Part 28 - Selamanya Kita

Maaf ya, baru bisa update.

Sekarang tuh, hapeku gampang panas, gak tau kenapa. Jadi kalau on Mulu baterai jadi cepat habis juga.

Padahal tadinya enggak loh. Padahal ini belum ada setahun.

Waktu gak panas, malah Sinyal gak ada. Heran deh.

Ada yang tahu kenapa?

Maaf ya jadi curhat.

Tolong ramaikan ya.

Happy Reading.

Play list || Selamanya Kita - Dewa Bujana feat Raissa Anggaini.

Aku titipkan doaku pada Tuhan tentang inginku bersamamu selamanya
Besar mungkin lika-likunya
Boleh kah aku mencoba dulu?
Mari kita, buat 'kita' jadi abadi?
🎶🎶🎶

****
Aku akan selalu jatuh cinta padamu, sekalipun kamu tidak nyata untukku.

~Alteza Galen Pramana~
****

Angin berlari-lari kecil malam ini, mengibaskan rambut seorang gadis yang berlari tak tentu arah. Sayup-sayup anginnya begitu magis, mengkamufalsekan suasana menjadi melankolis.

"Ra, Alora, tunggu!"

Alteza semakin mempercepat langkahnya, dia mencekal tangan Alora membuat gadis itu menghentikan langkahnya. "Lo kenapa lari?"

Tangan Alteza mencekal pundak Alora, membalikkan tubuh gadis itu agar mau menatapnya.

Mata Alteza terbelalak, kala melihat air mata jatuh di wajah cantik Alora. Lantas, jemari besar Alteza bergerak menghapusnya. "Lo kenapa nangis? Apa karena perkataan gue tadi?"

"Lo kenapa pergi gitu aja tanpa berucap satu kata, pun? Apa salah, ya, gue mengungkapkan perasaan ke lo?" tanya Alteza bertubi.

Alora menggeleng pelan. Ia hanya takut tenggelam, dan hanyut dalam rasa yang sulit diwujudkan.

"Aku bingung, Za, aku bingung harus gimana?" Tangis Alora semakin luruh. "Di satu sisi, aku juga merasa apa yang kamu rasa. Tapi di sisi lain, aku juga tahu, kalau aku dan kamu, tidak bisa bersatu. Tidak akan pernah."

Rasanya, Alora seperti termakan oleh omongannya sendiri. Awalnya, dia ingin membuat Alteza jatuh cinta padanya, agar Alteza bisa mengubah kisah Alora menjadi happy ending. Hal tersebut malah menjadi bumerang baginya. Alora lebih dahulu menyukai Alteza sebelum cowok itu menyukai dirinya.

"Kamu memang ada dan nyata, Za, tapi enggak buat aku." Alora menggelengkan kepalanya pelan, seolah dia dan Alteza adalah ketidakmungkinan.

Alteza menangkup pipi Alora, membuat gadis itu menatap ke arahnya. "Gue tau, Ra, emang sulit rasanya kita buat bersatu. Tapi apa kita gak bisa mencoba dulu?"

"Mencoba bersama, meski sebentar lagi lo bakalan pergi ke dunia lo." Alteza menghela napas. "Mau, ya, nikmati sisa-sisa hari lo di sini bareng gue? Bukan sebagai penulis lo, tapi pasangan lo?"

Alora termangu mendengarnya, dia menatap Alteza dalam. Mencari letak keseriusan cowok jangkung di depannya. Dan yang Alora dapat adalah ketulusan. Ketulusan yang sama seperti yang dulu Farsyan berikan padanya. Bahkan, lebih dari itu.

"Meski kita adalah suatu hal yang tidak abadi?" tanya Alora.

Alteza tersenyum tipis. "Kita abadi, Alora, yang tidak hanyalah waktu kita untuk bersama."

"Asal lo tahu, Ra, selama ini gue bunda menyelesaikan naskah lo bukan karena tugas kuliah gue numpuk, tapi karena gue sengaja ngulur waktu, biar lo ada di sini, di samping gue," aku Teza pada akhirnya.

Sontak, pernyataannya membuat Alora terperanjat. Kalau alasannya begitu, jelas Alteza tulus padanya.

