Part 1 - Alteza Galen Pramana

Hai, akhirnya aku punya waktu buat nulis cerita ini lagi semoga kalian suka ya.

Cerita ini hanya fiksi belaka, lebih tepatnya romance-fantasi. Jadi banyak hal tak nalar yang terjadi di sini.

Jadi, nikmati saja alurnya.

Note: Usahakan kalau baca jangan pakai mode terang, ya. Pakai hitam atau krim aja. Soalnya ada .... di bawah.

Happy Reading.

("^_^")

(Hai, kenalin. Ini Alteza, si penulis novel)

______________
Soal cinta, aku tak tau apa-apa. Tapi soal jalan cerita, aku adalah lakon sutradaranya.
****


Seorang laki-laki berusia 21 tahun sedang duduk bersama editornya. Ya, dia adalah seorang penulis novel yang sedang naik daun. Alteza Galen Pramana adalah namanya. Cowok itu berkuliah di Universitas Nusantara jurusan sastra.

"Teza, menurut gue, lo terlalu nyiksa tokoh protagonis lo. Padahal dia gak salah apa-apa, tapi malah lo buat ending yang gak adil untuk dia." Perempuan berambut hitam sepunggung membalikkan laptop kepada Alteza. Sudah kurang lebih tiga jam dia selesai membaca naskah yang ditulis cowok tersebut.

Perempuan itu bernama Vaela Maladewi. Teman satu kampus dan satu jurusan Alteza, sekaligus editor naskahnya selama ini. Alteza meminta pendapat dari Vaela sebelum dia merevisi naskahnya dan mengirimkan pada pihak penerbit.

"Nyiksa dari mana? Gue kasih sad ending juga ada sebab akibatnya," Cowok bermata hazel dan berahang tegas itu menjawab.

"Ya tapi lo keterlaluan, Za. Harusnya kalau nulis, lo juga ambil feel dari sudut pandang lo. Jangan mentang-mentang tokoh lo cewek, dan lo itu cowok, jadi lo gak peduli sama pemeran protagonis lo." Vaela menasihati sahabatnya. Jujur, sebagai cewek, dia membaca novel tersebut terluka. Dia ikut merasa sakit hati saat membaca peran Alora.

Naskah novel yang ditulis oleh Alteza berjudul; I'm into You. Novel yang bercerita tentang seorang gadis yang bernama Alora Mysha Lashira. Alora adalah anak tunggal dari pengusaha kaya raya, yang selalu dikelilingi banyak teman dan juga laki-laki. Namun, siapa sangka, yang ingin berteman dengan Alora hanya statusnya saja, bukan tulus dari hati. Bahkan, mereka diam-diam membentuk akun haters untuk menjatuhkan Alora.

Begitu pula laki-laki yang mendekatinya. Mereka hanya modal tampang saja, setiap mengajak Alora jalan, pasti pura-pura dompet ketinggalan dan seribu macam alasan lainnya, sehingga Alora yang bayar. Ada pula yang mendekatinya karena ingin fasilitas yang Alora punya. Tidak ada yang tulus mencintainya.

Alora bukan gadis bodoh yang menerima begitu saja. Dia berandiwara berteman dengan mereka hanya untuk menyenangkan hatinya. Alora punya banyak bodyguard yang bisa dia suruh apa pun, bahkan untuk mencelakai dan membalas hal setimpal dengan apa yang mereka lakukan pada Alora.

Alora menolak laki-laki yang ingin menjadikannya pacar. Sebab mereka tidak pakai hati untuk menjalin hubungan dengannya. Tanpa sadar, Alora menolak dengan membongkar niat bulus para laki-laki tersebut. Sampai-sampai ada yang tidak terima rencananya gagal hingga balas dendam dengan memasukkan obat tidur dalam minumannya, dan mengambil kesempatan tersebut untuk mengambil kesucian Alora.

Namun, Alora diselamatkan oleh cowok yang bernama Farsyan. Dari situ, timbullah perasaan Cinta keduanya. Siapa sangka, kisah cinta yang tadinya manis, mendadak tragis karena suatu kejadian. Tentu saja, Vaela merasa kesal saat membaca endingnya.

