[dua tiga] gonta-ganti peran
"Kenapa sih, Yaaaan?"
Pada akhirnya aku tidak tahan juga menahan diri, karena sejak tadi menyadari Gyan yang terlihat gelisah. Sesekali dia menatapku, kemudian melihat ke sembarang arah sambil menyuapkan makanannya mulai tidak semangat padahal nasinya hanya tersisa—
"Gue mau nambah," lirihnya pelaaaan, dengan cengiran khas yang menyebalkan.
Aku cuma mampu menganga, kemudian menggelengkan kepala. "Ya terussss?"
"Lo malu nggak?"
Saat itu juga, aku menegakkan punggung dan tertawa kencang—tidak sepenuhnya, karena aku menahan diri mengingat di sini bukan hanya aku dan Gyan yang sedang makan. Setelah yakin tawaku sudah reda, aku sedikit mencondongkan tubuh ke arahnya memastikan dia bisa mendengar kalimat yang akan aku katakan dengan intonasi pelan. "Sejak kapan lo mau bertindak sesuatu dan nanya pendapat gue?"
"Sejak gue bilang, 'Ra, I guess I'm in love with you' karena sejak itu lo bete mampus."
"Right." Aku memutar bola mata, mengangkat kedua tangan. "Tapi, ka, beda kondisi, Gyaaan. Ya Allah, lo mau nambah sepuluh piring pun mongggo. Lo tanya apa gue malu? Menurut lo? Malu kalau abis ini kita ternyata lupa nggak ada yang bawa duit."
Gyan tergelak. "Kalau itu gampang."
"Please...."
"Gue sih lari kenceng."
"Gue?"
"Ya lo terserah." Dia terbahak-bahak, aku sampai perlu menegurnya dengan pelototan karena sadar betul beberapa orang mulai risih dan memperhatikan kami. "Gue gendong kalau lo nggak bisa lari cepet. Atau ya lo cuci piring kek, ikut abangnya, demen dia pasti."
"Enak aja. Mending ikut elo."
"Bener, ya?" Gyan terkekeh geli. "Kalau ikut gue nggak bisa balik lagi, lho, Ni. Gue kurung."
"Apakah saya terlihat seperti hewan peliharaan?"
"You are. So cute."
"Gyan ...." Aku menatapnya super tajam, tubuhnya bergetar karena tawa sambil sibuk meminta maaf. Kadang aku masih tidak habis pikir, dia adalah laki-laki yang sama dengan yang menatapku sedih dan merasa bersalah karena menyukaiku. Mungkin dia benar sudah terbiasa dengan penolakan atau terbiasa tidak mendapatkan dan menjalani yang dia inginkan dalam hidup, sehingga dia dengan cepat bisa berdamai. Ada di sebelahku tanpa canggung, terlihat berusaha tapi juga tidak berusaha di satu waktu untuk mendapatkan balasan atas perasaanya.
Well, dia memang lelaki yang menarik, terlepas dari semua asumsiku atas dirinya sejak awal, yang membuatku merasa dia sama sekali bukan tipeku untuk menjadi pasangan hidup.
Aku tertawa kecil saat akhirnya melihat Gyan memanggil abang penjual lagi untuk memesan satu porsi tambahan. Sepertinya, beberapa laki-laki memang seringkali tak pernah cukup dengan porsi yang ada. Ini bukan cuma tentang makanan, tetapi beberapa hal lain. Segala hal yang sudah pada pasangannya pun kadang terasa tidak cukup, membuatnya beralasan macam-macam untuk mencari sisa tambahannya.
Perempuan pun juga sepertinya sama.
Mungkin itu sebenarnya tabiat manusia yang selalu merasa ingin lebih.
"Happy?" tanyaku geli setelah Gyan mendapatkan pesanannya.
Dia tergelak, tetapi terlihat salah tingkah. "Anjir gue berasa anak kecil nih kalau gini. Don't do that."
"Do what?"
"Treat me like a little kid."
Aku tak bisa menahan tawa. "Cuma karena nanya happy apa nggak?"
"That's not 'cuma', Ni. Nggak pernah ada yang nanya aku happy apa nggak tiap dapetin atau jalanin sesuatu." Gyan mengiringi kalimatnya dengan tawa, sementara aku seketika menutup mulut karena merasa kalimatnya itu menyedihkan. "Pernah sih, waktu kecil, setelah ngemis terus-terusan biar bokap mau nemenin main bola. Terus akhirnya dia mau sekali, dan dia nanya 'seneng, kan?'. Jadi kayaknya pertanyaan kayak gitu cuma buat anak kecil. Orang dewasa mana dipeduliin perasaannya, Ra. Tetep harus hidup." Gyan terkekeh, sebelum mulai mengunyah makanan tambahan.
