[dua sembilan] masalah buatan sendiri
Aku tahu hubunganku dan Gyan setelah ini mungkin tidak akan sama lagi. Jangankan untuk sama, menghadapi hari ini pun rasanya sudah stressful untuk kami berdua—minimal, yang sudah bisa aku pastikan dari pihakku sendiri.
Setelah adegan tak senonoh yang aku buat itu, kami tak mengucapkan sepatah kata pun. Tentu aku tahu dan sangat memahami Gyan pasti tidak menemukan apa yang harus dia katakan atau lakukan, karena pure, dia di sini adalah korban. Dia tidak tahu apa-apa. Seharusnya aku yang menyelesaikannya, mengubah suasana yang awkward tadi menjadi normal kembali.
Tapi aku belum sepandai itu, nasibku di sini belum sebaik itu, yang hanya mampu aku ucapkan alih-alih maaf dengan kalimat panjang yang manis dan menjanjikan, aku malah bilang, "Sori, sori, gue bersih-bersih badan dulu."
Nini, kamu beneran jahat sekali.
Lalu sekarang, setelah aku selesai membersihkan diri, mengganti pakaian dengan yang bersih, santai, dan harum, memoles sedikit liptint agar tidak terlalu pucat, menyemprot parfum, aku turun kembali, dan berjalan keluar rumah. Di sana, aku masih melihat Gyan duduk di tempat kami tadi. Masih sama di posisinya juga, tak bergeser sedikit pun, sepertinya. Yang sedikit berubah, dia menyerongkan tubuh, memandangi tumbuhan Ibu, dan mungkin tak menyadari kehadiranku di sini.
Dia ... melamun selama itu?
Tanpa bantuan distraksi dari handphone atau apa?
Apa yang dia pikirkan?
Apakah dia marah dan menyesali apa yang terjadi tadi?
Apa sekarang perspektifnya tentang aku sudah berubah 180 derajat?
Apa di matanya sekarang, aku bukan lagi Nini atau Dhara yang menyenangkan, ceria, baik, dan apa pun pujian membahagiakan yang selalu dia berikan, tapi berubah menjadi perempuan gila yang tiba-tiba menciumnya, tanpa memikirkan perasaannya.
"Hei, udah beres?"
Aku terkesiap saat tiba-tiba dia menoleh dan menemukanku, lalu bertanya lebih dulu dengan wajah jenaka seolah ... tidak ada yang terjadi di antara kami hitungan menit tadi—aku yakin belum ada satu jam, karena aku tadi mandi tidak selama itu. Aku hanya mampu membalasnya dengan senyuman lebar dan anggukan kepala. Kalau Gyan saja bisa menghadapi ini seolah tidak ada hal buruk yang barusan terjadi, maka seharusnya ini lebih mudah. Ketakutanku di awal tadi kalau kami tidak akan bisa sama lagi mungkin tak perlu lagi ada di kepalaku.
He's the best.
Dia benar-benar mewujudkan ucapannya, untuk tidak menempatkanku pada posisi sulit atau tidak nyaman akan perasaannya. Bahkan untuk kondisi yang akulah sebagai pelakunya. I'm sorry, Gy. Sorry banget. Aku juga terlalu cupu untuk mengatakan itu langsung di depan wajahnya.
"Gue izin bersih-bersih dikit doang, ya, Ni, mau sholat ashar."
"Masya Allah." Aku tertawa geli. "Siapa sangka."
Dia berjalan melewatiku sambil menoyor kepalaku pelan. Aku membawanya ke kamar kosong yang biasanya dipakai kalau ada saudara menginap, memberitahu Gyan ke mana arah kiblat, sekaligus menawarinya pakaian bersih milik Abang yang tentu dia tolak.
"Jangan lupa titip tambahan doa buat Abang dan Ibu ya, Gy?"
Dia tertawa pelan, memberi jempolnya. "Nggak jamin dikabulin, ya, gue kadang insecure duluan kalau mau minta-minta sama Allah tau, Ni." Gyan tergelak sendiri. "Tapi nggak pa-pa, sebejat apa pun hidup, harus inget sama yang ngasih napas, kita rayu Allah dulu. Tutup pintu, please?"
"Gue mau liat lo solat masa nggak boleh?"
"Itu kurang ajar namanya nggak sih?" Tawanya lepas. "Nanti doa gue ketauan dong."
"Dalam hati lah!"
Dia tertawa.