"Lo itu, penjahat yang berkedok penulis tau, gak? Vaela jadi kesal sendiri. "Dari sekian banyak naskah yang gue editing, cuma cerita lo yang kejam sama pemeran utama."

Alteza bersidekap, tubuhnya dia senderkan pada kursi. Sedari tadi dia diam mendengar perkataan Vaela, sekarang gantian dia yang bersuara. "Bagus, dong. Itu artinya, apa yang gue tulis, sampai ke hati pembaca."

"Iya, sampai ke hati pembaca. Tapi bawaannya pingin ngumpat dan maki lo tau gak?" Vaela memijit pelipisnya. "Gue heran, novel-novel lo bisa laris di pasaran, padahal endingnya selalu mengenaskan."

"Gue jadi curiga, mereka beli novel lo karena beneran suka, atau karena yang nulis ganteng?" lanjutnya.

Alteza tersenyum singkat. Dia tipekal orang yang sulit tertawa dan tersenyum lebih lama. "Gue gak peduli alesan mereka beli novel gue karena apa. Yang penting, novel gue laris dan dapat royalti yang lumayan."

"Lo gak bisa mikir untungnya doang, Teza. Siapa tau aja ada kumpulan haters buat lo, sama kayak tokoh yang lo tulis. Alora yang baik aja ada haters dari teman terdekatnya. Apalagi lo?" Vaela bukan menakut-nakuti. Dia hanya ingin Alteza berubah. "Misal aja, kumpulan haters yang benci lo karena ending novel lo selalu sad. Atau juga, haters dari cewek-cewek yang cintanya lo tolak. Atau juga, dari cowok-cowok yang merasa kalah tampan dari lo."

Alteza memajukan tubuhnya. Dia menyentil pelan kening Vaela. "Pikiran lo kejauhan. Lagian, Alora itu cuma tokoh fiksi gue. Jadi, jangan coba bandingin gue sama dia."

Vaela mengusap keningnya, menatap Alteza lekat. "Gue tau, alasan lo selalu buat ending yang tragis untuk protagonis wanita adalah, lo gak pernah kenal yang namanya cinta, bahkan jatuh cinta sama perempuan."

"Makanya, lo gak pernah rasain sakitnya patah hati yang dialami Alora. Ditinggal nikah saat sedang sayang-sayangnya nyesek tau," lanjut Vaela. "Za, kalau misal nanti lo jatuh cinta sama seseorang, lo akan paham apa yang gue omongin, dan apa yang tokoh lo rasain."

"Gue gak akan jatuh cinta." Alteza tersenyum kecut.

"Itu, kan, kata lo sekarang. Gak tau nantinya gimana." Vaela memegang tangan Alteza. "Za, harusnya lo bisa hapus trauma lo, kalau gak semua perempuan itu sama."

"Gue udah coba tanam itu, Vae, tapi, dari dulu, perempuan yang dekat sama gue, dia hanya menjadikan gue batu loncatan supaya bisa dekat sama Abang gue." Sejak itu, Alteza tidak sudi mengenal lagi apa yang namanya cinta. Dia sengaja menulis untuk menjadikan objek balas dendamnya pada perempuan walau hanya dalam karangan fiksi.

"Itu, kan, dulu, sebelum lo jadi apa-apa. Sekarang, lo udah sukses jadi penulis."

"Justru itu, Vae. Gue gak mau dideketin karena sekarang gue udah sukses jadi penulis." Alteza mematikan laptopnya yang masih menyala. Lalu memasukkannya ke dalam tas.

"Gue pulang dulu, Vae. Udah sore," pamitnya.

Vaela mengangguk, sebelum Alteza pergi dia berpesan, "Deadline naskah lo masih lama. Sekitar 36 hari lagi, lo bisa gunain itu buat revisi naskah lo."

"Lo juga bisa rubah endingnya kalau lo berubah pikiran. Manfaatkan sisa waktu yang ada, Za. Meski tokoh lo cuma fiksi, anggaplah seolah-olah itu nyata," lanjutnya.

Alteza mengangguk. "Makasih. Lo udah sempatin waktu buat baca cerita gue. Nanti gue kirim kalau udah jadi. Gue pamit."

