[dua enam] mencium bau tidak menyenangkan

"Thanks, Gyan. Seriusan deh, you saved my life."

Ucapan terima kasih—kalimat yang sama yang entah ke berapa ribu kali aku ucapkan untuk laki-laki yang berjalan di sebelahku ini. Kami mengikuti Alex dari belakang, karena anak itu jelas tidak akan sabar hanya berjalan 'pelan' bersama orang dewasa yang mendekati jompo ini. Alex anak yang aktif, tentu saja, makanya dia melangkah dengan sangat lebar, ceria, dan begitu antusias mendeskripsikan hewan-hewan yang dia lihat. Gyan, awal-awal tersenyum lebar, meletakkan sebelah tangannya di dada, membungkukkan sedikit tubuh sambil bilang 'my pleasure' saat aku selesai mengucapkan terima kasih.

Tapi, karena terima kasihku tidak berhenti, dia lama-lama kesal dan melirikku malas-malasan. Aku melihatnya dan tertawa sendiri. Padahal aku sungguh-sungguh ketika mengucapkan terima kasih dan bilang dia menyelamatkan hidupku. Di sini, sekarang ini, panas luar biasa. Entah bagaimana isi kepalaku, aku tidak terpikir untuk membawa perlindungan kepala. Jadi, kamu pasti bisa bayangkan sebesar apa rasa terima kasihku untuk Gyan karena telah memberiku topi. Jadi, wajahku sedikit terlindungi, selain dari sunscreen yang aku gunakan.

"Abang! Liat ituuuu! Buayaaaaaaa!"

Mendengar nama hewan ganas satu itu, aku buru-buru berlari—refleks sebetulnya mendekati Alex yang sudah berdiri dan bersandar di pagar. Harap tenang, karena jarak kami dengan buaya itu super jauh. Buaya itu ada di bawah dengan tanah berair itu, karena ini tanahnya sepertinya memang miring, dan mungkin demi keamanan juga. Aku mengembuskan napas lega, setidaknya Alex dan kami aman.

Mungkin baru sadar yang berdiri di sebelahnya lebih dulu adalah aku, Alex tersenyum lebar sambil menunjuk buayanya. "Kakak takut buaya nggak?" tanyanya, sambil sibuk mengunyah makanan yang dia pegang ke mana-mana—Gyan tidak berbohong saat mengatakan Alex suka sekali makan.

Aku tertawa pelan. "Kalau jaraknya sejauh ini sih nggak takut yaaa. Alex takut?"

Kepalanya menggeleng. "Aku mau pegang kulitnya, lucu kayak apa yaaa." Kalimatnya jelas membuat mataku melotot dan aku menatap Gyan yang memberiku ekspresi seolah dia sudah lelah mendengar rasa penasaran Alex. mungkin maksud anak ini ... dia penasaran tekstur kulit buaya?

Mari kita tanya.

"Maksudmu penasaran punggungnya itu kalau dipegang kayak apa?"

Dia langsung mengangguk. "Tapi nggak boleh sama Mama dan Papa dan Abang dan Mama Nita. katanya dangerous."

"Betul. Buaya, kan, termasuk salah satu hewan buas, Lex. Jadi, emang bukan kayak hewan peliharaan, bukan kayak kucing atau guguk yang bisa dielus-elus. Kita nggak tau kapan dia akan ngerasa ancaman dan tiba-tiba rawwwrrr, takut banget lho."

Dia ketawa! "Tapi ini dia dikandangin? Dipelihara?"

Oh, shit!

Aku melirik Gyan yang dengan kurang ajarnya buru-buru memalingkan muka, menatap ke depan, ke arah temannya itu—maksudku si buaya—dan seolah tak tahu kalau aku memberi kode merah meminta bantuan. Dipelihara dan dikandang ini konteksnya gimana, ya? Ya Tuhan, aku tahu tak akan pernah ada yang siap menjadi orang tua, banyak hal akan dipelajari sambil berjalannya waktu. Tapi, bukan berarti terlalu bodoh dan clueless begini, kan? Aku memang belum siap.

Tidak menyangka juga yang Gyan tanyakan apakah aku menyukai anak kecil termasuk untuk hal ini ; tentang pertanyaan jebakan.

