[dualima] haruskah ini disebut family vacation?

Kali pertama akan selalu canggung, kan?

Aku tidak perlu membesar-besarkan masalah ini, karena sudah sepatutnya aku yang paling memungkinkan untuk netral, menenangkan diri, tidak berpikir hiperbola, dan mencoba berpikir sepositif mungkin.

Ini pagi pertama Abang kembali sarapan di rumah, dia pulang semalam dan aku belum mendengar suara Ibu membalas kalimat Abang atau mengajak ngobrol Abang, sama sekali. Tapi, aku tidak boleh sedih atau berpikir-pikir macam-macam. Hal ini sudah aku duga dan aku bahkan yang bilang ke Abang kalau sikap Ibu ini normal untuk ukuran orang yang marah dan kecewa. Aku juga meminta Abang untuk tidak menyerah, jangan diambil hati. Ya, aku ingat. Tapi mungkin yang seharusnya terus diingatkan untuk tidak diambil hati adalah diriku sendiri. Karena sejak tadi, aku yang merasa sedih, dadaku yang nyeri melihat Abang berusaha mengajak Ibu ngobrol, tetapi Ibu terlihat pura-pura tidak melihat Abang. Hanya menawariku, hanya memanggil namaku, mengingatkanku untuk hati-hati nanti di perjalanan bareng Gyan, menitip salam untuk Gyan karena mereka mungkin tidak sempat bertemu hari ini.

Jadi, setelah Ibu pamit untuk bergegas dan tersisa hanya aku dan Abang. Aku menatap Abang sambil tersenyum. "Nggak apa-apa, ya, Bang?"

"Nggak apa-apa. Harus terbiasa sampe Ibu luluh. Makasih, ya, Ni, selalu ada buat Abang dan support Abang. Seandainya Kak Mel tahu, kalau dia punya adik ipar yang segini hebatnya. Tapi rasa malunya terlalu gede, dia ngerasa nggak layak ketemu kamu dan Ibu lagi."

"Cuma butuh waktu kok, aku yakin Kak Mel nanti ketika udah tenang tau apa yang harus dilakuin. Aku juga nggak sabar mau jadi adik iparnya secara resmi." Kami sama-sama tertawa pelan, lalu aku mengingat sesuatu. "Bang."

Abang menoleh.

"Tumben nggak tanya 'udah diturunin kriteriamu' pagi ini?"

Setelah tergelak, Abang menggosok hidungnya dan menatapku. "Kayaknya kebalik sekarang, harusnya Abang yang tanya sama diri sendiri udah diturunin bodohnya apa belum."

"Ih!"

"Lagian ya, Ni, kayaknya kamu emang nggak perlu nurunin kriteria."

"Maksudnya?"

"Lihat Gyan tuh, apa yang kamu turunin? Never settle for less kayaknya emang pas buat kamu. Tunggu sampai beneran ada yang sesuai yang kamu mau, dan kamu udah dapet." Mendengar kalimat optimisnya, aku meringis dan kebingungan sendiri. Sepertinya semua orang sudah menganggap aku dan Gyan berada dalam hubungan yang nyata, atau mungkin terlihat serius. "Tapi dia nggak berengsek, kan, Ni?"

"What does it mean?" Aku menatapnya jail.

Abang tertawa pelan. "Kamu tahu maksud Abang. Semoga kamu tetep bisa jadi kebanggaan Ibu dan semoga kamu nggak salah jalan. Abang beneran sayang sama kamu, Ni."

"Aku juga sayang Abang, lho."

Dan betul, aku memang tahu. Aku paham.

Berengsek dalam konteks obrolan kami di sini, dengan contoh nyata adalah Abang itu sendiri, artinya berengsek soal ajakan seks, hamil sebelum pernikahan, apa pun itu disebutnya. Balik lagi apakah Gyan berengsek dalam lingkup tersebut, aku sebenarnya tidak sepenuhnya tahu. Gyan memang mumpuni untuk hidup bebas soal seks, tapi aku sendiri tidak berani melabelinya. Saat dia bilang dia tidak melakukannya dengan Mega, bukan berarti artinya dia tidak melakukannya dengan mantan-mantan sebelumnya atau dengan perempuan lain, kan? Variabel yang dia beria adalah A, jadi aku tidak bisa menyamaratakan untuk ke BCDF dan lainnya.

Rasa-rasanya, itu bukan wewenangku.