Setelah kepergian Alteza, Vaela mendesah kecewa. "Jadi, lo anggap gue sama kayak perempuan-perempuan itu, ya, Za?"

***

Alteza tidak langsung ke rumahnya. Dia mampir dulu ke toko buku, ada novel terjemahan baru yang ingin dia beli. Sekaligus Alteza ingin mengecek rank novelnya dalam toko buku tersebut.

Novel yang baru dia terbitkan enam bulan lalu, yang berjudul; Cinta adalah Luka, masuk ke dalam 10 novel terlaris dalam toko buku tersebut, lebih tepatnya rank ke 03. Sungguh, Alteza senang bukan main.

"Kak Alteza, ya?"

Alteza menoleh, melihat gerombolan anak SMA yang masih mengenakan seragam sekolah menyapanya dengan senyuman. Empat orang perempuan itu, langsung mengeluarkan ponsel masing-masing.

"Astaga, gak nyangka banget bisa ketemu Kak Alteza. Aku suka, lho, sama novel-novel Kakak. Bahkan semua koleksi aku punya," ucap cewek berambut blonde.

"Aku suka novel Kakak, tapi lebih suka yang novel Antara Cinta dan Lara, itu bawang banget sumpah," sahut cewek rambut sebahu.

"Kak, kami boleh minta foto gak? Boleh, ya?" pinta gadis yang mengenakan bandana di kepalanya.

"Gue senang kalian suka sama novel-novel gue. Tapi, gue bukan artis yang bisa dimintain foto. Sorry." Fans-fans Alteza kebayakan seorang perempuan. Dia merasa risih ketika ada yang meminta foto seperti ini. Mungkin saja, yang dikatakan Vaela benar, kebanyakan orang yang membeli novelnya karena tampang Alteza yang menawan saja.

"Kalau tanda tangan?" tanya gadis bergigi gingsul yang sedari tadi terdiam.

"Kalau kalian beli novel gue waktu pre-order, di situ udah ada tanda tangannya." Buat apa dirinya sudah tanda tangan sebanyak 20.000 eksampler tiap buku saat PO kalau ujung-ujungnya ada yang modus dengan embel-embel minta tanda tangan.

Gadis itu mendesah kecewa. "Yah, tapi aku beli novel kakak di Gramedia, gak ada tanda tangannya."

Alteza menghela napas, dia teringat dirinya dulu saat menjadi orang biasa. Alteza juga meminta tanda tangan dan foto bersama dari penulis favoritnya. Merasa tidak tega, Alteza merebut kertas dan pena dari gadis itu, dan menulis tanda tangannya.

Alteza memasang wajah dinginnya saat para gadis itu memotretnya. "Udah, ya, Kakak permisi."

Alteza pergi ke kasir untuk membayar bukunya. Diam-diam, para gadis itu masih mencuri foto Alteza dari belakang.

"Oh my God, ganteng banget. Bener-bener Blasteran surga."

"Fiks, nanti harus di-upload di sosmed. Pasti anak-anak sekolah kita pada iri lihat kita bisa foto bareng Kak Alteza."

"Meski Kak Alteza gak ada senyumnya, tapi tetep cakep, anjir."

"Aku rela beli buku terbarunya Kak Alteza tiap terbit kalau gini jadinya. Meski seringnya gak kebaca."

***

Alteza mengendarai motor klasik miliknya dengan kecepatan sedang. Dia ingin menikmati embusan angin sore yang menerpa wajahnya.

Namun, niatnya tersebut terhenti ketika jalanan yang biasa ia lewati mendadak macet. Alteza yang biasanya diam, kini bertanya pada pengendara motor lain di sampingnya.

"Ini ada apa, Pak?"

"Itu, Mas, ada kecelakaan," jawab Bapak berkumis lele. "Ada perempuan korban tabrak lari. Kasian banget."

Alteza bergiming, tiba-tiba dia teringat ending cerita yang dia tulis. Sirine ambulans terdengar, jalanan kembali lancar seperti semula. Alteza segera melajukan motornya.

Sepuluh menit berlalu, dia sampai di pekarangan rumah mewah berlantai dua. Alteza langsung masuk ke dalam setelah menyuruh satpam rumah untuk menaruh motornya di garasi.