"Let me be that someone."
"Sorry?"
"Yang selalu nanya perasaan lo gimana setiap dapet sesuatu atau jalani sesuatu."
Gyan melongo sebentar, sebelum tertawa lebar. Entah apa yang lucu dari kalimatku, aku hanya kebingungan menatapnya. Jadi, aku menggelengkan kepala, membiarkan dia menikmati tawanya. Sementara aku mulai membersihkan tangan. Setelah beres, aku menopang dagu, menatapnya serius. "Apanya yang lucu?"
"It's funny."
"It's not."
"Lucu kok, Ra." Tawanya sudah mereda, dia memasukkan satu sendok penuh nasi dan daging lele ke mulutnya, mengunyah pelan, menelannya baru kembali berbicara. "Ini lo lama-lama gue laporin ke polisi tau."
"Hey!"
"Atas dasar mempermainkan perasaan."
"What?"
"Lo kecewain gue, Gy. lo hianatin janji kita di awal. Lo tau, kan, ini nggak bisa? Sebaiknya kita istirahat dulu, Gy, jangan ketemu." Ya Tuhan .... Dia sedang mengulang semua kalimatku lengkap dengan intonasi dibuat se-feminin mungkin. Aku hanya menutup mulut, berusaha menahan tawa geli, dan malu. "Sekarang tiba-tiba mau jadi someone yang nanyain perasaan gue. Lo tuh beneran innocent nggak tau dampak itu buat gue atau ... emang lo sebaik ini sama siapa pun?" Gyan mengangkat tanganya sambil tertawa pelan. "Gue tau jawabannya sebenernya, cuma pengen berharap yang lain aja, agak beda."
"Sori," lirihku, pada akhirnya memahami perasaannya. "Gue jahat banget deh. Capek, ya, Gy jatuh cinta sendirian? Dipermainin lagi?"
Kepalanya menggeleng langsung. "Sama sekali enggak. Ini seru dan menyenangkan, karena dari awal juga nggak diniatin, kan." Gyan tertawa pelan." Ya walaupun mungkin sifatnya sementara. Karena gue juga nggak tahu, kan, kapan lo akhirnya ketemu sama orang yang bisa lo suka." Saat mengatakan itu, tatapannya dia alihkan dariku, piring di hadapannya mungkin lebih menarik. Atau memang jadi satu-satunya pengalihan isu. "Jadi nikmati aja."
"Tapi kalau lo capek, lo tau, lo boleh berhenti, kan?"
Dia mengangguk yakin. "Oya, tadi Abang bilang mau pulang? Kapan?"
Pengalihan topik yang bagus, Gyan.
Tema ini sepertinya jauh lebih baik untuk kita berdua daripada membahas perasaan, kan? Yang kamu sendiri juga kebingungan harus bagaimana, aku pun sama, tidak tahu harus mengatakan atau bertindak gimana. Jadi, masalah Abang dan Iku aku rasa menjadi satu-satunya topik aman untuk kita saat ini.
"Dia belum bilang pastinya sih, tapi dia mau kerja sama kok."
"Kerja sama?"
"Yap. Gue udah bilang, jangan kabur, sejahat apa pun nanti sikap Ibu, Abang harus hadapi. Buat yakinin Ibu, nanti gue bantu, tugas Abang gimana yakinin Kak Mel. Tapi tetep di rumah. Karena kalau dia kabur, Ibu nggak bisa lihat kalau dia menyesal. Gue salah nggak, ya, Gy bilang gitu?"
"Bener kok. Ibu itu kan marah dan kecewa, bukan berarti putus hubungan darah sama Abang. Dia cuma butuh diyakinin kalau Abang menyesal dan mau berubah. Kabur jelas bukan solusi."
Aku menganggukkan kepala.
"Kak Mel masih nggak bisa dihubungi?"
"Bisa sih katanya. Cuma dia bilang nggak mau nikah kalau ibu masih belum restuin, dia bahkan ...." Aku melirihkan suara. "Berniat mau aborsi."
"What?" Gyan berdeham beberapa kali.