Aku tidak tertarik dengan informasi apakah dia masih perjaka atau tidak. Aku percaya dia orang yang cerdas dan menyayangi dirinya sendiri untuk terkena penyakit mematikan. Aku bertanya topik sensitif waku itu karena penasaran dengan karakternya atau pendapatnya tentang topik itu, bukan untuk tahu dia sudah pernah seks atau belum. Kalimat akhirnya dulu tentang dia dan Mega aku anggap bonus tak terduga, yang sebenarnya aku tidak berharap tahu, tapi anehnya merasa lega ... dan bersyukur?

I don't know what's wrong with me.

Kami bukan siapa-siapa.

Aku terang-terangan menolak perasaan Gyan bahkan marah padanya, dulu. Sekarang meski aku memaklumi perasaannya, bukan berarti aku menerima dan membalasnya. Jadi, apakah perasaan lega dan bersyukurku tadi wajar?

Aku tidak tahu.

Lebih tidak tahu dan tidak paham lagi dengan perasaan senang yang membuncah yang ada di dalam diriku sekarang, ketika mataku berhasil menangkap mobil Gyan berhenti di depan rumahku. Aku yang sedang duduk menunggu di teras rumah seketika berdiri, berjalan mendekat asal saja karena tidak berniat untuk menghampirinya ke mobil itu juga. Aku melihat Gyan keluar setelah pintu mobil terbuka, berjalan ke pintu sebelahnya, kemudian ada anak laki-laki yang ikut turun. Mengenakan celana cargo, kaos putih oblong, dan topi hitam kembar dengan Gyan. sementara Gyan, aku baru memperhatikan pakaiannya ... ya Tuhan, aku tak mampu menahan tawa geli karena mereka benar-benar mengenakan outfit kembar, hanya beda size. Bahkan sampai ke jenis dan warna alas kaki.

"Sandal gunung? Ini mau ke gunung mana ini?" tanyaku geli, ketika mereka berdua sudah berdiri di hadapanku. Kemudian aku sedikit berjongkok untuk menyamakan jarak pandang dengan Alex. "Kamu suka adventure, ya?"

Alex tersenyum lebar, menganggukkan kepala. "Kakak suka juga?"

"Sedikit. Tapi kalau risk-nya terlalu tinggi, Kakak takut sih. Alex berani tuh?"

"Beraniii!" Gestur tangannya melengkapi nada yakin di kalimatnya. "Abang juga berani banget."

"Udah ke mana aja tuh?"

"Kita suka hiking juga. Ke Sentil sih seru."

"Sentil?"

Gyan terbahak-bahak, aku mendongak menatapnya ... seketika menelan ludah dan buru-buru menggelengkan kepala untuk lekas sadar. Bisa-bisanya tadi aku sempat berpikir bahwa hari ini dia terlihat sangat tampan. Mungkin efek karena outfit 'sesantai' ini belum pernah dia pakai di depanku. Atau ... karena hari ini dia terlihat sangat bahagia bersama Alex. "Sentul, Lex."

"Sori, sori, soriiii." Alex ikut tertawa sambil mengatupkan tangannya. Anak pintar. "Sentul maksudnya. Kayak suka hiking nggak?"

"Belum pernah sih."

"Ikut yuk nanti kalau aku sama Abang ke sana lagi."

"Boleh." Aku berdiri setelah menpuk-nepuk lututku sendiri, menatap Gyan sambil tersenyum geli. "Semangat banget, Bapak Gyan."

"Mau family vacation nih soalnya."

Aku refleks memutar bola mata. "Jangan mulai. Emang hiking di Sentul tuh bisa?"

"Bisa dong. Ada yang ramah anak juga."

"Ramah anak." Aku mengulang kalimatnya sambil tertawa. Tidak ada yang salah dengan kalimat Gyan. Yang dia maksud jelas 'kids friendly', dan dia berusaha menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Mungkin memang artinya beneran 'ramah anak', tapi rasa-rasanya tetap lucu kalau di-translate begitu saja. Tanpa embel-embel kata tambahan. "Lo mau pamit sama Abang gue nggak, Gy?"

"Oh tentu!" jawabnya semangat. "Mana orangnya? Masuk ke dalam nih?"

"Yep, silakan."

"Lex, ayo izin sama abangnya Kakak Dhara."

Anak itu mengangguk, ikut masuk ke dalam rumah setelah drama melepaskan sandalnya bersama Gyan. Aku sudah bilang kalau mereka tak perlu melepas sandalnya, toh tidak hujan di luar dan tidak ada kotoran di telapak sandalnya, tapi Gyan yang konyol itu malah bilang, "Kayaknya budaya kita masih Asia deh." sambil tertawa. Jadi, aku hanya mengangkat tangan, tetap menunggu mereka di luar sini.

