan, tapi Safari kejauhan nggak sih? Kayaknya Ragunan lebih deket. Mau nemenin kah?"

"Mega?"

"Ya mending sama lo nggak sih daripada sama dia?"

"Tapi kan Mega mamanya Alex."

"Terus?"

Aku diam.

Benar juga, terus kenapa? Kalau Mega, mamanya Alex, terus kenapa, Ni???? Ini kamu kenapa sih, Ni? Pertanyaanmu aneh, sikapku defensif banget. Aku mengembuskan napas kasar.

"Lo nggak mikir Alex tuh anak gue, kan, Rha?"

"Edyaaan, enggak laaah!" Aku jadi panik sendiri. "Sori, sori, gue nggak mikir ke sana, Yan, gemblung apa. Maksud gue tadi cuma ... emang Mega nggak bilang dia ikut Alex ke zoo?"

"Ya bilang sih. Tapi kan gue tinggal bilang aja gue ajak lo."

"Emang dia nggak pa-pa?"

Gyan terbahak. "Ini lo mikirnya ke mana sih? Gue berasa kayak ditanyain istri kedua, perlu banget approval istri pertama."

"Ya emang iya nggak sih?"

"Sialan." Gyan masih tertawa. "Alex tuh anak paling gampang, Rha. Dia nggak sama mamanya juga mau nginep di rumah, lama. Apalagi ke zoo, sama gue aja dia udah cukup, dan gue yakin dia bakalan suka sama lo."

"Punya saingan dong lo nanti?"

"Nice!" Gyan tergelak. "I love that energy, Ra. That's why I love you."

Gantian aku yang terbahak.

Entah sejak kapan, kalimat-kalimat implisit atau eksplisit Gyang tentang perasaannya padaku sudah tidak membuatku sakit hati atau marah lagi. Seolah ... aku bisa memaklumi dan menerima fakta bahwa dia memang boleh menyukaiku. Aku tidak seharusnya marah, semua orang berhak merasa suka, kan?

Tapi sebentar, aku penasaran satu hal. "Yan."

"Ya?"

"Lo masih sering ngobrol sama Mega? Selalu sekaku itu?"

Dia tertawa pelan. "Gue bisa nerima dia jadi istri bokap gue, bukan berarti gue nerima dia jadi nyokap gue terus berharap gue ke dia kayak gue ke nyokap. Nggak akan pernah bisa. Atau ... dia berharap gue ke dia sama kayak waktu kami masih bareng. Nggak akan bisa. Semuanya udah berubah dan gue rasa ... perubahan tuh nggak seburuk itu."

Aku tersenyum lebar. "I'm so proud of you."

"Oh, thank you so much, Gorgeous."

"Mulai ...."

Tawa Gyan lepas. "Gue mungkin berantakan, tapi gue mau bilang sama lo kalau nggak pernah mainin cewek dengan sengaja, Ra. Apalagi masih berhubungan sama orang yang udah nikah sama bokap gue. Nggak akan. Mark my words."

Apakah dia ... sedang menyakinkanku seolah-olah aku cemburu dengan Mega?

Am I?



---

btw, di KK sudah sampai tamaatt yaawww, nanti aku buat ekstra part di sana di folder terpisaaahhhh.

OH JANGAN LUPA BACA CERITA BARU AKUUUUU, JUDULNYA 'BEYOND WORDS'!!! muachhh sayangku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top