[delapanbelas] hubungan apa ini?

"Edyan! Masih nggak nyangka, seumur hidup, gue bakalan diusir dari supermarket."

"Hahaha. You can thank me now!"

"Excuse me?"

"Gue kasih lo pengalaman baru, kan?"

"Bocah edan lo ya emang, Gy! Bayangin kalau tadi ada yang rekam, terus di-posting ke sosmed, semua orang akan liat muka-muka kita yang bloon. Terus mereka akan nyebut kita pasangan Karen dan Moron."

"Karen and Moron, eh? Tapi bagus lah viral, biar bisa cepet tajir." Sepertinya uang yang dia miliki kurang. "Oh I know! Your favorite person bakalan notis elo and boohoo! He'll regret everything, his decision."

Aku nyengir. "Decision apa? Nggak kenal gue?"

"Oh. Sori. Yang itu biar gue aja, berat." Saat dia melihat aku memberi tatapan tajam, Gyan memiringkan kepala. "Fine, lo juga kuat angkat itu. Lo tuh emang nggak bisa dimanjain ya, Rha? Senengnya diajak hidup susah kah?"

"Hell no!" teriakku tak terima, dua tas belanja di kedua tangan aku letakkan di tanah—bukan literally tanah, karena kami di garasi rumahku—dan aku memandangnya kesal. "Lo tuh emang gitu ya, Gy? Selalu ngehubungin satu hal ke lainnya yang padahal variabelnya nggak nyambung?"

Dia tergelak. Menutup bagasi dengan kencang, membuatku sedikit terkesiap dan memejamkan mata. Aku tahu, dia tak perlu mengeluarkan tenaga sedahsyat itu hanya untuk menutup bagasi. Tapi dia sedang menggertakku. Lihat aja sekarang, tangannya yang super sibuk menentang tas belanja, bahkan sampai ada yang dia kepit di antara lengan dan ketiak—pinggang maksudku. Aku mati-matian menahan tawa. Kemudian berdiri tegak di hadapanku dengan tubuh penuh belanjaan itu. "Come again?"

"Lo seneng hubungin satu hal ke yang lain padahal nggak nyambung."

"Did you just say ... nggak  nyambung?"

"Mm-hmm."

"Kira-kira mau minta maaf nggak nih?"

Aku menggigit bibir bagian dalam karena tidak mau tertawa. Aku tahu aku sedang dalam kondisi sinting, tidak waras, edan, dan segala teman-teman sinonimnya untuk mendeskripsikan keadaanku ini. Intinta, aku gila karena menganggap, Gyan yang sedang kesal, dan menatapku tak suka seperti itu sangat tampan. Dia jarak bete, jarang kesal, jarang marah—sepertinya malah belum pernah—karena yang selalu aku lihat adalah Gyan yang jenaka, humoris, strong, kelihatan pinter.

Tapi Gyan ini, yang berdiri dengan belanjaan banyak, ekspresi nyaris frustasi, dia memang terlihat konyol, tetapi aku diam-diam menyukai kekonyolannya. Menyukai? Aku akan mendefinisikannya gimana nanti? Suka yang gimana, Ni? Seperti rasa suka Gyan ke aku? Atau aku hanya suka karena melihat Gyan yang lain?

Suara tawa Gyan yang tiba-tiba keluar membuatku sadar dan menatapnya kebingungan. Dia mulai ikutan sinting ya karena menemaniku beberapa hari ini? "Now I know," katanya, tiba-tiba nggak jelas.

"Sorry?"

"Gue inget banget tatapan jijik lo waktu itu. Dan sekarang gue tau, lo nggak suka cowok lemah. Oh bentar, gue paham lo suka cowok yang mau mengekspresikan perasaannya, tapi lo sebenernya nggak suka mellow-mellow, cowok jual kesedihan biar lo kasihan, lo nggak mau kejebak dalam rasa bersalah dan belas kasih. I know that, Nini." Cengirannya membuatku meringis ngeri.

"Side job lo cenayang, ya, Gy?"

"Cenayang yang sukses, I'm proud of myself."

Aku benar-benar melongo.

Dia mulai berjalan, melewatiku, tapi kemudian terhenti kembali dan menatapku. "C'mon! Ayo masak bareng. Mau kasih gue dare nggak masak sesuatu?"

Aku tertawa mencemooh. "Tapi nangis nggak nanti kalau kalah? Oh nggak mungkin sih nangis. Gyan, kan, cowok strong, yang denger kata nangis aja haram di kamusnya."

"Say that again and I'll kiss you."

"Ha! Lo nggak akan bera—" Mulutku bungkam, saat tiba-tiba langkah kakinya yang lebar berhasil membawanya di depan wajahku dalam waktu kilat. Tatapan matanya ... itu apa? Nggak marah, kan?