Seharusnya tidak masalah, kan, aku biarkan Gyan masuk tanpa aku? Dia sudah sering ke rumahku, dan rasanya dia sudah khatam setiap sudut. Jadi, menemukan Abang tidak akan sulit karena terakhir aku melihatnya tadi, dia sedang duduk di ruang keluarga, menonton televisi.

Nah, itu mereka!

Sudah kembali dan kami bertiga berjalan ke mobilnya. Begitu memastikan Alex aman di kursi belakang, aku dan Gyan barulah sibuk dengan sabuk pengaman kami masing-masing. Tapi tiba-tiba aku dikasih kejutan, sebuah topi hitam di depan wajahku, yang diberikan oleh Gyan. Tidak langsung menerimanya, aku malah menatapnya kebingungan.

Gyan tertawa. "Thank me later."

"Ini beneran jebakan kayaknya, ya," kataku berusaha sinis sambil melirik topinya, lalu tersenyum ramah saat aku menatap Alex dan topinya. "Sangat keliatan family-nya."

Kali ini Gyan tergelak. "Bakalan panas banget, asli."

"Tapi, kan, nggak harus kembaran bertiga."

"Adanya ini, Ra."

"Lo beli tiga langsung gitu?"

"Gue emang punya beberapa kok, satu merek dan satu warna."

"Boong, ini pasti dua-duanya baru nih."

Gyan tertawa kencang. "Tinggal bilang makasih apa susahnya sih? Alex ajarin Kakak Dhara nih buat bilang makasih. Kakak Dhara ngeyel, nanti kepanasan nangis, ya?"

"Iyaaaa." Suara dari belakang.

Aku menyerah, memakai topi itu kemudian menoleh pada Gyan. "Thanks, Daddy." Setelahnya kami sama-sama terbahak-bahak, bahkan Alex ikut tertawa padahal aku tidak yakin dia paham hal yang sama yang aku dan Gyan pahami. Entah ini kebiasaan mereka atau karena supaya pendengaran Alex tidak terganggu semakin banyak, aku mendengar Gyan yang meminta anak itu untuk memakai headphone dan diperbolehkan memainkan iPad. Mungkin game? Menonton video?

Apa saja, aku tidak tahu.

"Lo suka sama anak kecil nggak, Ra?"

"Oh apakah ini jebakan lagi?"

"Hahaha, enggak, ini pertanyaan serius."

"Suka biasa aja sih, maksudnya, ya nggak benci atau sukaaa banget. Kenapa, Gy? Lo mau bilang lo punya anak di luar sana dan ibunya pergi terus—"

"Stop there." Gyan tertawa sambil menggelengkan kepala. "Alex emang nggak balita sih, tapi dia tetep masih anak-anak kan ya?"

"Iyaaa? Teruss?"

"Masih suka tantrum, maksudnya ... kadang suka nggak terima sama penolakan. Harus dituruti."

"Kayaknya orang dewasa juga nggak sih, Gy?"

"Right." Kami sama-sama tertawa lagi. "Yang mau gue bilang, lo siap nggak kalau nanti dia tiba-tiba ngambek? Mungkin lo bakalan jengkel tapi tolong tahan bentar, ya? Minimal jangan di depan dia, lo boleh jengkelnya ke gue nanti." Mendengar warning-nya itu aku jadi terkekeh geli sendiri. "Dia makannya banyak, Ra. Suka makan."

"Wah kalau gitu kita harus beli makan dulu aja."

"Di sana ada kok yang jualan. Kalau bawa-bawa malah repot nanti."

"Gue yang bawa."

"Berat kalii. Nanti di sana tuh kita jalan kaki buat liat hewan satu ke yang lain. Lo bawa-bawa makanan—"

"Bukannya biasanya gitu? Istrinya bawa makanan, suaminya nanti nuntun anak."

"Sori?"

"Lo bilang tadi ini family vacation?"

Sepersekian detik, tawa Gyan lepas. "Don't do that," lirihnya. "Lo emang paling suka, ya, bikin gue mati jantungan. Gue nggak kegocek kali ini, asli. Orang emang selalu punya kekurangan, ya, selain sisi lovely dan positive vibes lo itu, ternyata lo emang hobi bikin orang serangan jantung. Gue bales nanti, Ra. Tungguin."

Aku hanya mengedikkan bahu.



---

pasangan paling 'sehat' dan dewasa buat akuu huhu, kayak imbang gitu lho mereka gimana ya jelasinnya HAHAHA.

note: khusus buat extra part nanti cuma bisa dibaca di KK yaaa, jadi di sini tetep sampe tamat kok, ada 40 bab. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top