"Emang mau doa apa sih, Gy? Rahasia banget."
"Kan yang boleh tahu cuma kita sama Tuhan aja, masa dikasih tau ke manusia lain. Hush sanaa!"
Aku memutar bola mata.
Tetapi kali ini benar-benar memberi Gyan ruang untuk dirinya sendiri. Aku yakin, kita semua tahu urusan manusia dengan Tuhan itu sungguh tidak bisa dinilai dengan parameter yang ada. Kalau dipikir-pikir, kadang ada orang yang dilihat dari kacamata moral itu banyak menyimpang, di sisi lain, dia juga melakukan banyak kebaikan dan melakukan kewajibannya pada Tuhannya.
Sambil menunggu Gyan selesai ibadah—yang sepertinya lumayan lama mengingat sholatku bisa cepat. Aku kadang merasa sudah berusaha khusyuk, tenang, dan tidak terburu-buru, tapi Ibu bilang aku cepat sekali solatnya. Sepertinya aku harus meminta tips dari Gyan biar bisa tenang dan lumayan lama. Aku duduk di sofa ruang keluarga, kirim chat untuk Abang dan bertanya harinya, dia cuma bilang doakan aja, nanti Abang cerita. Okay kalau begitu, sekarang aku chat Ibu dan bilang kalau aku mau beli gultik di depan dan bertanya apakah nanti dia mau itu untuk makan malam. Ibu cepat-cepat menjawab; Ibu nginep, Ni, ini tadi bablas ke Sentul. Kamu kala takut di rumah sendirian, misal Abangmu nggak pulang, minta temenin Gyan aja ya.
Gyan aja, ya?
Kenapa tidak ada Emma di sana?
Ibu tahu Emma sahabatku.
Daripada bersama Gyan yang mengundah hal-hal buruk mungkin saja terjadi, bukankah lebih aman bersama Emma? Lagipula, sudah lama juga aku tidak menginap bersama Emma. Jadi, aku mengabari Abang dan bertanya nanti malam dia pulang atau tidak. Tebak jawabannya?
Kayaknya nggak, minta Emma nemenin kamu dulu ya.
Aku mengembuskan napas dan mengirim screenshot chat Abang ke Emma. Jaga-jaga kalau manusia itu tidak percaya. Belum sempat melihat balasan Emma, aku melihat Gyan berjalan mendekatiku dan mengambil duduk di sofa yang berbeda.
"Khusyuk bener, Pak?"
Dia tertawa. "Lama, ya? Kan, lo nitip doanya banyak bener, Ra."
"Oiya! Thank you, udah didoain anak baik, anak soleh."
Dia memutar bola mata, sambil terkekeh pelan. "Tapi katanya, doa anak broken home cepet dikabulin sih, semoga aja, ya."
"Kata siapaaa????"
Kami sama-sama tertawa kencang.
Yang ada katanya doa anak yatim, bukan? Berarti doaku, dong? Tapi buktinya, banyak permintaanku yang belum dikabulkan. Nah, kalau ngomongin soal doa yang dikabulkan dan tidak, malah akan membawa pikiran kita ke arah buruk, seolah Allah tidak mau mengabulkan doa hambaNya. Padahal, ilmu kita cetek, dan mungkin cara kerjanya tidak selalu sama plek dengan yang kita mau. Karena kita cenderung itung-itungan dengan permintaan yang belum terwujud, tetapi seketika lupa ingatan pada kebaikan dan kebahagiaan yang datang pada hidup.
"Lo tadi nggak percaya, kan, waktu gue bilang hidup Ibu lebih seru, Yan?" Alisnya mengerut, aku menyeringai. "Dia barusan WA, katanya malah ke Sentul sama temen-temennya dan mau nginep. See?"
Gyan tertawa. "Okay, bener seru. Alhamdulillah sih, ya, semoga makin bahagia nyokap lo, makin terbuka lebar pintu maafnya buat Abang."
"Aamiiinn! Mau keluar sekarang atau nanti aja abis magrib sekalian, Gy?"
"Bebas sih gue mah, lo mau kapan?"
"Lo tuh beneran nggak dicariin nyokap lo ya kalau pun nggak pulang?"
Gyan tergelak. "Kayak anak linglung, ya?"
"Enggak gitu, please?"
"Dicariin lah kalau seharian nggak ada kabar, tapi kalau udah tau mau ke mana, ya enggak sih. Nyokap orangnya santai dan dia percaya gue."