"Would you mind repeating that, Dhara?"

Aku menelan ludah, menundukkan pandangan untuk menetralkan jantung. Terlalu banyak wajah baru Gyan hari ini dan rasanya aku kewalahan. Kalau yang tadi aku dengan jelas bilang kalau menyukainya, yang sekarang aku tak ta...

Dia tertawa pelan.

Aku mendongak menatapnya lagi.

"Kasih gue tantangan masak, kita taruhan. Yang kalah of course boleh nangis, kelamin kita value-nya sama, kan?" Dia menggodaku, aku tahu. "Yang menang boleh nambahin beban ke yang kalah biar nangisnya makin kenceng. Tapi nanti, kita anggep surprise."

"Oh I like it!" seruku.

Dia tersenyum culas.

"Udah pulang belanjanya?"

Aku dan Gyan sama-sama tersentak. Ibu tiba-tiba nongol di pintu garasi dengan senyuman ... ya Tuhan, she's back! Senyum Ibu, wajah Ibu yang ceria dan teduh itu, tegak tubuhnya karena sudah tidak lagi lesu. Aku melirik Gyan yang mengajak ngobrol Ibu karena membantu barang bawaannya. Apakah ... Gyan sungguh berperan membantu Ibu 'kembali'? Apakah Ibu sesuka itu dengan Gyan?

"Kayak gitu kok kemarin-kemarin soal taneman aja dianggap banci, sih, Nak." Kalimat itu entah mengapa membuatku tak bisa menahan tawa kencang. Aku sedang sibuk merapikan dan memasukan bahan-bahan ke dalam kulkas atau lemari tempatnya. "Dapur bukannya tempatnya perempuan aja?" Oh, sindiran itu.

Suara tawa Gyan terdengar. "Kan, Gyan, nggak tahu kalau Ibu sama Nini beda dari Papanya Gyan." Papanya Gyan, how cute. "Sekarang Ibu tenaaang, kita nggak akan bahas masalah kelamin-kelamin lagi—maaf, maksudnya." Gyan berhasil membuat Ibu tertawa kencang! Aku berhenti dari aktivitasku dan memilih memperhatikan mereka yang sedang kerja sama itu. Gyan mengangkat bungkusan yang berisi .... "Ibu tau ini apa?"

"Oh mau nguji Ibu karena ngerasa jago?"

"Enggak, coba bilang ini apa?"

"Lengkuas, Sayang."

"Correct! Tapi Ibu tahu nggak kalau ada orang yang ngakunya benci patriarki, nggak mau ada kegiatan dibeda-bedain buat cowok dan cewek, tapi dia sendiri bumbu dasar masakan Indonesia ini nggak tahu." Aktor kebanggan Jakarta sepertinya Gyan ini. Lancar sekali dialognya, tanpa melirikku atau apa. Membuat Ibu antusias.

"Masa sih?"

"Iya, Bu. Dia bilang lengkuas ini ketumbar."

"Bohong!" Aku refleks menjerit, membuat Ibu terkesiap sampai mengelus dadanya. "Sori," lirihku sambil meringis. Tapi tidak untuk Gyan, aku memelotinya bahkan kalau bisa bola mataku keluar dan terbang ke arahnya. Saking menaham geram, kedua tanganku mengepal di sisi tubuh, siap menghajarnya. "Lo mau bantuin gue masak atau keluar."

Gyan tersenyum. "Kita tanya Ibu."

"Itu Ibu gue!"

"Gue nggak bilang Ibu gue. I said 'Ibu'."

Suhu tubuhku mungkin sudah bisa mencapai suhu terpanasnya Arab Saudi. Aku menggeram dan pada akhirnya tak mampu lagi menahan diri. "Gyaaaaaan!" Sudah berapa kali seharian ini aku berteriak.

"Okay, okay, okay!" teriak Ibu sambil menepuk tangannya. "Anak-anak, dengerin Ibu. sebelum dapur ini meledak, Ibu mau kalian masak dua makanan berbeda, masing-masing, jangan saling bantu."

"Bu—"

"Nini, Ibu tau kamu butuh pelampiasan, kan? Semangat kalahin Gyan. Ibu tinggalin kalian dan jangan sampai rumah ini meledak."

Bahuku merosot melihat punggung Ibu menjauhi dapur.

Di sisi lain, aku juga akhirnya tersenyum karena Ibu benar-benar kembali lagi, walaupun aku tidak tahu pasti bagaimana isi kepala dan hatinya. Seberapa kuat kah dia untuk berpura-pura baik-baik saja ini. Aku melirik Gyan, dia juga sedang menatapku. Aku tertawa lepas, lalu mendengar suara tawanya juga. "Lo ngeselin banget hari ini, Gy, lo harus tau itu."