Tapi aku tidak boleh membuatnya diam tanpa mendapat jawaban, jadi yang aku lakukan harus tetap menjawabnya, meski aku tidak yakin jawabanku salah atau benar. Karena ... okay, aku akan belajar lebih banyak nantinya. "Hewan liar atau buas, kan, memang bahaya buat manusia kayak kita. Makanya nggak boleh kita pelihara di rumah. Nah kalau di sini, di kebun binatang, mereka udah punya izin, terus mereka punya uang yang buanyaaaak buat bikin tempatnya kerasa kayak rumah mereka yang asli di hutan sana. Mereka juga jamin makanannya, mastiin kesehatannya. Dan itu susah, nggak bisa dilakuin orang biasa kayak kita."

Aku tidak percaya diri Alex akan paham maksudku, tapi ternyata dia mengangguk-anggukkan kepala dan bilang. "Terus kita ke sini kita bayar, uangnya buat makan mereka deh."

"Correct!" jawabku bahagia.

Napasku lolos lega ketika Alex akhirnya melanjutkan perjalanannya lagi. Aku melengos pada Gyan dan berjalan lebih dulu tapi dia dengan cepat mengimbanginya, sekarang sudah kembali berada di sebelahku. "Nggak gue maafin ya lo bikin gue keliatan tolol di mata anak kecil."

"Who said that?" Gyan tertawa-tiwi, terdengar sangat menyebalkan. "Lo tadi udah keliatan kayak Miss-nya Alex kok. Berwawasan."

Aku refleks menoleh, menatapnya sinis.

"I mean it."

"Bodo amat."

"Terus tadi keren banget bahasain anjing pake guguk. So cute."

"Gyan, please?" Sekarang aku terbahak. "Gue tadi takut kata anjing kasar buat dia, tapi kalau dipikir-pikir itu kan emang nama hewan, bukan buat umpatan, yaaa."

"Sebenarnya iyaa, tapi nggak apa-apa, nambah kosa kata dia. Soal tadi gue nggak bantuin, mungkin lo nggak akan percaya ini sih, tapi yaaa terserah, gue menikmati banget interaksi lo sama Alex. Lo harus tau, kalau ada pengukur aura, pasti tadi alatnya meledak, saking aura lo gila-gilaan bagusnya."

"Ya Allah, abis ketemuan sama temen satu spesies, energinya berasa full, ya?"

Gyan tertawa kencang.

Aku masih diam, karena sebal bukan main.

Tak lama setelah tawanya reda, tiba-tiba aku merasakan tangannya melingkar di punggungku yang tentu saja membuatku meliriknya. "Tangan tuh tangan kondisikan."

"Ya Allah, sadar aja lagi, heran," sinisnya, lalu dia memindahkan tangannya—jarinya itu menjewer telingaku. Baru aku mau protes, kalimatnya sudah terdengar lebih dulu. "Kalau nggak mau dirangkul karena terlalu romantis, ini dijewer biar kayak hubungan anak-bapak."

"Please...."

"Laper belum, Ra?"

"Belum lama lho kita makan, lo laper lagi?"

Dia tertawa. "Gue cuma nanya, ya Allah. Jangan sampe lo jalan sama gue pulang-pulang kelaperan kan nggak lucu. Disayang kayak princess aja tetep nggak diterima, apalagi ditelantarin. Lo laporin gue ke polisi yang ada."

Aku tergelak.

Kemudian sadar Alex sedang berjalan cepat-cepat ke arah kami sambil ... memegangi pantanya. Aku sudah mencium hal-hal yang tidak mengenakkan. "Abang, mau eek." See? Suka makan dan gampang BAB mungkin memang sudah sepaket.

Buktinya aku tidak melihat wajah panik Gyan atau bete atau apa, yang artinya dia sudah terbiasa dengan hal ini. Sebagai anak bungus dan belum punya keponakan, rasanya masih selalu mengejutkan untukku.

Gyan mengucapkan maaf padaku dan memintaku menunggu di sini sementara dia ke toilet, tentu aku menolaknya. Lebih baik aku ikut daripada aku sendirian seperti orang hilang di kebun binatang. Jadi, di sinilah kami sekarang, sedang menunggu Alex BAB di toilet dan Gyan meyakinkan kalau anak itu sudah pandai membersihkan diri. Aku lega, entah untuk alasan apa.

Selesai Alex BAB, dia meminta untuk kembali melanjutkan jalan-jalan, tapi mengeluh kakinya pegal. Jadi, Gyan memutuskan untuk menyewa e-Car yang bentuknya mirip seperti mobil golf itu dan sudah lengkap dengan sopirnya. Bahkan, kami diberitahu bahwa kami boleh request untuk mengunjungi binatang mana saja. Harga sewanya per jam dengan tarif ... aku lupa bertanya pada Gyan dan dia yang membayarnya tadi.