"Teza, kamu dari mana? Jam segini baru pulang? Udah makan siang?" tanya Anika---mamanya.

"Dari rumah Vaela, minta pendapat soal naskah," jawab Alteza, lalu menuangkan air dari teko ke gelas untuk diminumnya.

"Novel terus yang diurusin. Pantesan aja gak punya pacar." Anika mengoleskan selai pada roti, lalu menyodorkannya pada Alteza. Kalau sudah mengurus naskah novel, anak bungsunya itu selalu lupa waktu.

"Gak ada hubungannya, Mama." Alteza sangat sensitif kalau bicara soal pacar. "Bang Akriel aja gak punya pacar gak jadi masalah."

Akriel sendiri adalah kakak Alteza yang umurnya lebih tua enam tahun darinya. Nama lengkapnya adalah Akriel Gilang Pramana. Dokter muda yang menjadi idaman kaum hawa.

"Wajar dong. Abang kamu sibuk. Dia itu dokter yang harus melayani pasiennya." Akriel setahun lalu sudah lulus dari Universitas Nusantara jurusan kedokteran. Belum lama ini, dia buka praktik di rumah sakit terdekat dan sedang sibuk-sibuknya.

"Kamu, kan, cuma nulis doang, jadi gampang kalau mau cari pacar. Secara, nulis juga gak terlalu menyita waktu."

Alteza tersenyum miris. "Mama selalu aja gitu. Banding-bandingin Teza sama Bang Riel. Mama selalu menyepelakan pekerjaan Teza sebagai penulis. Jadi penulis tuh gak mudah, Ma. Ada waktu yang terbuat untuk riset, mikirin ide dan buat outline. Jangan mentang-mentang gaji Teza gak seberapa dibanding Bang Riel, Mama pikir pekerjaan Teza itu gak terlalu berharga."

"Teza, maksud Mama bukan gitu."

"Mama sama Papa dari awal juga gak setuju, kan, Teza jadi penulis? Mama sama Papa selalu aja maksa Teza buat ngikutin jejak Bang Akriel, buat nerusin profesi Papa sebagai Dokter." Alteza menjeda. "Teza masih inget kalian bilang masuk sastra hanya buang-buang waktu. Ternyata Teza berhasil buktiin ke kalian kalau Teza mampu nentuin bakat Teza sendiri.

Setelah mengatakan itu, Alteza pergi ke kamarnya, meninggalkan Anika yang masih terpaku di tempat.

***

"Alteza, tolong aku."

Alteza terduduk lemas dengan keringat dingin di keningnya. Dia habis mimpi buruk. Ada seorang gadis berpakaian gaun putih meminta tolong padanya.

"Ck, mimpi sialan."

Matanya mengarah pada jam dinding yang menunjukkan pukul 01.00. Kalau sudah terbangun tengah malah gini, dia susah tertidur lagi.

Alteza memilih untuk duduk di kursi sambil memeriksa kembali naskahnya. "Gue jadi kepikiran ucapan Vaela."

Pupil mata Alteza melebar, mulutnya pun ikut menganga. Dia tersentak, ketika membuka kembali laptopnya---lebih tepatnya naskah novelnya, nama Alora pun menghilang dari sana. Jemarinya kembali mengetikan nama tokoh protagonis tersebut, tetapi keyboard-nya eror.

"Bagaimana bisa?"


TBC


Hayo bang Teza. Panik gak tuh? Paniklah, masa enggak.

Sekali lagi aku ingetin kalau cetita ini romance fantasi ya, tapi bukan fantasi yang terlalu ke sihir-sihir gitu.

Jadi, kalau ada kejadian tak masuk akal di cerita ini, tolong maklumi. Nikmati saja alur ceritanya.

Terima kasih buat kalian yang menyempatkan waktu membaca cerita ini.

Tadi aku udah baca ulang, tapi kalau ada typo kelewat mohon maklumi.

Semoga kalian betah dengan lapak ini.

Follow dulu yuk bagi yang belum. Biar gak ketinggalan info update selanjutnya.

Jangan lupa vote komen ya.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Love you readers.

Dedel

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top