"Maaf kalau gue terkesan egois, tapi gue belum siap kalau lo pergi. Apalagi setelah lo berhasil buat gue jatuh cinta sama lo." Alteza menurunkan tangannya dari pipi Alora, lalu dia memegang kedua tangan gadis itu. "Dan sekarang, lo harus tanggung jawab atas perasaan yang gue miliki.''

"Caranya?" tanya Alora.

"Dengan jadi pasangan gue. Melakukan banyak hal bareng gue sebelum lo pergi nanti," pinta Alteza penuh harap.

"Kamu, lagi nembak aku?"

"Gue bukan tipikal cowok romantis, Alora. Bahkan ke Estrella dulu pun, gue gak berani ngomong gini. Kali ini, gue beranikan diri, karena gue memang sayang sama lo." Mata Alteza menatap Alora dalam. Rasa takut yang awalnya menggebu diisi binar kebahagiaan yang dia harap bisa menjaganya, selamanya.

"Boleh aku tau, alasan kamu suka aku?"

"Gak perlu alasan untuk mencintai seseorang, Alora. Apalagi orang itu lo."

Senyum Alora merekah kala mendengar ucapan dari bibir Alteza. "Dan aku pun begitu."

Di bawah temaram lampu jalan yang menerangi gelapnya malam, dua orang insan tersebut saling berpelukan. Menyalurkan rasa kasih dan sayang yang abadi meski hanya sebentar.

***

"Gue tau, gue ganteng, tapi gak usah natap segitunya kali."

Saat ini Alteza sedang meneruskan tulisan naskahnya yang akan rampung beberapa part lagi. Alora menemani cowok itu dengan duduk di sampingnya.

"Kenapa? Emang gak boleh, ya, lihat pacar sendiri?" Alora bertopang dagu, menatap Alteza penuh cinta.

"Kalau dilihatin terus, nnati gue gagal fokus." Alteza membenahi letak kacamatanya yang sedikit melorot. Matanya terasa perih jika menatap layar terus menerus.

"Kenapa gagal fokus?"

"Karena lo lebih menarik daripada laptop ini.''

Alteza tidak berbohong, Alora terlihat dahayu. Apalagi saat indurasmi yang memantul melalui jendela mengenai wajahnya.

Alora menegakkan tubuhnya, menatap Alteza dengan wajah cemberut. "Aku boleh gak, baca naskahnya?"

"Enggak boleh, Alora. Masa lo baca cerita lo sendiri?" balas Alteza, tanpa menoleh. "Kalau lo balik ke dunia lo, nanti juga tahu. Kalau sekarang biar rahasia dulu. Endingnya agar menjadi  kejutan."

Secercah harapan selalu Alteza panjatkan agar Alora tetap bersamanya. Namun, dia tidak boleh egois. Bagaimanapun dia tidak bisa merubah takdir semesta. Di antara Alteza dan Alora terdapat sekat yang sukar dirobohkan meski apa pun caranya. Kisah keduanya sangat pelik.

"Kamu kenapa?" Alora begitu peka, saat Alteza mengubah raut wajahnya menjadi nelangsa.

Ketika dia mencoba menerka, Alora paham mengapa Alteza jadi begitu. Gadis itu menghela napas, menyentuh jemari Alteza yang terdiam di atas keyboard laptop miliknya. "Walaupun nantinya aku akan pulang ke duniaku, kamu akan abadi di saudaraku, Alteza."

"Atma dan daksamu gak akan pernah lekang dari ingatanku. Selamanya," lanjut Alora, mencoba meyakini Alteza kalau semua akan baik-baik saja. "Kamu sendiri yang bilang kalau kita bisa mencoba dulu, terus kenapa sekarang kamu yang sedih?"

"Gue gak sedih, Alora. Gue cuma memprediksi apa yang terjadi di hidup gue tanpa lo, nanti."

"Jangan terlalu menerka masa depan, kita masih punya masa sekarang, Teza. Masa aku dan kamu yang bahagia."

Perkataan Alora membuat sendu di wajah Alteza lenyap entah ke mana, menguap di udara begitu saja. Cowok itu merubah posisinya menjadi menyamping, menatap Alora lebih intens. ''Lo benar. Kita punya masa sekarang. Dan itu harus dirayakan bersama-sama."

Senyum Alora mengembang. Dia tidak peduli dengan perpisahan yang nantinya akan tiba. Dia hanya ingin menikmati saat-saat bersama Alteza. Mungkin, situasi seperti ini tidak akan terulang lagi esok hari.