Pilihan Alex tentu macam-macam, mau lihat Gajah, lihat Unta, lihat burung, lihat a b c d. Tapi sejujurnya, aku juga sangat menikmati perjalanan ini. Melihat hewan-hewan tadi, berjalan kaki yang mungkin ini lah memang alasan bikin hilang stress, makan dan minum yang terasa sangat enak karena lapar dan haus banget, juga ... ngobrol dengan Alex. Mungkin juga dengan Gyan, selalu terasa menyenangkan.

Perjalanan kami sudah selesai, kami sudah di jalan pulang dengan Alex yang terlelap di belakang setelah bercerita banyak hal kalau dia tadi melihat hewan ini dan itu, ada anak kecil yang menangis takut hewan, dan lain-lain. Musik dinyalakan lirih, dan aku mendengar Gyan bilang, "Tidur aja kalau capek."

"Eh yakin?"

Dia menatapku heran.

"Biasanya orang yang nyetir tuh paling anti kalau ditinggal tidur semua tau. Abang gue ngamuk kalau semua tidur, dia bukan sopir katanya."

Gyan tertawa pelan. "Kan, gue yang ajak lo main, kalau lo sampe kurang tidur juga gue yang kena. Lagian, lo tidur juga tetep di sebelah gue tuh, bukan pindah ke atap mobil."

Aku memutar bola mata. "Bayar e-Car tadi berapa, Gy?"

"Kenapa nih?"

Aku tergelak. "Takut banget ya lo tahu kalau ada orang mau ngeluarin duit. Gue cuma nanyaaaaa, hari ini gue princess, dan semua ditanggung sama Gyan. Bantuin gue napas juga dong, Gy."

Ya Tuhan, sepertinya aku salah ucap dan dia salah tangkap. Karena jawabannya adalah. "Boleh banget. Mumpung Alex tidur, gue kasih napas kilat."

"You wish."

Dia tertawa.

"Anyway, makasih banyak ya, Gyaaaaaan. Gue happy banget hari ini. Diajak jalan, liat binatang lucu, ketemu spesial lo—" Aku mendengar dia terkekeh. "—dikasih makan dan minum, super happy!"

"Nggak ada yang lebih happy dari ini," katanya pelan. "Liat Alex happy, liat lo juga membuka diri dan sekarang bilang happy, gue nggak tahu harus bilang terima kasih yang gimana sama Allah."

Aku meringis.

Meninju lengannya pelan.

Gyan tertawa pelan. "Berarti kalau diajak date lagi sama Alex mau dong?"

"Oh jadi setelah lo udah kehabisan amunisi dan nggak ada yang works, sekarang mau eksploitasi anak demi kepentingan pribadi?"

Tawanya lepas, tapi seketika dia menutup mulut karena mungkin baru sadar kalau Alex tidur di belakang. "Nggak dong, kan sebelum ini juga gue jalan sama Alex."

"Tapi dulu motifnya tulus, sekarang enggak. Parah sih."

"Nini, jangan sampe beneran gue cium, ya?" Dia tertawa lagi. "Jangan lucu-lucu, gue nggak tahu gimana nyembuhinnya nanti."

"Gyan, please??????"

Di tengah tawanya, handphone Gyan berdering. "Halo?"

"Udah selesai?"

Oh aku mendengar percakapan mereka, seantero isi mobil ini mendengar, rasanya aneh. Meski aku sudah pura-pura mengalihkan pandangan keluar kaca pintuku, tentu saja masih mendengar.

"Udah jalan pulang ini. Kenapa, Ga?"

Mega.

"Gimana tadi? Seru?"

What?

Aku menahan tawa. Bukannya harusnya yang dia tanya seperti itu adalah Alex? Kenapa Gyan?

"He was so happy. Tidur anaknya."

"Thank you, yaaa. Nanti langsung dibawa ke sini, kan?"

"Yooo."

"Mau aku masakin apa?"

Pertanyaan macam apa itu?

Hubungan ibu tiru dan anak begitu normal?

Aku tidak mendengar jawaban Gyan langsung, dia butuh beberapa detik sebelum menjawab. "Nggak usah, udah kenyang, makan sama temen." Teman? "Tapi kayaknya agak telat sampenya, mau anterin temen pulang dulu."

Oh, jadi yang dia maksud teman di sini adalah aku?

Aku temannya?



---

note: khusus buat extra part nanti cuma bisa dibaca di KK yaaa, jadi di sini tetep sampe tamat kok, ada 40 bab. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top