Aku mengangguk-angguk.
Perbincangan kami selesai karena handphone Gyan berdering. Aku tidak tahu siapa peneleponnya, tapi wajahnya terlihat tidak senang? Entahlah aku tidak terlalu yakin. Dia meletakkan kembali benda itu di atas meja dan menatapku, tapi handphone-nya berdenting. Kali ini mungkin chat.
"Kenapa, Gy? Urgent kah? Kalau mau balik nggak pa-pa, lho."
"Bukan, bukan." Ekspresinya terlihat sangat gusar, dia kenapa? "Ini temen kantor, gue nggak nyaman sih."
"Tanya kerjaan?" Dia tidak nyaman karena mungkin karena dia pun sedang di luar jam kerja atau gimana?
Kepalanya menggeleng. "Lo pernah nggak mau dikenalin sama temen lo gitu?"
Aku mengernyitkan kening. "Maksud lo, temen gue ngenalin gue ke temen cowok dia?" Melihat kepalanya mengangguk, aku jadi bingung. Di sisi lain mau tertawa, tapi di sisi lain merasa aneh dengan situasi ini. "Belum sih, dikenalin Ibu sama anak temennya pernah."
Gyan berdecak, aku tertawa. "Bukan kita, yang lain maksudnya, Dhara."
"Belum, belum," jawabku sambil tertawa geli. "Lo mau dijodohin sama temen lo?"
"Iya, gue udah bilang gue belum siap buat berhubungan apa kek itu namanya. Tapi dia kekeh dan malah bilang gue demen laki." Selalu, selalu begitu tuduhannya. "Terus sekarang ceweknya udah follow IG gue." Gyan meringis.
"Lo suka sama orangnya?"
Tatapan Gyan seolah 'menurut lo?'. "Gue nggak kenal orangnya, Ra."
"Fotonya? Maksudnya, dia tipe lo bukan?"
"Gue nggak bisa sih bilang tipe dari foto."
"Cantik atau nggak menurut lo?"
"Cantik." Bahkan jawabannya pun tak perlu dipikir sedetik, dia menjawab langsung dengan nada yakin.
"Yaudah coba aja nggak sih?"
"Menurut lo gitu?"
Aku mengangguk. Memperhatikan Gyan yang sedang fokus mengotak-atik handphone-nya, lalu tiba-tiba melihat dia tertawa pelan. "Lo ngapain, Gy?"
"Ha?" Dia menunjukkan layar handphone sekilas yang aku tak sempat melihat apa pun. "Dia ngirim video tolol gitu, kayaknya anaknya random banget humornya. Bagus sih, biar nggak awkward kalaupun nanti nggak jadi."
Aku tertawa, mengangguk.
Lalu ikut-ikutan sibuk memainkan handphone milikku. Yang aku lakukan adalah membuka WhatsApp, chat room aku dan Emma. Aku tidak peduli balasan Emma tadi apa, karena aku langsung mengetik:
Me:
Gyan lagi PDKT sama cewek lain!
Kenapa gue ngerasa diselingkuhiiiiiiiiin!
Aku tahu aku egois, sangat egois bahkan di saat aku sendiri tidak tahu bagaimana dengan perasaanku yang sebenarnya. Aku tidak ingin hidup selamanya dengan Gyan mengingat bagaimana prinsip hidupnya atau didikan yang dia dapat dari papanya. Tapi, tahu kalau Gyan mau kenalan dengan perempuan baru, apalagi dia mengakui perempuan itu cantik dan 'lucu', membuat aku merasa tak terima.
Kenapa aku tidak terima?
Kenapa aku menjadi sangat jahat dan egois begini?
Nini, wake up!
Emma:
Aduh drama baru nih.
Gue nginep deh
Oh, tadi jawaban Emma adalah dia tidak mau menginap di rumahku, tidak bisa. Ternyata. Jadi, harus ada drama dulu di hidup gue baru lo mau nginep di rumah gue ya, Emm? Aku akan mencubit pahanya kencang begitu dia sampai nanti.
Tapi sekarang, aku sedang melirik Gyan, dan laki-laki itu sedang nyengir pada layar handphone-nya.
Dia mungkin sudah mulai tidak waras, Ni, santai saja.
---
note: khusus buat extra part nanti cuma bisa dibaca di KK yaaa, jadi di sini tetep sampe tamat kok, ada 40 bab.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top