"Oh, iya, lupa. Gue tadi beli ini buat lo." Alteza mengeluarkan setangkai bunga mawar yang sedikit layu dari dalam tasnya. "Maaf agak layu, kayaknya dia pengap kelamaan di tas."

"Kok gak ada plastiknya?" Alora menelisik bunga tersebut, lalu dia menatap Alteza dengan kedua alis yang dinaikkan. "Ini beli, atau petik dari pot bunganya Tante Anika?"

Alteza meringis, dia menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Maaf, Ra. Sebenarnya emang petik punya Mama. Soalnya bunga Mama mekar banyak. Gue ambil satu deh."

"Masa ngasih bunga ke aku gak modal, sih? Mana nyolong lagi."

"Gue gak sempet beli, Ra. Buru-buru mau ketemu lo soalnya." Alteza terus saja berkelakar, melakukan pembelaan agar tidak dipojokkan. "Pulang dari kampus, cuma numpang makan dan mandi doang di rumah, belum ke sininya macet di jalan. Ya gue petik aja punya nyokap."

"Emang buru-buru mau ketemu aku kenapa, sih? Kangen? Orang kemarin aja ketemu kok."

"Gue takut lo tiba-tiba hilang." Alteza tidak mau itu terjadi.

"Aku masih punya waktu di sini tiga hari lagi. Waktu buat kita bersama." Alora tersenyum, lalu menghirup aroma bunga mawar yang dia pegang.

"Cantik."

"Bunganya?" tanya Alora.

"Kamunya yang cantik, Alora."

"Dih aku-kamu, biasanya lo-gue."

"Gapapa, kan, sekarang kita udah jadian." Alteza menjeda sejenak. "Gak pantes ya, aku ngomong gini?"

"Pantes, kok, cuma belum terlalu familier di telingaku."

Tangan Alteza terulur, mengacak rambut Alora gemas. "Tidur gih, aku mau lanjut nulis."

"Gak mau aku temenin lembur?''

"Kamu istirahat aja."

"Oke, baby."

Jawaban Alora mengingatkan Alteza pada saat awal-awal mereka bertemu, hal itu sontak membuat Alteza senyum sendiri.

Sedangkan siempunya, sudah bergegas duluan ke kamarnya.

Sebenarnya, Alora ingin menemani Alteza lembur bukan karena dia kasihan terhadap Alteza. Namun, dia sendiri tidak bisa tidur. Lebih tepatnya takut untuk tidur.

Beberapa hari terakhir, Alora sering mimpi buruk. Padahal dia tidak pernah mimpi sebelumnya. Dia selalu dimimpikan oleh suara-suara yang entah darimana asalnya.

Suara itu terus saja mengingatkannya bahwa, hidup Alora bukan di sini, tetapi di alam lain. Dan Alora, seharusnya tidak boleh jatuh cinta dengan penulisnya, tetapi dia nekat melakukan itu.

"Kalau aku gak boleh jatuh cinta, harusnya aku mati aja, jangan terdampar di dunia ini sialan!" Alora mengeluarkan serapah sambil menutup telinganya rapat-rapat. Suara itu masih menghantui dirinya hingga sekarang.

"Waktu yang aku punya tinggal tiga hari, bukankah itu terlalu singkat?"

"Aku ingin tetap di sini, tapi itu hal yang mustahil. Kenapa aku diciptakan hanya sebagai tokoh fiksi? Kenapa?"

Alora memeluk lututnya sendiri. "Aku terlalu fana untuk Alteza. Dan dia terlalu nyata, untukku yang hanya khayalan."

"Kita adalah ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan."

"Dan Alteza adalah ketidakmungkinan yang ingin ku jadikan tujuan. Bukan hanya dari rasa aman, tetapi juga kawanan."

Pada akhirnya, berharap sesuatu yang tidak mungkin hanya akan menyakiti dirinya sendiri.


TBC

Gimana pendapat kalian setelah membaca part ini?

Maaf ya, gaes, kalau gak jelas. Buntu banget ini.

Kalau mau mendekati ending, ide selalu macet entah di mana. 🥺😭

Semangatin aku dong!

Tolong ramaikan ya gaes. Bentar lagi mau tamat.

Ini udah menuju ke detik-detik menuju ending. Mungkin beberapa part lagi.

Jangan lupa vote komen dan share ya, jangan silent readers.

Love you readers

Dedel

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top