Dia mengangguk-angguk. "Lo juga harus tau, Rha, gimana senengnya gue hari ini."

"What???"

"Liat gimana lo hancur banget kemaren-kemaren, rasanya kayak ... aaah I can't find the right word to describe." Kepalanya menunduk, aku melihat ia memainkan kakinya karena sekarang dia bersandar di kitchen counter. Kepalanya kembali diangkat dan dia menatapku. "Gue seneng liat lo bisa ngerasain banyak emosi lagi hari ini, artinya bagus, kan? Manusia biar marah, kesel, ketawa dan nangis?"

Aku mengangguk.

"Dan gue makin seneng karena gue bisa terlibat. Thank you."

"Gue yang seharusnya bilang thank you."

"No no no, maksud gue, thank you karena ngajarin gue buat bebas ngerasain banyak emosi. Nggak hidup dengan selalu ngontrol diri. Sesekali ternyata lepas kontrol juga perlu."

"Gue nggak tahu harus ngomong apa."

"Tapi gue tau kita harus ngapain."

Aku menatapnya bingung.

"Ayo masak hei!" serunya penuh antusias. "Udah siap kalah belum?"

Aku memutar bola mata.

"Jangan ngerengek ke Ibu, ya, Rha, nanti kalau masakan gue lebih enak."

Aku menghela napas kasar. "Lo tau, Gy?"

"What?"

"Setan suka banget sama yang namanya kecongkakan."

Dia terbahak-bahak. Kemudian mulai menyiapkan bahan-bahan untuk masakannya. Sementara aku masih santai, memandanginya yang sibuk. Melihat tangannya yang sesekali menyugar rambut, lengannya mengusap wajah, suaranya saat berdeham sesekali. Laki-laki ini ... sesulit apa hidupnya dalam mengontrol apa yang ada di dalam dirinya? Penuh dengan rules. Tidak bebas menjadi diri sendiri. Dibayangi ketakutan akan kelakuan ayahnya. Dengan semua itu, dia masih berusaha sangat keras untuk bisa masuk ke keluargaku, menghibur aku dan Ibu, memancing emosiku agar lepas.

Gyan ....

Kalaupun nanti aku nggak bisa kasih apa yang kamu mau, aku sungguh berharap kamu bisa mendapatkan yang terbaik dalam hidupmu. You deserve it.

"Apakah saudari Dhara masih bersama Gyan?"

Aku menggelengkan kepala. "Semangat banget kayaknya, Pak."

Dia tertawa. "Gue boleh sayang sama lo, Ra, tapi soal lomba ...  I'm sorry. Gue harus menang."

"Ya ya ya, cowok dengan segala egonya."

"Hei, stop it! Jangan mulai bahas jenis kelamin, gender dan berujung lo ngatain gue nggak nyambung. Fokus aja coba, lo mau masak apa?"

"Rahasia dong."

Dia meringis. "Ngasih tahu gue clue-nya dikit."

"No way!"

Tawanya lepas. "Please?"

"Gyan, lo bener-bener ... ini kalau lo kalah lo nggak akan bunuh gue, kan, demi pride lo itu?"

"Hmmm, I'd love that idea." Ia melepaskan apa yang dia pegang, kemudian menatapku. "Lo tau nggak rule motong hewan gimana?"

"Ha?"

"Harus tajem biar mereka nggak sakit."

"Gyan, nggak lucu."

"Okay, sori." Kedua tangannya diangkat. "Semua emosi boleh, tapi nggak termasuk takut sama gue." Kami sama-sama tertawa. Kemudian samar-samar aku masih mendengarnya berbisik lirih. "Gue pengen banget peluk lo, Rha."

"Hei!" Aku mendekatinya. "Lo boleh peluk gue, Gy."

"Really?"

"Iyaaa!"

"Walaupun lo nggak lagi ngerasa kacau atau perlu atau—"

Aku membuatnya berhenti ngomong acak itu dan langsung memeluknya erat. Beberapa orang memang perlu pelukan untuk meringankan beban, dan aku tahu yang dihadapi Gyan tidak selalu mudah. Setiap hari mengingat fakta bahwa mantan pacarnya hidup dengan ayahnya.

"I love this feeling," lirihnya.

"Hidup kadang emang konyol ya, Gy?"

"Banget."

"Kita lebih konyol tapi."

"Hm?"

Aku tertawa pelan. "Apa yang kita jalani ini, Gy? Gue takut nyakitin lo."




---
gyan ke nini be like:

yang mau ngebut ngeeeeng, di KK udah ada sampe bab 34 yaa cuiii. muach

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top