"Ortunya pun kayaknya nggak banyak tau dan nggak bisa banyak bantu, tapi kata Abang dia dihubungi papanya Kak Mel buat dateng ke rumah mereka."
"Udah dateng?"
Aku menggeleng. "Abang masih bingung, mau mau mikir dulu."
"Okay."
"Pusing, ya, Gy?"
"Yep, padahal kalau mau ngomongin tindakan preventif gampang banget," katanya pelan tapi terdengar serius. "Kenapa Abang nggak pake kondom ya, Ni?"
Mulutku terbuka, tertutup lagi.
Karena tidak siap obrolannya ke arah sini. Tapi kalau dipikir-pikir, Gyan benar. Semua ini perkara nafsu, kan? Maksudku, okay kalau memang hamil ini jadi strategi Abang dan Kak Mel untuk mendapatkan restu Ibu, seharusnya Kak Mel tetap mempertahankan janinnya dan menikah sekarang, kan? Toh Ibu sudah bilang mereka boleh melakukan apa pun. Tapi, Kak Mel tetap mau restu Ibu, yang dia tahu akan diberikan dengan kondisi yang gimana. Artinya ... mungkin kehamilan mereka tidak disengaja alias kebobolan. Pertanyaannya, kenapaaa? Kenapa nggak pakai kondom, kontrasepsi lainnya? Persetan dengan tanggung jawab moral dan agama, mereka harus bertanggung jawab sendiri, tapi maksudku ... ada banyak cara untuk mencegah dan membuat kehidupan manusia modern ini lebih mudah.
Aku mengembuskan napas kasar.
Ketika melirik Gyan, tiba-tiba aku tergelitik untuk menggodanya. Sepanjang kami kenal dan mengobrol, topik satu ini sepertinya belum menjadi bahan pembicaraan. Aku jadi penasaran sosok Gyan untuk topik yang ini. Aku berdeham dua kali sebelum melempar pertanyaan, "Emang pake kondom beneran aman, ya, Gy?"
"Katanya sih lumayan tinggi."
"Berapa persentasenya?"
"Sembilan puluhan maybe? Sembilan lapan, gitu gitu. Padahal ya, kondom tuh nggak cuma bisa cegah hamil, tapi lindungin diri dari penyakit seksual yang nular. Tapi orang-orang suka aneh, eh ini jangan kesinggung, ya soal Abang. Abang lo bukan satu-satunya yang kayak gini. Cuma maksud gue ... apa yang lo harepin dengan seks tanpa pengaman? Udah pasti, kan, ada kemungkinan hamil dan penyakit kalau lo ngelakuinnya gonta-ganti misal. Alesannya nggak enak lah, tapi takut hamil."
Aku tertawa geli.
"Astagfirullah, Ni." Gyan memukul mulutnya sendiri, terlihat sangat panik. "Sori, sori. Di luar bates ya obrolannya? Terlalu vulgar buat lo?"
"Enggak kok enggak. Kan itu ngomongin ilmu, bukan lo ngajak gue."
Gyan mengembuskan napas. "Sampe gue berani ngajak lo, berarti gue udah yakin nyawa gue ada sembilan. Dengan kata lain, mustahil."
"Sori ini agak random, tapi masih related dikit sih," kataku sambil meringis, membuat Gyan menyipitkan mata. Mungkin dia bingung sekaligus penasaran. "Lo tipe yang ... kalau kenalan atau deket sama cewek suka penasaran gitu, nanya-nanya kayak; kamu dulu ngapain aja sama mantanmu? Atau ... hal paling nakal apa yang pernah kamu lakuin saat pacaran? Sejauh apa hubunganmu sama yang sebelumnya?" Nyali kami memang tinggi, ngobrol hal seperti ini di tempat pecel lele. Semoga suara pelan kami tidak terdengar oleh orang sekitar.
"Intinya yang ditanya bukan sedalam apa perasaan, tapi lebih ke ... skinship atau gue yakin mereka penasaran banget udah seks atau belum."
Dia malah melongo.
"Gy?"
Matanya berkedip cepat, dia menggeleng-gelengkan kepala. "Ni, are you okay?"
"Hah?"
"This is new." Dia tertawa geli. "Lo yakin nggak pa-pa ngobrolin pembahasan ini?"
"Gyan, gue bukan anak SD."
"Oh, okay."
"Sooo?"
---
Niniiiii, istighfar
note: khusus buat extra part nanti cuma bisa dibaca di KK yaaa, jadi di sini tetep sampe tamat kok, ada 40 bab.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top